“A Copy of My Mind”: Membosankan Sekaligus Memukau

in Film by

Salah satu film terbaik Joko Anwar dirilis di Netflix baru-baru ini: A Copy of My Mind (2015). Seperti dua sisi dari satu koin, film ini membosankan sekaligus memukau.

LATAR, konflik, klimaks, dan akhir seringkali sudah ada dalam pikiran. Tapi, bagaimana mengembangkan semua itu menjadi rangkaian plot memikat adalah persoalan klasik yang dihadapi oleh setiap pencerita, termasuk sineas. Pengembangan plot semestinya bisa memaku perhatian penonton hingga akhir. Plot seharusnya selalu menghadirkan tanya, apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Jika tak demikian, cerita atau film biasanya akan mudah membosankan.

Itulah yang terjadi dengan A Copy of My Mind (2015), film yang melambungkan nama Joko Anwar sebagai salah satu sineas terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini. Berkat film ini, dia meraih Piala Citra 2015 sebagai Sutradara Terbaik. Film ini juga memperoleh kesempatan tayang di sejumlah festival internasional, seperti Toronto International Film Festival dan La Biennale di Venezia.

  • Judul Film: A Copy of My Mind
  • Sutradara: Joko Anwar
  • Penulis: Joko Anwar
  • Pemain: Tara Basro, Chicco Jerikho, Maera Panigoro, Paul Agusta, Ario Bayu
  • Rilis: 11 Februari 2016
  • Durasi: 116 menit

Hingga lebih daripada satu jam, film yang baru rilis di Netflix pada 2020 ini tak kunjung memantik konflik. Selama itu, ia anteng bercerita tentang latar kehidupan Sari (Tara Basro) dan Alek (Chicco Jerikho). Sari seorang pekerja salon kecantikan yang menghabiskan waktu senggang menonton film-film dalam DVD bajakan. Alek adalah penerjemah takarir DVD bajakan. Cerita tentang latar ini juga dibangun lewat suasana yang sebagian besar itu-itu saja, seperti salon, kos-kosan, lapak penjualan DVD bajakan, atau suara azan di pagi hari.

Seperti menulis, jika setelah dua atau tiga paragraf Anda tak juga menyajikan persoalan, maka pembaca hampir bisa dipastikan bakal meninggalkan tulisan Anda. Ambil contoh film Taiwan yang baru-baru ini juga rilis di Netflix, A Sun (2019). Besutan sutradara Chung Mong-hong ini langsung menghentak penonton di dua menit pertama melalui adegan seorang pria menebas tangan pria lain di sebuah restoran. Adegan ini mengikat perhatian penonton kepada plot-plot selanjutnya dan bahkan hingga akhir film karena konflik pembuka itu ternyata membuhul rangkaian plot dalam film tersebut. Tentu saja tak harus seekstrem adegan tebas tangan dan secepat dua menit pertama film. Tapi, penonton juga tak harus menanti selama lebih daripada satu jam, bukan?

Meskipun demikian, bukan berarti tak ada yang menarik dari penceritaan latar Sari dan Alek. Di sini, Joko Anwar berhasil memotret suasana kehidupan warga marginal Jakarta setelanjang mungkin: pemukiman padat di gang-gang sempit, jalan-jalan bising dengan klakson dan sumpek karena debu asap knalpot kendaraan bermotor, hiruk-pikuk kampanye politik pemilihan presiden, oborolan dan tingkah warga pinggiran, serta kamar remang dan panas yang ditinggali Sari dan Alek (ditunjukkan dengan keringat bercucuran—dan sungguh banyak keringat).

Joko Anwar juga menyuguhkan hubungan Sari dan Alek secara banal. Tak ada kata berbunga-bunga. Bahkan tak ada kata cinta. Setelah berahi keduanya tuntas, mereka malah mengobrol ngalor-ngidul. Cinta mereka tunjukkan dengan sentuhan, senyuman, tatapan, kecupan, dan tentu saja bercinta lagi. Serba banal. Serba biasa. Di sini, Joko Anwar harus diakui brilian.

Setelah bagian panjang membosankan itu, film bergerak menuju konflik. Sari yang digambarkan di awal kecanduan berat film—dan juga diam-diam doyan mengutil—menilap satu buah DVD dari rak Mirna (Maera Panigoro), seorang narapidana yang memesan layanan perawatan wajah dari salon tempat Sari bekerja. Mirna pesakitan berpengaruh yang akan mengingatkan kita kepada sosok kontroversial Arthalita Suryani, terpidana kasus suap yang banyak tingkah di dalam terungku. Ya, seperti Arthalita pula, Mirna menempati sel bak kamar hotel dengan berbagai fasilitas, termasuk home theater yang menjadi impian Sari. Meski berada di penjara, orang kaya seperti Mirna bisa tetap hidup lebih nyaman daripada jelata seperti Sari.

Sampai di kosan Alek, DVD itu ternyata tak berisi film tapi sebuah rapat di mana Mirna hendak menyuap beberapa politisi guna menggolkan sebuah regulasi yang bakal menghancurkan hutan. Singkatnya, isinya rekaman bukti rencana rasuah. Sari kemudian menyaksikan wajah-wajah politisi di dalam DVD itu tampil semringah di layar televisi mendampingi seorang calon presiden berkampanye.

Joko bermain ironi dengan sangat kuat di sini. Sepasang kekasih kelas bawah dengan keinginan sederhana—menikmati DVD bajakan berduaan di kamar—terseret ke dalam konspirasi politik elite. Tapi, tak seperti film kebanyakan, di mana protagonis muncul dengan kemenangan gilang gemilang, Joko menyajikan klimaks berbeda. Pilihan itu menarik meskipun masih bisa diperdebatkan. Kenapa orang berpengaruh seperti Mirna dan para politisi itu tak menawarkan uang jika yang mereka cari adalah DVD itu? Mengapa preman yang dikirim hanya punya satu jalan: kekerasan?

Bagaimanapun, Joko memberi penonton akhir muram sekaligus indah—dan mungkin akan meninggalkan kesan begitu Anda selesai menonton film ini. Alek memang kemudian tinggal kenangan dalam angan Sari. Kisah cinta mereka berakhir tragis. Tapi pada saat yang sama, film ini memberi katarsis kepada orang-orang lemah: sebuah senjata perlawanan yang tak terduga.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*