Sapardi Djoko Damono
Dinukil dari Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid I, tulisan Sapardi Djoko Damono (berpulang pada 19 Juli 2020) ini menyampaikan perjuangannya menjadi penyair: antara dorongan menjadi “nabi” dan keinginan bermain-main sebagai anak kecil.
Sebermula adalah kata
baru perjalanan dari kota ke
kota
(“Dalam Bus”, dukaMu abadi)
1
SAYA suka iri setiap kali membaca riwayat hidup penyair yang penuh dengan saat menegangkan, petualangan, kesengsaraan, dan ketabahan: penyair-penyair seperti Lord Byron, Chairil Anwar, dan Arthur Rimbaud memiliki riwayat hidup semacam itu. Kalau saja salah satu syarat kepenyairan seseorang adalah kehidupan semacam itu, rasanya tidak pantaslah saya menjadi penyair. Masa kecil saya rasanya biasa saja. Saya gemar main layang-layang, gobak sodor, gundu, adu cengkerik, benthik, cari belut, dan berbagai permainan lain yang juga digemari anak-anak sebaya saya. Pendidikan formal yang saya ikuti juga tidak istimewa: penampilan saya di antara teman-teman sekolah sama sekali tidak menonjol, bahkan mungkin saya sudah dilupakan sama sekali oleh mereka, sementara saya masih ingat jelas beberapa di antara mereka. Saya bukan anak bandel yang suka membantah guru, saya bukan pula jagoan; hanya saja, saya tidak bodoh.
Keluarga yang menurunkan saya bukan pencinta kesenian yang bersungguh-sungguh; kakek dari garis ayah memang dikenal suka menatah wayang kulit, tetapi beliau tidak begitu dekat dengan saya karena cucunya banyak dan beliau meninggal ketika saya masih kecil. Wayang kulit yang ditinggalkannya memang sempat membuat saya suka menirukan dalang, tetapi saya tidak pernah bersungguh-sungguh dalam bidang itu. Pada waktu saya kecil, di Solo, menirukan dalang merupakan kegemaran hampir semua anak laki-laki—jadi bukan keistimewaan saya. Kebetulan di Sekolah Rakyat (sekarang SD) “Kasatriyan” saya sempat mendapat pelajaran menari dan menabuh gamelan; itu pun tidak istimewa karena semua murid sekolah tersebut wajib mengikutinya.
Konon keluarga dari garis ibu saya pernah mengalami hidup sangat berkecukupan dulu, waktu zaman penjajahan; tetapi waktu kecil saya hidup kami—seingat saya—berkekurangan. Kata Ibu, zaman Jepang merupakan tahun-tahun yang berat, “untung” saya masih kecil sehingga tidak “merasakannya”. Namun, tahun-tahun sesudah Kemerdekaan memang terasa ganjil dalam kenangan: sehari makan dua piring bubur, pagi dan sore; Ibu menjual buku-buku tebal untuk membeli minyak tanah; Ayah di luar kota entah di mana untuk menghindarkan diri dari penangkapan Belanda; siang hari sering saya saksikan pesawat terbang Belanda menjatuhkan bom di beberapa kampung, malam hari terjadi pembakaran gedung-gedung dan rumah-rumah besar. Tetapi pengalaman itu pun bukan istimewa; puluhan ribu anak lain sebaya saya, juga mengalaminya. Dan tahun-tahun yang ganjil itu rasanya berjalan cepat sekali, setidaknya dalam kenangan; sesudah itu, datang masa kecil yang lebih wajar—main bola, hujan-hujanan, nonton wayang kulit, dhelikan, atau nonton film Tarzan.
Ternyata kemudian, masa kecil yang sama sekali tidak istimewa itu menjadi sumber bagi sebagian puisi saya; setidaknya bisa dikatakan bahwa beberapa sajak yang saya sukai mengingatkan saya pada masa kecil tersebut. Sudah sejak lama saya curiga: pasti ada sesuatu di bawah hal-hal yang sehari-harinya saya kenang tentang masa kecil saya itu. Kecurigaan itu mula-mula sekali tumbuh ketika masih menjadi murid SMP. Waktu itu untuk pertama kalinya saya mengirimkan sebuah karangan berupa cerita ke sebuah majalah anak-anak berbahasa Jawa. Dalam karangan itu saya mencoba bercerita tentang suatu peristiwa dalam masa kecil saya. Karangan itu ditolak, alasannya ialah karena cerita itu tidak masuk akal. Tentu saya kecewa, namun lebih penting lagi untuk pertama kalinya saya “diberi tahu”, dan selanjutnya menyadari bahwa ada peristiwa dalam hidup saya yang tidak masuk akal. Waktu itu, sama sekali tanpa bekal mengarang dalam umur 13 tahun, saya benar-benar merasa telah menulis cerita tersebut tanpa melebih-lebihkan peristiwanya: saya dan adik saya dilepas Ibu untuk ikut Ayah menginap barang beberapa hari di rumah ibu tiri kami. Ayah mengajak kami, Ibu melepas kami, dan kami pun siap pergi—semuanya terjadi biasa saja. Tetapi cerita itu ternyata dinyatakan tidak masuk akal.
Bagi saya, cerita tersebut pernah benar-benar terjadi—tidak peduli apakah ia masuk akal atau tidak. Tentu saya tidak pernah menimbang-nimbang, apalagi waktu masih kecil, apakah peristiwa yang saya alami dalam hidup ini masuk akal atau tidak. Dan peristiwa yang terjadi, terjadi begitu saja; saya tidak berhak menolaknya dengan alasan tidak masuk akal. Tetapi ternyata redaksi berhak menolaknya dengan alasan serupa setelah peristiwa tersebut menjadi cerita. Saya sempat kecewa ketika membaca penolakan redaksi tersebut, tanpa tahu persis mengapa saya harus kecewa. Setelah lebih dewasa saya berpikir, barangkali saya waktu itu kecewa karena tidak mempunyai hak untuk menolak yang tak masuk akal.
Kemudian saya berpikir, barangkali dunia nyata boleh tidak masuk akal, tetapi dunia rekaan harus masuk akal. Dunia nyata lebih tidak masuk akal dibanding dunia rekaan. Segala peristiwa dalam dunia nyata terjadi begitu saja tanpa rancangan pasti sebelumnya, tetapi rangkaian peristiwa dalam dunia rekaan harus diatur sedemikian rupa agar jelas sebaik-baiknya—agar masuk akal. Dengan demikian, dunia nyata harus diedit agar menjadi dunia rekaan: hidup ini harus melalui proses pengguntingan, pemolesan, penghapusan, pemilihan, dan penyusunan kembali agar bisa diterima sebagai cerita. Meskipun tentu saja saya belum berpikir sejauh itu, sudah sepantasnya kalau waktu itu saya sama sekali tidak berusaha lagi menulis cerita. Saya merasa lebih tenteram menjalani yang tak masuk akal sambil setiap hari bermain dengan teman-teman sebaya.
2
Tentu juga bukan suatu hal yang istimewa ketika pada umur 17 tahun saya kembali tertarik mengarang, kali ini mengarang puisi. Sejak SR saya senang membaca, mulai dari petualangan Old Shatterhand sampai kisa kasih Maria dan Jusuf. Saya pernah merasa sangat terharu membaca Andang Teruna karangan Sutomo Djauhar Arifin; pada waktu itu tentunya saya belum berpikiran bahwa cerita yang saya baca itu, seperti halnya kisah-kisah petualangan karangan Karl May, adalah dunia rekaan—dan oleh karenanya masuk akal. Kesukaan membaca telah membawa saya ke pelbagai perpustakaan dan persewaan buku di Solo, dan memperkenalkan saya dengan puisi Indonesia modern. Di sekolah, kami mengenal beberapa saja Pujangga Baru dan Chairil Anwar; di majalah seperti Kisah, Konfrontasi, dan Mimbar Indonesia saya membaca sajak-sajak Rendra, Hartojo Andangdjaja, Armaya, Ajip Rosidi, dan sederet nama lain. Saya bisa terharu membaca novel, tetapi membaca beberapa sajak modern itu ternyata telah menyebabkan saya merasa seperti ada yang mengganjal di tenggorokan. Saya tidak pernah merasa bisa menangkap makna sajak-sajak itu sepenuhnya, namun terasa bahwa apa yang pernah gagal saya tulis menjadi cerita dulu itu membayang dalam beberapa di antaranya.
Sedikit demi sedikit, keinginan saya untuk mengungkapkan yang tak masuk akal muncul kembali. Dan ketika mula-mula sekali menulis puisi, terasa bahwa sudut-sudut yang luput dari teriak dan siul masa kecil mulai hidup kembali dalam kata-kata. Pada umur belasan tahun itu saya menulis puisi seperti tak pernah berhenti: ternyata begitu banyak sudut yang bisa muncul kembali dalam kata. Ternyata sangat mengasyikkan menyusun dunia kata sedemikian rupa, hanya agar segi-segi yang tak masuk akal bisa terbaca lagi. Dan semakin banyak menulis semakin terasa bahwa yang teramat mengasyikkan penyusunan dunia kata itu sendiri. Barangkali bukan suatu kebetulan bahwa dalam dunia yang saya susun itu muncul masa kecil saya: barangkali memang ada hubungan yang sangat erat antara yang tak masuk akal dan dunia kata yang disebut puisi itu. Pada umur belasan tahun itu saya menulis sebuah sajak di bawah ini.
TANGAN WAKTU
selalu terulur ia lewat jendela
yang panjang dan menakutkan
selagi engkau bekerja, atau mimpi pun
tanpa berkata suatu apa
bila saja kautanya: mau apa
berarti terlalu jauh kau sudah terbawa
sebelum sungguh menjadi sadar
bahwa sudah terlanjur terlantar
belum pernah ia minta izin
memutar jarum-jarum jam tua
yang segera tergesa-gesa saja berdetak
tanpa menoleh walau kauseru
selalu terulur ia lewat jendela
yang makin keras dalam pengalaman
mengarah padamu tambah tak tahu
memegang leher bajumu
Apa yang tak masuk akal dalam sajak tersebut, yang berasal dari kedalaman masa kecil saya: tangan waktu yang panjang dan menakutkan, yang tak pernah berkata apa pun sementara ia terulur lewat jendela. Tangan waktu yang mengarah kepada saya dan memegang leher baju saya. Tangan waktu yang bergerak dalam dunia nyata yang tak masuk akal, ternyata tetap terulur dalam dunia rekaan yang saya ciptakan. Seandainya pengalaman yang pernah saya dapatkan berkenaan dengan tangan waktu itu saya sampaikan dalam sebuah cerita, mungkin sekali redaksi (yang tentunya dalam beberapa hal juga mewakili pembaca) akan menganggapnya tak masuk akal. Dalam pulsi, temyata ia tetap bergerak dan (mungkin sekali) diterima sebagai masuk akal.
Ada beberapa perkara yang bisa dijadikan masalah dalam hal tersebut. Cerita tentang masa kecil yang saya susun beberapa tahun sebelumnya dulu itu tidak dilandasi kemampuan teknis penulisan yang tinggi, sehingga pengalaman yang ada di dalamnya tidak masuk akal; atau sajak, dalam hal ini lirik, yang saya susun itu memang bentuk sastra yang khusus menampung yang tak masuk akal. Sajak yang saya kutip itu tampak rapi: terbagi menjadi empat bait, empat larik. Jumlah kata yang ada dalam sajak itu jauh lebih sedikit dibandingkan sebuah cerita pendek yang lazim; karena itu, dipergunakan pelbagai perbandingan agar kata-kata yang sedikit jumlahnya itu efektif. Kalau benar bahwa lirik yang ringkas merupakan bentuk khusus untuk yang tak masuk akal, dengan kata lain bisa dikatakan bahwa yang tak masuk akal—yang terluput dari kegiatan sehari-hari—hanya bisa muncul dalam rangkaian kata-kata yang dipilih dan disusun secara ketat.
Saya tidak pernah mengusut perbedaan cerita dan lirik dalam perjalanan penulisan saya; mungkin hal itu disebabkan karena saya tidak pernah secara sungguh-sungguh tertarik menulis cerita. Itu suatu keuntungan: saya bisa memusatkan perhatian pada lirik. Dalam perkembangan lebih lanjut, ada sesuatu masalah yang ternyata tetap terbuka sampai hari ini. Sudah saya nyatakan bahwa segi yang tak masuk akal dalam hidup saya ternyata bisa masuk akal dalam puisi; lalu apakah kesenangan menulis puisi itu disebabkan oleh keinginan untuk menyatakan yang tak masuk akal, atau disebabkan oleh keasyikan mencipta dunia kata? Pada saat-saat tertentu, memang sangat kuat dorongan untuk mengungkapkan sesuatu. Namun, pada saat-saat lain, saya hanya merasa sangat asyik bermain-main dengan kata-kata sampai ada sesuatu yang terbentuk di dalamnya. Pada suatu saat, saya ternyata seorang nabi, di saat lain seorang anak kecil.
3
Sesuatu, yang maknanya berhimpit dengan yang tak masuk akal, yang juga terpendam di bawah jerit dan sorak masa kecil, sangat sering hidup kembali dalam puisi saya. Dalam beberapa sajak yang saya tulis tahun 1971, keinginan saya untuk menyampaikan sesuatu itu tersirat dari judul sajak; namun, sebenamya saya benar-benar mendapatkan keasyikan yang luar biasa ketika menulis catatan-catatan tersebut.
CATATAN MASA KECIL, 2
Ia mengambil jalan lintas dan jarum-jarum rumput berguguran oleh langkah-langkahnya. Langit belum berubah juga. Ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga lalu berpikir apakah burung yang tersentak dari ranting lamtara itu pernah menyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga terkam-menerkam. Langit belum berubah juga. Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa menggoda bunga itu tetapi ia bukan angin dan ia kesal lalu menyepak sebutir kerikil.
Ada yang terpikik di balik semak dan gemanya menyentuh sekuntum bunga lalu tersangkut pada angin dan terbawa sampai ke laut tetapi ia tidak mendengarnya dan ia membayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan. Ia sampai di tanggul sungai tetapi mereka yang berjanji menemuinya di sini ternyata tak ada. Langit sudah berubah. Ia memperhatikan ekor srigunting yang senantiasa bergerak dan mereka yang berjanji mengajaknya ke seberang sungai belum juga tiba lalu ia menyaksikan butir-butir hujan mulal jatuh ke air dan ia memperhatikan lingkaran-lingkaran itu melebar dan ia membayangkan mereka mengepungnya dan melemparkannya ke air.
Ada yang memperhatikannya dari seberang sungai tetapi ia tidak melihatnya. Ada.
Saya sungguh-sungguh asyik bemain kata-kata sehingga tercipta “rahang-rahang laut”, “rahang-rahang bunga”, dan “rahang-rahang langit”, dan kagum menyaksikan “rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga terkam-menerkam”. Saya senang menyaksikan “angin yang begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa menggoda bunga sehabis menggoda laut”. Dan saya menjadi terkejut ketika “ada yang terpekik di balik semak” ketika saya “menyepak kerikil”. Saya terlibat sepenuhnya dalam permainan kata itu, sampai pada saat ketika menyadari bahwa rasanya ada sesuatu yang muncul (kembali) dalam dunia rekaan saya itu. Pada saat semacam itulah saya biasanya berhenti menulis; proses penciptaan pun selesai.
Dalam sajak itu saya membayangkan diri saya berjalan sendiri lewat jalan setapak menuju sungai di bawah “rahang-rahang langit” untuk memenuhi janji dengan beberapa orang. Sesampai di tepi sungai, “mereka” ternyata tak ada; hari pun hujan, dan serasa ada yang memperhatikan dari seberang sungai, sementara terbayang “mereka” mengepung dan melemparkan saya ke sungai.
Rangkaian peristiwa itu seperti pernah saya alami di masa kecil namun tidak pemah saya sadari sebelumnya sajak itu selesai ditulis. Oleh karena itu, pengalaman tersebut bukan merupakan sesuatu yang sudah ada atau sudah jadi sebelum sajak itu mulai ditulis; dengan kata lain, ia bukan merupakan tujuan penulisan sajak tersebut. Tetapi kenyataan itu tidak membuktikan bahwa penulisan sajak tersebut berawal tanpa maksud apa pun. Sajak itu merupakan salah satu dari serangkaian sajak yang berjudul “Catatan Masa Kecil”, dan tentunya ditulis dengan semacam niat untuk mengungkapkan pengalaman masa kecil—atau dengan istilah yang saya pakai sebelumnya: yang tak masuk akal.
Beberapa kata yang saya pilih untuk sajak itu seperti “laut”, “langit”, dan “bunga” tentu boleh diterima sebagai lambang; ini wajar saja, sebab saya, seperti halnya kebanyakan penyair, mempergunakan perbandingan untuk mengetatkan bahasa. Tetapi dari segi pengalaman yang ada dalam diri saya, kata-kata itu sekaligus juga bermakna sama dengan yang diacunya. Tentu saja pembaca boleh menafsirkan “langit” dan “sungai” dalam sajak tersebut sebagai lambang-lambang untuk akhirat dan kehidupan, tetapi bagi saya kata-kata itu sekaligus berarti langit dan sungai benar-benar. Kemungkinan besar segala hal dalam masa kecil saya diam-diam telah menjelma menjadi lambang-lambang; atau mungkin juga di masa kecil, lambang-lambang telah menjelma dalam hidup sehari-hari sebagai hal-hal yang nyata—dan karena itu tidak masuk akal.
Kesulitan membedakan lambang dari yang dilambangkan itu tentunya hanya terjadi di masa kecil; setidaknya hanya terjadi pada orang yang memandang diri dan sekelilingnya dengan mata anak kecil. Orang bilang, mengenang masa kecil itu mengasyikkan. Saya kira masa kecil itu sendiri benar-benar mengasyikkan: kita tinggal dalam dunia yang tersusun dari lambang-lambang dan karenanya sangat kaya makna—meskipun sangat sering tidak tertangkap oleh orang dewasa, bahkan oleh kita sendiri setelah dewasa.
Sajak berikut ini mungkin bisa dipergunakan sebagai contoh untuk menjelaskan kenyataan tersebut.
CATATAN MASA KECIL, 3
Ia turun dari ranjang lalu bersijingkat dan membuka jendela lalu menatap bintang-bintang seraya bertanya-tanya apa gerangan yang di luar semesta dan apa gerangan yang di luar luar-semesta dan terus saja menunggu sebab serasa ada yang akan lewat memberitahukan hal itu padanya dan ia terus bertanya-tanya sampai akhirnya terdengar ayam jantan berkokok tiga kali dan ketika ia menoleh tampak ibunya sudah berdiri di belakangnya berkata “biar kututup jendela ini kau tidurlah saja setelah semalam suntuk terjaga sedang udara malam jahat sekali perangainya.”
Waktu menulis sajak tersebut, keasyikan memilih dan menyusun kata-kata mendadak harus saya hentikan karena dalam kata-kata itu dengan jelas muncul pengalaman di masa kecil, boleh dikatakan tepat seperti apa yang secara harfiah tergambar dalam sajak tersebut. Namun, sekarang dalam dunianya yang baru, yang rekaan, segala hal yang rasanya pernah saya alami di masa kecil itu menjelma lambang-lambang. Sajak itu jelas tentang pengalaman seorang anak kecil yang suka meninggalkan tempat tidurnya untuk memandang ke langit bertanya-tanya kepada dirinya sendiri tentang batas langit itu, dan karena itu ditegur ibunya. Suatu hal yang sepele, suatu peristiwa kecil. Tetapi mengapa ia tiba-tiba muncul dalam kata-kata yang saya pilih dan susun? Mengapa ia menjelma menjadi himpunan lambang? Apakah karena bergeser kedudukannya dari dunia nyata ke dunia rekaan?
4
Dunia rekaan? Ada sudut tertentu dalam otak saya yang bersikeras menyatakan bahwa dunia yang terdapat dalam sajak-sajak tersebut bukan rekaan saya tetapi pernah benar-benar ada. Saya akan mengambil contoh sebagai bandingan: dalam perjalanan saya ke Belgia pada tahun 1979, beberapa kali saya melewati tempat-tempat yang rasanya pernah saya kenal sebelumnya. Padahal sebelumnya saya belum pernah mengunjungi negeri itu. Tetapi ada bagian dalam otak saya yang mencoba meyakinkan saya bahwa dulu pernah ke sana. Saya menjadi ragu apakah perasaan bahwa saya pernah ke tempat-tempat tersebut baru muncul setelah saya melewatinya, atau mungkin tempat-tempat (semacam) itu pernah saya kunjungi setidaknya dalam mimpi. Tetapi mungkin sekali saya pernah ke sana dulu, siapa tahu? Mungkin sekali makhluk yang saya sadari sebagai “saya” ini sesungguhnya merupakan kumpulan atau tumpukan “saya” yang hidupnya sudah dijalani jauh sebelum tanggal 20 Maret 1940. Dan tampaknya hidup yang pernah “saya” jalani itu tidak hanya terbatas di Solo saja, tempat saya menghabiskan waktu kecil dan masa remaja.
Dengan demikian, sajak tersebut disebut dunia rekaan karena peristiwa yang dialami penyair tinggal berada dalam kata-kata, dan tidak lagi berada di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, ia tidak bisa diukur dengan ukuran yang biasa dikenakan untuk kehidupan sehari-hari. Ia masuk akal karena berada di dunia kata, dan menjadi tak masuk akal kalau kita berusaha mengembalikannya ke dunia nyata. Kenyataan tersebut tampaknya menunjukkan bahwa yang biasa kita sebut sebagai dunia nyata itu tak lain adalah yang di sekeliling kita ini. Yang sudah lampau telah menjelma menjadi lambang-lambang yang sekaligus berupa citra-citra: oleh sebab itu, penuh dengan makna. Anehnya, makna yang kita anggap berarti sering disarankan oleh peristiwa, yang berwujud citra sekaligus lambang, yang tampaknya sepele. Berjalan lewat jalan setapak, menyepak sebutir kerikil, dan dihardik Ibu karena terjaga sampai lewat larut malam adalah peristiwa-peristiwa sepele yang cenderung dilupakan. Dengan mudah saya akan menceritakan kembali saat disunat, ketika lulus ujian SD, atau waktu mengalami kecelakaan naik becak, namun sangat sulit untuk mengisahkan pengalaman-pengalaman kecil dan sepele yang pernah saya jalani. Pengalaman semacam itulah yang ternyata tercipta kembali dalam sajak-sajak; dalam kata-kata, ia justru mendukung makna dan kembali saya jalani.
Dan pengalaman-pengalaman kecil semacam itu saya temukan juga tidak hanya dalam sajak-sajak beberapa penyair kita, tetapi juga dalam sajak-sajak penyair asing yang pernah saya baca. Sajak-sajak Eliot, Seferis, Jimenez, Pasternak, Dickinson, misalnya, umumnya menawarkan serangkaian peristiwa kecil. Dan kalau kita membaca sajak-sajak klasik Cina dan Jepang, semakin jelas bahwa dunia rekaan ternyata penuh dengan peristiwa semacam itu. Komunikasi yang baik sulit dibayangkan seandainya peristiwa-peristiwa yang tercipta dalam sajak-sajak Li Po, misalnya, sama sekali “asing” bagi pembaca Indonesia yang hidup beberapa ratus tahun sesudah penyair Cina itu. Kenyataan inilah yang mungkin sekali menjadikan salah satu bagian otak saya untuk bersikeras pada pendapatnya bahwa peristiwa-peristiwa yang rasanya pernah saya alami itu mungkin memang pernah saya alami beratus-ratus tahun lalu entah di mana. Oleh karena itu, ada kecenderungan untuk menganggapnya sebagai pengalaman masa kecil, masa yang sudah jauh lampau.
Bagi saya, proses penulisan sebuah sajak berakhir apabila dalam kata-kata yang saya permainkan tersusun peristiwa yang rasanya pernah saya alami, yang kini ternyata mengandung makna. Makna itu sendiri sering sangat sulit saya sampalkan, atau saya capai, dengan cara lain. Oleh sebab itu, peristiwa dalam dunia kata itu sangat penting, setidaknya sama penting dengan makna yang dikandungnya.
Sajak berikut ini mungkin bisa menjelaskan pengertian tersebut.
GERIMIS KECIL DI JALAN JAKARTA, MALANG
seperti engkau bicara di ujung jalan
(waktu dingin, sepi gerimis tiba-tiba
seperti engkau memanggil-manggil di kelokan itu
untuk kembali berduka)
untuk kembali kepada rindu
panjang dan cemas
seperti engkau yang memberi tanda tanpa lampu-lampu
seupaya menyahutmu, Mu
Peritiwa dalam sajak itu disampaikan dengan serangkaian citra: engkau dijumpai aku (yang tersirat) di sebuah ujung jalan pada suatu malam (yang tersirat) waktu dingin dan “sepi gerimis”; aku merasa diberi isyarat untuk menjawab engkau. Nah, itulah citra yang tersusun: ketika menuliskannya saya merasa ada makna yang terkandung dalam peristiwa tersebut, terutama ketika saya selesai menuliskan “Mu” dengan M kapital. Makna yang ada sulit diungkapkan dengan cara lain karena tidak bisa dipisahkan dari citra keseluruhan sajak itu. Ketakterpisahan antara makna dan peristiwa mungkin bisa lebih jelas diungkapkan dengan memakai sajak berikut sebagai contoh.
BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI
waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku
di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang
di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami
yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara
kami yang harus berjalan di depan
Tidak ada yang istimewa dalam peristiwa tentang seorang yang berjalan-jalan pada pagi hari; juga tidak ada yang istimewa dengan matahari dan bayang-bayang orang itu. Tidak istimewa: oleh karena itu, tidak usah dipertengkarkan siapa yang menciptakan bayang-bayang atau siapa yang harus berjalan di depan. Namun, di tengah-tengah citra keseluruhan sajak itu, dua baris terakhirnya agak terasa sebagai semacam pernyataan atau komentar. Saya merasa sering terganggu oleh komentar yang terselip dalam sajak-sajak yang saya tulis, tetapi dua baris terakhir itu tidak bisa dipisahkan dari citra sajak itu secara keseluruhan. Dalam sajak itu, justru dua baris itulah yang telah menyebabkan saya merasa bahwa peristiwa yang muncul di dalamnya bermakna, di samping sangat akrab dengan saya.
Pada suatu saat, saya adalah seorang anak kecil yang asyik bermain kata-kata, di saat lain seorang nabi yang berusaha menyampaikan pesan kepada dunia. Namun, tidak jarang saya merasa diri saya benar-benar seorang penyair: asyik bermain-main kata sampai di dalamnya tersusun dunia yang bermakna. Pada saat semacam itu, saya bukan anak kecil, karena anak kecil tidak menyadari bahwa permainan dan tempatnya bermain bermuatan makna; saya pun bukan nabi, karena nabi dianugerahi tugas mulia untuk menyiarkan kata-kata Tuhan bagi umat manusia. Sedangkan saya, si penyair, bermain-main dengan kata sementara menyadari bahwa bisa tercipta makna di dalamnya.
5
Rupanya perjuangan saya selama ini, sebagai penyair, adalah menghindarkan kecenderungan yang berlebihan untuk menjadi nabi atau menjadi anak kecil. Mungkin bukanlah merupakan aib bagi seorang penyair untuk menyampaikan ajaran-ajarannya bagi pembaca, selama ia tidak berpura-pura telah mendapat wahyu untuk berbuat itu. Kebanyakan kita pun tampaknya tidak begitu berkeberatan menerima ajaran para penyair; buktinya dalam masyarakat banyak beredar kata-kata mutiara yang bersumber pada puisi. Keinginan untuk mengajarkan semacam pandangan tertentu itu kadang-kadang sangat kuat pada diri saya; pada saat-saat semacam itu lahirlah sajak semacam ini.
SONET: HEI! JANGAN KAUPATAHKAN
Hei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga itu
ia sedang mengembang; bergoyang dahan-dahannya yang tua
yang telah mengenal baik, kau tahu,
segala perubahan cuaca.
Bayangkan: akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar
hujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakar
dan mekarlah bunga itu pelahan-lahan
dengan gaib, dari rahim Alam.
Jangan; saksikan saja dengan teliti
bagaimana matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diam
membunuhnya dengan hati-hati sekali
dalam Kasihsayang, dalam rindu-dendam Alam;
lihat: ia pun terkulai pelahan-lahan
dengan indah sekali, tanpa satu keluhan.
Jelas sekali ajaran yang saya sampaikan lewat sajak itu, ajaran seorang penyair-nabi tentang kaitan erat antara kehidupan dan kematian sebab keduanya bersumber pada zat yang sama, Matahari—dengan M kapital. Si penyair-nabi ini juga mengajarkan, agar kita tidak bertindak jahat terhadap kehidupan yang sedang berkembang, tetapi sebaiknya menikmati dan mengagumi saja proses kehidupan dan kematian dengan penuh kasih. Dengan panjang lebar siapa pun bisa menjelaskan ajaran yang ada dalam sajak saya tersebut, bahkan mungkin penyair lain bisa dengan tepat mengungkapkannya kembali dalam pilihan dan susunan kata yang sama sekali lain. Hal itu menunjukkan bahwa makna dalam sajak itu dengan agak mudah bisa dipisahkan dari kata-kata yang tersusun menjadi serangkaian citra; jadi boleh dikatakan bahwa makna tidak sepenuhnya diciptakan oleh citra yang merupakan peristiwa dalam sajak itu. Makna itu begitu penting sehingga kata-kata yang merupakan dunia rekaan agak terkesampingkan olehnya. Dan oleh karena itu, saya pun tidak begitu merasa akrab dengan peristiwa itu.
Pada saat-saat lain, si penyair tidak bisa mengelak dari kecenderungan menjadi anak kecil, dan lahirlah sajak seperti di bawah ini.
PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI
angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telepon
itu, “aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!”
kabel telepon memperingatkan angin yang sedang memungut daun
itu dengan jari-jarinya gemas. “jangan brisik, mengganggu
hujan!”
hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam,
hardiknya, “lepaskan daun itu!”
Seperti anak kecil, saya asyik bermain-main dengan kata; dan sewaktu di dalamnya tersusun suatu peristiwa, saya pun begitu terpesona oleh peristiwa itu, sehingga tidak peduli apakah di dalamnya terkandung makna atau tidak. Jelas saya tidak berkehendak mengajarkan apa pun; saya hanya merasa sangat akrab dengan dunia rekaan itu. Rangkaian citra yang tersusun menjadi peristiwa dalam sajak itu begitu menonjol, sehingga seolah-olah bisa menjadi penting tanpa makna. Sajak itu merupakan sebuah dunia yang dilihat oleh penyair sebagai anak kecil; saya hanyut dalam permainan, hingga tidak merasa perlu mempertimbangkan lambang-lambang yang mungkin ada di dalamnya.
Perjuangan saya, dalam menulis puisi selama ini, adalah untuk menjadi penyair; saya tidak ingin menjadi nabi atau anak kecil karena keduanya tidak mungkin bisa saya jalani sepenuhnya. Namun kenyataannya, di antara sajak-sajak yang saya tulis banyak yang menunjukkan keinginan diam-diam untuk menjadi nabi: dalam sajak-sajak semacam itu saya mengajari, berkhotbah, atau mengajak berjuang. Saya sama sekali tidak sempat bermain-main. Saya merasa sekadar menjadi alat saja dari ajaran yang ingin saya sampaikan. Saya capek, tenaga saya habis tanpa mendapatkan kenikmatan sedikit pun. Saya yakin bahwa pembaca pun akan merasakan capek membaca beberapa sajak saya yang sama sekali tidak mengajaknya bermain, tetapi hanya menyodorkan ajaran dan khotbah.
Jumlah sajak yang menunjukkan kecenderungan saya menjadi anak kecil ternyata tidak banyak. Sejak semula, rupanya saya tidak bisa sama sekali hanyut dalam permainan saya. Ada bagian dalam otak saya yang selalu mengingatkan bahwa permainan itu harus berakhir, apabila sudah tersusun peristiwa yang bermakna di dalamnya. Peristiwa itu erat kaitannya, dan sering identik, dengan citra atau lambang, yakni sesuatu yang menghidupkan dunia rekaan saya. Dan rupanya permainan itu sangat penting bagi proses kelahiran (kembali) sesuatu, yang tak masuk akal, ke dalam dunianya yang baru yang tersusun dari kata—agar bisa masuk akal. Seandainya permainan yang sering sangat mengasyikkan itu ditiadakan, tentunya sudah sejak lama saya tidak menulis puisi.
6
Kepada pembaca pun, pada dasarnya sajak-sajak saya menawarkan permainan yang mengasyikkan itu. Saya merasa yakin bahwa kebanyakan pembaca tidak akan mengalami kesulitan menyusun kata-kata dalam sajak-sajak saya menjadi citra-citra yang menggambarkan peristiwa tertentu. Yang mungkin bisa menyulitkan adalah keakraban dan makna peristiwa dalam sajak itu baginya.
Dari berbagai tulisan mengenai puisi saya, saya mendapat kesan bahwa sebagian besar citra di dalamnya, secara terpisah, bisa menarik perhatian. Perbedaan kadar makna yang didukungnyalah yang menyebabkan adanya keragaman dalam kritik atas puisi saya selama ini. Orang bisa menangkap citra yang mendukung suatu peristiwa dalam sebuah sajak, namun bermakna tidaknya peristiwa itu baginya tergantung pada pengalamannya, kecerdasannya, dan kemauan baiknya untuk membuka diri.
Goenawan Mohamad, Andre Hardjana, Harry Aveling, A. Teeuw, Mohammad Haji Salleh, Umar Junus, dan Subagio Sastrowardoyo—misalnya—memilih sajak-sajak yang berbeda-beda dalam pembicaraannya, dan tentu kesimpulan mereka pun berbeda. Tentang sajak-sajak yang sama pun, misalnya “Catatan Masa Kecil”, Goenawan Mohamad dan A. Teeuw memberi komentar yang sama sekali berbeda. Goenawan berpendapat, “Kata-kata tidak lagi merekat menempel, tetapi bergerak hidup-bulat: menjadi tanda dan sekaligus mikrokosmos sendiri,” sedangkan Teeuw menganggapnya sebagai sajak yang bukan lagi sajak, genre baru yang belum ada namanya dalam sastra. Sebenarnya kedua kritikus itu membicarakan hal yang sama, yakni segi formal sajak-sajak tersebut, tetapi kesimpulan mereka ternyata berbeda. Bagi saya keduanya merupakan pujian yang telah meyakinkan saya bahwa kepenyairan saya selama ini tidak sia-sia. Seperti juga kritikus dan pengamat lain yang pernah menulis tentang puisi saya, mereka pun ternyata bisa ikut asyik dalam permainan kata yang membentuk dunia rekaan yang bermakna.
Tentu pembaca puisi saya boleh dan berhak memilih: ikut dalam permainan, atau melemparkannya saja. Saya tidak mempunyai hak itu. Saya ternyata suka bermain dengan kata-kata. Bagi saya, peristiwa kecil yang tersusun dari kata-kata itu sama pentingnya dengan makna yang mungkin terkandung di dalamnya. Ternyata saya tetap bersikeras untuk menolak kecenderungan menjadi nabi, di samping memadamkan kehendak untuk tetap menjadi anak kecil. Saya harus tetap mempertahankan kesadaran kritis yang bisa dimiliki seorang penyair yang baik.
Depok, 1983
[Dinukil dari: Pamusuk Eneste (editor), Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid I, (Jakarta: Gramedia), 2009, hlm. 153-170]
[Sumber foto: Pikiran Rakyat]