Greta Gerwig menunjukkan bagaimana sineas mengadaptasi novel klasik. Plot non-linear. Penciptaan dialog-dialog yang mengejutkan. Dan tentu saja tafsir baru atas Little Women, karya “abadi” Louisa May Alcott.
GRETA Gerwig berhasil. Begitu kira-kira saya bergumam usai selama dua jam lebih menyaksikan Little Women, film garapan Gerwig, yang merupakan adaptasi novel klasik dalam judul sama karya penulis Amerika, Louisa May Alcott. Skenarionya – ditulis sendiri oleh Gerwig – brilian. Musiknya yang dikerjakan Alexandre Desplat memesona. Akting barisan aktornya, terutama Saoirse Ronan dan Florence Pugh, memukau. Tak heran jika The Academy mengganjar film ini dengan enam nominasi Oscar pada tahun ini.
- Judul Film: Little Women
- Sutradara: Greta Gerwig
- Penulis: Greta Gerwig
- Produser: Amy Pascal
- Pemain: Saoirse Ronan, Emma Watson, Florence Pugh, Eliza Scanlen, Laura Dern, Timothee Chalamet, Meryl Streep
- Rilis: 25 Desember 2019 (AS)
- Durasi: 134 menit
Tak mudah mengadaptasi novel yang sudah dibaca orang Amerika sejak pertengahan Abad ke-19 (Alcott menulis novel ini dalam dua jilid yang diterbitkan pada 1868 dan 1869). Little Women bahkan sudah seperti bacaan wajib bagi siswa sekolah menengah di negeri Paman Sam itu. Ia salah satu karya fiksi yang paling banyak dibaca, setidaknya mungkin setelah karya Mark Twain, Adventures of Huckleberry Finn. Novel Alcott ini juga sudah beberapa kali diadaptasi ke sinema, termasuk edisi 1994 yang dibintangi Winona Ryder, Kirsten Dunst, Claire Danes, dan Christian Bale.
Ini kisah empat saudari: Margaret “Meg” March (Emma Watson) yang keibuaan; Josephine “Jo” March (Saoirse Ronan) yang independen dan kelaki-lakian (bahkan tiga saudarinya menyebut dia anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga); Elizabeth “Beth” March (Eliza Scanlen) yang penuh kasih dan tanpa pamrih; dan Amy Curtis March (Florence Pugh) yang artistik sekaligus cenderung pragmatis. Mereka tumbuh menghadapi kegembiraan, kesedihan, kesuksesan, dan kegagalan di Concord, Massachusetts, dengan latar Perang Saudara di Amerika.
Dalam filmnya, Gerwig (Lady Bird) mampu menghadirkan kebaruan, bahkan bagi anda yang pernah membaca novelnya. Tak seperti dalam novel, dia memilih plot non-linear. Dia juga membawa roh baru ke dalam Little Women: semangat feminisme. Singkatnya, Gerwig meninggalkan jejak tak terlupakan pada sejarah karya klasik Alcott.
Film bermula saat Jo menemui Mr Dashwood, editor Weekly Volcano, untuk menawarkan cerita. Dalam novel, adegan ini terjadi pada separuh terakhir jilid kedua, dan tentu saja Jo telah beranjak dewasa. Alur film kemudian bergerak maju-mundur dengan fokus pada Jo yang meniti karir sebagai penulis di New York dan Amy yang mencoba menemukan passion sebagai pelukis di Paris. Memori mereka tentang masa kecil di Concord menggerakkan cerita di dalam film.
Berbeda dengan dua saudari mereka yang lain, jalan hidup Jo dan Amy seakan saling memotong. Titik potong itu adalah Theodore “Laurie” Laurence (Timothee Chalamet), anak laki-laki kaya yang mengisi masa kecil keempat saudari March. Jo dan Amy menyimpan cinta untuk Laurie, dan begitu pun sebaliknya Laurie.
Lewat Jo dan Amy inilah, Gerwig menyampaikan pesan feminis. Di suatu adegan, kepada sang ibu Marmee (Laura Dern), Jo berkata dengan nada tinggi, “Aku muak dengan orang-orang yang menganggap hanya cintalah yang cocok bagi seorang wanita.” Lalu, di adegan lain, Amy ‘berpidato’ di hadapan Laurie. Dengan tenang meski emosi tampak bergemuruh di dadanya, si bungsu March itu berkata:
Aku hanya seorang wanita. Dan sebagai wanita, tak ada cara lain menghasilkan uangku sendiri, tak cukup untuk membiayai hidup atau menafkahi keluargaku. Bahkan jika aku memiliki uang sendiri, yang mana aku tak punya, uang itu pun akan menjadi milik suamiku begitu kami menikah. Jika kami punya anak, mereka akan menjadi miliknya, bukan milikku. Jadi jangan duduk di sana dan bilang padaku jika perkawinan bukanlah penawaran ekonomi, karena itulah adanya. Mungkin tidak untukmu, tetapi jelas untukku.
Dua adegan di atas adalah di antara yang bersinar dalam film Gerwig. Keduanya menjelaskan bagaimana Gerwig ingin membingkai karya klasik Alcott: gugatan atas ketimpangan gender dalam pernikahan dan keluarga di masa tersebut – dan yang mungkin masih terjadi hingga kini. Dalam wawancara dengan majalah Time, Gerwig menjelaskan intepretasinya. Jika hidup di masa sekarang, dia bilang, keempat saudari March itu adalah perempuan-perempuan yang akan memenuhi ambisi dan hasrat mereka. Hanya karena hidup di zaman itu, mereka tak bisa melakukannya.
Gerwig juga seakan menggambarkan laki-lakilah sumber kemalangan dalam keluarga: bagaimana sang ayah Robert March (Bob Odenkirk) meninggalkan keluarga dalam keadaan miskin untuk bergabung dalam pasukan Union; atau bagaimana suami Meg, John Brooke (James Norton), si pengajar papa itu, tak mampu membuat istrinya bahagia karena tak bisa memberi apa yang diimpikan seorang wanita.
Perempuan dalam keluarga March pun dilukiskan, sedikit-banyak, tak bahagia dengan pernikahan mereka. Tapi, karena masyarakat pada masa itu menganggap keluarga satu-satunya yang layak bagi perempuan, maka mereka seakan terpaksa mempertahankan pernikahan. Sosok Bibi March (Meryl Streep) seperti menyimpulkan ketidakbahagiaan dan keterpaksaan itu ketika meminta Jo dan Amy tak mengulangi kesalahan ibu mereka, dan hanya menikah dengan laki-laki terpandang.
Di sini, saya merasakan nuansa berbeda dengan novel Alcott. Pertama, setelah mencoba menelusuri kembali Little Women versi novel, saya menemukan bahwa kalimat-kalimat Jo dan Amy, terutama dalam dua adegan di atas, murni datang dari Gerwig. Kedua, berbeda dengan Gerwig, Alcott memiliki keyakinan bahwa, sejauh apa pun perempuan mencapai apa yang mereka inginkan, pada akhirnya mereka selalu akan menemukan kebahagiaan dan kepuasaan dalam pernikahan dan keluarga. Itulah kenapa jilid kedua novel ini diterbitkan dengan judul Good Wives meskipun itu konon inisiatif penerbitnya.
Di akhir novel, Alcott bahkan menulis bahwa menjadi istri dan ibu adalah “kehormatan tertinggi” seorang wanita. Atau bahwa keluarga adalah “kerajaan paling membahagiakan” bagi perempuan.
Interpretasi bebas Gerwig juga bisa dilihat dari cara bagaimana dia mengakhiri filmnya. Terutama bagian dimana Gerwig menyelamatkan si protagonis Jo dari dilema antara “ingin dicintai” seorang laki-laki dan “ingin hidup bebas”.
Dalam novel, kita tahu Jo pada akhirnya menikah dengan Friedrich Bhaer, profesor sastra paruh baya kelahiran Jerman yang tak rupawan – setidaknya tak seganteng Laurie. Tak sedikit kritikus – terutama mereka yang datang belakangan – kecewa dengan cara Alcott mengakhiri Little Women. Mereka menganggap novel ini sebagai antiklimaks dari karya-karya sastra tentang perempuan.
Gerwig menyajikan jalan keluar. Dia memang membuat Jo menerima cinta Bhaer (Louis Garrel). Tapi, dia tak secara eksplisit menggambarkan keduanya pada akhirnya menuju pelaminan. Bahkan, dalam babak akhir film, Jo mengatakan kepada Mr Dashwood bahwa tokoh wanita utama dalam novelnya tak menikah. Kalaupun akhirnya dia mengubah akhir novelnya – dan membuat tokoh utamanya menikah – itu karena alasan komersial belaka. Pada masa itu, novel dengan tokoh utama perawan tua tak akan laku dijual.
Menarik bagaimana interpretasi Gerwig – dan mungkin adaptasi lainnya – membuat Alcott dicitrakan sebagai seorang feminis. Apalagi, pengarang kelahiran Pennsylvania itu memang tak pernah menikah selama 55 tahun hidupnya. Padahal, seperti telah dijelaskan, Alcott dalam novelnya justru ingin menyampaikan pesan tentang pentingnya pernikahan dan keluarga.
Menurut saya, interpretasi Gerwig itu sah-sah saja. Bagaimanapun, Little Women sudah menjadi arena terbuka bagi siapa pun untuk meninggalkan jejak tafsirannya. Bahkan, bukan tak mungkin dari dalam kuburnya, Alcott setuju dengan Gerwig. Sebab, bisa jadi ekspresi artistik Alcott tak sepenuhnya terungkapkan karena tekanan konstruksi sosial yang dominan pada masanya.[]