JELAJAH LITERASI

“Sound of Metal”: Musibah, Pintu Menuju Nikmat Tak Terhingga

in Film by

Sound of Metal mengungkap bahwa tuli bukanlah cacat yang harus diperbaiki. Kehilangan pendengaran bisa menjadi pintu menuju keheningan yang tak lain adalah Kerajaan Ilahi yang hakiki.

BARANGKALI tak banyak orang Indonesia yang menonton film ini. Sound of Metal memang tidak digarap oleh sutradara beken. Ini debut film cerita Darius Marder, sutradara asal Amerika Serikat. Film ini juga hanya sebentar beredar di bioskop di Amerika pada 20 November 2020. Karena pandemi Covid-19, penayangannya dilanjutkan di layanan streaming milik Amazon, Prime Video, pada 4 Desember 2020.

Namun, Sound of Metal merupakan salah satu film di 2019-2020 yang mendapat pujian banyak kritikus. Ia menyabet berbagai penghargaan, termasuk Academy Awards (Oscar) 2020 untuk kategori Best Sound dan Best Film Editing dan nominasi untuk Best Picture, Best Original Screenplay, Best Actor (Riz Ahmed), Best Supporting Actor (Paul Raci).

  • Judul Film: Sound of Metal
  • Sutradara: Darius Marder
  • Penulis: Darius Marder, Abraham Marder
  • Pemain: Riz Ahmed, Olivia Cooke, Paul Raci
  • Rilis: 6 September 2019 (TIFF), 20 November 2020 (AS)
  • Durasi: 120 menit

Per 26 Mei 2021, film ini mendapat skor 97% dari situs agregator kritik film Rotten Tomatoes, 82% dari Metacritic dan 7.8 dari IMDb. Sebuah angka yang impresif untuk film dengan anggaran 5,4 juta dolar Amerika. Apalagi kemudian film ini meraih kesuksesan komersial dengan meraup 176,177 juta dolar Amerika.

Riz Ahmed berperan sebagai Ruben Stone, penggebuk drum musik metal yang mendadak jadi tuli. Olivia Cooke berperan sebagai Lou Berger, kekasih Ruben sekaligus vokalis band Blackgammon. Paul Raci berperan sebagai Joe, pendiri dan pembina komunitas tuli bagi kelompok pecandu narkoba yang sedang menjalani rehabilitasi.

Film berawal dengan perjalanan pasangan Ruben dan Lou yang merintis sebuah band musik, melakukan tur berkeliling Amerika. Selain merintis karir sebagai musisi, pasangan ini juga sedang menjalani rehabilitasi dari kecanduan heroin. Lantaran keadaan finansial yang tidak terlalu memungkinkan, mereka tinggal di dalam sebuah RV, berpindah-pindah dari satu negara bagian ke negara bagian lain, dari satu klub ke klub lain.

Tiba-tiba, di sebuah toko peralatan musik, Ruben mengalami gejala ketulian. Suara-suara di sekitarnya seperti tenggelam, disekap oleh kehampaan yang lamat-lamat kian menekan. Marder, sutradara sekaligus salah satu penulis naskah, mendasarkan pengalaman unik itu pada apa yang terjadi dengan neneknya sendiri. Sejak adegan ini, penonton mulai melihat betapa film ini dibesut dengan penuh perhatian pada detail ilmiah yang serius dan empatik pada proses kehilangan pendengaran yang mendalam.

Semula Ruben terlihat tidak begitu ingin memperhatikan apa yang terjadi. Dia tampaknya tak mau Lou sadar dengan apa yang menimpanya. Seorang diri dia berkonsultasi dengan apoteker, untuk mengeluhkan apa yang terjadi pada pendengarannya. Apoteker menyatakan bahwa Ruben mengalami proses kehilangan pendengaran yang cepat dan memintanya segera mengunjungi dokter spesialis untuk pemasangan implan koklea. Saat menemui dokter, Ruben disarankan untuk menjauh dari kebisingan, terutama yang timbul akibat dentuman musik metal.

Tapi Ruben menolak dan kembali memainkan drum metal. Di saat itulah semua suara dan bunyi di sekitarnya kian redup tak terdengar, seperti orang yang sedang berada di kedalaman air atau ruang kedap suara. Kian hari pendengarnnya kian tak menjaungkau gelombang suara apa pun. Lou yang memperhatikan keadaan Ruben pun makin panik. Setelah berkonsultasi dengan Hector, sponsor tur mereka, Hector menyarankan agar Ruben—karena tak cukup berduit melakukan operasi—untuk tinggal di sebuah komunitas yang merawat bekas pecandu tuli.

Lagi-lagi Ruben menolak menerima kenyataan. Dia merayu Lou untuk melanjutkan tur, mengumpulkan cukup uang untuk melakukan operasi implan koklea. Tapi kali ini Lou harus mengambil pilihan pahit: meninggalkan Ruben dan memaksanya hidup sebagai seorang tuli di dalam yayasan binaan Joe.

Di sinilah kisah yang sebenarnya mulai tampak. Di dalam komunitas tuli, Ruben belajar bahasa isyarat dan menjadi tuli yang sebenarnya. Joe mulai meminta Ruben untuk melakukan serangkaian aktivitas agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaannya yang baru. Syarat yang harus diterima Ruben bila ingin tinggal di sana adalah menyerahkan ponsel dan kunci mobilnya, memutus semua hubungan dengan dunia luar.

Tapi Ruben tak bisa menerima kenyataan. Dia tetap berusaha mencari kabar dan informasi soal Lou. Betapa kagetnya dia melihat Lou terus mengadakan pentas musik di Paris bersama ayahnya yang ternyata kaya raya.

Melihat gejala ketidaksiapan Ruben menghadapi persoalan barunya, Joe mencoba memberinya jalan keluar. Joe meminta Ruben tiap pagi menulis apa saja yang ada di kepalanya dan apa saja yang ingin dia sampaikan di atas kertas. Ruben memang melakukan kegiatan itu beberapa saat. Tapi pikirannya tetap menolak menjadi seorang tuli.

Saat di dalam komunitas, Ruben sebenarnya sudah menjalani berbagai aktivitas dan program yang diberikan Joe, seperti mengajar anak-anak tuli memainkan drum dan menghibur mereka. Tapi satu hal yang tak bisa diterima Ruben: menjadi tuli.

Suatu ketika dia meminta Jenn, kawannya di komunitas, untuk menjualkan seluruh peralatan musik dan RV miliknya. Jenn pun menemukan pembeli dan Ruben mendapatkan uang. Meski tidak cocok dengan harga RV yang diminta pembeli, Ruben tetap menyetujui penjualan dengan syarat dia dapat membeli kembali RV itu dengan harga yang sama setelah dia berhasil meminjam uang.

Uang yang sudah terkumpul pun dia boyong ke dokter yang telah bersedia melakukan operasi implan koklea. Setelah operasi, Ruben mulai mendengar suara. Tapi jelas suara yang dia dengar sama sekali tidak seperti suara yang sebenarnya, melainkan lebih seperti suara yang rusak, bunyi yang sudah terdistorsi. Meski sebenarnya kecewa dengan hasil operasi, Ruben yang tak mau menerima kenyataan sebagai tuli berusaha beradaptasi dengan keadaan.

Setelah operasi tersebut, Ruben bergegas menemui Joe dan dengan bangga menyatakan hendak meminjam uang untuk membeli kembali RV miliknya. Dengan penuh antusias, dia memperlihatkan hasil operasi implan di kepala bagian sampingnya. Saat itulah terjadi dialog antara Ruben dan Joe yang dapat dianggap sebagai salah satu intisari film ini.

Joe tampak muram menyaksikan Ruben yang telah mengeluarkan begitu banyak uang untuk melakukan operasi. Dengan nada geram, Joe menyatakan bahwa dia tidak akan memberinya uang. Joe menyatakan ini soal prinsip, bukan soal uang. Bagi Joe, tuli adalah sebuah nikmat, bukan cacat atau kekurangan yang harus diperbaiki. Joe yang sejak semula mengajak Ruben ke jalan yang benar menghadapi musibah kehilangan pendengaran dengan menikmati keheningan dan kehampaan, terlihat kecewa karena gagal mendidik Ruben. Dengan tegas, Joe menyatakan, kehilangan pendengaran itu adalah pintu menuju keheningan (stillness) yang tak lain adalah Kerajaan Ilahi yang hakiki.

Ruben seperti kehilangan kata-kata mendengar uraian Joe yang demikian mistik dan tinggi. Dia belum mengerti bagaimana bisa sebuah kekurangan dan kehilangan pendengaran dapat diyakini sebagai sebuah karunia. Lantaran Ruben tak dapat menerima keyakinan dan prinsip itu, Joe dengan tegas meminta Ruben meninggalkan komunitas. Alasannya jelas karena komunitas itu dibangun dengan keyakinan bahwa tuli bukan cacat, melainkan sebuah karunia yang harus dinikmati.

Dalam percakapan ini, Marder sepertinya hendak menarasikan ajaran George Gurdjieff yang banyak mempengaruhi keyakinannya. Gurdjieff adalah filsuf dan mistikus Rusia yang mengajarkan “Jalan Keempat” sebagai sintesis dari tradisi mistik yang dia gali dari konsep fakir, biarawan, dan yoga. Gurdjieff menyebut metodenya dengan “Kerja”, di mana orang harus berusaha membangun kesadaran dirinya demi mendapatkan makna dari kesehariannya.

Tapi Ruben memang belum sampai di situ. Dengan sisa uang yang ada, dia pergi ke Paris untuk menemui Lou di rumahnya yang mewah. Di sana dia bertemu dengan ayah Lou, Richard. Richard menyatakan bahwa selama ini dia merasa Ruben telah merusak Lou. Tapi dia kini berterima kasih karena Ruben telah mengembalikan putrinya yang hilang itu.

Malam itu dia bertemu dengan Lou, yang tampak telah tenggelam dalam suasana baru. Kemesraan yang coba dibangkitkan Ruben tak bersambut. Lou malah fokus dengan pesta yang akan diadakan ayahnya keesokan harinya. Di tengah-tengah keramaian pesta, Ruben ternyata terkenang-kenang dengan kehangatan dan suasana keheningan yang dia rasakan bersama kawan-kawan tulinya di dalam komunitas.

Ruben tampak terombang-ambing antara menerima kenyataan baru sebagai tuli atau hidup dengan implan yang memperdengarkan suara-suara terdistorsi. Ini pilihan yang tidak mudah baginya: menerima nasib sebagai tuli dengan segala nikmat keheningan atau kembali hidup dengan suara distorsi yang dangkal. Di akhir adegan, kita menyaksikan Ruben meninggalkan rumah mewah Lou dan terdiam di taman pinggir kota.

Ruben mencoba meminta Lou kembali bermain musik. Tapi dia tak menjawab dan terlihat hanya menggaruk-garuk tangannya. Ruben pun dengan lirih menyampaikan bahwa segalanya baik-baik saja dan bahwa Lou sejatinya telah menyelamatkan hidupnya. Lou pun pada gilirannya menyampaikan hal yang sama. Keesokan harinya, Ruben mengambil barang-barangnya dan meninggalkan Lou yang sedang tidur. Di sebuah taman pinggir kota, Ruben mendengarkan suara lonceng gereja yang terdistorsi oleh implannya; lalu dia melepas prosesor yang menempel di telinganya dan duduk diam dalam keheningan. Suatu kenikmatan yang baru dia sadari setelah lama dia sia-siakan.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Film

Go to Top