Oleh Bahtiar Effendy
Catatan Redaksi: Untuk mengenang intelektual Muslim, Bahtiar Effendy, yang wafat pada 20 November 2019, kami menukil sebuah bagian dari bukunya Agama Publik dan Privat: Pengalaman Islam Indonesia yang diterbitkan UIN Press pada 2009. Dalam tulisan ini, Bahtiar melihat fenomena ekstremisme Islam–selain karena penafsiran keagaamaan–dipicu oleh ketakberdayaan dalam merespons modernisasi dan globalisasi.
Meskipun bukan sama sekali persoalan baru, diskursus tentang ekstremisme atau radikalisme Islam memperoleh mementum yang cukup sejak beberapa tahun terakhir ini. Sejak adanya aksi-aksi kekerasan yang diarahkan kepada Amerika Serikat–terutama serangan terhadap World Trade Center, 11 September 2001–dan negara-negara Barat lainnya, isu tentang ekstremisme atau radikalisme Islam dimunculkan kembali. Kampanye besar-besaran untuk membalas dan menghentikan tindak kekerasan tersebut telah menimbulkan dampak yang tidak hanya membangkitkan sentimen permusuhan keagamaan klasik, tetapi juga mengganggu citra dasar tentang Islam. Tak kalah memprihatinkannya adalah bahwa berbagai tindak kekerasaan yang membawa-bawa, atau disangkut-sangkutkan dengan bendera Islam itu telah menempatkan agama ini dalam posisi yang sangat tidak mengenakkan.
Setidak-tidaknya, fenornena seperti itu telah membuat para pemikir dan pemeluknya melakukan kampanye tandingan bahwa Islam tidak mendakwahkan ekstremisme atau radikalisme–apalagi terorisme. Islam adalah agama yang ramah, yang menghargai pluralisme, dan merupakan rahmat bagi sekaliam alam. Beratnya medan yang harus dihadapi dalam upaya menepis sorotan buruk dunia internasional telah membuat sebagian pemimpin Islam untuk berujar bahwa dalam hal ini Islam pada dasarnya juga telah menjadi korban dari tindakan-tindakan kekerasan. Karenanya, upaya yang harus ditempuh hendaknya melibatkan seluruh komunitas internasional agar menghukum mereka yang bertanggung jawab, dan bukan membangkitkan sentimen klasik dengan cara melakukan generalisasi terhadap lslam yang dikait-kaitkan (The Straits Times, October 30, 2002).
Ucapan-ucapan yang dikemukakan sebagian pemimpin agama di Amerika Serikat, seperti Jerry Falwell, Pat Robertson, Franklin Graham (putra Billy Graham) tentang Islam tidak menyelesaikan masalah. Bahkan, hal itu justru menciptakan prasangka-prasangka keagamaan serta meneguhkan keyakinan sebagian dari pemeluk Islam maupun Kristen bahwa di antara mereka memang ada benih-benih ketidaksukaan. Seperti ditulls Fareed Zakaria dalam kolom regulernya di Newsweek, 21 Oktober 2002 yang berjudul “Time to Take on American’s Haters”, dilaporkan bahwa Falwell dalam acara “60 Minutes” yang disiarkan stasiun TV CBS menyatakan “Muhammad was a terrorist”. Dalam berbagai kesempatan, Robertson menyebut “Muhammad was a robber and a brigand”. Islam pun dideskripsikan sebagai “a monumental scam”. Sementara itu, Graham sering menilai Islam sebagai “a very evil and wicked religion”.
Penilaian-penilaian seperti ini tidak hanya ada pada kalangan pemimpin agama, tetapi juga di lingkungan-lingkungan lain. Ini bisa ditemukan, misalnya, dalam karya Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies yang berjudul Why Do People Hate America? (2002). Di dalam buku itu, dimuat berbagai pernyataan negatif tentang lslam. Disebutkan, ada pihak yang menyamakan Islam dengan Klu Klux Klan (KKK). Karina Rollins, editor senior The American Enterprise, beranggapan bahwa secara instrinsik budaya Islam itu anti-Barat dan penuh kebencian terhadapnya. lni sebanding dengan pernyataan Fareed Zakaria yang mengatakan bahwa “(Muslims) come out of a culture that reinforces their hostility, distrust, and hatred of the West–and of America in particular. This culture does not condone terrorism but fuels the fanaticism that is at its heart.” (Zakaria, 2001; Sardar and Davies, 2002: h. 22).
Demikian jelasnya pandangan Rollins terhadap Islam sampai-sampai orang Islam yang tinggal di Amerika pun ia pandang dengan penuh kecurigaan: “there is no evidence that Muslims living in America are necessarily all great patriots.” Bahkan, pernyataan Presiden George Bush bahwa “Islam is not the enemy”, dianggapnya sebagai “baseless assertions”. Baginya jelas bahwa “Islam is an imperialist religion”, dan dalam penilaiannya: “this fresh enemy is at civilization’s gate”.
Dengan pandangan-pandangan seperti itu, kecenderungannya memang untuk mengaitkan Islam dengan terorisme. Untuk hal ini cukuplah kiranya dikutipkan uraian Don Feder, kolumnis dan penulis editorial Boston Herald, yang dimuat di majalah Insight. Selain mengatakan bahwa terorisme itu bukan deviasi dalam Islam, bahkan sebenarnya ia merupakan norma dari budaya Islam, ia bertutur bahwa:
“From its seventh-century breakout from the Arabian Peninsula until the late 17 century, Islam advanced at sword point, spreading from the Pyrenees to Philippines. The tide was checked only at gates of Vienna. From the decline of Ottoman empire until the 1970s, Islam ebbed. Today–fueled by oil wealth, surplus population, immigration and the rise of fundamentalism–Islam is resurgent. Instead of wild horsemen, its banner are carded by guerillas, terrorists, theocrats and tyrants.” (Saidar and Davies, 2002: h.15-22).
Dengan kenyataan seperti itu tampaknya tidak adil untuk membincangkan ekstremisme atau radikalisme Islam semata-mata dari sudut pandang internal-keagamaan. Jelas agar dapat mengetahui secara lebih tepat mengenai faktor-faktor yang paling bertanggung jawab terhadap kemunculan (kembali) ekstremisme atau radikalisme Islam, kajian lapangan dan literatur yang mendalam sangatlah diperlukan. Akan tetapi, secara sepintas dapat diduga bahwa fenomena tersebut tidak terjadi dalam situasi vakum. Karenanya, mengaitkan perkembangan situasi makro–baik yang berkaitan dengan masalah sosial-ekonomi maupun politik–dengan persoalan tersebut menjadi sesuatu yang bukan saja bersifat fashionable, tetapi jangan-jangan memang di situ letak inti persoalannya (Amsbang, 2001).
Orang boleh saja mengatakan bahwa pokok persoalan yang berkaitan dengan kemunculan ekstremisme atau radikalisme Islam–atau agama-agama lain–ada pada para pemeluk agama tersebut (Lewis, 2002). Meski demikian, penting untuk diingat bahwa baik pada tataran teori maupun praktik, fenomena ekstremisme atau radikalisme Islam itu bukan tanpa sebab, dan bukan tanpa sasaran. Selalu saja kenyataan tersebut diarahkan kepada kelompok-kelompok kekuatan tertentu yang dinilai “mengganggu” atau “merugikan” kepentingan Islam atau pemeluknya. Ketakberdayaan di dalam memberi respons-respons yang tepat telah mendorong pencetus gagasan dan pelaku ekstremisme atau radikalisme yang memakai bendera Islam–atau atribut-atribut lainnya yang sepadan–untuk bertindak secara tidak “konvensional”. Karenanya, memahami konteks global di mana ekstremisme atau radikalisme keagamaan itu berkembang menjadi imperatif. Dengan demikian pemahaman orang terhadap kemunculan ekstremisme atau radikalisme Islam tidak hanya bersifat religious-centered–yang hanya mengarahkan kita pada hal-hal yang bersifat normatif dan doktriner–tetapi lebih dari itu. Bahkan, masalah ini mungkin telah mengatasi soal kepercayaan itu sendiri atau–kalau istilah Robert N Bellah boleh digunakan–telah menjadi sesuatu yang bersifat “beyond belief”. (Bellah, 1991).
Tulisan ini tidak secara kategoris ingin menyatakan bahwa faktor-faktor eksternal adalah yang paling bertanggung jawab atas kemunculan ekstremisme atau radikalisme Islam. Di pihak Iain, tulisan ini juga tidak pada posisi untuk berteori bahwa cara pandang tertentu terhadap Islam–seperti upaya Stephen Schwartz untuk mengkaitkan Wahabisme dengan terorisme (Schwartz, 2002)–merupakan sumber atau rujukan yang kepadanya ekstremisme atau radikalisme Islam dapat (atau harus) diatribusikan. Yang ingin dicoba digali di sini adalah kemungkinan faktor-faktor eksternal dan internal itu bersinergi–mungkin secara tidak kita sadari–yang memunculkan pemikiran dan tindakan yang bersifat ekstrem atau radikal.
Islam dan Ekstremisme
Membicarakan kaitan antara Islam dan ekstremisme bukan perkara mudah. Hal ini akan segera terlihat ketika kepada kita diajukan sebuah pertanyaan: apakah Islam mengajarkan ekstremisme atau radikalisme? Salah satu faktor yang menyebabkan pertanyaan seperti ini sulit untuk dijawab–baik pada tataran normatif maupun praktis–adalah kenyataan bahwa pertanyaan tersebut penuh dengan turunan-turunan sosial-ekonomi dan politiknya (a loaded question). Sementara itu, agama (Islam atau agama apa pun) secara taken for granted dipandang sebagai instrumen ilahiah yang mengajarkan hal-hal yang serba “baik”. Karenanya, bagaimana mungkin kita bisa mengaitkan agama dengan ekstremisme–sesuatu yang secara inheren dianggap mengandung hal-hal yang tidak “biasa” dan seringkali dipandang secara pejorative. Dalam perspektif seperti ini, agama dan ekstremisme sering dilihat sebagai sesuatu yang bersifat kontradiktif.
Akan tetapi, dalam kenyataan sehari-hari, kaitan erat antara agama dan ekstremisme merupakan hal yang mudah ditemui. Meskipun pada tataran penilaian banyak orang berusaha mengelak untuk mengaitkan antara agama dan ekstremisme, realitas menunjukkan bahwa ekstremisme atau radikalisme keagamaan itu sering dijumpai. Dengan demikian, bisa disebutkan bahwa pada dasamya ada keengganan bagi banyak kalangan umat beragama untuk melihat potensi keterkaitan antara agama dan ekstremisme. Sikap enggan ini bukan didasarkan semata-mata untuk membela agama tertentu, tetapi karena fungsi agama memang bukan untuk mendorong tindakan-tindakan yang bersifat ekstrem, radikal, dan berbau negatif. Agama selalu berbicara tentang hal-hal yang serba baik, serba agung, untuk menciptakan tatanan yang dalam perspektif, misalnya Islam, “baldatun thayibatun wa rabbun ghafur”. Masyarakat Jawa menyebutnya “negeri gemah ripah lohjinawi, toto tenterem kerto raharjo”. Atau, dalam pandangan para sosiolog Barat, agama dimaksudkan untuk menciptakan “the good society”. Inilah kira-kira yang menjadi fungsi universal agama-agama yang ada.
Meski begitu, terlepas dari paparan di atas, siapa pun pada dasarnya sulit untuk mengingkari adanya tindakan-tindakan ekstrem yang setidak-tidaknya membawa bendera agama–kalau bukan justru diinspirasi dan dimotivasi oleh cara pandang serta pemahaman tertentu terhadap doktrin-doktrin agama. Dan, dalam konteks perkembangan global dewasa ini, komunitas Islam sulit untuk menghindar dari pertanyaan apakah Islam mendakwahkan ekstremisme? Tentu dengan semangat subjektivitas keagamaan, setiap Muslim akan menjawab dengan nada negatif. Dengan kata lain, Islam tidak (pernah) mengajarkan ekstremisme. Kendati pun mereka mengetahui bahwa ada banyak tindakan ekstrem yang bisa dikait-kaitkan dengan Islam (jangan lupa, hal yang sama juga bisa dikenakan terhadap agama-agama lain) setidak-tidaknya mereka akan mengatakan tidak ada doktrin dan prinsip Islam yang menganjurkan ekstremisme. Dalam hal ini, pandangan Yusuf Qaradhawi–sarjana Muslim yang dilahirkan di Mesir, tetapi kini menetap untuk mengajar di Dhoha, Qatar–menarik untuk diketengahkan. Pandangannya menarik untuk dikemukakan karena dalam perspektif komunitas Islam, Qaradhawi dianggap sebagai Muslim yang taat, yang memperlakukan ajaran-ajaran Islam secara serius (Qaradhawi, 1995). Sementara itu, dalam pandangan sarjana Barat, seperti Charles Kurzman, ia dikategorikan sebagai pemikir Islam yang mempunyai pandangan liberal–khususnya pikiran-pikirannya yang berkaitan dengan ekstremisme (Kurzman, ed, 1998).
Qaradhawi menulis esai tentang ekstremisme pada 1981. Tulisan pendek itu merupakan pertanggungjawaban dirinya sebagai seorang intelektual Muslim yang ketika itu risau melihat perkembangan-perkembangan tertentu berkenaan dengan Islam di Timur Tengah. Menurut pengantar yang dipersiapkan Kurzman, esai itu dimaksudkan untuk menahan gerak laju ekstremisme Islam, khususnya yang berlangsung di Mesir. Sekaligus, tulisan itu merupakan kritik terhadap sebuah kelompok kecil radikal di Mesir yang menculik dan membunuh pejabat agama di negeri itu pada 1977. Bagi Qaradhawi. seseorang boleh saja mempunyai pandangan-pandangan yang ekstrem, tetapi hal tersebut tidak boleh dipaksakan kepada orang lain.
Dalam tulisannya mengenai ekstremisme itu, Qaradhawi memulal dengan suatu pandangan yang tegas, yaitu bahwa pada dasarnya Islam melarang ekstremisme (Ibid. h. 196-201). Tetapi, sebelum sampat pada pandangan seperti itu, hendaknya seseorang memahami terlebih dahulu apa sebenarnya yang dimaksud dengan ekstremisme, dan bagaimana ajaran Islam melihat hal-hal seperti itu. Secara literer, Qaradhawi mendefinisikan ekstremisme sebagai “being situated at the farthest possible point from the center”. Secara figuratif, ekstremisme dipahami sebagai adanya “a similar remoteness in religion and thought, as well as behavior”. Dari sini ia menarik suatu kesimpulan bahwa salah satu konsekuensi logis dari pandangan dan tingkah laku ekstrem adalah “exposure to danger and insecurity”. Artinya, ekstremisme berkaitan dengan keterhadapan kepada marabahaya dan rasa tidak aman.
Bagi Qaradhawi, Islam tidak bisa mengakomodasi hal-hal seperti itu–sesuatu yang hanya akan membawa seseorang kepada situasi ekstrem. Baginya jelas bahwa Islam justru memerintahkan moderasi dan keseimbangan–situasi yang tidak ekstrem, tidak berada pada titik paling jauh dari pusat, tidak menghadapkan pemeluknya pada marabahaya dan ketidakamanan. Moderasi dan keseimbangan yang diajarkan Islam mencakup segala sesuatu, baik dalam hal kepercayaan, beribadah, perbuatan, dan tingkah laku, serta dalam hal menetapkan hukum. Inilah, menurut Qaradhawi, yang dalam Islam disebut al-sirath al-mustaqim (jalan lurus)–jalan mereka yang diberi nikmat oleh Allah, dan bukan mereka yang terkena murka Allah.
Karena itu, Qaradhawi yakin benar bahwa moderasi atau keseimbangan bukan hanya merupakan karakteristik umum Islam, tetapi juga menjadi tonggak paling fundamental. Jika secara doktriner dan prinsipal, itulah yang ingin dipancangkan Islam, maka semestinya komunitas Islam adalah komunitas yang mengikuti jalan lurus, adil, moderat, dan seimbang. Mereka seharusnya selalu berada di tengah, tidak berada pada titik paling jauh–baik di sisi kanan maupun di kiri–dari pusat.
Karena apa yang telah disebutkan merupakan pemahaman Qaradhawi tentang prinsip-prinsip Islam, maka dapat disimpulkan bahwa gagasan mengenai moderasi dan keseimbangan mempunyai dasar yang kuat dalam al-Quran dan Sunnah–dua sumber utama Islam. Sumber yang pertama ini telah menyebutkan berbagai istilah yang memerintahkan Mushm untuk selalu berada di tengah, menjadi moderat, dan berlaku seimbang (wasath)–serta melarang mereka berlaku ekstrem (ghuluw-berlebihan), tanattu’ (melampaui batas), atau tashdid (kaku, keras). Demikian pula, berkali-kali Nabi Muhammad mengingatkan umatnya agar tidak berlebihan–meskipun di dalam menjalankan ajaran agama. Pun Nabi juga mengingatkan bahaya yang bakal dihadapi oleh mereka yang bertindak melampaui batas. Jangankan Nabi, Allah pun tidak akan membebani hamba-Nya dengan beban yang di luar kemampuan mereka untuk menanggungnya (la yukallifu al-Allah nafsa illa wus’aha).
Atas dasar itu semua, dengan enak Qaradhawi menyimpulkan bahwa ajaran-ajaran Islam memang memerintahkan Muslim untuk berlaku seimbang, dan melarang mereka bertindak ekstrem. Katanya, seperti dituturkan Kurzman, “Islamic texts call upon Muslims to exercise moderation and to reject and oppose all kinds of extremism: such as ghuluw [excessiveness], tanattu’ [transgressing, meticulous religiosity], and tashdid [strictness, austerity].” (Kurzman, ed, 1998. h. 196-198).
Dengan apa yang telah diketengahkan, dapat dinyatakan bahwa Islam, baik dalam teori (al-Quran) ataupun praktik (Sunnah), melarang tindakan-tindakan yang eksesif dan melampaui batas. Ekstremisme, sekalipun dalam konteks ibadah, adalah dilarang–apalagi dalam hal-hal yang bersifat “non-ibadah”. Masih menurut Qaradhawi, pelarangan terhadap ekstremisme tidak terjadi secara arbitrer. Sebaliknya, perbuatan-perbuatan itu dilarang karena adanya bahaya yang sangat mendasar di dalam ekstremisme bagi sejarah kemanusiaan. “All these warnings against extremism and excessiveness are necessary,” tulisnya, “because of the serious defects inherent in such tendencies.” (Kurzman, ed, 1998).
Secara singkat Qaradhawi menyebutkan tiga cacat utama ekstremisme. Pertama, tindakan ekstrem atau melampaui batas itu terlalu sulit untuk dapat disetujui oleh manusia biasa. Terlalu berat bagi mereka untuk memikul beban atau menoleransi tindakan-tindakan yang melampaui batas. Meskipun mungkin ada sebagian orang yang dapat hidup dengan praktik-praktik yang melampaui batas, mayoritas tidak mungkin bertindak demikian. Karenanya dapat dikatakan bahwa ekstremisme itu sebenarnya berlawanan dengan sifat manusia (human nature). Kedua, tindakan ekstrem atau yang melampaui batas itu tidak berumur panjang (short-lived). Secara alamiah, kemampuan orang untuk bertahan–khususnya terhadap hal-hal yang berbau eksesif–itu terbatas. Dan karena manusia itu pada dasarnya cepat bosan, maka ia tidak bakal mampu bertahan dengan tindakan-tindakan yang melampaui batas untuk jangka waktu lama. Ketiga, praktik-praktik yang melampaui batas itu membahayakan dan melanggar hak dan kewajiban pihak lain (Kurzman, ed, 1998).
Dalam konteks pandangan Qaradhawi tentang ekstremisme, di sini dapat dikatakan bahwa seorang Muslim tidak seharusnya tergelincir pada tindakan atau pikiran yang bersifat ekstrem dan melampaui batas. Sebaliknya, dengan pemahaman keagamaan yang “baik” dan “pada tempatnya”, ia akan mempertahankan posisi moderat dan seimbang.
Masalahnya adalah tidak semua orang seperti Qaradhawi. Tidak semua mempunyai pikiran yang sebanding dan sesuai dengan apa yang dipahami Qaradhawi. Meskipun tidak ada orang yang meragukan keislaman Qaradhawi, dunia Islam dengan mudah dapat sampai pada kesimpulan bukan mazhab Qaradhawi yang menjadi acuan masyarakat Islam. Kenyataan seperti ini belum tentu karena kelemahan atau ketidaksesuaian pemahaman Qaradhawi mengenai, misalnya, ekstremisme keagamaan, tetapi karena struktur ajaran Islam memang terbuka untuk diperdebatkan dan diinterpretasikan. Lebih dari itu, memang tidak ada seorang Muslim pun (kecuali Nabi tentunya), termasuk para ahli fikih dan tafsirnya, para ulama dan teolognya, yang mempunyai otoritas untuk mengatakan bahwa pemahaman dan pemikirannya terhadap Islam adalah yang paling benar–dan yang lain kurang tepat atau salah. Karena itu, meskipun Islam itu satu, ekspresinya–meminjam istilah Komunitas Islam Utan Kayu–”warna-warni”. Walaupun, penilaian yang terakhir ini juga masih bisa diperdebatkan atau diijtihadkan!
Artinya, apa yang dikemukakan Qaradhawi mungkin saja merupakan pemahaman yang benar dan masuk akal. Barangkali saja, Allah dan Rasulnya (tentu ini penilaian subjektif saya!) tidak menemukan kesalahan atau kejanggalan apa pun atas pandangan-pandangan Qaradhawi di atas. Masalahnya adalah, seperti telah dikatakan, pemahaman terhadap ajaran Islam itu tidak monolitik. Untuk hal-hal yang bersifat ritual-keagamaan saja ada perbedaan–kendati pun banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut hanya menyangkut soal-soal yang bersfat trivial atau cabang. Apalagi yang berkaitan dengan aspek-aspek non-ibadah–sosial- kemasyarakatan. Tentu, perbedaan-perbedaan yang ada menjadi sangat tajam dan mencolok, bahkan yang menyangkut soal-soal yang fundannental–seperti masalah hubungan antara agama dan negara, hubungan antara Muslim dan non-Muslim, kaitan antara Islam dan modernitas, dan “Barat” yang tengah berada pada posisi dominan dan cenderung mendikte serta hegemonik.
Dalam perspektif seperti ini, sebagaimana telah dikatakan di awal tulisan, setidak-tidaknya ada dua hal yang harus dilihat di dalam membicarakan persoalan Islam dan ekstremisme atau radikalisme. Pertama adalah yang bersifat teologis-keagamaan–ini berkaitan dengan interpretasi Muslim terhadap ajaran agamanya. Kedua adalah yang bersifat psikologis-sosiologis–berkaitan dengan situasi yang dialami orang-orang Islam dan respons mereka terhadap modernitas dan dominasi Barat.
Penafsiran Doktrin yang Beragam
Mereka yang mempraktikkan ekstremisme dan radikalisme, dengan membawa bendera Islam tentu tidak akan merujukkan tindakan mereka pada prinsip-prinsip yang dipakai oleh Qaradhawi atau kalangan moderat dan tengah lainnya. Meskipun masih harus digali secara lebih lanjut, bisa saja dikatakan bahwa mereka lebih memilih untuk membaca ayat-ayat yang potensial untuk dijadikan pembenaran. Dalam hal ini, yang biasanya populer adalah rujukan-rujukan yang menyatakan bahwa mereka yang tidak mendasarkan kehidupannya pada hukum Allah, maka mereka termasuk orang zalim, kafir, dan sebagainya. Juga termasuk dalam hal ini adalah pandangan untuk memeluk agama Allah secara menyeluruh (kaffah). Kendati terasa janggal dan menyempal, dan sebagian besar Muslim pasti akan menolaknya, ada saja yang beranggapan bahwa mengambil secara paksa dan tidak sah harta orang lain itu dibolehkan. Ini muncul dari pemahaman (yang menurut saya salah!) terhadap suatu doktrin bahwa pada harta seseorang sebagian ada yang menjadi milik orang Iain. Ada pula yang mendasarkan tindakan-tindakan radikalisme Islam pada perintah Allah yang menyuruh Muslim untuk berlaku kasih terhadap sesama Muslim, tetapi bertindak keras terhadap kaum kafir. Entah menggunakan metode apa, ada sebagian Muslim yang memandang suatu daerah tertentu, dalam periode tertentu, sebagai padanan periode Nabi di Mekkah. Karena itu, praktik-praktik keagamaan Islam boleh meniru periode Mekkah sebelum Nabi menetap di Madinah. Dengan pemahaman yang latar belakang dan motivasi sosiologisnya bisa ditebak, ajaran seperti ini telah dipakai untuk membenarkan tindakan-tindakan tertentu yang bersifat eksesif kepada non-Muslim–bahkan terhadap kalangan lslam yang dianggap tidak sepaham atau sealiran.
Dalam konteks seperti ini, telah berkembang sekurang-kurangnya dua model pemahaman, penafsiran, atau ijtihad yang berbeda. Pertama, model yang bersifat skipturalistik, yang lebih menitikberatkan pada teks-teks doktrin. Kedua, model yang bersifat iebih substansialistik yang menekankan pada makna dan isi atau konteks. Penafsiran pertama cenderung literalis dan legal-formalistik, karena lebih memusatkan perhatian pada regulasi kehidupan yang dipersepsikan sesuai dengan norma-norma agama. Barangkali karena aksentuasinya pada persoalan halal-haram, penafsiran tekstual mereka terkesan rigid.
Sebaliknya, model kedua cenderung berupaya menyelami (meminjam istilah Fazlur Rahman) elan dasar sebagai sumber moral dari pesan-pesan keagamaan. Teks-teks doktrinal dipahami dalam konteks dialektika budaya dan sejarah sehingga pesan yang lebih asasi perlu digali guna menguak esensi substansialistiknya. Dan, esensi ajaran hanya mungkin terkuak manakala prinsip-prinsip universalnya “dibunyikan” dan menjadi kepedulian, melebihi kepedulian terhadap hal-hal yang bersifat partikular. Dengan semangat itu, penafsiran model ini mengedepankan–sampai batas tertentu–rasionalitas atas pemahaman teks-teks keagamaan.
Jika ditarik jauh ke masa-masa formatik fslam, kedua penafsiran itu bukan tanpa preseden. Sejak periode sahabat hingga terbentuknya mazhab-mazhab fikih dan kalam, sebenamya telah muncul ragam penafsiran yang kurang lebih sama. Sebut, misalnya, lahirnya dua kubu pemikiran yang saling berseberangan, yakni madrasah ahl al-hadits di Madinah, dan ahl ra’y di Baghdad. Kelompok ahl al-hadits, sesuai namanya, cendenang merujukkan setiap persoalan pada hadis, dan mereka hanya mau memberikan fatwa hukum jika ada hadis secara eksplisit menegaskan status hukumnya. Mereka menolak memberikan fatwa hukum untuk kasus-kasus yang belum terjadi (iftiradhi). Salah satu karakteristik paling menonjol kelompok ini adalah rigiditas pemahaman teks, sehingga teks-teks (nushus) keagamaan dipahami secara literal. Dari kubu ini lahir, misalnya, mazhab Maliki dan Hanbali dengan semangat puritanismenya.
Sementara itu, kubu ahl ra’y banyak mempergunakan akal atau rasio. Kata al-ra’y sendiri berarti akal atau penalaran personal (personal reasoning). Mereka merupakan cikal-bakal lahirnya pemikiran rasional dalam lslam. Bagi mereka, teks-teks keagamaan bersifat ma’qulat al-ma’na. Artinya, semua teks punya makna yang bisa dipahami secara rasional, dan tugas para mujtahid untuk menggali makna-makna yang tersembunyi di balik teks-teks tersebut. Menarik untuk dicatat mazhab Hanafi yang rasional itu lahir dari kubu ini.
Kenapa madrasah ahl al-hadits berkembang di Madinah, sementara al-ra’y di Baghdad? Para penulis Tarikh al-Tasyri’ (Sejarah Hukum Islam) berpendapat, bahwa faktor sosiologis dan geografis banyak memberikan ruang bagi kedua kubu itu untuk berkembang. Selain sebagai sumber hadis, Madinah juga belum begitu berkembang. Kehidupan di sana masih cukup sederhana dan bersahaja, sehingga mereka cukup dengan merujukkan setiap kasus yang muncul kepada hadis atau praktik generasi IsIam awal. Sementara, Baghdad selain sebagai pusat kekuasaan, juga menjadi titik pertemuan antar berbagai peradaban. Kenyataan itu, tentu saja, menghadirkan banyak persoalan yang tidak lagi dapat ditampung oleh hadis-hadis yang tersedia. Penalaran atas teks menjadi kebutuhan yang tak terelakkan (inevitable). Namun, lebih dari itu semua, teks-teks keagamaan sendiri memang memberikan ruang cukup luas bagi upaya penafsiran dan pengembangan, sesuai dengan perkembangan dan perbedaan waktu dan tempat.
Beyond Teologi dan Penafsiran Keagamaan
Namun demikian, terdapat nuansa yang laik dicermati manakala kenyataan sosiologis ini disandingkan dengan fenomena radikalisme Islam yang menjamur belakangan. Berbeda dengan ahl al-hadits yang menemukan lahan suburnya di daerah yang sederhana dan bersahaja (badawah), penafsiran “hitam-putih” kelompok-kelompok Islam garis keras justru lahir di kota-kota atau, minimal, subkota. Dengan kata lain, radikalisme Islam justru lahir dari persentuhan dengan modernitas, jika kebutuhan untuk mengembangkan tafsir rasional di kalangan sebagaimana dikemukakan tadi, lahir karena pertautan Islam dengan perkembangan peradaban di pusat kekuasaan Islam, saat ini tafsir skripturalistik di kalangan Islam radikal juga muncul sebagai respons terhadap modernisasi dan globalisasi yang terjadi di kalangan masyarakat Muslim kota.
John L Esposito, guru besar di Georgetown University yang banyak menulis tentang Islam, menyebut kebangkitan global Islam saat ini tidak hanya bersifat religius, tapi juga kebangunan sosial dan politik. Dalam tulisannya berjudul Religion and Global Affair, Esposito lebih jauh menegaskan bahwa semangat kembali kepada agama di banyak masyarakat Muslim mendapat injeksi dari hiruk-pikuk modernisasi dan globalisasi (SAIS Review, 1998). Bagi Esposito, kebangkitan Islam saat ini dapat dibaca sebagai pencarian identitas, otentisitas, dan komunitas di tengah himpitan ketidakadilan dunia yang membelenggu dunia Muslim. Di banyak negara Muslim, terutama di Timur Tengah, radikalisme Islam muncul sebagai perlawanan kontraproduktif terhadap perlakuan tidak adil atau penyumbatan aspirasi politik oleh rezim otoriter. Ironinya, sikap otoritarian rezim-rezim itu justru didukung Amerika Serikat yang selalu mengampanyekan penolakan terhadap otoritarianisme. Karena itu, slogan mereka ditujukan untuk menjungkalkan rezim sembari menyerukan Islam sebagai solusi.
Esposito juga memandang bahwa revitalisasi agama semacam itu bisa menjadi sumber pembebasan tapi sekaligus juga ekstremisme kekerasan. la akan menjadi sumber ekstremisme kekerasan apabila ia diposisikan–atau memposisikan diri vis-a-vis hegemoni global yang tidak memberikan ruang gerak, kecuali ketidakberdayaan. Dalam konteks itu, terabaikannya kezaliman Israel di Palestina, sengketa Kashmir, konflik di Afghanistan, hingga kesewenang-wenangan Amerika Serikat terhadap Irak, dipastikan menyuburkan radikalisme keagamaan. Sulit rasanya kita akan mampu membendung radikalisme agama, apabila akar persoalannya kita abaikan begitu saja. Terdapat kekecewaan dan kefrustrasian yang akut di balik tafsir keagamaan yang menjustifikasi penggunaan kekerasan. Kasus Mesir, barangkali, dapat lebih memperjelas suasana psikologis itu. R Hrair Dekmejian dalam Islam in Revolution: Fundamentalism in the Arab World, mencatat bahwa banyak dari mereka yang bergabung ke dalam kelompok-kelompok radikal seperti al-Jihad berasal dari mantan tawanan (yang ditangkap tanpa sebab yang jelas) yang mendapat perlakuan kasar dan pemukulan (Dekmejian, 1985: h.106). Padahal ketika ditangkap, mereka tak lebih dari kelompok yang bersuara “beda” dengan rezim penguasa, namun kemudian menjadi sedemikian radikal hingga tampil sebagai pelaku pengeboman terhadap sejumlah simbol modernitas, seperti tempat turisme, sentra perekonornian, dan seterusnya.
Kenyataan ini, tentu saja, menguatkan keyakinan bahwa radikalisme Islam merupakan fenomena modern. Berbagai studi sosiologis atas radikalisme Islam sampai pada satu kesimpulan: mereka yang bergabung ke dalam kelompok itu berasal dari lingkungan intelektual perkotaan. Islam radikal adalah kelompok yang modern secara sosiologis dan berasal dari sektor-sektor masyarakat modernis. Kehadiran mereka bukan sekadar reaksi terhadap modernisasi masyarakat Muslim, melainkan justru produk dari modernisasi yang tidak menyisakan tempat bagi mereka untuk berkiprah secara fair (Sivan, 1985).
Di kalangan sarjana dan akademisi Barat, terdapat dua bentuk kekhawatiran dari menjamurnya ektremisme atau radikalisme Islam di Indonesia. Pertama, ekstremisme Islam menggerogoti demokrasi. Mungkin saja ekstremisme Islam mengikuti jalur prosedural untuk mencapai kekuasaan, seperti mendirikan partai dan mengikuti pemilu, namun manakala merela telah berada di kekuasaan mereka akan menghancurkan institusi demokrasi itu sendiri. Kasus Aljazair sering dijadikan contoh untuk menjelaskan kecenderungan ini. Front Penyelamat Islam (FIS) memang memenangkan Pemilu, namun karena sikapnya yang anti-pluralisme ia dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi.
Kedua, politisasi ideologi dan simbol Islam ke dalam kehidupan publik masyarakat Muslim. Hal ini tampak di atas panggung politik di Tanah Air setelah runtuhnya rezim Soeharto. Agama didorong sedemikian rupa sebagai vote getter (peraih suara), sehingga konflik dan ketegangan yang sesungguhnya bersifat politis kemudian beraroma agamis. Kenyataan ini tentu sangat berbahaya karena telah menyebabkan agama sebagai variabel pembeda, bukannya variabel perekat bagi keluhuran hidup umat manusia.
Mark R Woodward, Indonesianis dari Arizona State University, menyebutkan bahwa salah satu fenomena setelah jatuhnya Soeharto adalah antusiasme terhadap kehadiran Islam politik. Namun demikian, Woodward menambahkan, munculnya retorika Islamisme ini justru merupakan sandungan terbesar (the most troubling development) bagi perkembangan Indonesia baru (SAIS Review, 2001). Sebagaimana di tempat lain, ekstremisme Islam di Indonesia juga memiliki pandangan konspirasional mengenai politik global. Diskusi-diskusi tentang rencana Barat untuk menghancurkan Islam dapat dijumpai di berbagai mesjid dan selebaran. Wacana ini menuding Barat Kristen dan Yahudi sebagai sumber konflik dan stagnasi ekonomi. Karena itu terbentuknya khilafah yang didasarkan pada syariah diyakini sebagai satu-satunya solusi terhadap problem masyarakat Muslim.
Kekhawatiran pertama perlu dibuktikan sejarah. Sejauh ini masyarakat polilik yang membawa bendera Islam tidak dapat dikatakan telah menggerogoti demokrasi. Jika kita hendak bersikap demokrat sejati, seyogianya kita memberi ruang yang sama kepada semua ekspresi keagamaan untuk membuktikan klaimnya dalam pemilu yang kontestatif. Bukankah pemilu memang dimaksudkan untuk membuktikan klaim-klaim itu? Jika kelompok Islam politik mengklaim sebagai pembawa tunggal aspirasi umat Islam, biarlah mereka membuktikan klaim itu dalam pemilu yang fair.
Terhadap kekhawatiran kedua, persoalannya: dapatkah Islam politik di Indonesia membuktikan dirinya sebagai kekuatan anti-kekerasan? lni pun harus dibuktikan dalam sejarah. Sepanjang mereka tidak melakukan pelanggaran hukum, isu agama dalam politik adalah sesuatu yang absah. Di negara-negara demokrasi maju pun, arena politik bukanlah wilayah “haram” bagi agama. Perlu dicatat, kekerasan politik di Indonesia–sebagaimana di tempat lain–dimotivasi oleh pertimbangan politik. Kendati mereka yang menganut Islam politik sepakat tentang relevansi prinsip-prinsip Islam untuk menyelesaikan problem kontemporer, namun mereka berbeda dalam metode, gaya, dan isu substansif. Salah satu ketidaksepakatan di kalangan Islam radikal adalah tentang penggunaan instrumen kekerasan.
Ada dua poin penting mengenai distingsi antara gerakan moderat dan radikal atau ekstremis. Pertama, distingsi yang didasarkan pada bagaimana gerakan tersebut menyikapi tatanan politik yang sudah ada. Gerakan moderat memilih untuk melakukan perubahan melalui cara-cara gradual dan damai, sementara kaum ekstremis siap menggunakan segala cara yang diperlukan untuk mengimplementasikan visi Islam mereka. Kedua, kalangan moderat dan ekstremis tidaklah monolitik melainkan sangat beragam baik dalam hal jumlah anggota, agenda, ataupun aktivitas. Di antara kelompok-kelompok Islam radikal terdapat mereka yang aktif dalam kerja-kerja sosial untuk menyantuni kaum fakir-miskin, tetapi ada juga yang hanya bisa menyediakan amunisi untuk perang. Dan kelompok yang melakukan kekerasan itu pun sebenamya minoritas di dalam lingkup Islam politik yang jauh lebih luas.
Memang, ulah segelintir minoritas ini cukup fatal, karena bukan saja merusak nama baik seluruh negeri atau kaum Muslim, tapi juga merusak citra mayoritas Islam politik itu sendiri. Di tengah desakan untuk menyucikan diri dari segala tuduhan yang diskriminatif paska tragedi Bali, kelompok Islam radikal di Indonesia dituntut melakukan perlawanan terhadap segala bentuk aktivitas yang dapat menjurus pada penggunaan kekerasan untuk mewujudkan ambisi politik. Tentu saja dalam ini juga termasuk tidak memberi ruang gerak bagi berkembangnya segelintir minoritas itu.[]
Sekilas tentang Bahtiar Effendy
Bahtiar Effendy lahir di Ambrawa, Jawa Tengah, pada 10 Desember 1958. Dia mendalami Islam di Pondok Pesantren Pabelan, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. Di tahun terakhirnya sebagai santri, dia mendapatkan kesempatan untuk menempuh studi menengah di Columbia Falls High School, Amerika Serikat, selama satu tahun setelah mendapatkan beasiswa American Field Service (AFS). Sepulangnya dari Amerika, dia menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta (1979-1985). Dia melanjutkan studi pascasarjana di Ohio University, Athens, Amerika, dan Ohio State University, juga di Amerika, yang mengantarkannya meraih gelar doktor di bidang ilmu politik.
[Sumber Foto: Rakyat Merdeka Online]