“Official Secrets”: Tak Pernah Ada Cukup Negara bagi Nurani

in Film by

Terinspirasi kisah nyata Katharine Gun, mata-mata Inggris pembocor memo rahasia tentang dusta Perang Irak, film garapan Gavin Hood ini mempertanyakan posisi warga di hadapan klaim kepentingan negara melawan bisikan nurani dan kepentingan rakyat.

KATHARINE Teresa Gun orang biasa. Hari-harinya dia jalani dengan terpaku di dalam kubikel di kantornya, markas lembaga telik sandi Inggris, GCHQ. Dia staf junior di sana. Tugasnya mentranskrip dan menerjemahkan hasil sadapan intelijen.

Katharine warga potensial. Dia berpendidikan tinggi dan cerdas. Besar di Taiwan dan menjadi guru bahasa Inggris di Jepang membuatnya menguasai sejumlah bahasa asing. Belum lagi, dia berdedikasi dengan pekerjaannya.

Tapi, semua itu tak pernah cukup bagi negara jika hati nurani berbicara. Itulah yang terjadi pada Katharine.

Di suatu hari di awal Februari 2003, dia melihat di hadapannya sebuah memo; sebuah bukti kejahatan. Pemerintahnya bekerja sama dengan Amerika Serikat mengumpulkan informasi pribadi yang bisa digunakan untuk memeras diplomat enam negara anggota tak tetap Dewan Keamanan PBB. Bukan untuk melindungi rakyat Inggris, tapi demi mengatur pemungutan suara di DK PBB agar bisa melancarkan perang atas Irak.

Saat itu, nurani Katharine berbisik, membuatnya gelisah. Ini salah. Ini perang ilegal. Dia pun mencetak memo itu dan berniat menyerahkannya kepada seorang kawan, aktivis anti-perang.

Dia sadar di hadapannya berdiri pagun algojo negara bernama Official Secrets Act 1989 (Undang-Undang Rahasia Negara). Dia tahu bisa terancam didakwa sebagai pengkhianat negara, dan ganjarannya hukuman penjara bertahun-tahun.

Tapi nurani terlalu bising untuk ditepis. “Setidaknya hati nuraniku tenang,” katanya kepada si kawan.

Bocoran memo itu kemudian dimuat di harian The Observer pada 2 Maret 2003, kurang dari tiga pekan sebelum Amerika dan Inggris berikut koalisi mereka menerangi Baghdad dengan ratusan ton rudal. Perang karena dusta itu tak bisa dicegah. Kini, setelah 17 tahun, perang membunuh ratusan ribu warga Irak dan memorak-porandakan negeri itu. Memo bocoran Katharine tergilas roda waktu hingga cuma jadi catatan kaki sejarah.

Sutradara asal Afrika Selatan, Gavin Hood, mereka ulang kisah Katharine tersebut dalam film terbarunya, Official Secrets. Peraih Oscars 2006 untuk Film Berbahasa Asing Terbaik Tsotsi ini sebelumnya juga menggarap tema pertarungan nurani melawan tugas heroik kenegaraan dalam Eye in the Sky (2015). Hanya kali ini Hood mendasarkan filmnya pada kisah nyata.

  • Judul Film: Official Secrets
  • Sutradara: Gavin Hood
  • Penulis: Gregory Bernstein, Sara Bernstein, Gavin Hood
  • Pemain: Kiera Knightley, Matt Smith, Matthew Goode, Ralph Fiennes
  • Rilis: Agustus 2019 (AS); Oktober 2019 (Inggris)
  • Durasi: 112 menit

Sederet aktor kenamaan Inggris Raya membintangi film ini. Keira Knightley memerankan Katharine. Lalu ada dua bintang serial The Crown, Matt Smith dan Matthew Goode, yang masing-masing berperan sebagai jurnalis The Observer, Martin Bright dan Peter Beaumont. Tak ketinggalan Ralph Fiennes sebagai pengacara hak asasi manusia yang membela Katharine, Ben Emmerson.

Dalam Official Secrets, Hood berhasil menggambarkan secara wajar kehidupan profesional di dunia intelijen, jurnalistik, dan hukum. Kita bisa menyaksikan bagaimana para profesional di ketiga bidang itu mengalami pertempuran serupa Katharine; idealisme versus pragmatisme.

Kolega Katharine, misalnya, juga mengetahui implikasi isi memo tersebut; bahwa Inggris dan pemerintahan Tony Blair telah melakukan kejahatan perang. Tapi, tak seperti Katharine, mereka masih sanggup menekan bisikan nurani.

“Astaga, Kat, aku minta maaf,” kata Mi-yung (Niccy Lin), rekan kerja Katharine.

“Hei, kau tak melakukan kesalahan.”

“Tidak, aku tidak melakukan hal yang benar.”

Menurut saya, dialog kecil di atas mengesankan. Dalam situasi yang bakal menentukan kehidupan orang banyak, tidak melakukan apa pun; cuma jadi penonton “yang tak berdosa” adalah juga kesalahan. Menjadi netral dalam momen menentukan memang pilihan paling aman. Kita bisa berlepas tangan dari apa pun yang akan terjadi. Tapi, jika kita tahu pihak mana yang berada pada kebenaran, maka nurani tak akan membiarkan kita tenang.

Di ruang redaksi The Observer, Bright dan Beaumont—yang tak pernah mengenal dan bertemu dengan Katharine—berjibaku memverfikasi memo. Mereka harus memastikan berita mereka berdasarkan dokumen yang benar, dan bukan dokumen hasil rekayasa pihak tertentu. Reputasi mereka, dan The Observer, menjadi taruhan. Tapi yang jauh lebih sulit daripada memverfikasi dokumen adalah meyakinkan redaktur mereka, Roger Alton (Conleth Hill), karena Alton jurnalis pragmatis dan pada momen tersebut cenderung mendukung perang.

Idealisme Emmerson dan koleganya di LSM Liberty yang membela Katharine berhadapan dengan pragmatisme yang sedikit berbeda. Ada dua pilihan bagi mereka: menyelamatkan Katharine dari hukuman penjara dengan mengaku bersalah atau mendorong persidangan dan melawan postulat negara dalam Official Secrets Act dengan mengaku tak bersalah. Tapi tentu saja risiko besar menanti Katharine: kurungan penjara bertahun-tahun.

Pada akhirnya, mereka memilih yang kedua terutama karena Katharine berkeras menolak mengaku bersalah. Ya, ia bersalah telah menerabas Official Secrets Act tapi tak pernah merasa bersalah karena tak mengkhianati rakyat Inggris dan nuraninya.

Pada bagian ini, ada dialog-dialog tentang strategi pembelaan yang menarik untuk disimak, khususnya oleh para pembela hak asasi manusia. Meskipun sarat dengan istilah teknis hukum, dialog tersebut diolah Hood (yang juga menulis skenario) dengan cukup simpel sehingga mudah dipahami awam.

Di titik ini, Official Secrets membawa kita kepada pertanyaan filosofis. Apa itu pemerintah, dan bahkan lebih jauh apa itu negara? Bagaimana posisi warga di hadapan apa yang diklaim sebagai kepentingan negara vis a vis kepentingan publik.

Coba simak dialog Katharine dengan seorang perwira Scotland Yard (Peter Guinnes) yang menginterogasinya!

“Jadi kau bekerja untuk pemerintah Inggris?”

“Tidak. Tidak juga.”

“Tidak?”

“Pemerintahan berubah. Aku bekerja untuk rakyat Inggris.”

“Aku mengumpulkan intelijen agar pemerintah bisa melindungi rakyat Inggris. Aku tidak mengumpulkan intelijen agar pemerintah bisa berbohong kepada rakyat Inggris.”

Katharine menggugat pandangan bahwa negara adalah entitas yang mesti dibela dengan “harga mati” bahkan meski negara melakukan kejahatan. Dia menguji apa yang diklaim sebagai kepentingan negara di hadapan kepentingan rakyat. Dia menolak pandangan bahwa negara serta merta mencerminkan kepentingan rakyat.

Jika Ben Anderson mengatakan bangsa sebagai “komunitas yang dibayangkan”, maka negara semestinya juga entitas politik “yang dibayangkan” merepresentasikan rakyat. Negara membayangkan dirinya bisa mengatasnamakan rakyat, seperti umum ditemukan dalam teks proklamasi kemerdekaan atau konstitusi sebuah negara. Tapi sebenarnya “pengatasnamaan” itu hanyalah imajinasi politik, yang setiap saat mesti diverifikasi dengan nalar kepentingan publik.

Negara atau bentuk-bentuk kekuasaan politik lainnya bisa datang dan pergi sepanjang sejarah. Tapi, yang tetap adalah rakyat; manusia-manusia yang hidup.

Katharine memang “mengkhianati” negara karena melanggar aturannya. Di titik ini, ia bersalah. Tapi, dia melakukan itu karena tak ingin mengkhianati rakyat Inggris. Di titik ini, nurani seseorang justru bersifat transendental; universal. Ia melampaui sekat-sekat geografis dan politik yang didefinisikan negara, dan bahkan interes-interes pribadi. Dengan membocorkan memo, Katharine memilih setia kepada nurani meski harus menghadapi risiko persekusi, bukan hanya atas dirinya tapi juga suaminya, yang kebetulan seorang imigran muslim asal Turki.

Tapi, Hood tidak menjadikan Official Secrets sebagai film tentang seorang pahlawan gagah dengan idealisme dan keberanian serta keyakinan penuh. Katharine—dan Kiera memerankannya dengan baik—tetaplah manusia biasa. Ia takut, terguncang, dan kadang diserbu keraguan. Dan pahlawan di dunia manusia bukan tokoh kartun atau komik. Ia bisa takut, cemas, dan ragu.

Katharine pada awalnya tetap berupaya melindungi kepentingan pribadinya. Dia berbohong kepada pengawas internal GCHQ yang menyelidiki kebocoran informasi. Tapi pada akhirnya dia memutuskan mengakui tindakannya setelah pemerintah Amerika menyebut memo itu palsu sementara laporan The Observer diserang media-media konservatif dengan isu serupa—sebagian karena kesalahan editor bahasa di harian tersebut. Katharine sekali lagi menepis interes pribadi demi nurani; demi menunjukkan keaslian dan kebenaran dokumen tersebut.

Dalam sebuah sesi wawancara dengan Democracy Now, Martin Bright mengakui bahwa dakwaan kriminal atas Katharine justru melegakan dia dan The Observer. Sebab, sejak saat itu, tak ada seorang pun yang meragukan akurasi laporan mereka.

Nurani sekali lagi membuat Katharine berkorban demi kebenaran sebuah laporan jurnalistik; demi kepentingan publik.

Itulah kenapa tak pernah ada cukup negara bagi nurani.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*