JELAJAH LITERASI

“Parasite”: Cerita Biasa dalam Film Luar Biasa

in Film by

Seperti dalam film-filmnya yang terdahulu, dalam Parasite, Bong Joon-ho mampu menunjukkan bahwa solidaritas kelas itu hanya ada dalam teori. Kelicikan dan kepolosan ada di semua kelas sosial. Kehidupan begitu kompleksnya, sehingga tak mudah ditentukan mana hitam dan mana putih.

KELUARGA Kim yang miskin ingin mengubah nasib dengan memanfaatkan keluarga Park yang kaya. Itulah kira-kira inti cerita film Parasite besutan Bong Joon-ho. Cerita yang dapat kita saksikan di mana-mana, nyaris tiap hari. Tapi di tangan sutradara yang hebat dan penulis skenario yang andal, cerita itu menjadi komedi-berujung-tragedi yang memukau. Dengan bantuan sinematografi yang lihai, Bong mampu memanggungkan cerita sehari-hari itu menjadi suatu drama yang lucu sekaligus pilu, mengaduk-aduk perasaan kita hingga adegan akhir.

  • Judul Film: Parasite
  • Sutradara: Bong Joon-ho
  • Penulis: Bong Joon-ho, Han Jin-won
  • Pemain: Song Kang-ho, Cho Yeo-jeong, Choi Woo-shik, Park So-dam, Lee Jung-eun
  • Rilis: 30 Mei 2019
  • Durasi: 132 menit

Mula-mula, Bong mengajak kita melihat realitas sehari-hari keluarga Kim yang tinggal di apartemen bawah tanah (orang Korea menyebutnya dengan banjiha). Adegan pertama film memperlihatkan jendela sekaligus ventilasi rumah yang sejajar dengan jalanan luar. Dari jendela itu, segala keramaian di luar sana langsung menembus ke dalam rumah. Lalu kamera memperlihatkan jemuran dekat jendela, berisi beberapa kaos kaki. Lalu Kim Ki-woo/Kevin (Choi Woo-sik) tampil memainkan HP dengan sinyal Wifi gratis milik tetangga yang mendadak hilang.

Ayahnya, Kim Ki-taek (Song Kang-ho), sambil membuka bungkus roti yang telah dihinggapi kecoa, menyarankan putranya menjunjung ponselnya tinggi-tinggi agar bisa menangkap Wifi gratis lain. Kevin dan saudarinya, Kim Ki-jung/Jessica (Park So-dam), pun bekerja sama mencari Wifi gratis. Mereka berakhir duduk berdempetan di area kloset yang terletak di bagian tertinggi rumah dengan tata ruang yang tak beraturan itu. Ibunya, Chung-sook (Jang Hye-jin), segera meminta mereka mengecek aplikasi WhatsApp untuk memantau perkembangan kerja mereka sebagai pembungkus kotak pizza.

Saat mereka mulai membungkus dan meniru kiat dan trik membungkus cepat, petugas kebersihan mengasapi daerah sekitar. Ki-taek yang masih menyimpan dendam terhadap kecoa yang masuk dalam bungkusan roti sarapan paginya terlihat senang, sementara seluruh anggota keluarga lain terbatuk-batuk akibat terpaksa menghirup asap tebal beracun yang memenuhi ruangan. Tak sampai di situ, ternyata perusahaan yang meminta mereka melipat bungkus kotak pizza mengeluhkan hasil kerja mereka yang tak sesuai arahan. Katanya, kekeliruan itu karena mereka mau cepat-cepat selesai dan tidak teliti. Setelah negosiasi dan cekcok panjang, keteledoran mereka didenda potongan 10 persen dari upah mereka hari itu. Di saat mereka bersantap makan bersama menikmati upah mereka, seorang pemabuk terlihat kencing di dekat jendela sekaligus ventilasi apartemen.

Begitulah keseharian hidup keluarga Kim yang miskin: bertahan hidup tanpa belas kasih dan solidaritas, baik dari lingkungan maupun sesama warga kelas bawah. Bong memang tidak sedang membuat film tentang pertarungan kelas sosial, atau heroisme kalangan miskin menghadapi kerasnya kehidupan dan kesenjangan. Justru dalam Parasite, Bong tak pernah menjelaskan siapa yang sebenarnya parasit.

Datanglah kesempatan itu: teman Ki-woo menawarkan pekerjaan sebagai pengajar bahasa Inggris untuk putri keluarga kaya Park. Dengan licik dan komikal, keluarga Kim berhasil merancang simbiosis parasitisme dengan keluarga Park yang kaya tapi polos dan cuek. Ki-taek, kepala keluarga Kim, menuturkan bahwa keluarga Park “adalah orang-orang baik meskipun kaya.” Istrinya langsung menukas, “mereka baik karena kaya.”

Kelicikan keluarga Kim yang miskin pun dengan terampil mampu mengeksploitasi kepolosan keluarga Park yang percaya bahwa uang dapat memuluskan segalanya. Perlahan-lahan keluarga Kim merancang skenario untuk menggeser satu per satu karyawan Park dan menggantikan mereka dengan anggota keluarganya yang menyamar sebagai para profesional di bidangnya. Kevin yang pertama-tama masuk dalam keluarga ini sebagai guru bahasa Inggris adalah ujung tombak dari skenario pendudukan ini. Keluarga Kim akhirnya berhasil merebut semua lowongan kerja yang ada di rumah keluarga Park.

Di film ini, seperti juga di film-filmnya yang lain, Bong tak ingin berpihak apalagi menghakimi siapa yang baik dan siapa yang buruk. Dia ingin film ini mengalir seperti lazimnya kehidupan manusia yang demikian kompleks dan berwarna, dimana orang tak bisa dengan mudah menemukan mana yang benar-benar hitam dan mana yang benar-benar putih. Namun demikian, satu hal yang Bong ingin tegaskan: memahami hidup manusia bisa dengan mengambil ilustrasi dari interaksi biologis organisme di alam semesta. Judul film ini agaknya bermaksud mengguratkan makna itu.

Simbiosis Kim dan Park berjalan mulus sampai “parasit” lama ingin kembali ke habitat yang sama. Saat keluarga Kim sedang menikmati rumah keluarga Park yang sedang plesir keluar kota, tiba-tiba pembantu lama Park, Moon-gwang (Lee Jung-eun), datang mengetuk pintu rumah. Dia ingin menengok keadaan suaminya, Geun-sae (Park Myung-hoon), yang sudah empat tahun bersembunyi di bungker bawah tanah. Alasannya, Geun-sae terlilit utang dan dikejar-kejar para penagih. Sejak itulah film yang bernuansa komedi itu perlahan-lahan menebar ironi dan tragedi.

Interaksi Moon-gwang dan Chung-sook menyajikan ironi yang menyedihkan: dua perempuan miskin yang culas dan sama-sama ingin menguasai keluarga Park. Kim sekeluarga menguping percakapan mereka hingga terjatuh bersamaan. Saat itulah, Moon-gwang sadar bahwa segenap karyawan Park ternyata berasal dari satu keluarga. Dia menduga ada konspirasi penguasaan rumah keluarga Park oleh keluarga Kim dan mengancam mengirim potongan video yang mengungkap penyamaran keluarga Kim. Sambil tertawa aneh, Geun-sae mengumpamakan tombol “send” HP pasangannya bak tombol nuklir Korea Utara. Mereka pun berhasil menyandera keluarga Kim.

Tak lama kemudian, keluarga Kim menyerang pasangan yang lagi menikmati suasana kemenangan itu. Terjadilah perkelahian dan perebutan HP. Kali ini Kim berhasil menaklukkan dua pasangan yang lagi terlena. Di tengah-tengah pertarungan, Choi Yeon-gyo (Cho Yeo-jeong), ibu keluarga Park, menelepon dan meminta Chung-sook membuat ram-don. Di telepon itu, Yeon-gyo menyatakan batal plesiran dan dalam perjalanan pulang. Akhir cerita adegan ini Kim berhasil menekuk pasangan Geun-sae dan menyiapkan ram-don untuk Park. Tapi, di saat membawa santapan untuk Yeon-gyo, Chung-sook menendang Moon-gwang hingga jatuh dan gegar otak.

Selanjutnya, keluarga Kim bersembunyi di bawah meja hingga tengah malam. Di saat pasutri Park tertidur, mereka menyelinap keluar. Namun, dalam perjalanan pulang, hujan deras turun. Sesampainya di apartemen bawah tanah, Kim menemukan rumah mereka sudah terendam banjir. Dari kloset rumah yang berada di bagian tertinggi rumah, kotoran bercampur air bah menyembur keras. Mereka pun berusaha menyelamatkan apa yang bisa mereka raih. Lalu bersama-sama korban banjir lainnya mengungsi ke gedung olahraga setempat.

Di situlah terjadi dialog yang menarik antara Kevin dan ayahnya. Saat Kevin menanyakan rencana ayahnya keluar dari kekisruhan, dia jawab: “Tahukah kau apa rencana yang paling bagus? Rencana yang paling bagus dan tidak akan gagal adalah tidak punya rencana. Karena jika kau punya rencana, hidup tidak akan berjalan sesuai rencanamu. Lihatlah sekeliling kita? Apakah para korban banjir ini berencana tidur di gedung ini malam ini? Orang tanpa rencana tidak akan pernah gagal. Jika hidup berjalan di luar kendali, tidak masalah.”

Sepertinya petikan dialog itu melatari ide utama film ini: ketika orang miskin ingin jadi kaya maka segala rupa masalah akan datang kepadanya. Tapi, jika dia tidak punya rencana, persis seperti Kevin saat menerima tawaran kerja dari temannya, maka mungkin segalanya justru dapat berjalan mulus. Dan dari dialog itu pula kita jadi paham bahwa Bong sejak awal tak pernah merencanakan sebuah film yang mengisahkan konflik kelas di Korea karena tokoh-tokoh film ini tak pernah sadar kelas dan identitas.

Itulah mengapa, setelah berciuman dengan muridnya sekaligus putri keluarga Park, Da-hye, Kevin memandang keluar jendela, menyaksikan para pasangan tamu bercengkerama menghadiri pesta ulang tahun putra Park, Da-song. Kevin bergumam mengagumi betapa orang-orang itu tampak keren dan alami, meskipun mereka mendapat undangan mendadak dan berdandan apa adanya. Dia lantas bertanya pada Da-hye: “Apa aku cocok di sini?” Da-hye yang ironisnya digambarkan mencintai Kevin pun dengan terheran mengangguk setuju. Pesta ulang tahun itu pun berakhir dengan kekacauan, tanpa rencana.

Dalam adegan akhir itu Bong menyuguhkan banyak pesan, menganyam kisah yang begitu rumit jadi kerajinan yang indah. Bong tak pernah bermaksud membuat film yang lurus-lurus saja—dan karena itulah dia menerima enam nominasi dan memenangkan empat Oscar. Meski suka menyoroti konflik kelas dalam film-filmnya, dia jauh dari mengadvokasi kelas tertentu. Di film ini, kebaikan dan keburukan, seperti halnya kepolosan dan kebodohan, sama-sama ada di semua kelas.

Orang kaya di film ini digambarkan begitu bergantung dan membutuhkan jasa orang-orang miskin. Lalu, pada gilirannya, orang-orang miskin menumpang hidup dari belas kasih orang-orang kaya. Dengan canggih Bong mampu menunjukkan, seperti di film Snowpiercer,solidaritas kelas itu hanya ada dalam teori. Dalam praktik kehidupan yang terjadi adalah hubungan saling membutuhkan, interaksi dan transaksi antara individu-individu masyarakat, apa pun status sosial ekonomi mereka. Hubungan itu akan berjalan dalam keseimbangan dan untuk berbagai tujuan. Namun, bila keseimbangan itu berubah, entah karena suatu bahaya atau peluang, maka tiap individu dapat berubah peran. Tiap kali ada peluang, individu-individu akan berusaha meraihnya; sebaliknya bila ada bahaya, mereka semua akan melarikan diri darinya, dengan menabrak apa saja yang di depannya.

Parasite, karena itu, secara sederhana ingin mengatakan bahwa alam dan segenap sistem nilainya adalah kekuatan utama yang membentuk kehidupan di dalamnya, termasuk kehidupan manusia. Manusia, dengan demikian, bukan makhluk yang dapat menyusun sistem nilainya secara mandiri dari realitas dan sifat alam, seperti fenomena simbiosis mutualis maupun parasitis.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Film

Go to Top