Guru-Guru Gokil, film Sammaria Simanjuntak, menghadirkan kesegaran melalui penciptaan suasana, bukan semata dialog dan polah yang sengaja diniatkan melucu. Tapi, ia tak konsisten hingga akhir.
GURU-Guru Gokil, film cerita panjang keempat Sammaria Simanjuntak setelah Cin(T)a (2009), Demi Ucok (2012), dan Sesat: Yang Sudah Pergi Jangan Dipanggil Lagi (2018). Skenarionya ditulis Rahabi Mandra (peraih Piala Citra 2017 melalui Night Bus).
Berdasarkan informasi pada situs perusahaan produksi Base Entertainment, film ini menandai debut Dian Sastrowardoyo sebagai produser. Ini juga kolaborasi pertama Base dengan Dian dari tiga proyek yang direncanakan.
Film ini awalnya dijadwalkan tayang di bioskop pada April 2020. Namun, wabah Koronavirus menutup semua pintu teater di bioskop dan menggagalkan rencana itu.
Layanan film streaming Netflix kemudian menawarkan platform mereka. Pada 17 Agustus 2020, Guru-Guru Gokil pun meluncur di Netflix dengan label “Netflix Original”.
- Judul Film: Guru-Guru Gokil
- Sutradara: Sammaria Simanjuntak
- Penulis: Rahabi Mandra
- Pemain: Gading Marten, Dian Sastrowardoyo, Faradian Mufti, Boris Bokir, Kevin Ardillova, Shakira Jasmine, Asri Welas, Arswendy Bening Swara, Kiki Narendra
- Rilis: 17 Agustus 2020 (Netflix)
- Durasi: 142 menit
Plot
Taat Pribadi (Gading Marten) berpikir bahwa kebahagiaan adalah memiliki banyak uang. Dia kemudian merantau ke kota dan mencoba banyak pekerjaan untuk menghasilkan uang.
Namun, semua berujung kegagalan. Pada akhirnya, Taat terpaksa melamar pekerjaan sebagai guru pengganti, profesi yang sebenarnya tak dia sukai. Profesi ini pun ia jalani ogah-ogahan sebelum ia bisa mendapatkan modal untuk bekerja di kapal pesiar.
Sebuah peristiwa terjadi di sekolah tempat Taat bekerja. Dua preman merampok tas berisi gaji guru dan staf sekolah.
Taat bersama guru lain, Rahayu Paramitha (Faradina Mufti), Nelson Manulang (Boris Bokir), dan Nirmala (Dian Sastrowardoyo), berusaha mendapatkan kembali tas tersebut. Momen-momen yang terjadi dalam pencarian tersebut membuat Taat sadar bahwa kebahagiaan bukan cuma soal uang.
Ulasan
Guru-Guru Gokil berlatar kehidupan guru di kampung atau setidaknya di pinggiran kota. Lebih spesifik, film ini menggambarkan kehidupan guru di sekolah negeri atau guru pegawai negeri sipil.
Bagi mereka yang akrab dengan kehidupan mereka, atau bahkan guru pegawai negeri sendiri, akan segera tampak bahwa penulis skenario belum sepenuhnya memahami perkembangan kehidupan guru pegawai negeri. Stereotipe lama kehidupan guru masih tampak dominan dalam film: sederhana dan bahkan cenderung kekurangan.
Tiga atau dua dekade lalu, gambaran seperti itu masih bisa dibenarkan. Tapi saat ini, guru pegawai negeri bisa dibilang kelas masyarakat menengah-atas. Kebijakan tunjangan sertifikasi profesi—yang nilainya setara satu bulan gaji—memenuhi kebutuhan hidup mereka lebih daripada sekadar cukup—tentu saja jika dibarengi dengan gaya hidup wajar.
Saat ini, hampit tidak ditemukan keluhan terkait kesejahteraan guru pegawai negeri, terkecuali mungkin di daerah-daerah pedalaman. Keluhan seperti ini kini menjadi tuntutan guru-guru di sekolah swasta yang modalnya pas-pasan dan guru non-pegawai negeri di sekolah negeri atau guru honorer—yang biasanya diangkat berdasarkan keputusan kepala sekolah untuk menambal kekurangan tenaga pengajar.
Keganjilan nyata dalam film ini tampak pada uang gaji dan guru yang dirampok. Saya bisa mengatakan, nyaris tidak ada gaji guru pegawai negeri yang saat ini dibagikan tunai. Gaji dan tunjangan mereka ditransfer melalui rekening bank masing-masing, terutama bank-bank milik daerah. Di daerah-daerah pedalaman, praktik tersebut mungkin masih ada. Tapi, guru dalam latar film ini (tampaknya daerah pinggiran kota) nyaris mustahil masih menerima gaji secara tunai.
Baiklah, kita abaikan saja keganjilan pada detail itu. Kita anggap saja uang yang dirampok itu adalah dana bantuan operasional sekolah yang disimpan di sekolah meskipun kini aktivitas finansial di sekolah negeri juga sudah banyak dilakukan dalam angka-angka elektronik.
Di luar itu, Guru-Guru Gokil memiliki ramuan dan potensi untuk menjadi sebuah drama-komedi yang menarik. Premisnya berbicara tentang pencarian jatidiri di tengah tarikan harsrat akan kenikmatan materiel (id) dan kehendak moral (superego), dan bagaimana ego mengatasi tarik-menarik itu.
Dilema itu digambarkan komikal melalui tokoh Taat Pribadi saat dia terlibat dalam pencarian uang sekolah yang dirampok. Kemudian dilema itu dituntaskan lewat salah satu adegan dan narasi di bagian akhir film saat Taat menolak menjadi seperti Pak Le. “Gue udeh bilang kan sama lo. Gue paling suka uang. Gue juga bisa liat, orang ini cara pikirnya sama kayak gue. Pertanyaannya, apa gue mau jadi orang kayak gitu?”
Jadi, jika kemudian Taat digambarkan menemukan kebahagiaan dengan mengajar, atau menjadi guru, itu soal lain. Menurut saya, kebahagiaan utama yang diperoleh Taat—yang tergambarkan dalam film ini—adalah saat egonya berhasil mengendalikan kuda liar hasrat (id) dengan meminjam kekuatan peran superego.
Kemudian, ada setidaknya empat karakter utama unik yang diciptakan: Taat, Rahayu, Manulang, dan Nirmala. Taat kerap bercanda meskipun menyimpan obsesi yang selalu gagal terwujud. Rahayau guru judes tapi kemudian luluh dengan pembawaan Taat. Manulang ceplas-ceplos sekaligus lugu dan polos. Nirmala guru cerdas tapi linglung (gara-gara suaminya punya banyak utang).
Sammaria berhasil menggambarkan empat karakter tersebut secara jenaka tapi tetap natural. Tentu saja penampilan Gading, Faradina, dan Boris yang menghidupkan karakter-karakter itu layak diacungi jempol.
Hubungan di antara karakter-karakter dalam film ini juga berhasil menggerakkan plot secara wajar meskipun ada hubungan yang terasa dipaksakan karena muncul tiba-tiba, seperti hubungan antara Ipang dan Saulina. Perkembangan hubungan antara Taat dan Rahayu terutama yang paling menarik diikuti.
Selain itu, yang paling memikat dari film ini adalah bagaimana cara Sammaria menghadirkan kelucuan. Komedi dalam film ini muncul dalam suasana yang meresapi dialog dan polah karakternya. Adegan tidak terasa disajikan untuk membuat penonton tertawa tetapi suasanalah yang secara natural menghadirkan kelucuan.
Bagi saya, sebuah drama-komedi yang baik bisa membuat kita tertawa lewat suasananya, dan bukan semata dari ucapan dan perbuatan yang sengaja dibuat untuk melucu. Saya, misalnya, bisa tertawa saat menyaksikan Orange is the New Black meskipun serial televisi ini bercerita tentang kehidupan kelam di penjara wanita, atau bagaimana Greta Gerwig menyajikan kesegaran dalam Lady Bird melalui dialog serius antara ibu dan anak perempuannya.
Guru-Guru Gokil di sebagian besar durasinya memiliki keunggulan tersebut. Adegan di rumah Rahayu, di mana Taat, Rahayu, dan Ipang berbuka puasa, adalah yang teristimewa, padahal tak ada dialog dan polah yang lucu.
Karena makanannya disusupi banyak cabai oleh Ipang, Taat kepedasan hingga tak mampu menahan air mata. Pada saat yang sama, Rahayu sedang menceritakan masa lalu pilu keluarganya. Menyaksikan bagaimana Rahayu menganggap Taat bersimpati kepada kisahnya adalah sebuah kelucuan tersendiri yang tak perlu diungkap dengan kata dan perbuatan.
Sayangnya, di beberapa bagian dan terutama di sepertiga akhir, film ini kehilangan suasana seperti itu. Sammaria memilih adegan yang cenderung slapstick dan terkesan dilebih-lebihkan, seperti guru berkacamata hitam sambil memegang toa di hadapan kelas atau penjahat yang di awal digambarkan kejam ternyata berakhir dungu dan lembek (cuma gara-gara sebuah cincin keramat).
Potensi menarik lain yang sayangnya dilewatkan Sammaria adalah ketika ia menghadirkan sosok polisi bertato mirip tato gerombolan penjahat yang merampok uang sekolah. Saya awalnya terkesan karena merasa film ini bakal menggambarkan polisi korup—yang di dunia nyata seringkali kita temukan. Tapi, saya kemudian kecewa karena tenyata sosok itu hanya polisi gadungan.
Pertanyaan saya, mengapa harus ada polisi gadungan? Bukankah Pak Le sosok jahat dengan beking kuat. Dalam dunia kriminal, siapa lagi beking kuat jika bukan hamba hukum korup?
Entah kenapa, sineas Indonesia seringkali gagap ketika narasi mereka bersentuhan dengan polisi. Sebagian berusaha meminimalisasi keterlibatan polisi, sehingga kita mengenal selorohan, “polisi selalu datang belakangan.” Sebagian lain memilih menghadirkan sosok polisi serba jujur dan ideal.
Kegagapan ini juga tampak pada Guru-Guru Gokil dan membuat ending film ini terasa dipaksakan. Sammaria seakan ingin menekankan pada kelucuan—yang sayangnya semata slapstick—tapi gagal menghadirkan kewajaran. Hasilnya ending film ini tak berbeda dengan kebanyakan ending film drama-komedi yang biasa-biasa saja, di mana protagonis menghadapi langsung para penjahat yang untungnya kali ini tenyata dungu dan lembek.
Untungnya, ending masih terselamatkan oleh adegan perenungan Taat dan narasinya yang dikutip di atas.[]