Bandit Saints of Java: Perlawanan dari Petilasan

in Wacana by

Dalam Bandit Saints of Java: How Java’s eccentric saints are challenging fundamentalist Islam in modern Indonesia, George Quinn menemukan paradoks. Tingkat kunjungan peziarah ke petilasan dan makam orang-orang yang disakralkan di Jawa dan Madura meningkat, padahal corak keberagamaan muslim di Indonesia semakin cenderung mengarah kepada ortodoksi, dan bahkan fundamentalisme. Bagaimana itu bisa terjadi mengingat tradisi ziarah lekat dengan praktik sinkretis dan inklusif?

Pukul setengah empat petang jelang malam Jumat, empat orang duduk bersila di sisi sebuah makam. Sejurus kemudian, orang yang paling depan mulai komat-kamit merapal doa dalam bahasa Jawa dan Arab. Dua orang tampak terhanyut: memejamkan mata, menengadahkan telapak tangan, dan membaca “Amin”. Sementara seorang lainnya justru lebih asyik mengamati prosesi tersebut. 

Lepas sepuluh menit, prosesi selesai. Sang juru kunci makam yang memimpin doa menyerahkan beberapa kelompak kembang yang diambil dari atas pusara dan sebuah dupa kecil kepada dua orang tadi. Dia menyarankan mereka agar meletakkan kembang itu di tiap sudut rumah.

Hari mulai gelap. Puluhan orang lainnya mulai berbaris, menunggu giliran memberi penghormatan serupa kepada empunya makam: Sunan Panggung atau kerap disebut warga sekitar dengan “Mbah Panggung”. Kuburannya berada dalam bangunan segiempat berdinding kayu dan beratapkan asbes. Bangunan itu berdiri di tengah pemakaman umum di Tegal, Jawa Tengah, cuma satu kilometer sebelah utara alun-alun kota.

Di malam Jumat Kliwon, peziarah bisa mencapai ratusan. Mereka datang menabur bunga, membakar kemenyan, dan berdoa agar Tuhan memenuhi hajat mereka melalui perantaraan Sang Wali. Hajat mereka  bisa macam-macam: rezeki, jodoh, jabatan, atau sekadar keselamatan dan kesehatan.

Petilasan Sunan Panggung cuma salah satu dari banyak situs keramat yang dikisahkan George Quinn dalam bukunya Bandit Saints of Java: How Java’s Eccentric Saints are Challenging Fundamentalist Islam in Modern Indonesia–diterbitkan Monsoon Books, Ltd, pada 2018. Sejak 1990-an, peneliti kebudayaan Jawa dari Australian National University itu menjelajahi kuburan, pasarean, petilasan, pasujudan, atau apa pun namanya dari jejak orang-orang yang disakralkan di sepanjang Jawa dan Madura. Dia naik-turun gunung, keluar-masuk hutan, dan blusukan ke kampung-kampung dari Tanjung Priok di Jakarta hingga Sumenep di ujung timur Madura.

  • Judul: Bandit Saints of Java: How Java’s Eccentric Saints are Challenging Fundamentalist Islam in Modern Indonesia
  • Penulis: George Quinn
  • Penerbit: Monsoon Book Ltd
  • Tahun Terbit: 2018
  • Tebal: 395 halaman

Sebagian besar petilasan keramat yang dia datangi jarang diketahui banyak orang. Figur keramat penghuninya hidup nyeleneh. Di antara mereka, ada sufi eksentrik, begal, dan bahkan seorang gay.

Dalam penjelajahannya, Quinn menyaksikan sendiri bagaimana ratusan hingga ribuan orang per harinya–terutama di situs-situs sakral Wali Songo–menziarahi petilasan keramat. Dia mengutip data yang dikurasi David Amstrong. Ziarah ke makam-makam suci di Jawa Timur saja meningkat 873 persen dari kurang 500 ribu orang per tahun pada 1988 menjadi 3,5 juta orang per tahun pada 2005.

Sementara itu, pada saat yang sama para ahli seperti bersepakat bahwa gelombang Islam puritan sedang menyapu Jawa. Merle Calvin Ricklefs, misalnya, dalam Islamisation and Its Opponents in Java: c. 1930 to the present (2012), menemukan bahwa mayoritas muslim Jawa mulai mengadopsi orientasi keberagamaan yang rigid dan bernuansa internasional sejak dekade awal Abad ke-21, meninggalkan nuansa tradisi lokal yang lebih luwes. Jika menggunakan terminologi santri (kaum putihan) dan abangan (merah) yang diperkenalkan Clifford Geertz dalam studinya The Religion of Java (1960), santri saat ini dipandang mendominasi corak keislaman sedangkan praktik abangan yang setengah abad sebelumnya berpengaruh seperti hilang tak berjejak.

Di sinilah, Quinn menemukan sebuah paradoks. Bagaimana bisa praktik pemujaan orang-orang suci yang identik dengan abangan bisa menjamur, padahal santri kini menjadi arus utama muslim di Indonesia?

***

Tapi, tinggalkan dulu jawaban atas pertanyaan itu. Sayang jika kita melewatkan porsi terbesar dari buku ini: kisah unik dan menakjubkan yang jarang didengar banyak orang tentang wali-wali anti-mainstream.

Mari kita kembali ke Sunan Panggung. Dia salah satu figur keramat eksentrik dalam buku Quinn. Sunan Panggung dalam cerita lisan disebut memelihara dua anjing, hewan yang punya stigma buruk di kalangan muslim. Yang hitam dia beri nama “iman” sementara yang merah “tokid” atau “tauhid”. Dua anjing ini teman setia Sang Wali: tidur, makan, dan bahkan pergi ke masjid selalu bersama.

Gaya hidup di luar kelaziman itu–apalagi dipraktikkan seorang yang mengklaim sebagai wali–telah mencemaskan otoritas keagamaan saat itu, Wali Songo. Mereka pun mendesak Sultan Demak untuk menghukum Sunan Panggung. Vonisnya bukan kepalang: dibakar hidup-hidup.

Singkat cerita, menurut penuturan sang juru kunci kepada Quinn, hukuman pun dilaksanakan. Tapi, bak kisah Nabi Ibrahim dalam al-Quran, si jago merah tak mau menjilat seinci pun tubuh Sang Wali. Bahkan saat di dalam kepungan api, dia masih sempat-sempatnya menulis sebuah buku tentang wayang dan bagaimana menggunakan pertunjukkan wayang sebagai sarana menyebarkan ajaran Islam.

Wali Songo pun takjub dan kemudian mengangkatnya sebagai panglima dan sekretaris mereka. Siapa pun yang ingin menemui sembilan wali paling otoritatif itu harus melalui Sunan Pangung–dan tradisi ini berlanjut hingga kini. Abdurrakhman, demikian nama asli Sunan Panggung, lalu mendapat julukan “panggung” karena kemahirannya dalam soal wayang.

Namun, seperti kisah-kisah lisan di Jawa pada umumnya, cerita Sunan Panggung memiliki beberapa versi yang bahkan saling kontradiktif. Quinn menemukan kumpulan syair gubahan Sunan Panggung, Suluk Malang Sumirang, yang isinya menunjukkan Panggung bukanlah sekadar orang keramat pecinta anjing tapi “sufi anarkis”–istilah yang digunakan Quinn sendiri–sekelas Mansur Al-Hallaj yang dieksekusi di Baghdad pada medio Abad ke-10 Masehi dan Syeikh Siti Jenar yang moksa setelah diadili Wali Songo karena ajaran wahdatul wujud-nya. Di antara banyak suluk, Suluk Malang Sumirang bahkan disebut Quinn menyerang secara frontal ortodoksi Islam (yang dimaksud Quinn dengan ortodoksi adalah praktik keislaman yang kaku).

Dalam satu baitnya, Suluk menyatakan bahwa kesempurnaan Islam ada pada perkataan dan perbuatan “orang kafir”: ujar kupur kapir. Bagi Quinn, ujar kupur kapir hanyalah metafor bagi muslim yang berada di luar pagar ortodoksi. Dengan demikian, Sunan Panggung memandang bahwa kesempurnaan Islam ada pada kemerdekaan, bukan pada keterikatan kepada syariat.

Sunan Panggung juga menolak pandangan bahwa tasawuf hanya bisa diajarkan kepada orang khusus. Ini mengingatkan kita kepada alasan mengapa Wali Songo menghukum Siti Jenar. Mereka tak menolak substansi ajaran Siti Jenar tapi cemas ajaran itu akan menjerumuskan orang kepada kesesatan–dan bahkan kekafiran– jika diperkenalkan kepada masyarakat awam tanpa melalui tahapan pengetahuan dan ritual tertentu. Tapi bagi Panggung, mistisisme justru berakar pada masyarakat kebanyakan, bukan pada teks-teks suci dan pengetahuan elitis.


Esensi Ilahi tak bersemayam pada seorang raja
tapi untuk ditemukan di antara orang-orang biasa
orang-orang yang tidak mengetahui ini
akan terhanyut oleh perenungan dan pengetahuan mereka.
Mereka terbebani oleh-oleh buku-buku dan berada di bawah pengaruh mantra teks suci.

Menurut versi kisah dalam Suluk Malang Sumirang yang dikutip Quinn dari karya pejabat pemerintahan Hindia Belanda–dan juga Direktur Balai Pustaka–Douwe Adolf Rinkes, Sunan Panggung dihukum bakar hidup-hidup oleh Sultan Trenggana, penguasa ketiga Demak. Panggung lantas keluar dari bara api tanpa luka sedikit pun, dan bahkan berhasil menyelesaikan sebuah karya, yakni Suluk Malang Sumirang bukan buku tentang wayang seperti versi kisah lisan. Panggung pun tak diangkat sebagai sekretaris Wali Songo tapi mengembara bersama dua anjingnya hingga moksa, menyatu ke dalam keabadian.

Kisah lisan, menurut Quinn, telah membuat petilasan Sunan Panggung bukan lagi simbol “mistisisme radikal”. Cerita bahwa dia pada akhirnya menjadi ‘bawahan’ Wali Songo justru telah menjinakkan keliaran Sang Wali. Dia kini hanya dikenal sebagai “bapak wayang”.

Begitupun, Quinn tetap mengandalkan kisah lisan sebagai bahan baku utama bukunya. Bagi peneliti yang pernah menempuh studi sastra di Universitas Gadjah Mada itu, budaya tutur tetap bagian penting dalam kebudayaan Jawa. Meskipun mesti menghadapi variasi dan bahkan kontradiksi, ia hingga batas tertentu menolak menyembunyikan variasi demi semata tunduk pada standarisasi ilmiah.

Pilihan tersebut malah menjadi keunggulan buku ini sebab Quinn penulis yang pandai melukis di benak pembaca. Dia piawai mendeskripsikan detail bentuk bangunan kompleks makam. Dia juga mahir menggambarkan orang-orang yang dia temui selama perjalanan: juru kunci dengan tipikal pakaian serba hitam dan rokok kretek di tangan; peziarah yang menangis; atau pengunjung yang kerap mengajaknya berswafoto. Kadang Quinn juga memberi komentar satire.

Contohnya adalah ketika dia menceritakan kunjungannya ke makam Ki Boncolono di Kediri, Jawa Timur. Ki Boncolono begal sekaligus pahlawan. Dia merampok pejabat-pejabat atau orang-orang kaya Belanda. Hasil jarahan dia bagikan kepada rakyat miskin. Rezim kolonial pun pusing tujuh keliling dengan aksi Ki Boncolono dan kawanannya. Sebab, begal itu sakti mandraguna: tak bisa mati. Tiap kali ditembak atau dibunuh, Ki Boncolono selalu hidup lagi saat tubuhnya menyentuh tanah. Ini mirip kisah ajian Pancasona yang dimiliki Rahwana dalam epos Ramayana.

Kompeni kian frustasi dan mulai menggunakan kekuatan uang. Mereka mengadakan sayembara berhadiah bagi siapa pun yang bisa menangkap atau membunuh Ki Boncolono. Seperti terjadi pada banyak epos, selalu saja ada yang berkhianat. Sekelompok orang datang kepada kompeni dan memberi tahu kelemahan sang begal sakti. Kepalanya harus dipenggal dari tubuhnya lalu kedua bagian itu dikuburkan di dua lokasi yang dipisahkan oleh aliran sungai.

Belanda lantas menyewa para jawara bayaran. Mereka berhasil membunuh dan memenggal kepala Ki Boncolono. Bagian tubuh ditanam di Bukit Maskumambang sedangkan kepala di bawah sebuah pohon beringin, di lokasi yang kini dinamakan Ringin Sirah. Kedua lokasi dipisahkan aliran Sungai Brantas: Maskumambang di barat sementara Ringin Sirah di timur.

Astana Boncolono, demikian nama petilasan begal pemurah itu, berada di ketinggian 350 meter, di ujung barat Kota Kediri. Pusara tubuh tanpa kepala Ki Boncolono berdampingan dengan kuburan dua ajudannya, Tumenggung Poncolono dan Tumenggung Mojoroto. Akses menuju ke sana sudah difasilitasi 555 anak tangga dengan pegangan besi di sepanjang jalan.

Kepada Quinn, seorang penjaga makam mengatakan, petilasan itu kini termashur sebagai pesugihan, tempat orang berharap bisnis mereka lancar dan sukses. Pemilik Rumah Makan Bukit Bintang, restoran dan resor ternama di Kediri, disebut sebagai peziarah rutin Astana Boncolono, dan salah satu donaturnya.

Yang lebih menarik bagi Quinn adalah cerita juru kunci tentang siapa yang mendanai pemugaran kompleks makam pada 2004. Dia Japto Soerjosoemarno yang mengklaim sebagai keturunan generasi ketujuh dari Ki Boncolono. Japto adalah bos besar Pemuda Pancasila, organisasi paramiliter yang tenar karena punya tempat tersendiri dalam sejarah kekerasan Indonesia modern. Setelah peristiwa 30 September 1965, organisasi itu terlibat dalam pembersihan orang-orang yang dituduh komunis. Ratusan ribu hingga jutaan orang dilaporkan meregang nyawa di hadapan bedil, golok, parang, dan celurit.

Di masa Orde Baru, Japto naik level dari awalnya cuma preman kecil di gang Siliwangi Jakarta menjadi pemimpin organisasi itu pada 1981. Di tangannya, Pemuda Pancasila berkembang hingga mengklaim memiliki empat hingga sepuluh juta anggota. Organisasi ini dikenal lekat dengan kekerasan dan intimidasi. Mereka juga disebut-sebut sebagai centeng orang-orang kaya dan berpengaruh, terutama keluarga dan kroni penguasa Orde Baru, Soeharto. Di level bawah, status mereka adalah preman jalanan tapi di level atas, rekan profesional elite penguasa.

Quinn cukup panjang menulis tentang Japto. Ia seakan ingin menggambarkan ironi: bagaimana seorang begal keramat seperti Ki Boncolono yang mencuri dari orang kaya untuk orang miskin di masa kolonial bisa memiliki anak keturunan yang justru menjadi centeng penguasa dan kalangan berduit di era milenial. Ironi itu ia tunjukkan saat melihat Monumen Simpang Lima Gumul, prasasti yang dibangun Pemerintah Kediri untuk menghormati Ki Boncolono. Salah satu panelnya menggambarkan Ki Boncolono tengah menghadapi dua serdadu kompeni. Saat menyaksikan monumen, Quinn ditarik sekelompok pelajar putri berjibab untuk berswafoto. Ketika itu, dia pun membantin, menyindir:

Wajah-wajah tawa masa depan Indonesia menoleh ke belakang, dan di belakangnya–pucat dan tanpa ekspresi–Ki Boncolono berdiri di hadapan tuan-tuan kolonial masa lalu. Di balik Ki Boncolono, berdiri sosok yang tak terlihat tetapi tetap ada, yang berpakaian preman jalanan berwarna oranye dan hitam, pemimpin organisasi massa semikriminal dan figur bapak filantropi bagi berandal muda: Japto Soerjosoemarno.”

Menurut Quin, pengetahuan tentang “dari mana berasal” dan “ke mana akan pergi” (sangkan paraning dumadi) merupakan inti dari tradisi ziarah dalam kebudayaan Jawa. Falsafah Jawa itu menggambarkan persimpangan antara masa lalu yang tak bisa diubah dengan masa depan yang penuh harapan. Petilasan keramat menjadi perpustakaan yang tak hanya memberi informasi tentang leluhur dan apa yang mereka telah lakukan tapi juga inspirasi tentang apa yang kita mesti lakukan. Tapi tentu saja tafsirnya bisa berbeda-beda. Seorang seperti Japto, misalnya, mungkin ingin melegitimasi apa yang dia lakukan dengan melekatkan identitasnya kepada begal-pahlawan Ki Boncolono.

Di Alas Ketonggo, Ngawi, Jawa Timur, persimpangan antara masa lalu dan masa depan juga disaksikan Quinn. Rimba raya seluas 5.000 hektare di kaki Gunung Lawu itu diyakini dijaga oleh roh Raja Brawijaya V, penguasa terakhir Majapahit. Di hutan inilah, atau di lokasi yang kini diberi nama “Palenggahan Agung Srigati”, Brawijaya bersembunyi dari perburuan putranya sendiri, Raden Patah–pendiri Kesultanan Demak. Sebelum akhirnya moksa, Brawijaya melepaskan segala perangkat dan pangkat kebesaran, memeluk Islam, dan kemudian menjadi pertapa.

Konversi keyakinan Brawijaya V (meski tak ada sumber otoritatif yang bisa mengonfirmasinya) menyimbolkan peralihan dari masa lalu, kejayaan kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, ke masa depan, kejayaan Islam. Uniknya, kejayaan Islam tak diramalkan datang dari penguasa-penguasa Demak atau Mataram, tapi dari Erucakra, seorang satrio piningit (pangeran yang dinanti) atau sang mesiah yang saat ini hidup bersembunyi (gaib) di Alas Ketonggo dan akan mengungkap dirinya jika saatnya tiba. Saat itulah, kejayaan Majapahit akan dikembalikan dalam bingkai Islam.

Legenda mesianisme dari Alas Ketonggo menginspirasi banyak gerakan pemberontakan terhadap rezim kolonial. Pada 1810, Raden Ronggo Prawirodirjo III, seorang wedana wilayah-wilayah luar di timur Yogyakarta, mengangkat senjata terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Raden Ronggo yang juga ayah mertua Pangeran Diponegoro–dan banyak disebut Sang Pangeran dalam Babad Diponegoro–menurut Peter Carey dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (Penerbit Kompas: 2014) mendapat inspirasi gaib bahwa dia akan berkuasa di Ketonggo. Setelah perlawanan Raden Ronggo berhasil dipadamkan, sejumlah pemberontakan kecil terjadi pada 1817 dan 1819. Meskipun Diponegoro tak secara spesifik menyebut Alas Ketonggo sebagai inspirasinya (Sang Pangeran lebih menisbatkannya kepada penampakan-penampakan yang ia saksikan secara gaib saat bertapa di Gua Selarong), Carey menulis bahwa pemberontakan Raden Ronggo yang bercorak mesianisme memberi ciri-ciri awal bagi pemberontakan besar Diponegoro yang berpuncak pada Perang Jawa (1825-1830).

Di era modern, Alas Ketonggo tak berhenti menjadi tempat persemaian semangat mesianisme. Pada 1976, seorang pegawai negeri Departemen Pertanian, Sarwito Kartowibowo, ditangkap rezim Orde Baru karena dituduh berencana menggulingkan Soeharto. Dalam persidangan, Sarwito diketahui menyepi beberapa tahun di hutan Ketonggo: menggali inspirasi dan mengumpulkan kekuatan supranatural.

Di Alas Ketonggo, sekitar dua kilometer dari Palenggahan Agung Srigati, peziarah akan menemukan sebuah kuil kecil yang disebut “Kraton Sultan Erucakra”–seolah istana yang dipersapkan untuk menyambut sang mesiah. Ia terletak di lekukan sebuah kali di kedalaman hutan.

Gerbang luar menuju Istana Sultan Erucakra di kedalaman Alas Ketonggo, Ngawi, Jawa Timur (Foto: George Quinn)

Menurut Marji, juru kunci kuil yang menyandang ‘gelar’ Ki Among Jati (karena hutan sekitarnya didominasi pohon jati), Ketonggo adalah simbol otentisitas, jatidiri, dan kebenaran, sejati. Orang yang berkunjung ke sana, menurut Ki Among, seharusnya mencari kedua hal itu setelah mereka dibuat lembek (tak sekeras jati) dan kosong oleh rutinitas dunia modern. Dua hal itu ditemukan pada diri Brawijaya. Dia tak menaruh dendam kepada anak sendiri yang menggulingkan dan memburunya. Dia bahkan masuk agama baru anaknya itu. “Islam mengajarkan kepada kita bahwa kita tak boleh menyimpan dendam, berkompromi, memaafkan, dan beradaptasi,” kata Ki Among.

Bagi Ki Among, kedatangan Islam justru tak menghancurkan kearifan budaya lama, bahkan memolesnya menjadi suatu perpaduan yang lebih arif. Quinn juga menggambarkan ini saat mengomentari kisah hukuman bakar hidup-hidup yang dijatuhkan Sultan Trenggana atas Sunan Panggung. Dalam kisah Ramayana, hukuman sejenis harus dijalani Shinta setelah lama diculik oleh Rahwana. Sang suami, Rama, meragukan kesucian istrinya. Shinta akhirnya sukses melewati tes kesucian itu. Lewat gambaran ini, Quinn melihat bahwa Wali Songo ingin memurnikan ajaran Islam yang dibawa Sunan Panggung lewat hukuman itu, tapi justru yang keluar dari api adalah “mistisisme radikal” berupa kitab Suluk Malang Sumirang.

***

Lusinan kisah ajaib lain dari petilasan keramat diceritakan Quinn dalam buku ini. Semua petilasan kini memikat bukan cuma belasan atau puluhan tapi ratusan hingga ribuan peziarah setiap harinya. Ada lebih daripada seratus petilasan keramat di sepanjang Jawa dan Madura. Quinn membaginya ke dalam tiga tingkatan. Tingkat pertama mampu memikat jutaan peziarah per tahun–dan ini didominasi makam Sembilan Wali. Tingkat kedua setidaknya diziarahi setengah juta orang per tahun dan tingkat ketiga ratusan ribu orang.

Seperti telah dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, kenyataan tersebut memunculkan pertanyaan di benak Quinn. Bagaimana bisa itu terjadi sementara muslim di Jawa kian nyantri? Apalagi, tradisi pemujaan atau katakanlah penghormatan kepada tempat-tempat keramat–plus praktik-praktik seperti menebar kembang di pusara, membakar kemenyan, atau berharap mendapat keberkahan (ngalap berkah)–lebih lekat dengan kalangan abangan ketimbang santri. Antropolog Amerika Serikat, Robert Hefner, dalam artikelnya “Where have all the abangan gone? Religionization and the decline of non-standard Islam in Indonesia”, menulis bahwa ruang-ruang yang disakralisasi dalam komunitas abangan adalah yang berfungsi sebagai titik peralihan ke dunia supranatural–dunia lain tapi bisa diakses dengan mudah dari dunia manusia. Karena itulah, menurut Hefner, pemujaan kepada petilasan keramat amat sental bagi muslim abangan.

Quinn lalu mengajukan hipotesis, yang terdiri dari faktor pendorong dan penarik. Perkembangan komersialisasi ziarah plus panjangnya antrean bagi muslim Indonesia untuk berhaji, menurut dia, mendorong bisnis travel mencari pasar baru, tempat-tempat ziarah lokal. Maka itu, kini dikenal istilah-istilah wisata ziarah, wisata religi, wisata spiritual, dan bahkan wisata syariah.

Sementara itu, petilasan-petilasan keramat saat ini mulai beradaptasi dengan praktik ortodoksi Islam demi menarik kalangan santri. Di banyak tempat, Quinn melihat praktik penghormatan ala abangan mulai dikurangi, bahkan di sebagian tempat ditinggalkan sama sekali. Makam-makam mulai dihias dengan dekorasi yang mempromosikan ortodoksi. Tulisan-tulisan kaligrafi Allah dan Muhammad berikut ayat-ayat Al-Quran dipajang besar-besar di dinding-dinding ruang petilasan. Tak hanya itu, pengurus makam memasang tanda-tanda peringatan agar peziarah tidak memuji berlebihan dan tidak memohon bantuan kepada para wali dan orang suci. Pemisahan antara peziarah pria dan perempuan serta aturan berpakaian Islami juga ditemukan Quinn di beberapa tempat.

Di luar itu, Quinn sebenarnya mengajukan hipotesis lain–yang justru ia sebut sebagai “sekadar retorika antropologis”. Menyusul “proyek” pembersihan orang-orang komunis yang dimulai pada akhir 1965, kaum abangan mulai bersembunyi dari radar publik. Ini karena dalam suasana kacau saat itu, kaum santri menganggap kalangan abangan dan komunis adalah sama. Praktik abangan yang sinkretis dan cenderung mampu beradaptasi dengan keragaman juga dianggap sebagai deklarasi perang terhadap Islam. 

Inilah yang memicu intensitas kekerasan terhadap mereka dan memunculkan trauma berkepanjangan. Quinn mencatat banyak abangan yang mencari perlindungan dengan berpindah agama. Antara 1966 dan 1976, hampir dua juta etnis Jawa dari latar belakang abangan memeluk Kristen. Sekitar 250 ribu hingga 400 ribu lainnya menjadi Hindu.

Persepsi bahwa abangan berada dalam satu biduk dengan komunis bukan sama sekali tanpa dasar–meski tentu saja tak bisa dijadikan alasan untuk membunuh. Secara politik, partai berhaluan ‘kiri’, Partai Komunis Indonesia dan Partai Nasional Indonesia memiliki basis massa di kalangan muslim abangan sementara partai ‘kanan’ beraliansi dengan kaum santri dan organisasi massa mereka, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. 

Yang menarik, menurut Bratakesawa, ahli mistisisme Jawa pada 1950-an, Serat Syeikh Siti Jenar dijadikan buku pegangan dasar oleh gerakan keagamaan yang disebut Sarekat Abangan. Sarekat ini memiliki ribuan pengikut pada dekade awal Abad ke-20. Ensiklopedia Islam Indonesia juga mencatat bahwa ajaran Siti Jenar itu digunakan oleh Sarekat Islam Merah (cikal bakal PKI) untuk mempromosikan ideologi komunis.

Lalu, apakah lautan peziarah dengan model pakaian dan praktik ‘Islami’, yang Quinn kini saksikan di petilasan-petilasan keramat, adalah muslim abangan atau keturunan mereka yang lima dekade lalu menghilang dari peredaran karena trauma dengan pemberangusan orang-orang kiri? Quinn tak memberi jawaban tegas.

Saya pikir masuk akal bahwa, bagi orang Jawa eks-abangan, makam suci telah menjadi tempat aman–institusi yang mengisi kekosongan dan menawarkan perlindungan kepada mereka yang gaya ketaatannya tak sesuai dengan tuntutan ortodoksi yang kaku,” tulisnya.

Lepas dari persoalan itu, Bandit Saints of Java menunjukkan bahwa tradisi ziarah di Jawa masih hidup, dan bahkan tumbuh, padahal sebagian situsnya merupakan perpaduan elemen budaya lama Hindu-Buddha dengan Islam. Menurut Quinn, Islam fundamentalis bisa jadi “membanjiri” peradaban lama itu tapi tak “menenggelamkannya”. Bahkan, dari balik genangan ortodoksi, tradisi lama itu kini muncul jauh lebih kuat, mungkin seperti Sunan Panggung yang keluar dari jilatan api sambil mengenggam Suluk Malang Sumirang.[]

(Foto utama: peziarah di makam Sunan Giri, di Gresik, Jawa Timur. Sumber foto: gresikkab.go.id.)

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*