Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) memiliki potensi tema sangat menarik. Sayang, premis film ini kurang berani.
APA yang menjadi pertimbangan utama Anda pergi ke bioskop dan menonton film? Selain uang di kantong untuk membeli tiket, Anda berharap film bakal memberi pengalaman baru. Itu bisa berupa apa saja: pengalaman menikmati kecantikan atau ketampanan para pemain; keindahan gambar; kekuatan akting; kebaruan tema; atau kelincahan narasi.
Tapi, dari semua itu, penikmat sinema biasanya akan mengajukan pertanyaan apa makna film ini, setidaknya bagi dirinya secara pribadi. Sebab, manusia adalah ‘hewan rasional’ yang selalu mencari makna; makna apa saja hingga bahkan makna keberadaannya di alam semesta ini. Berkat pencarian makna itulah, pengetahuan, filsafat, dan peradaban manusia terus berkembang.
Perdebatan, apakah film merupakan media yang hanya menyampaikan makna sebagaimana yang ditunjukkan kepada penonton dalam adegan, gambar, dan suara ataukah penonton bisa terlibat aktif “membebani” makna tertentu atas film, sudah lama berlangsung di kalangan teoritikus film dan sineas. Setidaknya ada dua arus besar dalam perdebatan ini.
Yang pertama menilai film semestinya dinilai secara eksklusif melalui unsur-unsur sinematiknya: skenario, penyutradaraan, akting, dan penyuntingan. Kelompok ini kerap disebut “aliran formalisme” atau dalam batas tertentu “neo-formalisme” seperti yang diusung teoritikus dan sejarawan film kenamaan Amerika Serikat, David Bordwell.
Kelompok kedua berupaya memberi makna kepada film dengan mengimpor konsep-konsep dari luar film. Biasanya sebagian besar menggunakan teori psikoanalisis, kritik kesusastraan, atau semiotika. Yang paling ekstrem dari kelompok ini adalah Roland Barthes yang berpandangan bahwa semesta teks—dan film termasuk teks dalam pengertian luas—tidaklah memiliki makna dalam dirinya, kecuali setelah audiens—dalam hal ini penonton—terlibat aktif dalam pembacaan dan penafsiran film.
Lihatlah film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI) garapan sutradara Angga Dwimas Sasongko. Film ini dirilis pada awal 2020 dan baru-baru ini masuk ke dalam layanan streaming Netflix. Sejak dirilis, film ini menuai euforia. Sebagian besar penonton membanjiri media sosial dengan ungkapan bahwa film ini bisa membuat air mata beranak sungai di pipi kita. Sebagian euforia juga disumbang oleh Angga sendiri yang mengatakan, NKCTHI adalah karya terbaiknya sejauh ini. Pernyataan ini kemudian didengungkan banyak akun tak jelas di media sosial. Apakah ini gimmick marketing rumah produksi Visinema Pictures? Entahlah.
- Judul Film: Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini
- Sutradara: Angga Dwimas Sasongko
- Penulis: Angga Dwimas Sasongko, Jenny Jusuf, Melarissa Sjarief
- Pemain: Rachel Amanda, Rio Dewanto, Sheila Dara Aisha, Donny Damara, Susan Bachtiar, Ardhito Pramono, Oka Antara, Niken Anjani
- Rilis: 2 Januari 2020
- Durasi: 121 menit
Tapi, ada juga penonton yang kemudian menginterpretasi film ini hingga bermakna meluas; makna di luar batasan sinematiknya atau apa yang ditunjukkan secara visual kepada penonton di bioskop: film tentang keluarga berhadapan dengan trauma masa lalu. Misalnya, Usman Hamid. Aktivis hak asasi manusia cum Direktur Amnesty International Indonesia ini membaca NKCTHI sebagai alegori dari bangsa Indonesia melawan lupa; melawan upaya kekuasaan mengubur borok-borok masa lalu dari memori publik.1
Contoh lain adalah ulasan yang ditulis wartawan Tempo, Moyang Kasih Dewi Merdeka. Alih-alih melihat film bertema keluarga dengan trauma bersama, Moyang menulis NKCTHI justru menunjukkan bagaimana budaya patriarki masih dominan di banyak keluarga di Indonesia; tema yang justru Moyang abstraksikan setelah dia menilai film ini lemah dalam mengeksekusi klimaksnya.2
Tom McClelland3 menyebut dua problem film ketika ia coba ditafsir meluas. Problem pertama adalah generalisasi. Film terbatas pada latar yang diciptakan sineas. Apa yang dialami keluarga Narendra dalam NKCTHI belum tentu terjadi pada keluarga lain. Problem kedua adalah eksplisitas. NKCTHI tak berterus terang menyatakan argumen tentang melawan lupa akan sebuah trauma yang coba disembunyikan sang ayah, Narendra (Donny Damara).
Memang ada kutipan dialog Angkasa (Rio Dewanto) yang menurut Usman mewakili penafsirannya.
“… itu semua coba ditutupi ayah karena katanya kita enggak perlu punya trauma. Kita enggak perlu merasa kehilangan. Yang penting kita bahagia. Gimana caranya bahagia, kalau sedih aja enggak tahu rasanya kayak apa.”
Tapi dalam film ini, kutipan sang ayah juga tak bisa diabaikan.
“Mereka enggak perlu tahu tentang kesedihan ini. Cukup di kita. Ini kesedihan terakhir di keluarga kita.”
Lalu, sang ibu, Ajeng (Susan Bachtiar), membenarkan sikap suaminya.
“Ayah kamu benar, kita berdua harus bertahan karena ada tiga lainnya yang hidupnya harus berlanjut.”
Pertanyaannya, manakah dari pernyataan-pernyataan tersebut yang mewakili argumen atau pesan NKCTHI? Apakah itu pernyataan Angkasa yang menguatkan tafsir Usman ataukah pernyataan Narendra dan Ajeng yang justru sebaliknya membenarkan sikap kekuasaan selama ini: menyangkal berbagai tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Republik ini?
Hal serupa terjadi pada bagaimana penonton terbelah setelah menyaksikan Parasite, Film Terbaik Oscars 2020 karya Bong Joon-ho. Satu kelompok penonton menyatakan Bong mengkritik kapitalisme dengan menggambarkan keluarga kelas borjuis (keluarga Park) sebagai parasit masyarakat dalam film itu. Kelompok lainnya malah menilai Bong mengolok-olok keluarga kelas proletar (keluarga Kim) sebagai parasitnya.
Lalu, siapakah yang parasit? Seperti dalam Snowpiercer (2013), Bong justru lebih menampilkan karya-karyanya sebagai gambaran naturalisme, yaitu bahwa hukum alamlah yang menentukan respons-respons manusia terhadap segala hal, bukan kerakusan kelas borjuis atau perjuangan kelas proletar.
Tapi, McClelland tidak kemudian mengingkari kemungkinan film ditafsir meluas, seperti pesan yang ditangkap Usman Hamid. Syaratnya, tulis McClelland, elemen-elemen sinematik film harus mendorong penonton melakukan apa yang dia sebut “eksperimen pikiran” (thought experiment). Eksperimen pikiran inilah yang membuat film bisa mengatasi dua problem tadi: generalisasi dan eksplisitasi. Eksperimen pikiran mengarahkan penonton membaca kemungkinan makna luas dari narasi sempit dalam film.
Dia mencontohkan bagaimana Alfred Hitchcock dalam Rear Window secara alegoris mengajak penonton mempertanyakan moralitas voyeurisme (dorongan untuk mengintip dan mendapatkan kepuasaan darinya). Padahal, film produksi 1954 itu bertema misteri pembunuhan.
Dikisahkan LB “Jeff” Jefferies (James Stewart), seorang fotografer yang patah kaki, terpaksa berdiam diri di apartemennya. Dari jendela apartemen, Jeff diam-diam mengintip aktivitas Lars Thoward (Raymond Burr) di apartemen seberang halaman. Lama-lama Jeff curiga bahwa Thoward membunuh istrinya. Dengan bantuan pacarnya, Lisa (Grace Kelly), dan perawatnya Stella (Thelma Ritter), Jeff berhasil membuktikan kecurigaan itu.
Bagi McClelland, premis film ini mengajak penonton mempertanyakan moralitas mengintip meskipun hasil aktivitas tersebut pada akhirnya mengungkap sebuah pembunuhan. Hitchcock misalnya menggambarkan bagaimana Jeff lebih terobsesi dengan kepuasan mengintip daripada melayani pacarnya, Lisa. Elemen dalam film itu juga berkontribusi kepada pembacaan seperti itu. Sebagai contoh, di awal dan akhir film, ada adegan membuka dan menutup tirai apartemen. Bahkan, di pertengahan film, Lisa menutup tirai sambil berkata, “The show is over for tonight.”
Lalu, bagaimana dengan NKCTHI? Sayangnya, premis film ini lemah dalam mendukung pembacaan model Usman Hamid. Premis adalah proposisi utama yang menjahit narasi; plot demi plot, hingga membuahkan kesimpulan.
Kematian satu anggota tentu saja kehilangan besar bagi sebuah keluarga, dan bisa meninggalkan trauma. Tapi, apakah trauma itu bisa dirasakan bersama jika yang mengalami kematian adalah bayi baru lahir, yang belum berinteraksi dalam jangka waktu tertentu dengan anggota keluarga lain? Ibu yang melahirkan atau sang ayah bisa dikatakan akan mengalami kesedihan dan menyimpan trauma. Tapi, apa kesedihan dan trauma yang sama dirasakan oleh anak-anak mereka yang masih kecil, atau bahkan oleh saudara kembar si bayi, yang belum pernah berinteraksi dan melihat wajah saudara mereka?
Lebih penting, kematian bayi baru lahir itu bukan kejahatan Narendra. Ini sangat berbeda dengan sejumlah tragedi kemanusiaan akibat kejahatan negara yang coba ditutupi kekuasaan.
Secara moral, apa yang dilakukan Narendra sebenarnya bukan kebohongan. Dia tak berbohong tapi hanya merahasiakan kematian itu demi menjaga apa yang dia anggap sebagai kebahagiaan. Tak seorang pun pernah mencari tahu, menggugat, atau menanyakan rahasia itu, bahkan dua anggota keluarga yang tahu (Ajeng dan Angkasa). Ketika rahasia itu diungkap Angkasa setelah 21 tahun, Narendra pun tak bisa menyangkal seperti kekuasaan yang memiliki daya ingkar luar biasa selama ini.
Kesalahan Narendra adalah dia membiarkan trauma atas kesedihan itu menggerogoti jiwanya. Ini membuatnya bersikap terlalu protektif kepada Awan (Rachel Amanda), terkesan mengabaikan Aurora (Sheila Dara), dan menekan Angkasa.
Di sini, korban trauma sesungguhnya justru Narendra, yang sayangnya kurang terlihat dalam akting Donny Damara (saya lebih menyukai penampilan Oka Antara sebagai Narendra muda). Saat anggota keluarga lain, terutama anak-anaknya, tak berbagi trauma yang sama, Narendra-lah yang justru tak bisa melepaskan diri dari beban menanggung trauma karena pernah gagal membendung kesedihan masuk ke dalam keluarganya.
Lantas, apakah korban trauma kejahatan kemanusiaan itu adalah kekuasaan? Akankah kita bersimpati kepada kekuasaan yang telah menyangkal kejahatan kemanusiaan, sebagaimana NKCTHI pada akhirnya mencoba bersimpati kepada Narendra?
Terlepas dari model pembacaan Usman Hamid, inilah kelemahan NKCTHI. Daya ledak premis film ini terlalu lemah untuk menghancurkan jiwa-jiwa karakternya. Itulah mungkin mengapa eksekusi klimaksnya lemah, seperti dinilai Moyang. Angga, Jenny Jusuf, dan Melarissa Sjarief yang menulis skenario kurang berani membangun narasi mereka di atas premis berhulu ledak nuklir. Potensi tema film ini sebenarnya sangat menarik tapi bisa lebih menggugah jika rahasia yang disembunyikan lebih kelam ketimbang yang ditampilkan dalam film.[]
1Usman Hamid, “Melawan Lupa: Membaca Pesan HAM dalam Film NKCTHI”, The Conversation Indonesia, 24 Januari 2020.
2Moyang Kasih Dewi Merdeka, “Film NKCTHI, Trauma, dan Stereotip Keluarga Ideal”, Tempo.co, 10 Januari 2020.
3Tom McClelland, “The Philosophy of Film and Film as Philosophy”, Researchgate.net, 5 February 2018.