JELAJAH LITERASI

Pendidikan Tanpa Stres Cara Finlandia

in Wacana by

Nama “Finlandia” seakan sudah menjadi trademark untuk sistem pendidikan terbaik. Lalu, apa rahasianya? Dan adakah kelemahannya? Buku Sistem Pendidikan Finlandia karya Ratih D Adiputri, seorang warga Indonesia yang pernah menyekolahkan anak di sana, mencoba menjawabnya.

JIKA ada ungkapan “mati ketawa cara Rusia” (judul kumpulan lelucon yang ditulis Zhanna Dolgopolova), mungkin seharusnya ada ungkapan “pendidikan tanpa stres cara Finlandia”. Ya, negeri di utara Eropa itu akhir-akhir ini seolah sudah menjadi nama lain dari persekolahan yang menyenangkan dan pendidikan yang membahagiakan. Para ahli dan praktisi pendidikan seakan tak bisa menghindar dari menyebut nama “Finlandia” jika berbicara tentang sistem pendidikan terbaik di planet bumi.

Buktinya memang nyata. Sejak PISA—tes yang dilakukan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) terhadap siswa berusia 15 tahun—dilaksanakan pada 2003, siswa Finlandia tak pernah terlempar dari lima besar dalam bidang sains dan membaca. Secara keseluruhan, Finlandia juga mencapai posisi terbaik dalam tes ini meskipun sejak 2012 disalip negara-negara maju di Asia, seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan.

Sudah banyak pula tulisan yang mencoba menjawab rahasia di balik kesuksesan pendidikan di Finlandia. Sebuah majalah berita nasional pernah menurunkan laporan panjang tentang sistem pendidikan di negeri itu, lengkap dengan wawancara pejabat-pejabat di bidang pendidikan. Lalu, seorang pendidik asal Amerika Serikat yang mengajar di Helsinki, Timothy D Walker, pernah menulis Teach Like Finland, buku tentang bagaimana guru-guru di Finlandia mengelola kelas yang menyenangkan (buku ini telah diterjemahkan dan diterbitkan Grasindo).

Namun, tampaknya belum ada buku dari sudut pandang pengalaman orang Indonesia tentang pendidikan di Finlandia. Sistem Pendidikan Finlandia: Catatan dan Pengalaman Seorang Ibu buah tulisan Ratih D Adiputri bisa mengisi kekosongan tersebut.

  • Judul Buku: Sistem Pendidikan Finlandia: Catatan dan Pengalaman Seorang Ibu
  • Penulis: Ratih D Adiputri
  • Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
  • Terbit: Desember 2019
  • Tebal: x + 259 halaman

Buku ini menceritakan pengalaman penulisnya saat menyekolahkan dua anaknya di Finlandia. Ratih juga melengkapinya dengan apa yang ia dengar dan ketahui dari orang-orang Finlandia tentang pendidikan di negara mereka. Alhasil, buku ini bisa dibilang cukup lengkap menggambarkan sistem persekolahan, fasilitas, kurikulum, dan yang terpenting budaya “belajar” dan “mendidik” di Finlandia—dan tentu saja perbedaannya dengan apa yang Ratih rasakan di negerinya sendiri, Indonesia.

Penulis sendiri adalah peneliti posdoktoral ilmu politik di Universitas Jyväskylä. Ini sebuah kota di barat Finlandia, sekitar 3,5 jam berkendara dari Helsinki. Menurut Ratih, posisi kota ini cukup istimewa di bidang pendidikan. Di kota inilah, sekolah pendidikan guru didirikan untuk pertama kalinya pada pertengahan Abad ke-19. Dari sekolah inilah, guru-guru terbaik menyebar ke seantero Finlandia, dan menjadi fondasi bagi kesuksesan pendidikan di negara itu.

Ratih melukiskan penduduk Jyväskylä (jumlah sekitar 120 ribuan jiwa—sepadat sebuah kecamatan di Indonesia) memiliki budaya literasi yang tinggi. Jika di Indonesia pusat kegiatan warga adalah mal-mal, penduduk Jyväskylä menghabiskan banyak waktu libur dan akhir pekan mereka di perpustakaan kota. Di perpustakaan ini, warga bisa melakukan banyak hal: dari membaca buku, mendengarkan dongeng, menonton film, hingga membawa pulang tablet (untuk membaca koleksi digital) dan buku sebanyak yang mereka mau.

Pada bulan Februari tiap tahunnya, pemerintah kota akan mengirimkan undangan kepada keluarga yang anak mereka telah memasuki usia sekolah. Bukankah sungguh membahagiakan jika kita punya pemerintah yang gemar mengingatkan kita akan hak-hak warga negara, alih-alih cuma doyan memperingatkan kita akan kewajiban-kewajiban? Dan hal seperti ini bisa terjadi tentu karena catatan kependudukan dikelola dengan baik.

Lalu, pada bulan April, orang tua dan anaknya akan diberi kesempatan meninjau sekolah yang telah dipilihkan dan berbincang dengan guru-guru serta pengurus sekolah. Biasanya, menurut Ratih, sekolah tak akan berjarak lebih dari lima kilometer dari tempat tinggal si anak. Jika jaraknya lebih dari itu, maka pemerintah menyiapkan bus gratis untuk transportasi dari rumah ke sekolah.

Pemerintah Finlandia membagi persekolahan menjadi empat tingkatan: taman kanak-kanak, pendidikan dasar (SD-SMP), pendidikan menengah (SMA), dan pendidikan tinggi (universitas). Pemerintah menggratiskan pendidikan sejak TK hingga SD-SMP, dan kebijakan ini juga berlaku bagi sekolah swasta. Di Finlandia, tulis Ratih, sekolah swasta hanya berbeda dari penggunaan bahasa pengantar (seperti sekolah berbahasa Swedia, Perancis, atau Rusia). Fasilitas dan kurikulum di sekolah swasta tetap sama dengan sekolah negeri. Ini merupakan kebijakan pemerintah Finlandia yang tak ingin ada pembedaan pendidikan antara siswa kaya dengan siswa kurang mampu.

Tak perlu dijelaskan di sini bagaimana buku ini menggambarkan betapa lengkapnya fasilitas sekolah dan kelas di Finlandia. Yang menarik justru adalah bagaimana sekolah mengelola kelas dan aktivitas pembelajaran.

Setiap satu jam pembelajaran selesai (rata-rata sekitar 45 menit) siswa akan diberi kesempatan berkegiatan di luar kelas selama 15 menit. Hal ini diyakini bisa kembali menyegarkan pikiran dan memperbaharui semangat belajar. Sekolah juga menyediakan makan siang gratis dengan menu yang telah distandarkan oleh pemerintah. Buku dan alat tulis serta bahan-bahan praktikum telah disediakan gratis di sebuah gudang tanpa penjaga yang bisa diakses siswa kapan pun. Sekolah percaya siswa hanya akan mengambil apa yang ia butuhkan; tak lebih dan tak kurang. Ini mengajarkan siswa untuk menghargai kebutuhan dan hak siswa lainnya.

Di Finlandia, menurut pengalaman Ratih, guru tetap memberi PR kepada siswa. Tapi, PR itu bisa dikerjakan dalam waktu singkat, dan bukan tugas mengerjakan puluhan soal atau merangkum satu bab seperti yang kerap diberikan guru di Indonesia. Dan satu lagi: tak boleh ada PR di akhir pekan atau di waktu liburan.

Seperti yang banyak kita dengar, memang benar tak ada ujian nasional di Finlandia. Tak cuma itu. Bahkan, tak ada ujian akhir tiap semester. Siswa memperoleh nilai dari akumulasi tes harian yang diberikan guru saat pembelajaran. Tes ini pun bersifat fleksibel. Siswa yang merasa kemampuan verbalnya lebih baik di satu pelajaran bisa meminta kepada guru untuk mengujinya secara lisan.

Di akhir semester, nilai akan diberikan dalam bentuk rapor secara pribadi kepada orang tua dan siswa. Tak ada pemeringkatan atau ranking dari hasil penilaian. Finlandia percaya bahwa pendidikan adalah perkembangan unik dari seorang siswa yang tak perlu dibanding-bandingkan dengan siswa lain.

Setiap kali bertemu dengan orang tua dan siswa, guru kelas selalu bertanya tentang bagaimana suasana pembelajaran di kelas, mata pelajaran apa yang disukai, bagaimana pertemanan di kelas, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan perkembangan pribadi dan sosial siswa. Semua pertanyaan itu menempatkan siswa sebagai subjek pendidikan, sehingga tak ada keluhan guru tentang siswa yang kurang memahami pelajaran atau orang tua yang tidak membantu pembelajaran di rumah.

Di tingkat akhir SMA, ujian bersifat nasional baru diberlakukan. Ujian nasional ini pun hanya bertujuan mengukur tingkat keberhasilan suatu kurikulum, dan bukan untuk standar kelulusan. Siswa uniknya juga bisa memilih mata pelajaran apa yang akan ia kerjakan dalam ujian nasional ini. Jadi, jika merasa lemah dalam matematika, anda bisa memilih mata pelajaran lain, misalnya ilmu kemasyarakatan atau seni musik.

Pokoknya, ketika membaca buku ini, anda akan merasakan pendidikan di Finlandia dibuat santai tapi serius; wajar tanpa tekanan. Dalam tes PISA sekalipun, pemerintah Finlandia tak pernah memberi tahu siswa yang diplih secara acak kapan tes akan dilakukan. Ini dilakukan agar tes PISA berlangsung normal tanpa rekayasa persiapan khusus atau pemilihan siswa tertentu, seperti yang diduga terjadi di banyak negara Asia, seperti Singapura dan Hong Kong.

Fondasi dari keseluruhan bangunan pendidikan di Finlandia, menurut Ratih, terletak pada guru. Sistem pendidikan di sana sangat percaya pada kemampuan guru dalam menerjemahkan kurikulum, mengelola pembelajaran di kelas, dan melakukan penilaian.

Oleh karena itu, guru mestilah lulusan-lulusan terbaik. Pendidikan mereka minimal adalah master atau S2 (bahkan untuk guru TK sekalipun) pada mata pelajaran yang mereka ampu plus telah mendapatkan ilmu pedagogi. Setelah itu pun, pemerintah tak lepas tangan. Guru selalu mendapatkan pelatihan sepanjang karirnya guna meningkatkan kemampuan dan wawasan.

Ratis menulis, guru di Finlandia rata-rata memperoleh gaji 4.000 euro (lebih dari 63 juta rupiah) per bulan. Gaji ini lebih besar dari pendapatan per kapita di Finlandia yang mencapai 2.500 euro per bulan. Karena itu, wajar jika sebuah survei pernah menunjukkan guru adalah profesi yang paling diidam-idamkan banyak orang di Finlandia, dan mengalahkan profesi seperti polisi, manajer, atau dokter.

Tak hanya soal pendidikan, lewat buku ini, Ratih juga menyinggung kebijakan ketenagakerjaan di Finlandia. Yang paling menarik adalah para pekerja perempuan di Finlandia memperoleh hak cuti melahirkan wajib setahun penuh: tiga bulan sebelum melahirkan dan sembilan bulan setelah melahirkan. Selama tiga bulan pertama, mereka mendapatkan 100 persen gaji dan 80 persen selama sembilan bulan berikutnya. Mereka pun bisa menambah cuti hingga anak berusia tiga tahun tanpa kehilangan posisi di kantor dengan 25 persen gaji. Menurut Ratih, ini menunjukkan pemerintah Finlandia sudah memperhatikan kesejahteraan anak sejak usia dini.

Bandingkan dengan Indonesia, yang hanya memberi cuti hamil-melahirkan selama tiga bulan!

Namun, buku ini juga menyebut “kelemahan” sistem pendidikan Finlandia. Ratih memandang sistem pendidikan di negara itu tak memberi kesempatan lebih kepada anak berkemampuan di atas rata-rata, seperti anaknya yang sudah bisa membaca saat memasuki SD atau mampu mengerjakan soal-soal matematika lebih cepat daripada siswa lain. Dalam sistem pendidikan Finlandia, siswa berkemampuan lebih itu tak bisa menonjolkan prestasinya atau tak diberi perhatian khusus. Bagi Ratih, kondisi ini membuat kompetisi kurang terjadi—atau bahkan tak ada—di Finlandia, sehingga masyarakatnya kurang bisa mendorong kemampuan mereka hingga batas maksimal.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Wacana

Hidup Mati Petani Kita

Sejarawan Eric Hobsbawm menulis bahwa paruh kedua abad ke-20 dunia menyaksikan perubahan
Go to Top