Dengan teknik narasi epistoler, Gaarder dan Hagerup membawa kita kepada pengembaraan dua remaja ke dalam keajaiban dunia penulisan.
Negeri Skandinavia rupanya tak pernah kehabisan bakat pendongeng yang mampu menyelami pikiran dan perasaan anak-anak. Setelah Hans Christian Andersen (1805-1875) yang legendaris, Jostein Gaarder tampaknya tepat jika dikatakan menempati posisi yang sama terhormat dengan pendahulunya asal Denmark itu.
Gaarder, pengarang asal Oslo, Norwegia, kita kenal lewat karya fenomenalnya tentang ketakjuban seorang remaja kepada dunia filsafat: Dunia Sophie. Novel ini telah diterjemahkan ke dalam lebih daripada 60 bahasa, termasuk bahasa Indonesia, dan terjual lebih daripada 40 juta kopi di seluruh penjuru dunia.
The Magic Library: Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken (diterjemahkan Penerbit Mizan dari bahasa Norwegia Bibbi Bokkens Magische Bibliothek) merupakan karya fiksi kelima Gaarder. Novel yang pertama kali terbit pada 1993 (sebelum hingar bingarnya internet dan buku elektronik) ini dikerjakan Gaarder bersama penulis buku-buku anak Klaus Hagerup. The Magic Library diterbitkan Penerbit Mizan pada Mei 2006 dan sejak itu mengalami cetak ulang hingga cetakan ke-15 pada Oktober 2020.
- Judul Buku: The Magic Library: Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken
- Pengarang: Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup
- Penerbit: Mizan
- Terbit: Oktober 2020 (Cetakan XV)
- Tebal: 282 halaman
Novel ini terbilang unik karena menggunakan teknik epistoler. Narasi digerakkan dan karakter dibangun dalam surat menyurat di antara dua sepupu Nils Boyum Torgersen di Oslo dan Berit Boyum Torgersen di Fjaerland.
Porsi terbesar novel ini merupakan korespondensi antara dua remaja bersepupuan itu. Hanya menjelang akhir, Gaarder dan Hagerup menggunakan teknik narasi orang pertama secara bergantian antara Nils dan Berit.
Lewat surat menyurat itu, pembaca bisa menikmati kepolosan Nils dan Berit yang kadang bisa membuat kita tersenyum dan tertawa. Ya, kepolosan mereka berdua membawa kita ke alam pikir anak-anak yang jujur dan dipenuhi oleh rasa ingin tahu serta fantasi.
Surat menyurat itu ditulis Nils dan Berit dalam sebuah buku yang memiliki gembok berkunci. Buku itu dikirim bolak-balik Oslo-Fjaerland begitu selesai ditulis oleh mereka masing-masing. Ini cara berkomunikasi yang unik, yang bisa jadi saat ini fungsinya tergantikan oleh komunikasi melalui email dan pesan di media sosial.
Namun, ada yang tak bisa digantikan oleh kemajuan teknologi dalam berkirim pesan. Yaitu, intimasi. Tulisan tangan dalam catatan, surat, atau kartu pos lebih bisa menghadirkan kenangan pribadi tentang sosok dan momen ketimbang bit-bit piksel dari pesan elektronik masa kini. Otentisitas di dalamnya pun nyaris tak ternoda. Tulisan tangan bersifat personal, hampir tak bisa dipalsukan seperti halnya pesan di media sosial yang bisa diretas.
Lihatlah bagaimana Nils dan Berit menuliskan pesan-pesan mereka dalam “buku-surat” itu. Mereka saling menyelipkan salinan dari surat atau berkas lain. Bahkan, Berit memberi Nils cap bibir ketika gadis itu baru saja menggunakan lipstik. Begitu pribadi dan intim.
Dari “buku-surat” Nils-Berit, kita bisa mengetahui back story dua remaja ini. Nils berasal dari keluarga harmonis. Bahkan ibunya memenangi lomba menulis bertema “Kota Tempat Cinta Pertamaku Bersemi”, yang menggambarkan pertemuan romantisnya dengan ayah Nils (meskipun Nils bilang itu hanya khayalan ibunya). Sebaliknya, Berit hidup dalam kondisi broken home. Ayah dan ibunya telah berpisah. Dalam sebuah suratnya kepada Nils, Berit menulis bahwa dia tak mengerti mengapa kedua orang tuanya memutuskan untuk tak lagi saling mencinta setelah sekian lama menikah.
Melalui surat menyurat itu, Gaarder dan Hagerup juga menyisipkan cerita lain, entah itu dari fantasi kedua remaja itu, cerita mereka tentang pertemuan dengan karakter lain yang dibuat bak dialog dalam sebuah naskah drama, atau ulasan mereka atas buku-buku yang telah mereka baca. Ini satu lagi ciri khas Gaarder, yakni kepiawaiannya menggunakan teknik narasi “cerita di dalam cerita”.
Yang terpenting, dari surat menyurat itu, kita dibawa oleh oleh Gaarder dan Hagerup ke dunia penulisan yang penuh misteri. Nils dan Berit yang pada mulanya hanya ingin meneruskan pertemanan mereka melalui “buku-surat” lama-lama merasa harus membongkar siapa itu perempuan tua misterius yang hadir di tengah-tengah hidup mereka: Bibbi Bokken. Bak sepasang detektif muda, keduanya juga berupaya menyelidiki apa yang dimaksud dengan “perpustakaan ajaib Bibbi Bokken” dan bagaimana bisa perpustakaan itu menyimpan “buku-buku yang akan diterbitkan” (sebuah perpustakaan lazimnya hanya mengoleksi buku yang sudah diterbitkan).
Begitulah plot The Magic Library. Ia berfokus pada upaya dua “detektif” Nils dan Berit mengungkap berbagai misteri yang mereka temui berkaitan dengan Bibbi Bokken dan kawan-kawannya. Plot ini menarik untuk diikuti sebagai sebuah kisah misteri dengan kelokan plot di bagian akhir, yakni bagaimana Gaarder dan Hagerup menjelaskan berbagai misteri yang dihadapi Nils dan Berit.
Tapi, terlepas dari plot itu, kisah dalam The Magic Library akan membuat kita menyadari “keajaiban” dunia penulisan dan perbukuan. Kita diperkenalkan oleh Gaarder dan Hagerup kepada sejarah penulisan, yang dimulai oleh umat manusia enam ribu tahun lalu—jauh sebelum Johannes Gutenberg menemukan teknik pencetakan buku dengan huruf-huruf timahnya pada Abad ke-15.
Dunia inilah yang membuat manusia bisa berbagi pikiran, pengalaman, dan perasaan dengan manusia lain yang berjarak ribuan kilometer dan bahkan dengan manusia yang akan hidup ratusan atau ribuan tahun lagi. Singkatnya, dunia inilah yang membuat manusia bisa hidup abadi. Dan semua itu hanya bermodalkan 26 huruf atau yang kita sebut dengan “alfabet”. Ajaib, bukan!
Kita bisa mengetahui sosok seperti HC Andersen, Henrik Ibsen, Gunnar Staalesen, Jan Erik Vold, Roald Dahl, atau Astrid Lindgren—sebagian dari sastrawan kenamaan Skandinavia yang diperkenalkan Gaarder dan Hagerup melalui novel ini—meskipun kita hidup setelah mereka atau berada ribuan kilometer dari tempat mereka tinggal. Belum lagi nama-nama klasik seperti Johann Wolfgang von Goethe, Wilhelm Carl Grimm, William Shakespeare, C.S. Lewis, dan AA Milne, si pengarang Winnie The Pooh yang begitu berpengaruh terhadap pribadi remaja Nils Boyum Torgersen.
Mereka semua terasa tetap hidup dalam karya-karya mereka yang terus dibaca dari generasi ke generasi. Tak salah jika pengarang kenamaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, pernah mengatakan, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama tak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
The Magic Library juga memperkenalkan kita kepada Fjaerland, sebuah desa yang dilalui Jostedalsbreen, padang gletser terbesar di Eropa, sekitar 6 jam perjalanan dari Oslo—yang di antaranya ditempuh dengan menggunakan kapal feri. Fjaerland ternyata benar-benar “kota buku” di Norwegia. Di kota ini, perpustakaan dan toko buku seperti cendawan di musim hujan, ada di mana-mana meskipun itu di hotel, dermaga, atau bahkan kadang babi.
Dari novel ini, kita juga bisa tahu bahwa orang Norwegia rupanya sangat gandrung kepada buku. Mereka punya perpustakan besar di Mo I Rana. Di kota ini, Perpustakaan Nasional Norwegia membangun dua gua besar antinuklir dan antigempa di bawah pegunungungan. Satu gua yang berisi gedung empat lantai mengoleksi buku-buku yang telah terbit sementara gua lainnya menyimpan “buku-buku masa depan” atau naskah-naskah dari budaya tulis menulis mereka. Tak heran jika anak-anak Norwegia, dan negeri Skandinavia lain, terkenal memiliki skor PISA yang tinggi dalam skill bahasa: membaca dan menulis. Mereka begitu memperhatikan dan melestarikan budaya baca-tulis.
The Magic Library menohok kita yang mungkin kerap meremehkan dunia penulisan dan perbukuan—termasuk mereka yang berkecimpung di dalamnya. Padahal, dunia inilah yang menjaga manusia tetap waras karena mewariskan ajaran, pikiran, dan perasaan kemanusiaan dari generasi ke generasi. Seperti kata Nils Boyum Torgersen yang bercita-cita menjadi penulis, dengan menulis pikiran akan jauh lebih tertata.
Novel ini bisa menjadi gerbang bagi kita untuk lebih mencintai dan menghargai dunia penulisan. The Magic Library juga sangat layak dijadikan bacaan bagi anak-anak dan remaja. Selain bertutur dari sudut pandang dua remaja yang polos, novel ini juga kaya kandungan sejarah penulisan dan perbukuan.[]