Kebiasaan membaca setiap orang berbeda-beda. Ada yang membaca sambil berjalan, duduk di dalam kereta, sambil tiduran menunggu kantuk, atau bahkan di toilet. Yang pasti bagi biblioholik, setiap tempat adalah tempat membaca.
Tidak banyak orang yang punya kelihaian seperti Lord Thomas Babington Macaulay. Bayangkan saja, dia mampu membaca buku sambil berjalan kaki. Berkelok-kelok menghindari menabrak atau ditabrak orang lain di keramaian pejalan kaki di London, Macaulay mampu berjalan secepat orang lain dan membaca lebih cepat ketimbang orang lain. Thomas Hearne, yang juga punya kebiasaan membaca sambil ber-JJS (jalan-jalan sore), pun kalah dari dia. Karena beberapa kali tatkala terjaga dari keasyikannya membaca sambil JJS itu, karena rembang senja mulai membayang dan gelap mulai turun, Hearne baru menyadari bahwa dia telah tersesat.
Kedua orang itu, yang diceritakan oleh Tom Raabe dalam Biblioholism: The Literary Addiction, memang nyentrik. Memang banyak orang membaca dalam perjalanan, tetapi bukan saat mereka berjalan kaki. Teman saya si Fulan, misalnya, jauh lebih suka naik kereta api ketimbang bus malam jika pulang kampung. Alasannya, dia masih bisa membaca dalam gerbong yang terang benderang sepanjang malam, sedangkan bus malam memang tak pernah menghidupkan lampu dalam ruangan bus. Baginya, bengong di kegelapan bus seperti siksaan.
Suatu saat si Fulan, yang memang selalu membawa buku ke mana-mana, tiba-tiba merasa panik ketika menyadari bukunya tertinggal di rumah temannya. Bukan karena cemas bukunya akan hilang, melainkan karena tiba-tiba dia tak punya sesuatu untuk dibaca. Dibelinyalah salah satu buku Wiro Sableng, yang biasanya tak pernah dia baca, hanya agar dia tetap membaca dalam perjalanan itu.
Dia tak sadar bahwa sepertinya dia meniru Napoleon Bonaparte, jenderal bertubuh mungil tapi lihai berperang yang membawa buku-buku dalam lemari yang dipasang khusus di keretanya. Juga Lawrence of Arabia, petualang Inggris yang legendaris itu, yang membaca Aristophanes di punggung unta sepanjang perjalanan keliling Arabia. Atau juga Pliny yang tua (w. 79 M), salah seorang pelopor pembuat ensiklopedia yang sering berkeliling Roma dalam kereta tertutup agar tak terganggu siapa pun.
Selain dalam perjalanan, tempat tidur adalah tempat favorit—bagi para biblioholik maupun nonbiblioholik—untuk membaca. Sensasi santai, kasur empuk dan selimut hangat membawa kenyamanan membaca mencapai puncaknya. Untuk memerangi kantuk, para biblioholik masa kini sering dikawani bergelas-gelas kopi ginasthel (legi-panas-kenthel, atau manis-panas-kental) dan cemilan. Akan tetapi, beberapa biblioholik nenek moyang punya cara yang unik, dan beberapa di antaranya agak sadis, agar terhindar dari tertidur. Seseorang bernama Ringelbergins, misalnya, tidur melintang pada dua bilah papan, sehingga ketaknyamanan ini membuatnya tak bisa tidur lama, dan dia segera kembali membaca. Sun Ching, seorang Cina, mengikat rambutnya pada tiang di atas kepalanya untuk menjaga kepalanya tetap tegak. Liu Hsun, juga asal Cina, memasang beberapa obor kecil jerami di depan mejanya. Jika dia terangguk-angguk karena kantuk, tak ayal lagi obor-obor itu pasti akan membakar rambutnya.
Akan tetapi, ada juga (atau malah lebih banyak?) yang membaca di tempat tidur justru agar cepat tidur. Bagi mereka membaca malah seperti obat tidur yang melelapkan. Nah, agar lebih cepat tertidur, disarankan agar mereka membaca buku-buku penuh kalimat berbunga, atau buku yang ruwet serta penuh persamaan matematika. Misalnya, bacalah buku-buku berjudul semacam Statistik Nonparametrik Praktis atau Metoda Nurnerik Terapan. Ada juga orang (kawan si Fulan) yang ambang kantuknya tergolong amat rendah, dan bahkan bisa secepat kilat langsung tertidur pulas dan mendengkur dengan hanya membaca judul sebuah artikel koran berikut ini: “Bagaimana Mencegah Pejabat agar tidak Korupsi dan Kolusi”. Manjur betul obat tidur itu baginya.
Tentu saja yang paling perlu diingat penganut aliran “membaca = obat tidur” ini adalah jangan membaca buku tebal, besar, dan berat (dalam arti sesungguhnya, yang ukurannya adalah kilogram) di tempat tidur. Kalau tidak diindahkan peringatan itu, begitu kesadarannya mulai melayang buku itu akan terjatuh dan menghantam kepalanya seperti langit-langit yang runtuh. Selain kantuk yang tiba-tiba lenyap, bukan tak mungkin kepala jadi sedikit benjol gara-gara runtuhan tadi.
Bagi para biblioholik, semua tempat adalah tempat membaca. Di perjalanan, di tempat tidur yang hangat dan nyaman, di toilet sambil membuang sisa-sisa metabolisme, saat antre karcis menonton bioskop, di restoran sambil menunggu soto ayam pesanan tiba, di ruang tunggu dokter gigi sambil mengerang dan pipi bengkak, di dalam rapat kerja atau penataran sambil berpura-pura tekun mencatat, di dalam bus kota yang penuh keringat dan nyanyian pengamen—sungguh tak ada tempat yang tak mungkin untuk membaca. Dunia, mengutip orang yang sedang pacaran, seakan milik berdua: si biblioholik dan bukunya. Orang lain hanya mengontrak saja.[]
(Dinukil dari: Putut Widjanarko, Elegi Gunnterberg: Memposisikan Buku di Era Cyberspace, [Mizan: Bandung, 2000].)
Foto utama oleh Lutfi Awaluddin
Sungguh merugi orang yang tak pernah membaca. Keberintungan bagi orang yang rajin membaca tentulah sangat besar, membuka kacrawala, sarana rekreasi, nemambah wawasan, dan lain sebagainya..