“Never Rarely Sometimes Always”: Selamat Datang di Dunia Patriarki!

in Film by

Memadukan spirit dokumenter dengan fiksi, Eliza Hittman menghasilkan Never Rarely Sometimes Always. Film unik ini, baik dari sisi penuturan dan artistik, menceritakan perjalanan perempuan muda memasuki dunia patriarki yang seksis.

SATU babak kehidupan seseorang bisa menceritakan banyak hal. Kisah Autumn Callahan (Sidney Flanigan), gadis 17 tahun di pinggiran Pennsylvania, mencari klinik di mana ia bisa mengaborsi kandungan secara privat, bercerita tentang ketakbergunaan lelaki dalam keluarganya, perilaku seksis kaum pria di lingkungannya, persahabatan dengan sepupunya Skylar (Talia Ryder), proses aborsi yang menguras fisik dan emosi, dan terutama determinasi dalam menentukan pilihan hidupnya sendiri. Tak penting bagaimana dia bisa hamil, tak penting siapa ayah janin dalam kandungan, dan tak penting bagaimana dia akan menjalani hidup setelah aborsi. Ibarat cerpen bagus, Never Rarely Sometimes Always menghadirkan teror mental dan kisah yang terbuka untuk dipertanyakan, diperdebatkan, dan diinterpretasi.

  • Judul Film: Never Rarely Sometimes Always
  • Sutradara: Eliza Hittman
  • Penulis: Eliza Hittman
  • Pemain: Sidney Flanigan, Talia Ryder, Theodore Pellerin
  • Rilis: 13 Maret 2020
  • Durasi: 95 menit

Sutradara sekaligus penulis Eliza Hittman meramu film ini dengan cara bertutur dan gaya artistik yang unik. Dia membangun emosi karakternya benar-benar realistik, tanpa drama berlebihan. Ketika hasil tes menunjukkan dirinya positif hamil, Autumn dengan wajah polos cuma bertanya kepada seorang tenaga medis, “Apakah positif bisa berubah menjadi negatif?” Tak ada wajah berurai air mata atau tangisan histeris.

Adegan-adegan diciptakan minim dialog—sebagian besar film ini bisa dikatakan hening. Konflik antarkarakter dilukiskan dalam mimik wajah, perilaku, dan bahkan seringkali tanpa ekspresi apa pun. Hittman tampak memadukan spirit dokumenter dengan fiksi dalam gaya artistiknya. Sisi dokumenter film ini bisa dilihat pada betapa detail Hittman menggambarkan proses aborsi (termasuk perbedaan syarat-syaratnya antara Pennsylvania dan New York City). Dalam sebuah wawancara, ia mengakui melakukan riset terlebih dahulu di klinik-klinik aborsi.

Ini film panjang ketiga Hittman setelah It Felt Like Love (2013) dan Beach Rats (2017). Keduanya meraih pujian dari kritikus, dan mendapatkan kehormatan penayangan perdana pada Sundance Film Festival. Pada 2018, Hittman memperoleh kesempatan menyutradarai dua episode dari 13 Reasons Why, drama psikologi remaja yang tayang di layanan streaming Netflix.

Never Rarely Sometimes Always adalah contoh sempurna bagaimana sineas tak harus selalu menjelaskan segala hal kepada penontonnya. Justru dengan menyimpan enigma, sinema bisa mengajak kita berdialog, setidaknya dengan diri kita sendiri.

Misalnya, film ini menggambarkan lelaki yang tak bisa bersimpati kepada hidup perempuan. Mereka hanya memandang perempuan sebagai objek seksual—bahkan termasuk Jesper (Theodore Pellerin) yang di awal tampak bakal menjadi “The Good Samaritan”. Kita akan bertanya-tanya, apakah lelaki bisa sedemikian tak sensitif, sehingga tak pernah bisa memahami isu perempuan—bahkan sebaliknya menjadi sumber beban dan derita bagi perempuan—ataukah mereka sebenarnya mengerti itu tapi terlalu egois untuk peduli.

Contoh lain, seputar isu “pro-life” versus “pro-choice” dalam konteks aborsi. Hittman lebih memilih yang kedua daripada yang pertama. Ini tampak dalam penggambarannya atas klinik anti-aborsi yang ceroboh dan klinik aborsi yang lebih bisa dipercaya. Pilihan ini bisa diperdebatkan, baik secara subjektif maupun objektif.

Pilihan Autumn untuk mengakhiri kehidupan dalam rahimnya juga bisa dilihat dari sisi subjektif dan objektif. Secara subjektif, gadis itu merasa belum siap menjadi seorang ibu tapi perasaan itu terkonfirmasi secara objektif karena dalam keluarganya sendiri, figur ayah hanya membebani ibu. Ayahnya adalah anak lain yang mesti diurus ibunya, dan itu bukan karena si ayah sakit atau cacat tapi karena sikap kekanak-kanakannya. Faktor objektif lain yang mengonfirmasi sisi subjektif itu adalah bagaimana dia menerima pelecehan demi pelecehan dari lelaki dalam kehidupan sehari-harinya (di-cat calling oleh teman lelaki di sekolah dan diciumi tangannya oleh pengawas toko swalayan tempat dia bekerja).

Juga diketahui kemudian bahwa “si ayah” dari janin itu tipe lelaki (meski tak pernah disebut sepanjang film) yang tak kurang bajingannya. Saat Autumn menjawab kuisioner pilihan ganda (dengan opsi Never, Rarely, Sometimes, dan Always—yang kemudian menjadi judul film ini), kita bisa menduga dia korban kekerasan seksual: dipaksa melakukan seks di luar konsen dan teman lelakinya ngotot tak mau memakai kondon. Autumn memang tak sanggup menjawab pilihan ganda itu meski itu, menurut konselor medisnya, bukan tes. Tapi dari mimik wajah yang melukiskan emosi yang dia pendam, kita bisa memperkirakan itu.

Jadi, ketika beberapa kritikus menyebut film ini sebagai film aborsi atau bahkan film road-trip, saya harus mengatakan mereka terlalu sempit menilai karya Hittman ini. Never Rarely Sometimes Always adalah film tentang bagaimana dua perempuan muda (Flanigan dan Ryder bakal memiliki karir akting cemerlang di masa depan) mulai menghadapi realitas dunia patriarki yang seksis. Keduanya—dan terutama Autumn—berjuang mengambil alih kendali atas pilihan hidup, termasuk atas tubuh mereka sendiri.

“Apa kau pernah berharap kau seorang lelaki?” kata Skylar.

“Setiap saat,” jawab Autumn.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*