Politisi tak hanya menghadirkan kekecewaan tapi juga kelucuan. Mati Ketawa Cara daripada Soeharto menertawakan kemalangan bangsa Indonesia sekaligus kepandiran elite politiknya. Satire di dalamnya hidup klandestin pada masa Orde Baru, tapi uniknya tetap relevan pada masa sekarang.
DI TENGAH tekanan atas hidup selama pandemi Covid-19, tak sedikit orang kecewa dengan kerja politisi, baik itu yang ada di DPR maupun pemerintahan. Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, yang juga tenar dengan sebutan Omnibus Law Cipta Kerja karena mengubah banyak undang-undang di dalamnya, mendorong ribuan orang berdemonstrasi dan protes, mulai dari pelajar, mahasiswa, buruh, hingga akademisi.
Di tengah kekecewaan tersebut, ada fenomena lain yang menarik diperhatikan. Yakni, betapa menggelikannya tindak-tanduk para politisi. Salah satunya adalah jumlah halaman Undang-Undang yang berubah-ubah, dari mulai 1.208 halaman, 905 halaman, 1.035 halaman, 812 halaman, dan terakhir 1.187 halaman. Anggota DPR dan pemerintah berjibaku menjelaskan bahwa perubahan halaman bukanlah hal penting, hanya perubahan format atau teknis dokumen semata. Tapi, uniknya, mereka belakangan mengakui ada perubahan lain, yakni penghapusan pasal, setelah pengesahan oleh rapat paripurna DPR. Pengakuan ini mengonfirmasi temuan akademisi dan media massa.
Hal lain yang mencengangkan adalah kerja cepat DPR dan pemerintah menggarap Undang-Undang Cipta Kerja: hanya dalam waktu enam bulan. Padahal, Undang-Undang sapu jagat ini mengubah 79 undang-undang lain, yang berisi ribuan pasal dengan banyak pihak berkepentingan di dalamnya.
Logikanya, Undang-Undang Cipta Kerja seharunya digarap dengan hati-hati dan mendengar masukan banyak pihak. Tapi, itu kurang dilakukan DPR dan pemerintah. Rapat-rapat digeber dengan sistem kebut semalam di hotel-hotel di luar gedung parlemen. Presiden Joko Widodo bahkan menginginkan Undang-Undang ini rampung dalam 100 hari.
Ini tentu saja memicu pertanyaan. Maklum, DPR punya kebiasaan lelet membahas undang-undang. Seperti disebutkan oleh Direktur YLBHI Asfinawati dalam sebuah acara talk show televisi, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sudah 16 tahun tak kunjung dibahas atau Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat sudah 10 tahun belum disahkan.
Hal-hal menggelikan seperti di atas diekspresikan dalam bentuk humor, baik itu yang disampaikan di jalanan maupun media sosial. Misalnya, ada lelucon “Udah bener DPR tidur aja, gak usah kerja. Sekalinya kerja, gak becus.” Lelucon lain muncul mengutip pernyataan Menteri Informasi dan Komunikasi Johnny Plate yang berupaya keras menepis setiap kritik terhadap Undang-Undang Ciptaker dengan label hoaks. “Kalau pemerintah sudah bilang hoaks, ya dia hoaks. Kenapa membantah lagi.”
Ada ironi di sini. Yaitu, makin serius politisi berdalih, justru makin lucu dalih mereka, membuat kita—atau setidaknya sebagian kita—tersenyum dan bahkan tertawa terpingkal-pingkal. Artinya, sesuatu yang tak diniatkan untuk melucu malah justru menjadi bahan lawakan yang menggelikan.
Mengenai ini, ada lelucon di zaman Orde Baru tentang mengapa panggung Srimulat di Taman Ria Senayan ditutup. Lelucon itu mengatakan, itu bukan karena Srimulat sudah tak mampu lagi melawak melainkan karena gedung DPR yang berada di sebelah Taman Ria sudah berisi “pelawak” yang lawakannya jauh lebih lucu daripada lawakan Srimulat.
Lelucon soal Srimulat tersebut adalah satu dari ratusan lelucon yang bisa kita baca dalam buku Mati Ketawa Cara Daripada Soeharto. Buku ini terbit pada Januari 1998, atau saat rezim Soeharto menjelang ajal, tanpa nama penulis. Penerbitnya yang menggunakan nama “Pustaka GoRo-GoRo” mengatakan lelucon di dalamnya dikumpulkan dari internet, media yang saat itu belum bisa digerayangi polisi dan bahkan intelijen.
Buku ini hanya mencantumkan nama ISKRA sebagai ilustrator. Menurut Ubal Muchtar dalam “Orde Baru, Soeharto, dan Humor” (buruan.co, 21 Juni 2015), ISKRA merujuk kepada seniman asal Yogyakarta bernama Bambang Adyatmaka. Salah satu karya perlawanan jebolan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini adalah kalender “Tanah untuk Rakyat” yang dihiasi puisi Wiji Thukul, aktivis buruh yang diburu aparat keamanan rezim Soeharto.
Humor di dalam buku ini sebenarnya tak bisa sekadar disebut lelucon, tapi satire. Sebab, untuk memahaminya, pembaca, terutama generasi yang tak tumbuh di masa Orde Baru, harus memahami konteks sosial-politik.
Humor, dan terutama satire, memang bersifat partikular karena terikat dengan konteks kekinian dan kesinian. Namun, ia selalu saja mengandung sisi universal.
Mati Ketawa Cara daripada Soeharto, misalnya, sebagian isinya dinilai menyadur lelucon ringan yang muncul pada masa kekuasaan otoriter rezim Stalin di Uni Soviet. Artinya, dalam situasi sarat tekanan dan keputusasaan, manusia seakan menertawakan kemalangan dan kepandiran bersama secara universal.
Sebab lainnya adalah periode yang disebut “era reformasi” ini tak benar-benar menghadirkan pergeseran paradigma dari budaya homo orbaicus, istilah yang dibuat Jalaluddin Rakhmat di awal “era reformasi” dari homo sovieticus (dipopulerkan sosiolog Soviet, Aleksandr Zinovyev), terutama di kalangan elite. Elite tanpa Soeharto tentu saja tak akan, dan bahkan nyaris tak mungkin, menduplikasi 100 persen cara dan gaya penguasa 32 tahun itu. Zaman kiwari sudah bukan lagi ekosistem yang ramah bagi otoritarianisme gaya lama, di mana sumber-sumber kekuasaan tak lagi terpusat. Tapi, dominasi tetap dipertahankan dengan cara halus melalui hegemoni wacana dan pengetahuan.
Lelucon dalam buku ini yang disebarkan secara klandestin pada masa Orde Baru saat ini tak akan menyebabkan para pembuatnya menghilang tanpa jejak. Tapi, mereka setidaknya tetap akan masuk terungku lewat hegemoni definisi hoaks, seperti yang diperlihatkan Menteri Johnny Plate.
Humor atau satire an sich tentu saja tak akan mampu memantik perubahan revolusioner. Tapi, secara psikologis, banyak ahli berpendapat humor memiliki dampak positif bagi kesehatan jiwa. Ia bisa menjadi media pelepasan diri dari tekanan dan kekecewaan. Satire atau lelucon yang baik bisa mengkritik tanpa melukai perasaan seseorang. Jika dilihat dari logika bahasa, satire yang baik juga sebenarnya mengandung premis logis yang kuat. Dari satire seperti ini, kita bisa memahami budaya dominan yang coba digugatnya.
Baiklah, untuk tidak memperpanjang tulisan yang tidak lucu ini, kami akan nukilkan di sini sebagian satire dari buku tersebut.
Tes Kelinci
Kepolisian, ABRI, dan badan intelejen BIA saling menyombong bahwa merekalah yang terbaik dalam menangkap penjarah yang sedang marak saat sekarang. Soeharto merasa perlu untuk melakukan tes terhadap hal ini.
Soeharto melepas seekor kelinci ke dalam hutan dan ketiga kelompok pengikut tes di atas harus berusaha menangkapnya.
BIA masuk ke hutan. Mereka menempatkan informan-informan di setiap pelosok hutan itu. Mereka menanyai setiap pohon, rumput, semak, dan binatang di hutan itu. Tidak ada pelosok hutan yang tidak diinterogasi. Setelah tiga bulan penyelidikan hutan secara menyeluruh, akhirnya BIA mengambil kesimpulan bahwa kelinci tersebut ternyata tidak pernah ada.
ABRI masuk ke hutan. Setelah dua minggu kerja tanpa hasil, mereka akhirnya membakar hutan sehingga setiap mahluk hidup di dalamnya terpanggang tanpa ada kekecualian. Akhirnya kelinci tersebut tertangkap juga: hitam legam, mati… tentu saja.
Kepolisian masuk hutan. Dua jam kemudian, mereka keluar dari hutan sambil membawa seekor tikus putih yang telah hancur-hancuran badannya dipukuli. Tikus putih itu berteriak-teriak: “Ya… ya… saya mengaku! Saya kelinci! Saya kelinci!”
Arwah Machiavelli
Arwah Machiavelli berkeliling dunia hendak melihat konsep kekuasaan di berbagai negeri.
Pada Presiden Prancis, ia bertanya, “Bagaimana cara anda bisa berkuasa?” Dijawab, “Kalau saya dipilih via pemilu, yang suka memilih saya, yang tidak suka boleh jadi oposisi!”
Pada Presiden Amerika, ia bertanya, “Bagaimana kau bisa berkuasa?” Dijawab, “Saya bisa berkuasa karena para bankir dan pengusaha ada di belakang saya.”
Pada Presiden Rusia, ia bertanya, “Bagaimana kalian bisa berkuasa?” Dijawab, “Saya bisa berkuasa karena menjanjikan kemakmuran bersama.”
Pada Presiden Indonesia, ia juga bertanya, “Bagimana cara kau bisa terus berkuasa?” Dijawab, “Karena saya Berkuasa!”
Machiavelli bersujud.
Obral Otak
Pada 30 tahun yang akan datang, teknologi rekayasa genetika sudah demikian berkembangnya, sehingga cangkok otak sudah dapat dilaksanakan dengan mudah. Oleh karena itu, banyak otak yang diawetkan menunggu pasien yang membutuhkan. Di suatu bank/toko donor otak, dijual otak dari berbagai negara di dunia. Di bawah ini adalah daftar harga otak berdasarkan negara asal.
Asal Otak | Harga |
USA | free/obral/sale |
Inggris | Rp 1.000.000 |
Jerman | Rp 900.000 |
Jepang | Rp 100.000 |
… | … |
Indonesia | Rp 1.000.000.000 |
Melihat daftar harga yang semacam itu, seorang turis yang masuk toko tersebut menjadi heran, terus bertanya kepada empunya toko, “Pak, maaf Pak, kelihatannya daftar harga anda itu salah dan terbalik.”
Yang punya toko: “Oh… Tidak Bung, harga otak tersebut memang betul. Otak termurah adalah otak USA dan Jepang karena sering digunakan jadi sudah rongsokan. Kalau anda membutuhkan otak, yang terbaik adalah otak Indonesia karena masih orisinal, belum pernah dipakai selama hidup…”
Kiamat
Perdana Menteri Malaysia, Presiden RRC, dan Presiden Indonesia dipanggil Tuhan sebentar, untuk diberi info penting. Mereka bergegas-gegas datang dan Tuhan mengatakan, bahwa dunia akan kiamat pada hari Jumat yang akan datang. Sebab itu, diminta agar ketiga kepala negara itu memberitahu kepada rakyat mereka masing-masing supaya siap. Caranya terserah.
Perdana Menteri Malaysia pulang ke Kuala Lumpur berpidato: “Encik-encik dan puan-puan. Saya datang untuk membawa dua buah kabar atau berita. Yang satu kabar buruk, yang kedua kabar baik. Kabar yang buruk adalah bahwasannya hari akhir zaman akan tiba Jumat pekan depan. Berita baik ialah bahwa Tuhan benar-benar ada dan Dia Maha Pengasih dan Penyayang.”
Presiden RRC balik ke Beijing dan langsung ke TVRC: “Kawan-kawan Rakyat, datang dua berita. Kedua-duanya berita buruk. Yang pertama, kiamat akan datang minggu depan. Berita buruk kedua: Tuhan ternyata ada.”
Presiden Indonesia kembali ke Jakarta dan memanggil awak TVRI untuk merekam pidato ini: “Assalamu’alaikum warrahmatullohi wabarokatuh. Sudara-sudara, saya selaku Mandataris daripada rakyat daripada Indonesia diberi tangggung jawab untuk memberiken kabar kepada sudara-sudara. Ada dua kabar, dan Alhamdullilah kedua-duanya kabar yang baik. Kabar baik yang pertama ialah bahwa Allah ternyata memang ada, menjaga keamanan dan, ketertiban daripada semesta. Kabar baik yang kedua ialah bahwa mulai Jumat minggu depan, tidak akan ada lagi orang miskin di Indonesia.”
Tak Bisa Membedakan
Seekor babi hutan dari pedalaman Timika di Irian Jaya lari ketakutan menyeberangi perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Ia merasa diburu-buru tentara Indonesia. Ia baru berhenti ketika ada seekor babi hutan Papua Nugini menyatakan bahwa ia sudah berada dalam wilayah Papua Nugini.
“Mengapa Anda berlari?” tanya babi Papua Nugini.
“Terus terang saya khawatir pada tentara Indonesia. Mereka mengebiri semua laki-laki di sana,” ujar babi Indonesia.
“Tapi anda kan bukan manusia. Anda kan cuma seekor babi hutan?”
“Justru itulah. Mereka mengebiri dulu baru bertanya kemudian,” ujar babi Indonesia.
Aku Bersedia Menunggu
Tiga pria mengaku anggota OPM tertangkap Kopassus di Srui. Mereka dijatuhi hukuman mati. Sebelum dieksekusi, komandan regu tembak menanyakan keinginan terakhir mereka.
“Kalau aku mati, aku mohon agar jenazahku dibakar dan abunya ditaburkan di atas makam Tom Wanggai, Presiden Papua yang aku hormati,” ujar Mirino.
“Jenazahku juga tolong dibakar dan abunya harap ditebarkan di atas makam Arnold Ap, antropolog besar dan tokoh yang memberi ilham bagi munculnya identitas Papua,” ujar Morinus.
“Kalau kamu, apa keinginanmu?” tanya komandan regu pada Nicolaas.
“Sama seperti kedua temanku. Setelah dibakar, abuku hendaknya ditaburkan di atas makam Soeharto,” ujar Nicolaas.”
“Lho, Soeharto kan belum mati?”
“Ya, aku bersedia menanti.”
Ingin DiKubur di Jerusalem
Merasa usianya kian uzur, Soeharto perlu membuat wasiat tempat di mana ia harus dikubur bila kelak mati. Mungkin ia terpengaruh berita yang gencar soal wasiat mendiang Presiden Sukarno yang berkeingnan agar dimakamkan di Kebun Raya Bogor.
Soeharto segera mengumpulkan para penasehat spiritual dan paranormal Istana, menteri kabinet, pimpinan angkatan bersenjata, putra-putri dan para sahabatnya.
“Saya sudah tua, mungkin sebentar lagi saya mati. Menurut kalian sebaiknya jenazah daripada saya dimakamkan di mana?” tanya Soeharto dengan senyumnya yang khas.
“Bukankah menurut kesepakatan keluarga, Bapak akan dimakamkan di samping makam ibu di Astana Giri Bangun?” tanya Mbak Tutut.
Seperti biasa, Soeharto manggut-manggut. “Tidak, saya berubah pikiran,” katanya.
Mbak Tutut dan anak-anak presiden yang lain terkejut, namun tidak berani memprotes.
“Kelak jika mati, saya ingin dimakamkan di Bukit Golgota, di luar kota Jerusalem, tempat Nabi Isa disalibkan,” lanjut Soeharto dengan wajah yang serius. Orang-orang yang hadir kontan terkejut dengan wasiat Soeharto ini.
Lukman Harun, tokoh anti-Zionis yang juga hadir tak bisa menyembunyikan rasa tidak setujunya. Apalagi Nabi Isa adalah Tuhan bagi orang Kristen.
“Bapak Presiden, ini tak mungkin dan amat berbahaya. Wilayah itu kan diduduki Zionis Israel dan kita sejak dulu anti-Zionis. Dunia Arab dan kelompok-kelompok anti-Zionis di tanah air akan marah kepada Bapak jika ini terjadi. Dampaknya akan terkena juga kepada putra-putra dan cucu Bapak yang akan Bapak tinggalkan,” kata Lukman berapi-api.
“Saudara Lukman. Itu sangat tidak mungkin. Karena setelah tiga hari dikuburkan, saya akan bangkit dan berkuasa lagi untuk selama-lamanya. Dan tak seorang pun akan punya nyali untuk mengusik daripada saya,” kata Soeharto.[]
[Dinukil dari: Mati Ketawa Cara daripada Soeharto. 1998. Pustaka GoRo-GoRo.]