The Two Popes, film sarat dialog teologis dan ideologis tapi dikemas cerdas sekaligus jenaka. Mencoba menggambarkan sisi manusiawi dua paus. Tontonan layak menjelang Natal.
“Uh…lucu sekali.”
Suara operator di ujung telepon itu langsung menutup pembicaraan. Dia tak percaya saat pemesan tiket pesawat mengaku bernama Jorge Bergoglio — Uskup Agung Buenos Aires yang baru saja ditahbiskan sebagai Paus Fransiskus.
Tak salah memang. Siapa pula bakal percaya pemimpin spiritual 1,2 miliar umat Katolik memesan tiket pesawat sendiri lewat telepon. Kuria — badan pemerintahan Takhta Suci Vatikan — selalu siap melayani Sang Paus, apatah lagi cuma memesan tiket.
Itulah adegan pembuka The Two Popes, film anyar arahan sutradara asal Brasil, Fernando Meirelles. Peraih nominasi Oscars (City of God, 2002) dan Golden Globes (The Constant Gardener, 2005) itu hendak menggambarkan pewaris Santo Petrus yang berbeda dari yang sudah-sudah — terutama dari pendahulunya, Paus Benediktus XVI.
- Judul Film: The Two Popes
- Sutradara: Fernando Meirelles
- Skenario: Anthony McCarten
- Pemeran: Anthony Hopkins, Jonathan Pryce
- Rilis: 20 Desember 2019 (Netflix)
- Durasi: 2 Jam 5 Menit
Bergoglio (Jonathan Pryce) hidup sederhana. Dia uskup yang lebih nyaman berkhotbah di kampung-kampung Buenos Aires, bekerja untuk orang miskin daripada mengikuti ritual Vatikan, dan menolak tinggal di kediaman resmi keuskupan. Saat menjadi Paus, dia juga menolak mengenakan atribut tradisional kepausan yang linuhung itu. Dia juga progresif dalam pemikiran: mempertanyakan tradisi selibasi; bersimpati kepada gay; peduli akan pemanasan global; dan resah akan ketidakadilan sosial.
Jangan lupa! Dia juga Paus yang santai: menyukai Tango, fan sepakbola (klub favoritnya adalah San Lorenzo), dan — seperti digambarkan dalam film — suka menyiulkan irama lagu “Dancing Queen” milik ABBA.
Benediktus XVI adalah kebalikan. Paus Emeritus asal Jerman ini digambarkan pribadi kaku. “Mereka menjulukiku Rottweiler Tuhan,” kata Benediktus XVI yang diperankan aktor kawakan Anthony Hopkins. Ratzinger — demikian nama lahir Benediktus — memang dua dekade menjadi “anjing penjaga” dogma dan teologi Vatikan selama periode Paulus II.
Dua kutub berlawanan itu dipertemukan Meirelles dalam scent panjang dialog di Kastil Gandolfo, kediaman musim panas Benediktus di pinggiran selatan Roma. Benediktus mempersoalkan sejumlah pernyataan Bergoglio yang menurutnya merupakan kritik terhadap kepemimpinannya.
Terjadilah dialog ideologis yang intens di antara keduanya (dari soal hidup sederhana, selibasi, homoseksualitas sampai soal pemberian komuni kepada umat yang bercerai). Tapi, Anda dijamin tak bakal bosan. Bahkan bisa jadi Anda tersenyum dan tercerahkan. Itu karena penulis skenario Anthony McCarten (The Theory of Everything, Darkest Hour, Bohemian Rhapsody) menyajikannya secara simpel, cerdas, sekaligus jenaka.
Apakah Yesus membangun tembok? Wajah-Nya penuh belas kasih. Makin banyak pendosa, makin hangat sambutan-Nya.
Paus Fransiskus (Jonathan Pryce) dalam The Two Popes
Sebagian kalangan Katolik mungkin tak nyaman dengan gambaran Meirelles. Bahkan, dalam sebuah adegan, Bergoglio seakan sedikit kecewa dengan terpilihnya Ratzinger pada Konklaf Kepausan 2005. Dia menyebut Gereja tampak enggan berubah. Hal ini jugalah yang menjadi alasan Bergoglio mengajukan pengunduran diri sebagai uskup agung pada 2012 (sebenarnya terjadi pada akhir 2011).
Di Konklaf, Bergoglio lebih memilih Uskup Agung Milan Carlo Martini yang reformis. Belakangan terungkap dialah justru pesaing kuat Ratzinger.
Catholic News Agency, misalnya, mengkritik The Two Popes terlalu berlebihan dalam menggambarkan perbedaan kedua Bapa Suci. Meirelles disebut mengeksploitasinya cuma demi dramatisasi. Benediktus XVI digambarkan mewakili masa lalu yang kaku, yang bergeming ketika zaman bergerak, sedangkan Francis merepresentasikan Gereja masa depan, institusi spiritual yang dibutuhkan oleh sebuah zaman yang terus berubah. Bagi CNA, penggambaran seperti itu — konservatisme versus progresivisme — sudah usang dan hanya akan mempertajam polarisasi di kalangan rohaniwan Katolik.
Lalu, akurasi juga dipersoalkan. Benediktus XVI tidaklah seambisius akan Takhta Suci seperti yang dipotret Meirelles. Alih-alih seperti itu, Ratzinger sebenarnya sudah lama ingin mengundurkan diri dari Gereja dan menikmati masa tuanya dengan menulis.
The Two Popes memang bukan film sejarah, dan Meirelles menyatakan itu jauh hari sebelum film secara global dirilis Netflix pada 20 Desember 2019. Film ini bisa dibilang imajinasi Meirelles dan McCarten tentang kedua paus. Skenarionya sendiri merupakan buku yang disiapkan McCarten untuk drama dengan judul sama.
Dialog di Gandolfo, misalnya, tak pernah terjadi. Memang benar Benediktus menyingkat liburan musim panasnya dan bergegas ke Roma setelah apa yang disebut “Vatikan Leaks” muncul ke permukaan pada akhir 2012 — beberapa bulan sebelum eks Uskup Agung Munich itu mengundurkan diri. Tapi, Bergoglio tak pernah dipanggil menghadap dan menemani Benediktus ke Roma.
Namun demikian, dialog-dialog imajiner itu bukan tanpa dasar. Tulisan dan khotbah keduanya menunjukkan bahwa Benediktus dan Fransiskus memang memiliki perbedaan pandangan — dan sebagiannya cukup mendasar.
Dalam skandal pelecehan seksual yang mendera Gereja, misalnya, Benediktus lebih memilih penyelesaian internal yang penuh kerahasiaan. Sebaliknya, Fransiskus menempuh jalan yang lebih tegas untuk memastikan siapa pun yang terlibat dan menutup-tutupinya mendapatkan ganjaran.
Lepas dari soal akurasi, The Two Popes punya elemen “teror mental” (meminjam istilah Putu Wijaya) yang tak boleh Anda lewatkan. Benediktus dan Fransiskus melakukan pengakuan dosa kepada satu sama lain. Keduanya lalu mendapatkan pengampunan dari satu sama lain.
Benediktus menyebut “Pastor Maciel” saat pengakuan dosa. Marcial Maciel adalah pastor di Meksiko. Namanya sempat harum sebelum skandal pelecehan seksual puluhan tahun terungkap. Korbannya tak sedikit, dan bahkan di antaranya dua anaknya sendiri (setelah meninggal pada 2008, Maciel diketahui memiliki hubungan dengan dua perempuan).
Benediktus merasa seharusnya dia tahu dan bertindak lebih cepat. Bukti-bukti ada di hadapannya. Tapi, dia masih menunggu suara Tuhan yang tak kunjung datang. Itu bukan karena Tuhan tak ada tapi karena Dia dari kejauhan berkata kepadanya, “Pergilah!”
Aku tak bisa lagi duduk di kursi Santo Petrus. Aku tak bisa merasakan kehadiran Tuhan. Aku tak mendengar suara-Nya. Aku tak bisa memerankan ini lagi.
Paus Benekditus XVI (Anthony Hopkins) dalam The Two Popes
Sementara itu, untuk Fransiskus, Meirelles memberi porsi lebih besar. Dia berkisah tentang “Dirty War” di Argentina pada 1973-1983. Saat itu, dia pemimpin Ordo Jesuit di sana.
Periode suram itu menempatkannya dalam situasi dilematis: antara menyelamatkan anggota ordo — dan pada gilirannya berkompromi dengan penguasa — atau bersuara menentang kelaliman junta militer. Dia akhirnya memilih yang pertama, dan akibatnya merasa “berdosa” karena membiarkan pembunuhan dan penghilangan paksa terjadi di depan mata. Sejumlah anggota ordo pun ikut ditangkap, dipenjarakan, disiksa, dan dibunuh.
Di manakah Kristus dalam peristiwa ini? Apa Dia minum teh di Istana Presiden? Atau Dia disiksa di penjara?
Paus Fransiskus (Jonathan Pryce) dalam The Two Popes
Tentu saja, semua itu imajiner. Tapi, imajinasi atau bukan sudah tak penting lagi.
The Two Popes menunjukkan figur-figur puncak spiritual itu juga bisa lemah, terguncang, dan gentar dalam momen tertentu. Bahwa perjalanan tak selamanya landai. Bahwa selalu ada kerikil dan bahkan batu karang, meski mereka pelayan Tuhan.
Momen-momen seperti itulah yang tampaknya hilang dalam kebanyakan biopic Indonesia. Tokoh pahlawan kita seolah manusia-manusia yang “maju tak gentar”. Tak ada kisah tentang pergulatan batin. Tak ada dilema moral.
Padahal, bukankah gentar itu manusiawi? Bukankah paus atau pahlawan-pahlawan itu juga manusia?
Kita semua menderita karena kesombongan rohani. Kita semua begitu. Kita harus ingat bahwa kita bukan Tuhan. Kita hidup di dalam Tuhan, tapi kita bukan Tuhan. Kita hanya manusia.
Paus Benediktus XVI (Anthony Hopkins) dalam The Two Popes.