JELAJAH LITERASI

Kesetaraan Gender dalam Islam

in Nukilan by

Oleh M Quraish Shihab

Dalam tulisan pengantar untuk Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Quran karya Nasaruddin Umar (Penerbit Paramadina, 1999), Quraish Shihab mengurai bagaimana al-Quran dan hadits memandang peran gender dalam keluarga dan kehidupan sosial. 

MENGURAIKAN persoalan kemitraan laki-laki dan perempuan dengan merujuk sumber ajaran dapat menimbulkan beda pendapat, apalagi memahami teks-teks keagamaan, bahkan teks apa pun, dipengaruhi oleh banyak faktor. Bukan saja tingkat pengetahuan tetapi juga latar belakang pendidikan, budaya serta kondisi sosial masyarakat. Ini belum lagi yang diakibatkan oleh kesalahpahaman memamahi latar belakang teks dan sifat dari bahasanya.

Di sisi lain berbicara tentang judul di atas, mengharus masyarakat manusia memandang perempuan. Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunnya al-Quran terdapat sekian banyak peradaban seperti Yunani, Romawi, India, dan Cina. Dunia juga menganl agama-agama seperti Yahudi dan Nasrani, Buddha, Zoroaster di Persia, dan sebagainya.

Pada puncak peradaban Yunani, perempuan merupakan alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Mereka diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera tersebut, dan para perempuan dipuja untuk itu. Patung-patung telanjang yang terlihat dewasa ini di Eropa adalah bukti dan sisa pandangan itu.

Peradaban Romawi menjadikan perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan pindah ke tangan suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh. Ini berlangsung hingga Abad ke-5 Masehi. Segala hasil usaha perempuan menjadi milik keluarganya yang laki-laki.

Pada zaman Kaisar Konstantin, terjadi sedikit perubahan dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi perempuan dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarganya (suami/ayah).

Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari yang lain. Hak hidup bagi seorang perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya. Istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Tradisi ini baru berakhir pada Abad ke-17 Masehi.

Dalam pandangan Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam diusir dari surga. Pandangan masyarakat Kristen — masa lalu — tidak lebih baik dari yang disebut di atas. Sepanjang Abad Pertengahan, nasib perempuan tetap sangat memprihatinkan bahkan sampai dengan tahun 1805 perundang-undangan Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya dan sampaI dengan tahun 1882 perempuan Inggris belum lagi memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh dan hak menuntut ke pengadilan. Ketika Elizabeth Blackwill, dokter perempuan pertama) menyelesaikan studinya di Geneve University pada tahun 1849, teman-temannya yang bertempat tinggal dengannya memboikotnya dengan dalih bahwa perempuan tidak wajar memperoleh pelajaran, bahkan ketika sementara dokter bermaksud mendirikan institut kedokteran untuk perempuan di Philadelphia, Amerika, ikatan dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar di sana. Demikian selayang pandang kedudukan perempuan sebelum, menjelang, dan sesudah kehadiran al-Quran.

Pandangan terhadap perempuan seperti digambarkan di dalam buku ini (Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Quran), sedikit atau banyak pemahaman sementara ulama terhadap teks-teks keagamaan Islam, bahkan sebagian dari apa yang dianggap ajaran agama, justru bersumber dari budaya dan pandangan tersebut. lni dikuatkan lagi dengan banyaknya bentuk maskulin dalam teks-teks keagamaan Islam, yang disalahpahami tujuannya oleh sementara pihak.

Kodrat Laki-laki dan Perempuan

Dalam pandangan agama Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan kodrat. “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar.” (QS. al-Qamar 54:49). Oleh para pakar, qadar di sini diartikan sebagal: “ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi segala sesuatu,” dan itulah kodrat. Dengan demikian, laki-laki atau perempuan, sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Namun demikian, seperti ditulis mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar, Syeikh Mahmud Syaltut:

“Tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki, kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan.”

Ayat al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam al-Quran surah al-Nisa/4:1, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”

Yang dimaksud dengan nafs di sini menurut banyak ulama adalah Adam dan pasangannya adalah istri beliau, Hawa. Pendapat ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki. Tanpa laki-laki, perempuan tidak akan ada. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang berpendapat bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya demikian. Ini agaknya bersumber dari sebuah teks keagamaan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara metafora, bahkan ada yang menolak kesahihan Hadits tersebut.

Kalaupun dapat diterima — untuk tidak mendiskusikan lebih panjang bahwa asal kejadian Hawa dari tulang rusuk Adam — maka harus diakui bahwa ini hanya terbatas pada Hawa saja, karena anak cucu mereka, baik perempuan maupun lelaki, berasal dari perpaduan sperma dengan ovum perempuan.

Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain.”

Demikian penegasan al-Quran surah Ali Imran/3:195, yang berarti sebagian kamu (laki-laki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma laki-laki dan sebagian yang lain (yakni perempuan) demikian juga halnya. Karena itu ditegaskan-Nya: “Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan. (QS. al-Baqarah/2:159).

Perbedaan Perempuan dengan Laki-laki

Adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki tidak dapat disangkal, itulah kodrat masing-masing. Perbedaan tersebut paling tidak dari segi biologis. Al-Quran mengingatkan:

Janganlah kamu iri hati terhadap keistimewaan yang dianugerahkan Allah terhadap sebagian kamu atas sebagian yang lain. Laki-laki mempunyai hak atas apa yang diusahakannya dan perempuan juga mempunyai hak atas apa yang diusahakannya.” (QS. al-Nisa/4:32)

Ayat di atas mengisyaratkan perbedaan, dan bahwa masing-masing memiliki keistimewaan. Walaupun demikian, ayat ini tidak menjelaskan apa keistimewaan dan perbedaan itu. Namun dapat dipastikan bahwa perbedaan yang ada tentu mengakibatkan perbedaan fungsi utama yang harus mereka masing-masing emban. Oleh karena itu, atas dasar fungsi yang harus diemban.

Di sisi lain dapat pula dipastikan tiada perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan kemampuan berpikir antara kedua jenis kelamin itu. Al-Quran Ulul al-Bab, yaitu yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi, zikir dan pikir yang dapat mengantar manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Ulul al-Bab tidak terbatas pada kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan, karena setelah al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat Ulul al-Bab ditegaskannya bahwa: “Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan.” (QS. Ali Imran/3:195)

Ini berarti bahwa kaum perempuan sejajar dengan laki-laki dalam potensi intelektualnya, mereka juga — sebagaimana laki-laki — dapat berpikir, mempelajari, kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka pikirkan dari alam raya ini.

Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan

Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah. Memang ada ayat yang menegaskan bahwa: “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri).” (QS. al-Nisa/4:34), namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi al-Quran memerintahkan untuk tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dan di sisi lain al-Quran memerintahkan pula agar suami dan istri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama. Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan “derajat tingkat yang lebih tinggi” dari perempuan. Bahkan ada ayat yang mengisyaratkan tentang “derajat” tersebut, yaitu firman-Nya: “Para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf, akan tetapi para suami mempunyai satu derajat/tingkat atas mereka (para istri).” (QS. al-Baqarah/2:228)

Derajat itu — menurut para ulama — adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri, karena itu — tulis Syeikh al-Mufassirin guru besar para penafsir Imam al-Thabari:

“Walaupun ayat ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah anjuran bagi para suami untuk memperlakukan istrinya dengan sifat terpuji, agar mereka dapat memperoleh derajat itu. Keberhasilan perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak pihak lain. Suami berkewajiban memperhatikan hak dan kepentingan istrinya, istri pun berkewajlban untuk mendengar dan mengikutinya, tetapi di sisi lain istri berhak mencari yang terbaik ketika melakukan diskusi.” Demikian lebih kurang tulis al-Imam Fakhruddin al-Razy.

Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa lelaki bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena itu laki-laki yang tidak memiliki kemampuan material dianjurkannya untuk menangguhkan perkawinan. Namun bila perkawinan telah terjalin dan penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka atas dasar anjuran tolong menolong yang dikemukakan di atas, istri hendaknya dapat membantu suaminya untuk menambah penghasilan.

Kemitraan Laki-laki dan Perempuan

Jika demikian halnya, maka pada hakikatnya hubungan suami dan istri, laki-laki dan perempuan adalah hubungan kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat al-Quran menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan, suami dan istri, sebagai hubungan saling menyempurnakan, yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan. Hal ini diungkapkan Kitab Suci al-Quran dengan istilah “ba’dhukum mim ba’dhi”, sebagian kamu (Iaki-laki) adalah sebagian dari yang lain (perempuan). Istilah ini atau semacamnya dikemukakan Kitab Suci al-Quran baik dalam konteks uraiannya tentang asal kejadian laki-laki dan perempuan (QS. Ali Imran/3:195) maupun dalam konteks hubungan suami-istri (QS. al-Nisa/4:21) serta kegiatan-kegiatan sosial (QS. al-Tawbah/9:71). Bahkan kemitraan dalam hubungan suami-istri dinyatakannya sebagai kebutuhan timbal balik: “Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka.” (QS. al-Baqarah/2:187), sedang dalam kegiatan sosial digariskannya, “Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah yang mungkar.” (QS. al-Tawbah/9:71)

Pengertian “menyuruh mengadakan yang makruf” mencakup segala segi perbaikan dalam kehidupan, termasuk memberi nasehat/saran kepada penguasa, sehingga dengan demikian, setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar mampu menjalankan fungsi tersebut atas dasar pengetahuan yang mantap.

Mengingkari pesan ayat ini, bukan saja mengabaikan setengah potensi masyarakat, tetapi juga mengabaikan petunjuk Kitab Suci.

Suami dan Istri

Di atas telah dikemukakan bahwa keistimewaan kodrati yang dimiliki masing-masing mengantar kepada perbedaan fungsi dan peranan utama yang dituntut dari laki-laki dan perempuan.

Islam mewajibkan laki-laki sebagai suami untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Tetapi ini bukan berarti perempuan sebagai istri tidak berkewajiban — secara moral — membantu suaminya mencari nafkah. Pada masa Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya, sekian banyak perempuan/istri yang bekerja. Ada yang bekerja sebagal perias pengantin, seperti Ummu Satim binti Malhan yang merias pengantin, antara lan Shafiyah binti Huyay, istri Nabl Muhammad, bahkan istri Nabi Muhammad, Zainab binti Jahesy juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit binatang, dan dari hasil usahanya itu beliau bersedekah. Raithah, istri sahabat Nabi, Abdullah ibn Mas’ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu, tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini.

Atas dasar keistimewaan kodrati masing-masing pula, maka perempuan diberl tanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya, tetapi perlu digarisbawahi pula bahwa mendidik anak bukanlah merupakan tugas ibu semata-mata, tetapi juga bapak. Bahkan Nasaruddin Umar, penulis buku ini, tidak menemukan satu ayat pun dalam al-Quran yang secara eksplisit memerintahkan perempuan untuk mendidik anak-anaknya, tetapi ayahlah yang diperintahkan untuk memelihara/melindungi keluarganya dari segala yang dapat menjerumuskan mereka ke jurang kebinasaan.

Memang ibu dianjurkan untuk menyusui anak-anaknya, tetapi untuk maksud tersebut sang ayah berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan istri, bahkan ayah dibebani “memberi upah” sang ibu dalam rangka penyusuan itu, jika ibu meminta upah yang wajar. Dalam al-Quran, ditemukan uraian tentang peranan Bapak dalam mendidik anaknya. Bacalah, misalnya, bagaimana Luqman menasehati dan mendidik anaknya (QS. Luqman/31:13-14-15 ).

Merujuk kepada kehidupan rumah tangga Rasul Muhammad SAW ditemukan sekian banyak riwayat yang menguraikan partisipasi aktif beliau dalam berbagai urusan rumah tangganya. Hamudah menguraikan dalam bukunya al-Rasul fil Bayt (Rasul di rumahnya) bahwa: “Beliau selalu membantu keluarganya bahkan beliau sendiri yang menjahit bajunya yang robek, atau alas kakinya yang putus, beliau sendiri juga yang memeras susu kambingnya dan melayani dirinya sendiri. Beliau bahkan membantu keluarganya dalam tugas-tugas mereka dan menyatakan bahwa partisipasi suami dalam pekerjaan istri (di rumah) dinilai sebagai sedekah.” Sekian banyak hadits yang meriwayatkan bagaimana beliau memperhatikan anak dan cucunya, bahkan menggendongnya. Diriwayatkan bahwa satu ketika beliau menggendong cucunya, dan ternyata sang cucu kencing membasahi bajunya. Beliau menegur ibu yang merenggut dengan kasar sang anak yang digendongnya itu sambil bersabda: “Ini (menunjuk kepada pakaiannya yang basah) air dapat membersihkannya, tetapi apa yang dapat menjernihkan kekeruhan hati anak ini akibat renggutanmu yang kasar.”

Anak Perempuan dan Laki-laki

Pada masa Jahiliyah, anak-anak perempuan tidak diterima sepenuh hati oleh masyarakat secara umum. Al-Quran merekam pandangan mereka mulai dari yang paling ringan yaitu bermuka masam jika disampaikan tentang kelahiran anak perempuan (QS. al-Nahl/16:58) sampai kepada yang paling parah yaitu membunuh bayi-bayi perempuan (QS. al-Takwir/81:9). Kecaman-kecaman itu antara lain dimaksudkan untuk mengantar mereka agar menyadari bahwa kedua jenis kelamin anak masing-masing memiliki keistimewaan dan tidaklah yang satu lebih utama dari yang lain. Bahkan dalam literatur agama ditemukan ungkapan: “Jika seorang anak lahir, Allah berfirman kepada anak-anak laki-laki, keluarlah dan bantulah ayahmu, dan bila perempuan, Allah berfirman, keluarlah dan Allah akan membantu ayahmu.” Ungkapan ini untuk merangsang kaum muslimin agar menyambut kehadiran anak-anak perempuan.

Nabi Muhammad SAW mengingatkan para orang tua agar berlaku adil dan tidak membeda-bedakan anak atas dasar jenis kelaminnya. Di sisi lain, baik anak laki-laki maupun perempuan berkewajiban menghormati orang tuanya dan membantunya sebatas kemampuan mereka. Namun demikian, digarisbawahi antara lain oleh pakar al-Quran, Rasyid Ridha, bahwa bukanlah termasuk dalam pengertian berbakti kepada ibu-bapak, perIakuan yang mengakibatkan tercabutnya hak-hak pribadi anak.

Penutup

Harus diakui bahwa agama Islam tidak merinci pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Islam hanya menetapkan tugas-tugas pokok masing-masing, sambil menggariskan prinsip kesejajaran dan kemitraan atas dasar musyawarah dan tolong menolong. Ketiadaan rincian ini mengantar setiap pasangan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakatnya, serta kondisi masing-masing keluarga. Tidaklah aib atau terlarang dalam pandangan agama buat seorang perempuan untuk melakukan satu pekerjaan “kasar” demi memperoleh penghasilan, sebagaimana halnya Zainab yang disebut di atas. Dan atas dasar ini pula, tidak dapat dinilai kecuali terpuji, seorang suami yang membantu istrinya dalam urusan rumah tangga, misalnya dengan mencontoh Nabi Muhammad SAW yang “menjahit sendiri pakaiannya yang robek, atau menyiapkan minum untuk anak dan istrinya”.

Buku yang ditulis saudara Nasaruddin Umar ini mempunyai beberapa kekhususan yang jarang, dan bahkan belum pernah ditemukan di dalam buku-buku lain. Kekhususan itu antara lain berusaha memahami ayat-ayat gender dengan menggunakan metode komperehensif, yakni memadukan antara metode tafsir kontemporer dan metode ilmu-ilmu sosial. Analisis semantik, semiotik, dan hermeneutik ikut juga mempertajam analisis pembahasan buku ini. Banyaknya literatur standar yang digunakan dan didukung pengalaman luas penulisnya yang pernah melakukan penelitian di sejumlah negara menjadikan buku ini memiliki arti penting. Namun demikian, buku ini masih terkesan penelitian awal yang memerlukan penelitian lanjutan. Ada beberapa persoalan yang diungkap di dalam buku ini tetapi belum dibahas secara tuntas. Kita berharap agar penulis buku ini melanjutkan penelitiannya, kalau perlu, menyusun kitab tafsir ayat-ayat yang berwawasan gender.[]

Dinukil dari: Nasaruddin Umar. 1999. Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Quran. Jakarta: Paramadina.

Sumber foto: Liputan6.com

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Nukilan

Ziarah Lebaran

Cerpen Umar Kayam “Ziarah Lebaran” merupakan salah satu dari 17 “Cerpen Pilihan

Terbang

Cerpen Ayu Utami Dengan berlatarkan kecemasan terkait keamanan transportasi udara, Ayu Utami

Pemintal Kegelapan

Cerpen Intan Paramaditha Dalam cerpen ini, Intan Paramaditha meramu horor dan misteri

Cinta Sejati

Cerpen Isaac Asimov Anda yang pernah mencoba aplikasi atau situs web kencan
Go to Top