“Leave No Trace”: Potret Mereka yang Menyisih

in Film by

Film lembut, lurus, natural, dan tenang tapi menyimpan pertanyaan provokatif tentang norma sosial-ekonomi di mana kita hidup.

MULA-MULA sebuah berita di koran lokal Oregon, The Oregonian, pada 2004. Dilaporkan polisi menemukan seorang veteran perang dan putrinya berusia 13 tahun tinggal di hutan kota, Forest Park, selama empat tahun. Mereka hidup menyisih dari kota dan infrastrukturnya dan tentu saja dari masyarakat yang serba diatur; terbirokrasikan. Otoritas kemudian terkaget-kaget mendapati si putri dalam kondisi amat sehat, tak ada luka, atau bekas kekerasan apa pun termasuk seksual. Bahkan, dia cukup terdidik: membaca, menulis, serta berkomunikasi layaknya remaja dari dunia ‘berperadaban’.

Seorang novelis sekaligus profesor penulisan kreatif dari Reed College di Portland, Peter Rock, mengangkat kisah mereka ke dalam sebuah novel My Abandonment pada 2009. Rock bercerita melalui narasi sang putri. Bagaimana perempuan remaja itu bisa hidup bahagia tanpa pernak-pernik, riasan wajah, jadwal nonton film di bioskop, dan bahkan tanpa teman sebaya. Di sisinya hanyalah sang ayah, seorang penderita gangguan stres pascatrauma, sebuah map plastik penyimpan segala rahasia, dan tentu saja hutan kota seluas lima kali Central Park di New York yang dia anggap sebagai rumah (home).

Anak perempuan dan ayahnya itu hidup penuh kasih sayang. Sang ayah mengajarinya berbagai keterampilan bertahan hidup di keliaran, dari mulai mengambil makanan di hutan, mengumpulkan air, hingga mendeteksi kedatangan orang luar melalui gerak dan kicau burung.

My Abandonment dipandang menggugah; menghadirkan kisah orang pinggiran yang jarang diangkat: mereka yang hidup melawan ‘kenormalan’ dunia modern. Dan bagaimana kemudian otoritas berupaya mengembalikan mereka menjadi ‘warga normal’.

Sineas Debra Granik (Winter’s Bone) kemudian mengadopsi My Abandonment ke layar lebar dengan judul Leave No Trace (2018). Ini film tenang, setenang Forest Park yang menjadi latar utamanya. Gaya bertuturnya lembut dan mengalir. Tak ada karakter berlebihan. Tak ada plot gimmick. Semua serba simpel. Semua serba natural. Tapi, dalam ketenangan dan kesederhanaan itu, Granik sukses menyimpan pertanyaan provokatif dalam benak dan jiwa penonton tentang kehidupan modern yang serba-teknologi dan serba-birokratis.

  • Judul Film: Leave No Trace
  • Sutradara: Debra Granik
  • Penulis: Debra Granik, Anne Rosellini
  • Pemain: Ben Foster, Thomasin McKenzie, Jeff Kober, Dale Dickey
  • Rilis: 20 Januari 2018 (Sundance), 29 Juni 2018 (AS)
  • Durasi: 109 menit

Saya menjumpai film ini pada 2019 dan kembali menyapanya pada tahun ini setelah Netflix merilisnya. Pada tahun lalu, saya sempat sedikit terkejut ketika karya Granik ini tak masuk daftar nominasi Academy Awards. Bagi saya, bahkan jika dibandingkan dengan Green Book (Peter Farelly), Film Terbaik 2019, Leave No Trace justru lebih memukau.

Mungkin Leave No Trace terlalu adem ayem bagi industri perfilman Hollywood. Atau kritik yang dihunjamkannya secara laten kepada kondisi dan norma sosial-ekonomi terlalu dalam menusuk kemapanan. Entahlah. Yang pasti, film ini dikabarkan hampir tak terdistribusikan ke bioskop di Amerika Serikat, kecuali setelah Bleecker Street, perusahaan seumur jagung yang didirikan Andrew Karpen, bekas bos Focus Pictures (anak perusahaan Universal Pictures) membeli hak distribusi film ini.

Leave No Trace menampilkan Ben Foster sebagai ayah, sang veteran perang, bernama Will dan Thomasin McKenzie (aktris berbakat asal Selandia Baru) sebagai putri remaja, Tom. Penampilan Foster dan McKenzie sebenarnya layak diganjar Oscars, atau minimal nominasinya. Keduanya mampu menunjukkan afeksi seorang ayah dan anak perempuan yang wajar dan dalam. Afeksi itu tak ditunjukkan secara klise, seperti dengan sering berpelukan atau “tangisan bombai”. Dari akting keduanya, kita tetap bisa tahu dan merasakan bahwa hubungan ayah-anak ini adalah salah satu pusat pengisahan film ini.

Ada beberapa hal yang akan saya ulas dari film ini. Sebagian besarnya berkaitan dengan Will dan Tom, yang memang mendominasi penceritaan.

Dari Will, kita bisa mengetahui betapa hebat dampak gangguan stres pascatrauma atau PTSD terhadap seseorang. Will sampai-sampai tak bisa bersosialisasi dengan orang lain, kecuali putrinya sendiri, Tom. Itulah kenapa dia harus terus mengembara tanpa tujuan; menyingkir dari ‘peradaban’; menyisih tanpa jejak.

Kita juga bisa tahu betapa buruk pemerintah Amerika Serikat memerlakukan veteran; warga yang rela mengorbankan bukan hanya nyawa tapi waktu berharganya bersama orang tercinta demi memenuhi ambisi perang para politisi. Will terpaksa menjual obat-obatan pereda sakit yang ia terima dari Departemen Veteran kepada veteran lain yang tak memperoleh layanan. Itu dia lakukan demi memenuhi kebutuhan hidup dia dan putrinya.

Will memendam kekecewaan kepada negara dan masyarakat yang dikendalikan birokrasi. Dalam sebuah dialog dengan Tom, dia selalu merasa hunian sosial yang mereka tempati (setelah polisi menemukan mereka di hutan) di sebuah komunitas perkebunan pohon cemara adalah milik “mereka”. Makanan yang dikonsumsi, pakaian yang dikenakan, dan pekerjaan yang dilakukan, semua milik “mereka”. Tapi setidaknya, “Kita masih memiliki pikiran kita sendiri,” katanya.

Granik menggambarkan penderitaan ini secara subtil. Will tak banyak bicara untuk mengeluhkan apa yang dia rasakan, bahkan kepada Tom. Sesekali, kedua tangan Will terlihat menyapu kepalanya yang tertunduk di sudut kamar hunian sosial. Kadang, Will menyendiri dan menatap kosong. Bahkan, tampak bagi saya, Tom baru mengetahui efek dahsyat PTSD terhadap ayahnya ketika membaca kutipan koran dari map plastiknya.

Karakter Tom yang beranjak dewasa menunjukkan ketertarikan kepada hal-hal lain di luar apa yang selama ini ia ketahui dari dan bersama Will, seperti pengalaman bertemu teman sebaya. Tak seperti Will, ia pun mencoba bersosialisasi dengan lingkungan baru.

Sebenarnya ada perasaan dalam diri Tom untuk menolak terus mengikuti Will. Dia merasa pilihan hidup mereka tak sama dengan hidup kebanyakan orang. Tapi bagaimanapun, Tom tetap membela ayahnya. Dia tak pernah merasa malu atau tak nyaman dengan cara mereka hidup meskipun sadar itu tak sesuai dengan ‘norma sosial’.

Di sini, Granik mengungkap sebuah hubungan cinta yang dalam dan sublim antara ayah dan anak perempuannya. Bagi Tom, apa pun yang terjadi, Will adalah satu-satunya yang ia miliki. Tak ada ingatan apa pun yang melekat dalam benaknya tentang orang selain Will, dan bahkan ibunya sekalipun.

Pada akhirnya, yang paling melekat dari film ini adalah hubungan Will dan Tom. Keintiman dan kasih sayang di antara mereka terbangun—sekali lagi—bukan dalam gimmick berlebihan. Jika saya tak salah menghitung, hanya terjadi dua adegan berpelukan antara Foster dan McKenzie. Kedekatan mereka terbangun dalam aktivitas hidup sehari-hari di hutan, tentu saja tanpa interupsi gawai dan telepon seluler. Saat menempati hunian sosial, Tom mencoba meyakinkan ayahnya bahwa mereka membutuhkan telepon untuk berkomunikasi. Tapi Will bilang, “Kita selalu bisa berkomunikasi tanpa semua itu.”

Demikian pula, hampir tak ada plot adu mulut dengan nada suara tinggi di antara keduanya. Satu-satunya momen saat Tom meninggikan suara di hapadan ayahnya adalah ketika dia tahu sebab Will tak bisa hidup menetap, meskipun di lingkungan sesama veteran di pinggiran hutan. Inilah puncak dari perasaan Tom. Dia bilang, “Hal sama yang salah bagimu tidaklah salah buatku.”

Adegan berikutnya menjadi yang paling akan dikenang oleh penonton. Keduanya akhirnya berpisah. Tanpa air mata berurai. Hanya pelukan, mata berkaca-kaca, bibir gemetar, dan desahan napas yang menunjukkan luapan emosi terpendam. Akting seperti ini tidaklah mudah, dan Foster serta McKenzie begitu natural memerankan semua itu.

Dalam adegan ini, pada akhirnya, saya seperti menemukan apa arti menjadi orang tua. Membesarkan anak adalah menyaksikan dia tumbuh untuk pada akhirnya merelakan ia pergi menapaki dunianya sendiri.

Ada satu tema lagi yang tebersit dalam pikiran saya. Ini yang saya maksud dengan pertanyaan provokatif dari film ini. Film ini seolah bertanya, apakah mereka yang memilih dan menikmati hidup di hutan dengan segala kekayaan alam itu bisa dikatakan “tunawisma” dan harus “dirumahkan”?

Lebih jauh, saya ingin bertanya, setidaknya kepada diri sendiri, apa sebenarnya makna “tunawisma” jika “wisma” yang dimaksudkan birokrasi justru telah dikendalikan mafia tanah dan pengembang raksasa? Apakah suku-suku “terasing” (kata yang menurut saya bernuansa diskriminasi), seperti Badui atau Anak Dalam, harus selalu dihadapkan dengan kebijakan mengintegrasikan mereka ke dalam ‘peradaban” versi manusia modern?[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*