Menunaikan Ramalan, Menjemput Takdir

in Wacana by

Dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855, sejarawan Inggris, Peter Carey, memberi tafsir mistik-kontekstual perlawanan Diponegoro dalam Perang Jawa. Sang Pangeran seakan ditempatkan ramalan dan takdir untuk menjembatani zaman lama dan baru.

Apa yang akan anda lakukan jika anda diramal bakal bangkit melawan kekuatan besar, tapi kemudian kalah? Itulah pertanyaan yang harus dijawab Bendoro Raden Mas Mustahar (1785), atau Raden Mas Ontowiryo (1805), atau Bendoro Pangeran Ario Diponegoro (1812)–tiga nama yang merujuk kepada satu sosok: Pangeran Diponegoro.

Pangeran Diponegoro setidaknya mendengar tiga ramalan tentang posisi dan perannya dalam masyarakat Jawa awal Abad ke-19.

Saat masih dalam gendongan ibundanya, Raden Ayu Mangkorowati, dia mendengar ramalan pertama dari datuknya, Sultan Hamengkubuwono I atau Pangeran Mangkubumi. Penguasa perdana Kesultanan Yogyakarta itu meramal Diponegoro bakal menimpakan kerusakan yang lebih dahsyat terhadap Belanda daripada yang pernah dia buat selama Perang Giyanti (1746-1755), tetapi hanya Tuhan yang mengetahui hasilnya.

Diponegoro juga kerap menautkan dirinya kepada ramalan Sultan Agung, penguasa legendaris Kerajaan Mataram, yang mengatakan bahwa Belanda akan berkuasa di Jawa selama 300 tahun setelah dia mangkat. Dalam periode itu, akan ada anak keturunannya yang mengangkat senjata meskipun akhirnya kalah.

Ramalan paling menentukan dia dengar sendiri saat bersemadi di Parangkusumo, Pantai Laut Selatan, pada sekitar 1805, atau ketika Sang Pangeran baru berusia 20 tahun. Sebuah suara gaib mengatakan kepada Diponegoro bahwa dirinya telah ditakdirkan Tuhan untuk bangkit melawan meskipun pada ujungnya akan kalah.


Tidak ada yang lain:
Engkau sendiri hanyalah sarana,
namun itu tidak akan lama,
hanya agar terbilang di antara para leluhur


Ramalan Parangkusumo (1805)

Sejarawan Inggris Peter Carey, dalam bukunya Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855, menunjukkan bahwa ramalan dan penampakan mistik yang berpadu dengan masa-masa suram yang diderita masyarakat Jawa saat itu–terutama sejak kedatangan Herman Willems Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia pada 1806–telah menjadikan perlawanan Diponegoro unik. Ia berwawasan sosial sekaligus mengandung harapan mesianistik yang mengakar dalam tradisi Islam Jawa. Inilah yang membuat perlawanan Diponegoro mendapat dukungan luas dari berbagai kelas sosial masyarakat Jawa, dari bangsawan dan pejabat keraton pecatan, para kiai dan guru agama, petani, kuli angkut dan buruh harian, hingga bandit-bandit profesional.

  • Judul: Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855
  • Penulis: Peter Carey
  • Penerbit: Penerbit Buku Kompas
  • Tahun Terbit: 2014 (cetakan kedua)
  • Tebal: xxxviii + 434 halaman

Takdir adalah versi pendek dari bagian pertama disertasi Carey, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855, yang diterbitkan KITLV Press, Leiden. Kemudian The Power of Prophecy diterbitkan dalam bahasa Indonesia sebanyak tiga jilid oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan judul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Carey menghabiskan 30 tahun untuk meneliti Diponegoro dan latar belakang Perang Jawa (1825-1830), sebuah elan cipta yang sulit ditandingi sejarawan Indonesia.

Carey menjadikan Babad Diponegoro sebagai sumber utama penulisan buku. Babad adalah otobiografi setebal 1.151 halaman yang disusun Sang Pangeran selama sembilan bulan dari masa pengasingannya di Manado (1830-1833). Pada Juni 2013, UNESCO menobatkan naskah itu sebagai “Ingatan Kolektif Dunia”, bersanding dengan 299 naskah lain dari seantero dunia. Sayangnya, Carey bilang, salinan asli pegon Babad yang tersimpan di Perpustakaan Nasional nyaris hancur jadi debu karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap pengawetan naskah kuno.

Carey melengkapi sumber penulisan dengan catatan-catatan pejabat dan opsir pemerintah kolonial. Catatan seperti laporan para residen Belanda di Jawa yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia, menurut Carey, belum banyak diakses oleh peneliti Indonesia karena kurangnya kemampuan berbahasa Belanda. Sumber lain yang menjadi rujukan Carey adalah naskah-naskah kuno, seperti Babad Diponegoro versi Surakarta, Babad Bedhah ing Ngayogyakarta (Babad Jatuhnya Yogyakarta), dan Buku Kedung Kebo yang ditulis seorang penentang Diponegoro.

Dengan sumber seperti itu dan gaya penulisan bertutur, Takdir menjadi bacaan apik dan sumber rujukan kaya bagi masyarakat umum yang ingin mengetahui Diponegoro secara lebih utuh. Bagaimanapun, Diponegoro telah ditahbiskan sebagai Pahlawan Nasional sejak 1973. Namanya banyak diabadikan sebagai nama jalan di kota-kota besar, nama universitas, dan komando daerah militer di Jawa Tengah. Dia juga disakralkan sebagai “insan mitologis” dengan berbagai cerita supranatural di seputarnya.

Tapi, dalam buknya, Carey menampilkan Sang Pangeran sebagai manusia “dalam daging dan darah” yang dibentuk oleh zamannya. Zaman ketika Diponegoro hidup adalah era peralihan, dari keruntuhan tatanan lama Jawa menuju kebangkinan kolonialisme baru Eropa yang disulut api revolusi industri dengan kehausannya akan pasar, sumber bahan baku, dan buruh murah. Kedatangan dua penguasa kolonial dari dua imperium berbeda dan saling memangsa–Daendels (Imperium Perancis-Belanda pada 1806) dan Thomas Stamford Raffles (Imperium Inggris pada 1811) benar-benar menghancurkan tatanan lama masyarakat Jawa.

Hubungan antara keraton Jawa tengah bagian selatan dengan pemerintahan kolonial yang berbasis di Batavia, yang awalnya setara layaknya hubungan dua negara berdaulat (Yogyakarta memandang rezim kolonial sebagai pewaris Kerajaan Padjadjaran di Jawa bagian barat), berubah total menjadi relasi antara penjajah dan negeri jajahan. Perubahan kebijakan ekonomi, seperti dalam sewa tanah dan gerbang cukai–plus wabah kolera dan gagal panen–semakin memiskinkan rakyat, terutama petani.

Kondisi internal keraton pun memburuk. Intrik politik terus menajam sejak akhir kekuasaan periode kedua kakek Diponegoro, Hamengkubuwono II, pada 1812, hingga kemenakannya, Hamengkubuwono V, naik takhta pada 1823, atau dua tahun menjelang Perang Jawa. Intrik itu diiringi dengan suap-menyuap. Carey menggambarkan betapa mudahnya pejabat Belanda pada masa itu mendapatkan uang hingga jutaan dolar AS (dengan hitungan kurs saat ini) dari perbendaharaan keraton.

Demoralisasi juga terjadi: pesta minuman keras hingga seks bebas. Seorang penasehat pemerintahan kolonial, Willem van Hogendrop, melukiskan keraton pada saat itu tak ubahnya sebuah rumah bordil. Tak ada lagi kehormatan bagi para raden ayu yang “dicemari” oleh pejabat Belanda atau pembesar keraton. Hamengkubuwono IV, misalnya, mati muda pada usia 18 tahun karena gaya hidup “kebarat-baratan”. Bahkan, anaknya, Hamengkubuwono V, yang kelak memerintah selama lebih daripada dua dekade telah mengidap sifilis sejak usia 20 tahun.

Di tengah zaman edan, Diponegoro tampil ibarat oase bagi rakyat tetapi juga momok pengganggu bagi pemerintahan kolonial dan pembesar keraton. Ia dekat dengan kalangan santri, dan bahkan pada usia muda telah melakukan pengembaraan spiritual dari masjid ke masjid, dari pesantren ke pesantren. Ia juga peka dan kritis terhadap ketamakan serta pelanggaran ajaran Islam di kalangan bangsawan, tetapi pada saat yang sama menghormati tradisi lama Jawa. Menurut Carey, adonan karakter seperti itu tak ditemukan di antara para bangsawan lain. Inilah yang membuat Sang Pangeran banyak disenangi orang di mana-mana.

Oleh karena itu, Carey menyimpulkan bahwa tujuan perlawanan Diponegoro bukanlah mengusir “kafir” Belanda dari tanah Jawa dan menegakkan syariat Islam, seperti yang ditafsirkan sebagian kalangan karena antara lain kegemaran Sang Pangeran mengadopsi pakaian dan gelar-gelar Turki Usmani untuk para komandan militernya. Perlawanan itu berwawasan lebih luas, yakni memastikan tempat terhormat bagi tatanan lama Jawa dalam bingkai nilai-nilai Islam. Pandangan inilah yang kemudian membuatnya pecah kongsi dengan penasehat utama spiritualnya, Kiai Mojo.

Kekhasan karakter Diponegoro tak lepas dari latar belakang genealogi dan pengasuhannya. Dari moyang perempuannya–yang menurut Carey lebih berpengaruh daripada leluhur lelakinya–Diponegoro mewarisi hubungan darah dengan para kiai kampung dan ulama besar, dan bahkan salah satunya bisa dilacak hingga Sunan Ampel, salah seorang Wali Songo. Sejak usia tujuh hingga 18 tahun, ia diasuh oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng, di luar keraton: Tegalrejo, sebuah kawasan pertanian satu kilometer barat laut Yogyakarta. Ratu Ageng, permaisuri Sultan Hamengkubuwono I, dikenal  sebagai perempuan berkarakter kuat, taat pada ajaran Islam, sekaligus tak tergoyahkan dalam komitmen pada adat Jawa. Dialah perempuan yang paling berpengaruh dalam hidup Diponegoro dan kelak mewariskan banyak karakternya kepada sang cicit.

Paduan unik antara muslim taat dan Jawa yang menghormati tradisi tampak dalam pengembaraan Diponegoro. Ia tak hanya menyambangi masjid dan pesantren tapi menapaktilasi petilasan-petilasan keramat yang kerap dikunjungi leluhurnya, terutama pendiri Mataram, Panembahan Senopati, dan Sultan Agung. Petilasan seperti sejumlah gua dan situs penting di Pantai Selatan menjadi lokasi pengembaraan dan tapa semadi Diponegoro sebelum dan selama Perang Jawa.

Sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam studinya tentang Jawa pernah menggambarkan perpaduan tersebut dengan istilah “sintesis mistik”. Sintesis mistik Diponegoro, sebagai contoh, bisa dilihat ketika ia menceritakan penampakan gaib Ratu Kidul–sosok pelindung dan istri supranatural raja-raja Jawa (Carey menduga ini terjadi pada pertengahan Juli 1826, atau satu tahun setelah perang besar itu meletus).

Dalam pertemuan itu, Ratu Kidul menawarkan bantuan kepada Diponegoro, dan bahkan menjanjikan kemenangan lewat pasukan gaibnya. Tapi Ratu mengajukan syarat. Penguasa alam siluman itu meminta Diponegoro berdoa kepada Allah agar Ratu Kidul bisa kembali hidup sebagai manusia. Tapi, Sang Pangeran menolak bantuan itu dengan alasan bahwa, dalam Islam, pertolongan hanya datang dari Hyang Agung.

Carey menganalisis bahwa lewat cerita itu, Diponegoro ingin menegaskan cita-cita perlawanannya: menegakkan tatanan moral Jawa berdasarkan nilai ajaran Islam, sehingga ia menolak bantuan Ratu Kidul. Tapi pada saat yang sama, Diponegoro ingin menunjukkan bahwa,  dalam perang, dia memiliki kesejajaran dengan Panembahan Senopati dan Sultan Agung, dua leluhurnya yang dikenal memiliki hubungan istimewa dengan Ratu Kidul.

Membaca Takdir, kita bisa merasakan bagaimana Diponegoro dipandu oleh penglihatan-penglihatan spiritualnya dalam menghadapi masa-masa krisis menjelang perang. Satu tahun sebelum kedatangan Daendels dan jauh sebelum jatuhnya keraton ke tangan Inggris, Diponegoro telah menerima ramalan tentang bakal datangnya malapetaka dan penghinaan atas Yogyakarta. Dia juga menerima perintah gaib di Parangkusumo agar menolak tawaran posisi “putra mahkota”, dan inilah yang dia lakukan saat terdengar kabar bahwa Raffles hendak mendaulatnya sebagai “putra mahkota” bersamaan dengan pengangkatan ayahnya sebagai Hamengkubuwono III–strategi pecah belah Inggris sebelum menginvasi Yogyakarta.

Penolakan itu menunjukkan bahwa perlawanan Diponegoro tidak didorong oleh ambisi elitis merebut kekuasaan, sebagaimana rumor yang disebarkan Belanda sehingga meracuni hubungan Sang Pangeran dengan keraton. Diponegoro memang menyematkan kepada dirinya sejumlah gelar kebesaran, seperti Sultan Erucokro (sebutan untuk Imam Mahdi dalam tradisi mesianisme Jawa), Sayidin Panatagama (Pemimpin Penata Agama), dan Kalifah Nabi. Menurut Carey, penyematan gelar-gelar itu tidak berarti bahwa Diponegoro ingin mengudeta sultan tapi hanya upaya menciptakan harapan–sesuatu yang penting dalam sebuah perang.

Lantas, apa yang membuat Diponegoro pada akhirnya yakin untuk menunaikan ramalan, bangkit melawan Belanda, meskipun dia cuma akan “terbilang di antara para leluhur”? Tanpa melawan, dia padahal bisa hidup tenang sebagai pangeran-santri nyentrik di pedesaan yang indah, subur, dan makmur seperti Tegalrejo. Berkat ramalan itu, dia pasti sudah membayangkan roda kehidupan akan berbalik 180 derajat: diburu Belanda, ditangkap, dibunuh, atau diasingkan lalu mati sebagai pemberontak seperti idola sekaligus mertuanya, Raden Ronggo Prawirodirjo III.

Carey mengajukan jawaban dahsyat untuk pertanyaan di atas. Dia menyebut keyakinan Diponegoro sebagai “the nobility of failure” (kemuliaan kegagalan), sebuah istilah yang diperkenalkan sejarawan Inggris Ivan Noris dalam studinya yang terkenal tentang kultur kepahlawanan Jepang (The Nobility of Failure: Tragic Heroes in the History of Japan). Menurut Moris, ini bentuk keyakinan akan kematian transendental, kematian yang menjadikan hidup pemiliknya abadi dan berkontribusi kepada kehidupan generasi selanjutnya. Tradisi Jawa, menurut Carey, mengenal kultur ini setidaknya dari lakon pewayangan “Adipati Karna Gugur”.

Diponegoro sendiri mengatakan bahwa telah menjadi takdirnya untuk mengobarkan perang suci dan mati sebagai syahid (martir). “Kematian (dalam pertempuran) adalah baik, demikian kata orang,” tulisnya dalam Babad Diponegoro. Sang Pangeran seakan merujuk kepada doktrin Islam bahwa orang-orang yang mati syahid akan tetap hidup dan membawa keberkahan bagi banyak orang.

Diponegoro memang ‘gagal’ dalam perlawanannya, tapi seabad kemudian tanah dan bangsa yang dia bela merdeka sebagai bagian dari Republik Indonesia. Dia pasti tak pernah membayangkan bahwa pada 8 Januari 1955, atau 100 tahun sejak kematiannya di negeri orang (Benteng Rotterdam, Makassar), perjuangannya dikenang dan dirayakan meriah.

Roda rupanya sudah kembali berputar. Pemberontak yang paling ditakuti itu kini adalah pahlawan dari sebuah bangsa dan negara yang mungkin tak pernah ia impikan seumur hidupnya.

“Perubahan-perubahan sejarah jarang yang terjadi seaneh ini,” tulis Carey.[]

(Foto utama: Reproduksi lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh. Sumber: Wikipedia.org)

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*