“The Platform”: Film Pesimis terhadap Kemanusiaan

in Film by

The Platform karya Galder Gaztelu-Urrutia mengajukan pertanyaan pesimistik terhadap kemanusiaan. Benarkah kemanusiaan itu ada? Benarkah solidaritas itu nyata? Jangan-jangan kebinatangan lebih terpatri di DNA manusia daripada kemanusiaan.

KETIKA membuat perlambang, Anda harus menjadikannya lebih dahsyat daripada kenyataan yang hendak dilambangkan. Tujuannya bukan asal melebih-lebihkan tapi karena perlambang mempunyai beban mengungkap apa yang tersembunyi di balik kenyataan.

Begitulah sutradara asal Spanyol Galder Gaztelu-Urrutia mencipta film cerita pertamanya, El Hoyo (‘lubang’) atau The Platform. Film ini membayangkan bangunan penjara vertikal berkapasitas 333 terungku. Tiap terungku berisi dua penghuni. Empat sudutnya dibangun dari beton kokoh. Penjara ini disebut Centro Vertical de Autogestión (Pusat Manajemen-Diri Vertikal). Di tengah struktur menjulang ini, dibuat lubang. Dari lubang ini, penghuni sel bisa menengok penghuni lain di bawah dan di atasnya. Melalui lubang ini pula, tiap hari semacam mimbar atau platform hilir mudik membawa prasmanan makanan mewah berlimpah.

  • Judul Film: The Platform
  • Sutradara: Galder Gaztelu-Urrutia
  • Penulis: David Desola, Pedro Rivero
  • Pemain: Ivan Massague, Antonia San Juan, Zorion Eguileor, Emilio Buale
  • Rilis: 6 September 2019 (TIFF), 20 Maret 2020 (Netflix)
  • Durasi: 94 menit

Penghuni sel tingkat atas bisa menikmati makanan yang masih segar dan lengkap seenak perut. Mereka tak mempedulikan penghuni sel tingkat bawah. Mereka di level bawah hanya bisa mencicipi remah-remah dari level atas. Semakin bawah tingkatnya, semakin makanan tak bersisa.

Bukankah itu perlambang struktur sosial masyarakat di dunia ini? Bukankah sebagian besar—untuk tidak menyebut semua—kita hidup dalam struktur sosial tersebut? Bukankah selalu begitu sejak zaman dulu?

Penjara vertikal itu memungkinkan mobilitas vertikal. Setiap bulan, penghuni berpeluang naik level atau turun level. Mereka dipilih pengelola penjara secara acak. Tak ada syarat dan kualifikasi tertentu.

Bukankah demikian hidup kita? Kita bisa tiba-tiba melejit ke strata atas, entah karena koneksi atau menang undian. Tak ada jaminan usaha kita bisa mengantar kita ke sana. Kalaupun kita berkeras percaya bahwa segalanya ditentukan kerja keras, bersiaplah gigit jari. Penghuni sel level atas tak akan pernah membiarkan penghuni di bawahnya naik kelas. Kalau perlu, mereka bisa menindas kita, entah dengan kekerasan ataupun penghinaan. Demikian digambarkan Gaztelu-Urrutia dalam film ini.

Lalu kehidupan di tiap sel mulai diurai oleh Gaztelu-Urrutia, menggambarkan interaksi antarmanusia. Di tingkat atas, mereka bersenang-senang. Mereka serba berlebihan. Di level menengah, sepasang penghuni mulai dihadapkan pada pilihan-pilihan. Yang rakus akan memakan remah apa pun yang ditinggalkan penghuni level atas. Yang punya sedikit kewarasan mencoba memilih apa yang dirasa masih pantas disantap. Di level bawah, tak ada lagi pilihan. Makanan ludes sudah. Yang tersisa hanya teman satu sel. Pilihan hanya dua: berpuasa sebulan penuh sambil berharap mendapat nasib baik ditempatkan ke level atas pada bulan berikutnya atas atau makan teman satu sel.

Itulah yang terjadi dengan pasangan satu sel Goreng (Ivan Massague) dan Trimagasi (Zorion Eguileor) ketika keduanya ini dilempar ke tingkat 172. Trimagasi seorang pragmatis. Dia lalu mengikat Goreng dan berencana mengerat sedikit demi sedikit daging sang teman untuk kemudian menyantapnya hidup-hidup. Trimagasi harus menjaga agar Goreng tetap hidup dan tak jadi mayat yang membusuk. Trimagasi mengatakan, ini bukan kejahatannya. Ini kejahatan pengelola penjara yang menempatkan mereka dalam kondisi demikian. Goreng seorang idealis. Menurutnya, Trimagasi tetap punya pilihan, entah berpuasa atau setidaknya hanya minum. Bagi Goreng, pembunuhan atas dirinya adalah kejahatan Trimagasi, bukan kejahatan pengelola penjara atau mereka di level atas yang tak menyisakan apa pun bagi mereka di level bawah.

Itu perlambang telak kehidupan masyarakat kelas bawah. Mereka kerap dihadapkan pada pilihan moral seperti halnya Goreng dan Trimagasi. Mati kelaparan atau “makan daging” dan “minum darah” teman sendiri. Dalam sejarah peradaban manusia, sudah tak terhitung konflik, peperangan, dan pembantaian demi memperebutkan sumber daya ekonomi. Korban terbesar semua itu selalu masyarakat kelas bawah: para budak, pekerja, serdadu, dan kawula. Mereka di kelas atas merancang semua itu dan tinggal menanti hasil di pucuk-pucuk kekuasaan dan kemakmuran.

Lalu Gaztelu-Urrutia menyajikan perlambang solidaritas sosial melalui Imoguiri, teman satu sel baru Goreng di level 33. Imoguiri mencoba menggalang solidaritas di antara sesama penghuni penjara. Dia makan seperlunya dan kemudian menjatah makanan untuk dua penghuni di bawahnya. Dia meminta mereka melakukan hal yang sama. Imoguiri percaya cara ini bisa membangun “solidaritas spontan” di antara mereka, sehingga makanan akan cukup bagi penghuni di level bawah. “Jika setiap orang makan sesuai kebutuhannya, makanan akan sampai di tingkat terbawah,” katanya.

Tapi, Gaztelu-Urrutia menunjukkan solidaritas itu cuma omong kosong. Setiap penghuni sel tetap makan sepuasnya. Tak ada kepedulian bagi penghuni level bawah. Hanya ada kepentingan pribadi-pribadi. Permintaan Imoguiri mereka anggap angin lalu. Bahkan, pengalaman hidup-mati di tingkat bawah juga tak mencetuskan solidaritas. Mereka justru berupaya mengompensasi penderitaan di level bawah dengan kesenangan di level atas.

Sekali lagi, bukankah demikian hidup kita? Begitu mendapatkan kesempatan berada di kelas atas, mereka yang dulu di kelas bawah bakal melakukan hal yang sama: menindas kelas di bawahnya. Begitulah siklus hidup ini, sehingga hanya ada tiga tipe manusia: “mereka yang di atas, mereka yang di bawah, dan mereka yang jatuh”. Demikian kalimat pembuka film ini.

Lalu Goreng menemukan ide. Menurutnya, solidaritas tak datang spontan, tapi harus dipaksa. Kalau perlu, paksaan dengan kekerasan. Dia menjalankan ide ini bersama rekan barunya di level 6, Baharat. Dengan bermodalkan senjata besi bekas ranjang penjara, keduanya memaksa penghuni sel hingga tingkat ke-50 berpuasa sehari dan menjatah makanan untuk penghuni sel tingkat 51 ke bawah. Mereka berharap makanan akan cukup hingga dasar penjara.

Saya tak perlu menceritakan kisah ini lebih lanjut. Apakah Goreng dan Baharat berhasil? Lalu, bagaimana akhir penjara vertikal ini? Anda bisa menonton sendiri film ini di Netflix sejak 20 Maret 2020. Apalagi Gaztelu-Urrutia membiarkan akhir film terbuka bagi banyak tafsir.

Tapi, saya menyarankan Anda memperkuat otot-otot lambung sebelum menonton film ini. Ide film ini gila. Imajinasinya brutal dan menjijikkan. Tapi dengan begitu, Gaztelu-Urrutia berhasil melukiskan kenyataan hidup. Bahkan, kenyataan sebenarnya jauh lebih pahit meski apa yang tampak dan apa yang ditulis sejarah resmi mencoba meyakinkan Anda bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Saya hanya ingin mengatakan begini. Saya melihat pesimisme dari film ini. Bagi Gaztelu-Urrutia, tak ada harapan bagi ras manusia. Kemanusiaan dan solidaritas yang digembar-gemborkan itu hanya khayalan. Pada akhirnya, manusia hanya hewan cerdas. Kebinatangan lebih terpatri di DNA manusia daripada kemanusiaan.

Anda bisa setuju atau tidak dengan pandangan tersebut. Di masa pagebluk virus Corona saat ini, kita menyaksikan dua wajah manusia. Krisis ini menelanjangi kerentanan struktur sosial di mana manusia hidup dan juga sifat kebinatangan manusia (berebut kertas toilet adalah contoh kecil). Tapi, pada saat yang sama, kita juga menyaksikan manusia-manusia rela berkorban demi sesama tanpa pamrih.

Persoalannya, apakah yang dinamakan solidaritas karitatif tersebut mampu membawa “pesan” kepada mereka yang di atas? Apakah solidaritas itu sanggup mengubah struktur sosial yang sudah dianggap bak suatu keniscayaan? Ini pertanyaan yang mesti kita jawab secara kolektif sebagai ras manusia, terutama jika kita masih mengimani kemanusiaan.

The Platform, menurut saya, mengkritik bukan hanya kapitalisme tapi juga sosialisme. Gaztelu-Urrutia ingin menunjukkan solidaritas sosial—atau katakanlah solidaritas kelas—itu hanya mimpi di siang bolong. Pada akhirnya, mereka yang tadinya di bawah tetap akan menjadi penindas saat di atas. Kelas proletar berkuasa tak kurang menindasnya daripada kelas borjuis. Perbedaannya hanya siapa yang berkuasa. Jika dalam kapitalisme, elite pemilik modal yang pegang kendali, maka dalam sosialisme atau komunisme, elite negara-partai yang menentukan nasib rakyat kebanyakan. Bahkan, Gaztelu-Urrutia juga tampak mengkritik anarkisme. Baginya—dan ini menurut saya, tak ada itu namanya kesadaran bersama. Manusia tetap membutuhkan paksaan dalam banyak bentuknya untuk bisa solider.

Film ini banyak memuat metafora dan perlambang. Saking banyaknya sampai nama-nama karakter pun dijadikan perlambang—yang sejauh ini belum saya temukan maknanya. Misalnya, nama Goreng konon dia comot dari bahasa Indonesia goreng. Begitupun Trimagasi dari terima kasih dan Imoguiri dari Imogiri. Saat ditayangkan pertama kali pada September 2019 di Toronto International Film Festival, film ini memperoleh People’s Choice Award for Midnight Madness, alias paling banyak disukai penonton.

Pada akhirnya, Gaztelu-Urrutia tampak mengajukan banyak pertanyaan melalui sejumlah perlambang itu. Dengan begitu, dia membuka diri untuk jawaban, tafsir, dan bahkan mungkin bantahan.[]

Tags:

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*