Seorang pengacara muda jebolan Harvard memilih jalan hidup membela terpidana mati. Pilihan itu berisiko, bukan hanya bagi karirnya di dunia hukum tapi juga nyawanya. Film ini berdasarkan kisah nyata Bryan Stevenson, sosok yang disebut Uskup Desmond Tutu sebagai “Mandela Amerika”.
FILM bertema peradilan sesat tak terhitung banyaknya. Pada 2019, kita menyaksikan When They See Us (Ava DuVernay) dan Unbelievable (Susannah Grant, Ayelet Waldman, dan Michael Chabon). Dua miniseri ini menuai sukses, baik dari sisi komersial maupun kritik.
Tema pencarian keadilan bagi korban peradilan sesat selalu memikat. Mungkin ini karena tema ini begitu dekat dengan keseharian kita. Jika ini alasannya, tentu saja ini kenyataan menyesakkan. Sistem peradilan ternyata belum mampu menjamin keadilan bagi setiap orang tanpa pandang bulu, bahkan di negara demokrasi maju sekelas Amerika Serikat.
Di antara banyak film bertema tersebut, karya Destin Daniel Cretton, Just Mercy, bisa dikatakan salah satu yang menonjol. Skenarionya—juga ditulis Cretton—bertutur sederhana tapi liris. Kerumitan pertarungan hukum tak menjejali pikiran penonton. Sebab, kita juga diajak menyelami suasana kebatinan orang per orang dan masyarakat secara umum. Peran para pemainnya tak meniadakan satu sama lain; saling melengkapi. Meski banyak kritik memuji peran Jamie Foxx dalam film ini, penampilan Rob Morgan, Tim Blake Nelson, dan Michael B Jordan juga memikat.
Dengan semua kualitas itu, Just Mercy anehnya tercecer dari daftar nominasi Academy Awards 2020. Tagar #OscarTooWhite, kata banyak orang, pun menjadi relevan karena nominasi didominasi film tentang karakter kulit putih.
- Judul Film: Just Mercy
- Sutradara: Destin Daniel Cretton
- Penulis: Destin Daniel Cretton, Andrew Lanham
- Pemain: Michael B Jordan, Jamie Foxx, Rob Morgan, Tim Blake Nelson, Brie Larson
- Rilis: 25 Desember 2019 (AS)
- Durasi: 136 menit
Just Mercy memang berkisah tentang Bryan Stevenson (Michael B Jordan), pengacara dan aktivis hak asasi manusia berkulit hitam. Didasarkan pada memoar Stevenson, Just Mercy: A Story of Justice and Redemption, film ini berfokus pada kasus pertama Stevenson, yakni upaya dia menyelamatkan Walter McMillian (Jamie Foxx) dari daftar tunggu eksekusi hukuman mati pada 1989. Ini salah satu kasus pembunuhan “salah vonis” paling sensasional di Amerika.
Istilah “salah vonis” (wrongly convicted murder) menurut saya ganjil. Istilah ini seolah ingin mengatakan sistem peradilan—polisi, jaksa, dan hakim—keliru dalam menerapkan hukum dan tak menyadarinya. Kenyataan tidak demikin. Dalam kasus McMillian, sistem peradilan justru dengan penuh maksud menjadikan McMillian terpidana mati sejak awal. Lusinan warga kulit hitam yang menyaksikan pembalak kayu itu di acara bakar ikan gereja pada hari pembunuhan diabaikan sebagai saksi. Kenyataan tak ada bukti fisik yang mengaitkan McMillian dengan TKP juga tak diacuhkan. Satu-satunya saksi mata adalah Ralph Myers (Tim Blake Nelson), seorang pesakitan yang baru mengenal McMillian saat mereka berdua dipindahkan ke penjara yang sama. Myers kemudian terbukti bersaksi palsu karena Sheriff Tom Tate mengancam akan mengirimnya ke kursi listrik jika dia tak mengatakan apa yang ingin polisi itu dengar.
Pendek kata, ini bukan “salah vonis” tapi sistem peradilan yang berjalan sesat dan menyesatkan; sistem peradilan yang hanya memenuhi kehausan warga mayoritas melihat minoritas berbaris menunggu mati di penjara. Korban, Ronda Morrison, adalah wanita muda kulit putih sementara, McMillian pria kulit hitam. Kebetulan seperti ini sudah cukup. Tak perlu dalih lain. “Di sini, anda bersalah sejak anda dilahirkan,” kata McMillian kepada Bryan, menggambarkan bagaimana nasib kulit hitam sudah diketok palu sejak lahir.
Di sini, di Monroeville, Alabama, Harper Lee, pengarang novel legendaris To Kill a Mockingbird, lahir. Di sini, novel ini berkisah tentang diskriminasi rasial dan bagaimana Atticus Finch berjuang membebaskan dua warga kulit hitam dari peradilan sesat. Di sini, To Kill a Mockingbird dibuatkan museum dan dibanggakan warga kota tapi semangat novel ini tak berjejak. Sejak datang dan menemukan keganjilan dalam kasus McMillian, Bryan menerima ancaman. Jaksa wilayah, Tommy Chapman, memintanya untuk tak mengusik kasus tersebut. Di Alabama, spirit Harper Lee menguap. Bahkan, negara bagian Alabama hingga kini termasuk salah satu yang masih mempertahankan lusinan monumen yang mengglorifikasi perbudakan.
Bagi kita yang belum mengetahui kasus McMillian—kasus yang sempat tenar setelah diulas dalam program televisi ternama 60 minutes—film ini secara khusus bisa menjadi pengantar visual menuju kasus tersebut, dan secara umum menuju prasangka rasial yang mendominasi penegakan hukum di Amerika—isu yang masih relevan hingga kini. Lebih daripada 40 persen narapidana di Amerika saat ini adalah warga kulit hitam, padahal mereka minoritas di negeri itu. Lalu, satu dari sembilan terpidana mati yang menanti eksekusi adalah korban peradilan sesat.
Film ini juga memperkenalkan kita kepada Stevenson, sosok yang dipuji Uskup Desmon Tutu sebagai “Mandela Amerika”. Saat menangani kasus ini, Stevenson baru berusia 28 tahun dan belum lama memperoleh izin beracara setelah lulus dari Harvard Law School, status yang sedianya privilege bagi kulit putih pada masa itu. Alih-alih menerima banyak tawaran pekerjaan bonafid, Stevenson lebih memilih menjadi pengacara probono untuk para terpidana mati dengan cuma mengandalkan dana bantuan federal. Dia memulai semuanya dari nol, dari kantor yang menumpang di rumah Eva Ansley (Brie Larson), seorang psikolog dan aktivis. Mereka berdua kemudian mendirikan LSM Equal Justice Initiative.
Ada bagian dari kisah hidup Bryan dalam memoarnya yang tak diceritakan dalam film—mungkin karena alasan durasi film yang memang sudah cukup panjang: 136 menit. Yaitu, alasan Stevenson mencemplungkan diri dalam karir pembelaan gratis bagi napi miskin dari penjara ke penjara. Stevenson sekilas mengatakan kepada McMillian bahwa ia tumbuh di lingkungan yang sama dengan kebanyakan warga kulit hitam: kumuh dan pinggiran.
Di dalam memoarnya, ada kisah yang lebih menarik daripada alasan di atas. Stevenson menyebut satu nama yang berpengaruh atas pilihannya. Dia Steve Bright, profesor hukum dan direktur Southern Prisoners Defense Committee, lembaga bantuan hukum tempat magang Stevenson. Sosok inilah yang menyeret Stevenson ke dalam idealisme pembelaan orang-orang yang dimiskinkan, dipinggirkan, dan dibungkam.
Dalam sebuah percakapan, Stevenson ingat, Bright menjelaskan apa arti capital punishment (hukuman mati). Si profesor mengatakan, capital punishment adalah “hukuman bagi orang tanpa capital. “Dia menjelaskan persoalan hukuman mati dengan sederhana tapi persuasif, dan saya benar-benar terkesima dengan dedikasi dan kharismanya,” tulis Stevenson.
Kepada The Guardian, Bright mengingat Stevenson sebagai anak muda yang awalnya tengah mencari jalan hidup setelah lulus dari Harvard. Begitu Bright mengirim pengacara muda itu ke penjara-penjara Alabama untuk menginvestigasi para terpidana mati, Stevenson mendapati bagaimana orang-orang ini dihukum asal-asalan dan dibela oleh pengacara yang tak tahu apa yang harus dilakukan. Sejak itu, dia menemukan jalan hidup: mengabdi untuk orang-orang ini.
Terlepas dari keunggulan unsur-unsur sinematiknya, kisahnya yang berdasarkan kenyataan sudah menjadi kekuatan film ini. Setelah film berakhir, kita pun mengucapkan selamat tinggal kepada Michael B Jordan, tapi tidak kepada Stevenson. Pria yang kini berusia 60 tahun itu masih bergulat dengan idealismenya. Lembaga bantuan hukumnya kini telah memiliki 40 staf, baik pengacara maupun paralegal. Hingga Agustus 2016, mereka telah menyelamatkan 125 terpidana dari hukuman mati.
Stevenson, yang kini kerap berceramah keliling Amerika dan dunia, menyadari bahwa apa yang ia lakukan tidaklah akan pernah cukup untuk memberi keadilan kepada mereka yang harapannya dipadamkan. Dia mengarahkan telunjuk kepada pembenahan sistem, dan lebih jauh lagi kepada karakter sebuah bangsa. Dia bilang, “Karakter bangsa kita tidak dicerminkan oleh bagaimana kita memperlakukan yang kaya dan yang punya keistimewaan, tapi oleh bagaimana kita memperlakukan yang miskin, yang diabaikan, dan yang ditolak.”[]