JELAJAH LITERASI

“Olenka”: Dihidupi oleh Brontë Lalu Dibunuh oleh Sartre

in Fiksi by

Mengarungi perjalanan kesadaran-diri Fanton Drummond dalam Olenka seperti menyaksikan realitas yang jungkir balik. Fanton, karakter utama novel ini, seakan dihidupi oleh Jane Eyre karya Charlotte Brontë tapi kemudian dibunuh oleh Nausea karya Jean-Paul Sartre.

SUKAR dipercaya Budi Darma menulis Olenka (1983) hanya dalam waktu tiga pekan. Novel ini merupakan adonan berbagai teknik kepengarangan. Olenka juga bisa dibilang semacam perjalanan melintasi berbagai khazanah literasi, mulai dari novel, puisi, cerpen, film, drama, dan bahkan karya jurnalistik.

Ya, sulit dipercaya Olenka, dengan segala kekayaannya itu, tuntas hanya dalam tiga pekan. Apalagi kita tahu Budi Darma kerap menyatakan bahwa dia tak pernah menulis dua kali. Ini berbeda dengan kebanyakan pengarang yang justru menganjurkan kita melakukan penulisan kedua, ketiga, dan seterusnya.

  • Judul: Olenka
  • Pengarang: Budi Darma
  • Penerbit: Noura Publishing
  • Terbit: Oktober 2018 (pertama kali terbit pada 1983 oleh Balai Pustaka)
  • Tebal: 426 halaman

Budi Darma seolah membiarkan imajinasi dan khayalannya menguasai dirinya. Dia membebaskan otak kanannya mengatur proses kepengarangannya dan tak memberi ruang sedikit pun kepada otak kirinya untuk mempersoalkan rasionalitas, ketertiban, dan keajegannya ceritanya.

Saya hampir-hampir tak percaya seandainya tidak memerhatikan sejumlah kejanggalan. Misalnya, pada halaman 359, karakter Mary Carson secara keliru menyapa Fanton Drummond dengan Danton. Danton adalah nama belakang karakter lain, yakni Wayne Danton yang tak pernah dikenal oleh Mary Carson. Kekeliruan kecil ini tak diperbaiki editor atau mungkin memang sengaja dibiarkan karena Budi Darma tak suka jika penulisannya diotak-atik.

Baiklah, itu cuma kekeliruan kecil. Tapi, itu menunjukkan bahwa novel ini mungkin memang diselesaikan hanya dalam tiga pekan dan sekali tulis.

Kita juga bisa menemukan ketidakajegan dalam perjalanan kesadaran-diri Fanton Drummond, tokoh utama novel ini. Kesadaran Fanton cepat berubah-ubah, bahkan terkadang jungkir balik. Tapi, ketidakajegan ini justru tema utama yang ingin disampaikan novel ini: perjalanan kesadaran-diri seorang manusia yang subtil, gelap, terasing, tak tentu arah, mudah berubah-ubah, dan kadang kala jahat, kejam, dan brutal.

Pertama-tama, sebelum berlanjut lebih jauh, saya ingin mengatakan bahwa saya tak akan menceritakan sinopsis novel ini. Selain sudah lama diterbitkan, Olenka juga sudah amat termasyhur. Mahasiswa sastra atau penggemar sastra setidaknya pernah membaca novel ini.

Menurut pengakuan Budi Darma—dan jika anda mempercayainya—Olenka lahir tiba-tiba tanpa perencanaan, dan memang demikianlah proses kelahiran kebanyakan karya Budi Darma menurut pengakuannya sendiri. Ide novel ini lahir ketika Budi Darma (sekitar 1979) pada hari membeku di Bloomington, Indiana, Amerika Serikat, memasuki lift apartemen Tulip Tree dan melihat seorang perempuan beserta tiga anak kecil. Perjumpaannya dengan perempuan itu—yang menurut Budi Darma bernama Anka—mengilhami dia untuk menulis Olenka. Sejak saat itu, pikirannya dikepung oleh gagasan demi gagasan, imajinasi demi imajinasi, sehingga novel ini selesai dalam tiga pekan.

Novel ini menggunakan sejumlah teknik kepengarangan. Saya akan memaparkan tiga di antaranya.

Pertama adalah teknik “cerita dalam cerita”. Fanton Drummond, narator novel ini, seringkali menceritakan kisah lain di sepanjang alur novel ini, bisa itu dari novel, cerpen, film, puisi, dan bahkan pemberitaan koran serta televisi. Dengan teknik ini, Budi Darma dengan menarik menyajikan dialektika (tentu saja di dalam kesadaran Fanton) antara filosofi mimesis Aristoteles dan filosofi anti-mimesis yang salah satunya dikemukakan oleh Oscar Wilde.

Aristoteles memandang seni, termasuk sastra, hanya imitasi dari realitas. Itulah yang bisa kita lihat dalam “Cerpen Olenka” di dalam novel ini. Cerpen ini ditulis Wayne Danton dengan mengimitasi jalan hidup istrinya, Olenka. Berkat cerpen ini yang dimuat dalam kumpulan bergengsi, Wayne berhasil memperoleh statusnya sebagai “pengarang” setelah selalu gagal memuat karya-karyanya.

Sementara itu, Wilde menganggap realitas justru lebih sering mengimitasi sastra daripada sebaliknya. Kesadaran-diri seseorang, menurut Wilde, adalah energi yang terus berupaya menemukan ekspresinya, dan sastra serta seni menyediakan itu dalam bentuknya yang paling indah—atau kelam. Dalam Olenka, kita bisa membaca, misalnya, bagaimana sajak “Rabbi ben Ezra” karya Robert Browning menginspirasi Fanton untuk menciptakan realitasnya sendiri.

Kedua adalah teknik epistolary. Di sini, Budi Darma menggunakan surat, terutama surat Olenka yang cukup panjang (dari halaman 246 hingga halaman 295), dan kutipan-kutipan berita dari koran serta televisi untuk menciptakan alur sampiran atau yang dia sebut sebagai “lanturan”. Ya, Budi Darma memang kerap melantur dalam novel ini. Tapi uniknya, “lanturan”—yang sebenarnya wajar saja dalam sebuah karangan—itu membentuk totalitas sebuah penceritaan: perjalanan kesadaran-diri Fanton Drummond.

Surat panjang Olenka dalam novel ini menarik untuk diperhatikan. Ia menciptakan cerita tersendiri. Novel ini berjudul Olenka tapi kita lebih banyak dibawa ke dalam alam pikiran Fanton ketimbang Olenka. Surat Olenka yang memunculkan alur sampiran justru, menurut saya, sebenarnya adalah kisah utama novel ini. Kisah Olenka dengan ayah dan ibunya, kisah percintaan Olenka dengan perempuan yang disebutnya “Winifred”; dan kisah Olenka dengan Wayne, suaminya, dan Steven, anaknya, semuanya menarik untuk dikaji secara terpisah.

Ketiga dan ini yang terutama adalah teknik bercerita “arus kesadaran orang pertama” (first person self-consciousness). Seluruh pengisahan dalam novel ini bersumber dari kesadaran-diri Fanton Drummond: pikiran, imajinasi, dan emosinya. Semua hal tentang karakter lain hanya bisa kita ketahui dari penuturan kesadaran-diri Fanton. Fanton bisa seenaknya menuduh karakter lain berpikir buruk tentangnya. Fanton bisa sewenang-wenang mencintai dan membenci—dan bahkan ingin membunuh—karakter lain tanpa sebab-sebab jasmaniah. Dengan teknik ini, Olenka ingin melukiskan perkembangan kesadaran-diri Fanton dengan intensitas filosofis, psikologis, dan bahkan mistis semaksimal mungkin.

Gaya bercerita “kesadaran diri orang pertama” antara lain diperkenalkan oleh pengarang Inggris Charlotte Brontë melalui novel Jane Eyre (1847)—dan memang novel ini sepertinya banyak menginspirasi Budi Darma dalam menulis Olenka. Salah satu perspektif yang menghubungkan Olenka dan Jane Eyre adalah apa yang disebut Budi Darma sebagai “afinitas”.

Dalam kimia, kata afinitas sering digunakan untuk menggambarkan bagaimana suatu senyawa memiliki kecenderungan kuat untuk membangun ikatan dengan senyawa lain. Dalam Olenka, Fanton dan Olenka memiliki afinitas kepada satu sama lain begitu keduanya bertemu di dalam lift.

Afinitas di antara mereka berdua digambarkan dengan bayangan masing-masing yang saling berkelebat di dalam benak masing-masing. Fanton bahkan seringkali menelusuri dan menjilati (ya, ini kata yang digunakan oleh Budi Darma secara harfiah) jejak-jejak Olenka di kursi taman, ruang baca perpustakaan, atau halte bus. Saat berada di sebuah cottage milik Mary Carson, Fanton bahkan merasa dijambak oleh Olenka meskipun Olenka tak berada di situ. Afinitas Fanton dan Olenka sangat mirip dengan afinitas Jane Eyre dan Edward Fairfax Rochester. Jane melihat kelebatan bayangan Rochester dan puncaknya mendengar jeritan Rochester yang berada jauh di tempat lain.

Gagasan “afinitas” sebenarnya juga mendominasi pemikiran para mistikus Islam (sufi). Salah satunya tergambar dalam roman Layla wa Majnun (1188) gubahan penyair Persia Nizami Ganjavi—karya yang sering disalahpahami sebagai kisah percintaan ala Romeo and Juliet. Di akhir kisah Layla wa Majnun, Qays yang terobsesi cinta kepada Layla merasa tak harus memiliki sang kekasih karena Layla selalu terasa hidup dalam jiwanya dan dia hidup dalam jiwa perempuan itu. Bagi para mistikus Islam, kisah ini gambaran perjalanan spiritual manusia menuju sang kekasih sejati: Tuhan. (Hubungan Olenka dengan mistisisme bisa dilihat dari penjelasan menarik Budi Darma dalam catatan kaki tentang kutipan puisi “The Flea” karya John Donne).

Karena itu, saya tak sependapat dengan ulasan yang menyebut Olenka sebagai kisah romansa antara Fanton dan Olenka, yang diselingi dengan kehadiran orang ketiga, Mary Carson. Saya awalnya juga merasakan nuansa ke arah itu di separuh pertama novel ini. Tapi lama kelamaan saya tak merasakan nuansa romantis dalam novel ini, terlebih Fanton secara liar mendefinisikan ketertarikannya kepada Olenka—dan juga Mary—dengan tujuan menjadikan kedua wanita itu sebagai ibu dari anak-anaknya: sebuah hasrat prokreasi. Aneh memang. Saat bertemu dengan Mary, Fanton pun bisa dengan cepat dan mudah berubah. Olenka segera saja hilang dari pikirannya yang telah dikuasai oleh hasrat bercinta dengan Mary—dan sekali lagi demi tujuan prokreasi.

Lalu, apakah Olenka bisa dilihat secara mistis seperti halnya Layla wa Majnun? Menjelang akhir novel ini, saya berharap demikian, apalagi Fanton mulai menyadari bahwa dia hanya ada untuk Olenka. Di saat inilah, dia bahkan menolak untuk bercumbu dengan Mary. Padahal, perempuan itu telah menyatakan rela menerima Fanton meskipun tahu hati Fanton telah diisi perempuan lain. Saya berharap Fanton menemukan peran dan posisi dalam kehidupanya, yakni sebagai “kekasih hati” Olenka meskipun ia tak dapat memiliki perempuan itu karena terbentur realitas (Olenka terikat pernikahan dengan Wayne Danton).

Namun, harapan saya itu dibunuh Budi Darma di akhir novel ketika Fanton tiba-tiba merasa mual kepada olenka, dan bahkan juga dirinya. Dia membenarkan pernyataan Wayne Danton bahwa jiwanya menderita lepra. Perubahan tersebut terjadi tiba-tiba dan sekali lagi tanpa sebab musabab jasmaniah. Satu titik yang bisa dijadikan pemicu perubahan itu adalah kabar bahwa Olenka terlibat dalam kasus pemalsuan lukisan-lukisan ternama meskipun peristiwa ini pun tampaknya tak cukup menjadi alasan perubahan mendadak itu.

Di dua bagian akhir dari novel ini, atau pada subjudul “Nausea” dan “Coda”, kita diberi semacam penjelasan mengapa perubahan Fanton itu terjadi. Lepra, penyakit infeksi bakteri yang menyerang jaringan saraf tepi, digunakan Budi Darma terhadap jiwa. Dengan begitu, Budi Darma tampaknya ingin menggambarkan intensitas kesakitan jiwa Fanton.

Lepra, menurut sejumlah penelitian, berkaitan dengan depresi yang dialami penderitanya. Ini karena stigma negatif banyak orang terhadap penyakit itu. Fanton sakit jiwa terutama karena persepsinya sendiri terhadap persepsi orang lain—yang belum tentu benar (dalam filsafat Sartre disebut dengan “bad faith”).

Di titik inilah, Fanton merasakan hal yang sama dengan yang diderita Antoine Roquentin, karakter utama novel Nausea (1938) karya Jean-Paul Sartre. Seperti Roquentin, Fanton mengawali hidupnya tanpa kedekatan dengan keluarga. Dia dibesarkan di panti asuhan tanpa pernah mengenal ayah-ibunya. Seperti Roquentin, dia tak terlalu suka berinteraksi dengan orang lain dan suka mengamati orang lain dari kejauhan. Seperti Roquentin, dia mulai mempertanyakan eksistensi dirinya sendiri di dalam semesta.

Dia berkata:

“…Saya juga merasa bahwa sesungguhnya saya tidak mempunyai hak untuk ada. Tidak seharusnya alam semesta memiliki saya sebagai benda yang berada di dalamnya. Akan tetapi, sekaligus saya juga berpendapat, saya tidak mempunyai hak untuk meniadakan diri saya.” (hal. 375)

“…Sering saya tidak tahu siapa saya, dan karena itu saya tidak tahu harus ke mana. Setiap tindakan saya belum tentu berjalan ke arah tujuan saya, karena tujuan itu sendiri sulit diraba.” (hal. 383)

Dengan merujuk kepada “nausea”, patologi psikologis-eksistensial ala Sartre, Olenka ingin menunjukkan bahwa tak semua peristiwa dalam kehidupan manusia bisa dijelaskan dengan hukum-hukum logika dan sains. Fanton seakan dihidupi oleh Jane Eyre tapi kemudian dibunuh oleh Nausea.

Novel ini bukan novel pelancongan atau perantauan—meskipun melukiskan dengan menarik alam dan siklusnya di tiga negara bagian di Amerika: Indiana, Pennsylvania, dan Illnois. Novel ini juga bukan kisah percintaan tapi kisah perjalanan kesadaran-diri seseorang yang menemui ketidakpastian. Dan ketidakpastian, bagi novel ini, adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan.[]


Budi Darma

Lahir di Rembang, 25 April 1937, Budi Darma adalah salah satu pengarang sekaligus akademisi bidang sastra. Setelah menyelesaikan studi di Universitas Gadjah Mada pada 1963, Budi mendapatkan kesempatan menjalani kursus Program Penulisan Internasional di University of Iowa, Amerika Serikat, dan kemudian menyelesaikan studi master dan doktor filsafat di Indiana University Bloomington.

Budi memiliki gaya kepengarangan khas. Tema-temanya berfokus pada absurditas perasaan dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan manusia lain. Gaya bertuturnya terkadang surealis dan tak jarang juga realis. Dia mengatakan setiap karyanya lahir dari sekali tulis, berbeda dengan kebanyakan pengarang yang kerap menerapkan penulisan ulang. Imajinasinya kerap liar, dan dia bilang datang dari alam bawah sadarnya. Tak heran jika banyak kritikus menilai karyanya absurd dan tak mudah dipahami.

Guru besar sastra Universitas Negeri Surabaya ini telah menghasilkan banyak karya, dari mulai novel, kumpulan cerpen, esai, dan kritik sastra. Sejumlah karyanya yang dikenal banyak orang adalah novel Olenka (1983) dan kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington (1980). Olenka mengantarkan Budi menerima penghargaan sastra bergengsi Asia Tenggara S.E.A Write Award. Karya lainnya adalah novel Rafilus (1988) dan Ny. Talis (1996). Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Fiksi

Go to Top