“American Psycho” (2000): Masyarakat Sakit

in Film by

American Psycho, film Mary Harron, di permukaan tampak mengisahkan seorang psikopat. Padahal, film ini sejatinya menunjukkan kesakitan dan kegilaan dalam skala luas: masyarakat dalam budaya kapitalisme.

MENGAPA manusia memiliki dua telinga dan satu mulut? Secara estetis, dua mulut tampaknya akan membuat wajah kita tak indah dipandang. Atau, ini hanya perasaan karena kita terbiasa melihat wajah dengan satu mulut. Secara fungsional, kita sulit membayangkan kita memiliki sepasang mulut. Bayangkan, bisa-bisa kita beradu mulut dengan diri sendiri. Mulut sebelah kanan bilang “A” sementara mulut sebelah kiri bilang “B”.

Ada penjelasan yang cukup mengena atau bahkan filosfis. Katanya, Tuhan menciptakan manusia dengan dua telinga dan satu mulut agar kita lebih banyak mendengar daripada bicara.

Persoalannya, kebanyakan manusia lebih suka bicara daripada mendengar. Lihat saja, acara-acara debat di televisi. Para pembicara saling memotong pembicaraan. Belum usai lawan bicara menuntaskan kalimat, mereka sudah mengajukan bantahan. Terkadang terasa aneh, bagaimana mulut bisa merespons sedemikian cepat, bahkan sebelum telinga dan otak sempat benar-benar mencerna ucapan orang lain. Entah ini karena otak encer atau karena nafsu untuk membantah dan mengacaukan argumen lawan bicara.

Padahal, mendengar adalah keterampilan berbahasa paling awal yang dikenal (bahkan tanpa harus belajar) manusia sebelum berbicara, membaca, dan menulis. Tapi, setelah melampaui fase keterampilan mendengar, manusia uniknya sulit mendengar perkataan orang lain. Karenanya, manusia dengan kesabaran mendengar dan menyimak orang lain sungguh langka.

Tak sedikit kegaduhan, pertengkaran, hingga peperangan terjadi karena manusia lebih suka bicara daripada mendengar. Kita selalu kekurangan waktu untuk lebih dulu menyimak kata-kata orang lain atau membaca pendapat berbeda tetapi memiliki keluasan waktu untuk berbicara dan berkomentar. Krisis komunikasi manusia modern sebenarnya berawal di sini: ketidakmampuan kita mendengar orang lain dan apalagi hati nurani sendiri.

Itulah yang digambarkan Mary Harron dalam American Psycho. Semua orang di sekitar Patrick Bateman (Christian Bale) tak mempercayai dan bahkan tak menyimak apa yang dikatakan Bateman. Mereka, teman kerja hingga pengacaranya, malah menertawakan apa yang dia sampaikan. Semuanya asyik dengan pikiran dan perkataan masing-masing. Tunangannya, Evelyn Williams (Reese Whiterspoon), sekalipun sibuk dengan omongannya sendiri, sehingga tak satu kata pun dari pikiran Bateman yang disimaknya.

  • Judul Film: American Psycho
  • Sutradara: Mary Harron
  • Penulis: Mary Harron, Guinevere Turner
  • Pemain: Christian Bale, Willem Dafoe, Jared Leto, Josh Lucas, Chloe Sevigny, Reese Witherspoon, Guinevere Turner
  • Rilis: 14 April 2000 (kini bisa disaksikan di Netflix)
  • Durasi: 101 menit

Pengecualian mungkin bisa diberikan kepada sekretaris Bateman, Jean (Chloe Sevigny), yang di akhir film mengetahui gangguan jiwa Bateman. Di awal-awal Jean juga tak mampu mendengar Bateman karena interupsi teknis dalam komunikasi di antara mereka berdua.

American Psycho pertama kali diputar dalam Festival Film Sundance pada 21 Januari 2000 dan kemudian di bioskop pada 14 April 2000. Cerita film ini berdasarkan atas novel Bret Easton Ellis berjudul sama (1991).

Skenario awal sebenarnya dikerjakan oleh Ellis, pengarang novelnya. Tapi, Harron menilai skenario versi Ellis tak cocok dengan visi filmnya. Maka, Harron kemudian menulis sendiri skenarionya bersama Guinevere Turner yang juga berperan dalam film ini.

Produser film ini pada mulanya menggantikan Harron dan Bale dengan Oliver Stone dan Leonardo diCaprio. Tapi, dua nama terakhir menolak terlibat (diCaprio lebih memilih bermain dalam The Beach yang diproduksi bersamaan). Harron berkeras memilih Bale untuk memerankan Bateman karena, antara lain, menganggap ketenaran diCaprio bisa mengalihkan penonton dari versi karakter Bateman yang diinginkan Harron.

Secara umum, film ini ternyata menuai kritik positif. Ini berkat skenario Harron dan penampilan Bale yang memukau.

Film inilah yang menahbiskan nama Bale sebagai aktor penjelajah peran psikologis. Kita tahu, Bale kemudian mampu memerankan beragam karakter unik dengan sama baiknya, mulai dari pembunuh berantai dalam film ini, eks petinju pecandu narkotika dalam The Fighter (2010), penjudi gila dalam American Hustle (2013), politisi maniak dalam Vice (2018), hingga superhero yang menderita dalam The Dark Knight Trilogy (2005-2012).

American Psycho mengambil latar pada akhir 1980-an, puncak masa kejayaan pusat perdagangan uang dan saham Wall Street. Di sini, kita bisa melihat interaksi teks dalam novel dan filmnya dengan karya kreatif lain. Misalnya, karakter Bateman yang Ellis ciptakan mengingatkan kita kepada Gordon Gekko (Michael Douglas) dalam film Oliver Stone, Wall Street (1987). Gekko terkenal dengan ucapan “greed is good”, yang merefleksikan “ideologi” Wall Street. Kepribadian ganda, kekerasan, dan perilaku seks tak lazim dalam novel dan filmnya seperti terinsiprasi dari novel-novel gotik akhir Abad ke-19 dan awal Abad ke-20, seperti The Picture of Dorian Gray (Oscar Wilde, 1890), The Strange Case of Dr Jekyll and Mr Hyde (Robert Louis Stevenson, 1886), dan 120 Days of Sodom (Marquis de Sade, 1904).

Bateman dan lingkaran pertemanannya adalah para bankir investasi; pekerja kerah putih; dan masyarakat kelas menengah-atas. Mereka menilai diri dan orang lain berdasarkan pemilikan atas benda-benda dan lebih jauh citra benda-benda tersebut—merek. Status sosial mereka ditentukan oleh apartemen di wilayah tertentu, pakaian merek tertentu, restoran tertentu (bahkan Bateman selalu gagal memesan tempat di dalamnya), dan bahkan oleh desain serta kualitas kertas kartu nama mereka.

Mereka dangkal tapi tidaklah pandir. Bateman, misalnya, bukan tidak tahu isu-isu sosial terkini. Dia fasih berbicara tentang kesetaraan gender, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan. Tapi semua itu berhenti di bibir. Ia tetap melecehkan perempuan, baik secara verbal maupun terutama dalam hubungan seksual. Dalam satu adegan, Bateman yang tampak ingin bederma kepada seorang gelandangan malah mengolok-olok gelandangan itu sebagai pemalas, bau, dan menjijikkan—dan pada akhirnya membunuh gelandangan itu berikut anjingnya.

Film ini sarat menyimpan ironi, yang disajikan melalui metafora dan alegori. Bateman merupakan pria metroseksual yang memuja perawatan dan kebugaran tubuh. Dia merawat kulitnya dengan berbagai komestik pria. Dia berolahraga secara spartan. Wajah dan kulitnya mulus mengilap. Tubuhnya altetis bak olahragawan kelas olimpiade. Tapi, pada saat yang sama, dia menyimpan kegilaan: hasrat seksual menyimpang dan dorongan melukai serta membunuh.

Sepanjang film, kita disajikan gambaran apartemen Bateman yang serba rapih dan steril. Harron ingin menunjukkan karakter pria yang ingin mengendalikan segala sesuatu, kecuali pikiran dan pertimbangan moralnya. Dua yang terakhir ini justru menunjukkan kekacauan dan kekotoran.

American Psycho menguliti lapisan luar kehidupan seorang eksekutif muda, kaya, tampan, dan berpendidikan yang tampak cemerlang. Ia kemudian menguak lapisan dalamnya, yang ternyata berisi keliaran, kerusakan moral, dan ketidakadaban.

Bateman bukan tak menyadari sisi lain yang gelap dalam dirinya. Saat becermin, misalnya, Bateman berkata, “Meskipun tatapan dinginku bisa disembunyikan, dan saat menjabat tanganku kau bisa merasakan genggamanku, dan kau mungkin berpikir gaya hidup kita mirip, sebenarnya aku tidak ada.” Lama-kelamaan, ketika sisi lain itu kian tak bisa dikendalikan, dia menyadari bahwa satu-satunya jalan adalah meminta bantuan orang lain dan bahkan melibatkan hukum untuk memenjarakannya.

Di suatu malam menentukan, setelah Bateman membunuh perempuan tua di dekat mesin ATM, beradu tembak dengan tiga polisi, dan membunuh sejumlah petugas gedung perkantoran, dia menelepon pengacaranya dari ruang kantor rekan kerjanya dan menceritakan serangkaian perbuatan jahatnya. Tapi, esok hari saat dia bertemu muka dengan pengacaranya, si pengacara menganggap apa yang ia ceritakan cuma lelucon. Pada saat yang sama, apartemen tempat dia menyimpan sejumlah korban pembunuhannya tiba-tiba telah dibersihkan, dicat baru, dan hendak disewakan.

Akhir film ini membingungkan. Harron seakan ingin mengubrak-abrik kepercayaan penonton kepada cerita Bateman, yang sudah dibangun sangat meyakinkan sepanjang film. Bateman seakan ingin ditampilkan sebagai narator yang tak bisa dipercaya.

Tapi, ending seperti itu tampaknya digunakan Harron untuk menunjukkan bahwa ini bukan semata petarungan seorang Bateman. Ini juga pertarungan masyarakat yang abai dalam kehidupan hedonistik. Ketika orang-orang di sekitar Bateman tak bisa mendengar perkataan satu sama lain, mereka sebenarnya tengah memelihara monster di dalam masyarakat. Dan monster itu sangat mungkin bukan hanya Bateman. Bisa jadi banyak “bateman” lain di tengah mereka, yang membutuhkan pertolongan tapi tak pernah didengar.

Di dalam masyarakat kaptalistik, kehidupan cenderung individualistik. Kita tahu cara hidup sekelompok orang bisa merusak tatanan masyarakat: menindas orang lemah, menghancurkan ekonomi, mengacak-acak hukum, dan merusak lingkungan. Kita tahu monster-monster itu hidup di tengah kita tapi tak peduli. Meskipun monster-monster itu berpenampilan necis, tampak bisa mengendalikan diri, dan menampakkan diri bak sosok peduli, kita sebenarnya tahu mereka adalah para “pembunuh” kehidupan. Tapi, sekali lagi, kita tak melakukan apa-apa untuk menolong mereka—mencegah mereka. Kita hanya bisa bilang, itu urusan mereka. Atau, mereka toh punya uang dan kuasa, ya terserah mereka.

Jadi, kata American dalam judul film tak merujuk hanya kepada seorang Bateman. Ia menyimbolkan kegilaan dan kesakitan dalam skala lebih luas: masyarakat dalam budaya kapitalistik. Kita tahu, Amerika Serikat merepresentasikan kehidupan tersebut. Kegilaan dan kesakitan itu sejak lama menyebar ke dalam masyarakat di negeri-negeri lain.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*