“A Sun”: Puitis Sekaligus Tragis

in Film by

A Sun, satu lagi film Asia yang menonjol selain Parasite. Karya sutradara Taiwan Chung Mong-hong ini mengeksplorasi kompleksitas hubungan dalam keluarga secara puitis sekaligus tragis. Menjadi film Taiwan terbaik 2019, dan dipuji kritikus Barat.

“CIPTAAN teradil di dunia adalah matahari,” kata A-Hao (Greg Han-hsu), pemuda tampan, baik hati, dan calon mahasiswa kedokteran. “Sepanjang tahun, seluruh tempat di bumi mendapat rentang siang dan malam yang sama.”

Bagi A-Hao, matahari justru paradoks kehidupannya. Seperti matahari, ia harus selalu bersinar dan berseri. Tapi, pada saat yang sama, ia tak punya tempat bernaung. Tak ada tempat tesembunyi baginya.

Sejak kecil, A-Hao memang bersinar. Di sekolah, nilai-nilainya di atas rata-rata. Ia tak pernah membuat masalah. Hidupnya tak bercela. Dia pun menjadi satu-satunya tumpuan harapan keluarga, terutama sang ayah, A-Wen (Chen Yi-wen).

Adiknya, A-Ho (Wu Chien-ho ), berbeda 180 derajat. A-Ho pembuat onar sejak kecil. Jika keinginannya tak dituruti, dia bisa mengamuk dan tak tidur semalaman. Di sekolah, dia sering berkelahi. Hanya pergi berboncengan dengan sepeda bersama ibunya yang bisa membuatnya tenteram.

Kenakalan A-Ho memuncak saat dia terlibat pembacokan seseorang bersama temannya, Radish (Liu Kuan-ting), hingga akhirnya masuk penjara remaja. Saat A-Ho di dalam penjara, ibunya Qin (Samantha-Ko) dan A-Hao harus membereskan segala kekacauan yang dibuat A-Ho, termasuk merawat Xiao-yu, remaja 15 tahun yang dia hamili.

Kondisi berseberangan itu membuat A-Wen, seorang instruktur kursus mengemudi, lebih mencurahkan perhatian kepada A-Hao. Bahkan, jika ditanya berapa anaknya, A-Wen selalu menjawab, “cuma satu”. Dia tak mengakui A-Ho, si bungsu pembawa masalah.

A-Wen tak seperti matahari yang adil, yang tak membeda-bedakan sinarnya bagi siapa pun. Tapi, bagi si sulung A-Hao, menjadi “matahari” yang selalu harus bersinar adalah beban tak tertanggungkan.

Diarahkan oleh Chung Mong-hong (Godspeed), A Sun berkisah puitis sekaligus tragis. Dalam film ini, kita bisa menemukan sejumlah metafora yang digunakan untuk melukiskan kondisi emosional karakter-karakternya.

  • Judul Film: A Sun (Yang Guang Pu Zhao)
  • Sutradara: Chung Mong-hong
  • Penulis: Chung Mong-hong, Chang Yao-sheng
  • Pemain: Chen Yi-wen, Samantha-Ko, Wu Chien-ho, Liu Kuan-ting
  • Rilis: 1 November 2019 (Taiwan); 10 Januari 2020 (Netflix)
  • Durasi: 185 menit

Selain “matahari”, misalnya, Chung menyuguhkan metafora dengan menafsir bebas cerita pengantar tidur anak-anak Tiongkok tentang Sima Guang, seorang sejarawan Abad ke-2. Dikisahkan Sima Guang di waktu kecil bermain petak umpet bersama anak-anak seusianya. Di tengah permainan, seorang anak terjatuh ke dalam tangki air. Anak-anak pun panik dan tak tahu harus berbuat apa, kecuali Sima Guang. Dia mengambil batu besar dan melemparkannya ke badan tangki. Tangki pun pecah dan keluar anak yang nyaris mati tenggelam itu.

Tapi oleh Chung yang juga menulis skenario film ini, akhir cerita rakyat itu diubah. Melalui kata-kata A-Hao, yang berada di dalam tangki ternyata bukan anak yang terjatuh tapi Sima Guang sendiri. Dengan metafora ini, A-Hao ingin menyampaikan bahwa ia, seperti juga Sima Guang, membutuhkan tempat berteduh dan bernaung. “Tapi aku tak bisa. Aku tak punya tangki air. Tak ada tempat tersembunyi.” Dia juga menyiratkan bahwa dialah anak yang juga mesti diselamatkan, bukan hanya sang adik.

A-Hao kemudian mengambil keputusan yang mengguncang keluarganya. Seperti matahari yang menyelinap di balik awan, keputusannya terus membayangi keluarga ini; memaksa mereka melihat satu sama lain secara berbeda demi menyelamatkan apa yang tersisa.

A Sun memenangi Golden Horse 2019—penghargaan tahunan sinema Taiwan—untuk Film Terbaik, dan Chung didaulat sebagai Sutradara Terbaik. Dalam Toronto International Film Festival 2019, film ini juga menuai banyak pujian. Chung dinilai bakal meniti jalan kesuksesan sineas-sineas Taiwan pendahulunya, seperti Edward Yang dan Ang Lee.

Menjadi yang terbaik di Taiwan bukan pencapaian baru bagi Chung. Pada 2010, dia menjadi sutradara terbaik lewat The Fourth Portrait. Karya berikutnya, Soul, terpilih untuk mewakili Taiwan dalam Academy Awards 2014 untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik.

Dalam A Sun, Chung berhasil meramu berbagai elemen sinematografis. Hasilnya adalah epos perjuangan sebuah keluarga menghadapi kejatuhan demi kejatuhan; melewati krisis demi krisis.

Skenario yang dia garap bersama Chang Yao-sheng bertutur dalam bahasa keseharian; amat natural, tapi mampu membangkitkan sensasi puitis melalui taburan metafora cerdas. Alhasil, film ini tidak menampilkan aktor yang berpuisi atau dialog yang sesak dengan bahasa pamflet, yang malah tak jarang membuat film menjadi norak, lebai, dan terasa menggurui. A Sun justru bersinar karena memicu sensasi puitis melalui narasi sederhana dan dialog alamiah.

Chung dengan brilian, misalnya, menerapkan repetisi pada kata-kata tertentu dalam dialog dan narasi. “Raih hari ini. Tentukan jalanmu”, yang menjadi semacam petitih hidup A-Wen—dan coba ia tularkan kepada keluarganya—dianggap istri dan anak-anaknya cuma omong kosong. Hidup terlalu rumit untuk sekadar disederhanakan oleh ungkapan penyair Romawi, Horace; “carpe diem”. Hidup tidaklah sesimpel apa yang terlihat hari ini. Seseorang harus selalu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan di masa depan.

Barisan pemain dalam film ini menampilkan akting mengesankan, terutama Chen, Wu, dan Samantha. Chen mampu mengadirkan sosok ayah yang dikalahkan kenyataan hidup tapi tetap berupaya menyelamatkan keluarganya yang nyaris hancur berkeping dengan cara yang tak terduga, bahkan oleh istrinya sekalipun. Peran Samantha memperlihatkan enigma seorang ibu; tampak rapuh dan lelah tapi entah bagaimana menjadi satu-satunya yang selalu siap menanggung beban keluarga ini. Pertumbuhan emosi A-Ho dari pemuda ceroboh menjadi seseorang yang matang tergambarkan secara alamiah oleh akting Wu.

Chung juga menciptakan sejumlah adegan puitis. Adegan terakhir, misalnya, dibuat sangat indah untuk merangkum keseluruhan cerita. A-Ho mengayuh sepeda membonceng Qin, ibunya—momen kebersamaan keduanya yang membuat A-Ho kecil dalam keadaan damai—sementara sang ibu menatap buah hatinya yang lain: matahari.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*