JELAJAH LITERASI

“Mantel Bulu”

in Nukilan by

Cerpen Bondan Winarno

Catatan redaksi: Bondan Winarno lebih dikenal sebagai pakar kuliner dengan ungkapan khas, maknyus. Tak banyak orang tahu dia memulai karir sebagai pengarang dan wartawan. “Mantel Bulu” adalah cerpennya yang memenangkan sayembara majalah Femina pada 1985.

PERBEDAAN waktu lima belas jam dari rumah membuatku merasa seperti zombi. Sejak tiba di hotel ini pukul tiga petang tadi, sudah kupaksa menelentangkan tubuhku di atas tempat tidur. Penerbangan sembilan jam Tokyo-Vancouver, tergulung di atas kursi, merupakan siksaan tersendiri.

Kututup semua tirai rapat-rapat. Gelap sudah. Tetapi, mataku tak mau juga kubuat terpejam. Kedua bola mataku seperti terbakar. Lelah. Metabolisme tubuh kacau.

Lelah memaksaku tidur, kuangkat punggungku dan duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Kunyalakan lampu tempat tidur. Telepon di meja sebelah berkilauan dan mengingatkanku kepada rumah.

Kutengok arloji. Pukul lima petang. Berarti masih pukul dua dini hari di Jakarta. Vonne tentu masih lelap. Ia mungkin tengah bermimpi. Ah, jangan-jangan ia memimpikan bekas pacarnya yang baru kami jumpai ketika berlibur di Italia dua bulan yang lalu. Tampan ia, cuma perutnya mulai buncit. Heran, mimpi Vonne pun kucemburui. Tetapi, ah, betapa irinya kubayangkan Vonne tertidur lelap. Memeluk guling. Ingin rasanya kubangunkan ia dengan telepon, dan mengatakan padanya bahwa aku tak dapat tidur tanpanya.

Kutarik Wall Street Journal dari bawah meja telepon. Setan, mataku terasa makin pedih membaca huruf-huruf kecil dan rapat itu. Kulempar koran itu ke bawah. Aku bangkit dari tempat tidur yang kini menjadi mosah-masih. Kubuka tirai lebar-lebar. Dan di depan jendela itu aku tegak. Memandangi perahu-perahu dan kapal pesiar yang ditambat di marina yang mengelilingi Westin Bayshore Hotel.

Masih ada matahari. Berkas-berkas sinarnya membuat kilau menghijau pada padang rumput yang menghampar di sisi marina. Hijau yang lebih pekat menyembul di arah belakang padang. Pohon-pohon menghutan rimbun. Hanya tajuk-tajuk daunnya saja yang tertimpa sinar matahari. Di bawahnya, temaram yang teduh.

Stanley Park. Ya, bukan arah yang salah bagi tubuh yang lelah. Kukenakan pakaianku. Kuambil jaket dari kopor, dan aku melangkah keluar. Stanley Park. Ke sanalah aku melangkah. Di dekat marina, kuambil sekaleng soda dari mesin otomat. Dekak-dekak jejak sepatuku terdengar keras menapaki cobblestone yang membelah padang. Burung-burung camar menyambar rendah dan terbang mendaki menghindari tiang-tiang perahu layang yang bersijulang di marina.

Lembap dan basah bekas hujan membuat dingin terasa menggigit di bawah atap dedaunan pohon-pohon yang menghutan. Lampu-lampu temaram sepanjang jalan yang silang-menyilang untuk para pejalan kaki dan pengendara sepeda. Beberapa pelari masih hilir-mudik memanfaatkan sisa hari, mengelilingi Lost Lagoon yang masih diterangi sinar matahari. Dan angsa-angsa putih berenang mengitari laguna.

Kuseberangi hutan itu dalam senyap. Tupai-tupai menyeberangi jalan setapak tanpa bersuara. Hanya sesekali dedaunan jatuh menggelepak. Sudah setengah gelap ketika aku mencapai dinding laut di tepi English Bay. Sebuah perahu sedang mengembangkan layarnya, berlayar menuju tengah lautan. Kutaruh kaleng soda yang telah kosong ke dalam kotak sampah. Aku duduk di atas bangku di tepi dinding laut itu. Pantatku terasa dingin dan basah karena bangku yang lembap itu. Biar saja. Aku sudah lelah berdiri dan berjalan. Aku sudah lelah menyuruh tubuhku beristirahat.

Riak air laut yang menepis dinding pantai seperti menghipnotisku ke dalam kantuk. Kupejamkan mataku. Ah, nyamannya. Kubayangkan diriku tertidur di bangku. Kubayangkan pundakku digamit polisi yang akan menangkapku karena mengganggu ketertiban taman—tidur di bangku taman.

Dan pundakku memang digamit. Aku tergagap membuka mataku. Bukan polisi, ternyata.

“Punya sebatang rokok?” tanya perempuan itu. Tegak di sebelahku.

Aku tergagap, mengais-ngais saku. Aku lupa bahwa aku bukan perokok. Dan aku tak pernah mengantongi rokok.

“Maaf, aku bukan perokok,” kataku. Terdengar serak.

Tanpa kuundang, perempuan itu duduk di sebelahku.

“Basah bangkunya,” kataku. Mencoba membuat dia tak duduk di situ.

“Biar saja. Celanaku tebal,” katanya tak peduli.

Lalu duduk. Setengah meter dari kedudukanku. Tak kuacuhkan dia. Kupejamkan mataku lagi. Lamat-lamat tercium bau parfumnya.

Are we of the same club?” tanyanya.

Kubuka mataku. Sebelah kakinya di atas bangku, menghadap ke arahku.

“Kelab apa maksudmu?” tanyaku tak mengerti.

Ia tertawa.

“Kelab penganggur, Bung. Kelab apa lagi?”

Kupandangi jaketku. Kupandangi celanaku yang masih belum patah setrikaannya. Kupandangi sepatu Allen Edmons-ku yang masih mengilap. Gila! Apakah aku tampak seperti penganggur? Yang keleleran dan tidur beratap langit? O ya, o ya, tentu karena tampangku yang mirip zombi. Lelah dan kuyu. Jenggot di daguku sudah tumbuh seperempat mili.

“Aku belum diberi nomor anggota,” kataku, mencoba mengambil sisi yang lebih cerah.

Ia tertawa menyambut gurauku.

Don’t tell me you are one,” kataku.

Kupandangi rambutnya yang tampak baru dicuci. Kupandangi mantel bulunya yang hitam bagus. Aku tak tahu dari bulu binatang apa.

“Kenapa kau yakin begitu?” tanyanya.

“Mantelmu bagus. Dan rambutmu baru habis dicuci,” kataku sembarangan.

Digerai-geraikannya rambutnya.

“Memang baru kucuci,” katanya sambil mencibirkan bibirnya. Lalu diangkatnya lengan mantelnya. “Dan mantelku memang mahal.”

Lalu dia terdiam. Memandangi lautan dan kelap-kelip lampu dari kejauhan, dari arah False Creek. Lalu dihelanya sebuah tarikan napas yang berat. Dan dilepaskannya sampai kedengaran mendengus.

“Tapi aku penganggur. Dan itulah faktanya.”

Dipandanginya aku. Sambil memaksakan sebuah senyum. Aku mendengut ludah.

Ia menggeser duduknya lebih ke dekatku. Sebuah perahu menggulung layar, memintas di depan, mengiris air. Ada rasa teriris dalam relung dadaku. Berdesir. Lalu terasa sakit. Dan sakit itu membuatku marah. Membuatku berontak. Mengapa ada kemiskinan juga di sini? Mengapa ada kemiskinan di mana-mana?

Gelap telah jatuh. Dan angin dingin yang keras menembus jaketku.

“Kita cari makan malam, yo!” ajakku sambil berdiri. Pantatku yang basah telah kering kembali.

“Jangan kasihani aku,” katanya memandangku.

“Tidak! Aku memang sedang butuh teman makan.”

Ia berdiri dan kemudian mengikuti langkahku. Dua ekor tupai berlari mendahului kami dan menghilang di kegelapan. Kami berjalan menyusuri dinding laut dan kemudian membelok ke taman di ujung Davie Steet. Lampu-lampu berpendaran dari kios McDonald’s. Kami pintasi taman itu, menuju sudutnya yang lain di ujung Robson Street.

“Ada restoran Tionghoa enak di Robson Street, dekat Sheraton,” kataku membangkitkan seleranya. “Persis di sebelahnya ada restoran Jepang yang juga enak.”

Tak ada tanggapan dari sebelahku.

“Kau suka yang mana?” tanyaku.

Do I have a choice?” tanyanya balik.

Aku terjengak. Sudah begitu hancurnyakah cakrawala kehidupannya?

“Ketika ada pilihan, kita harus memilih,” kataku.

Aku sudah lupa siapa yang pernah mengatakan itu. Entah Sartre. Entah Camus. Atau ayahku dulu.

“Pilihan sudah jadi kemewahan bagiku,” katanya sambil tertawa.

Tawa yang sumbang kedengarannya. “Aku jadi gamang kalau harus memilih.”

Tangannya menggapai lenganku. Dan genggaman itu tak dilepaskannya lagi.

Kupanjangkan langkahku, mengimbangi langkahnya.

“Menyerah? Tak mau memilih?” tanyaku mendesak.

Lampu papan nama restoran Tionghoa itu sudah terbaca di depan sana.

“Kau pilihkan yang terbaik untukku,” katanya.

Ada senyum yang lebih enak dipandang di wajahnya. Aku suka itu. Aku suka senyum yang seperti itu.

Hangat di dalam restoran. Dan, sekali lagi, tamuku tak mau memilih. Kubilang sup hisit, ia mengangguk. Kubilang chinese broccoli, ia mengangguk. Suka sapi dengan rebung muda? Ia bilang suka. Kutawari udang besar goreng mentega, ia menggeleng. Tak akan habis dimakan, katanya.

Kupesankan sebotol anggur untuk menemani masakan lezat itu. Lalu kami mengobrol tentang sepatu-sepatu yang diimpor dari Brazil. Dan karenanya industri sepatu Kanada diancam gulung tikar. Kami mengobrol tentang invasi pakaian jadi dari Hong Kong dan negara-negara Asia lainnya. Dan karenanya industri tekstil Kanada kempis-kempis. Dan para penganggur memenuhi lebuh jalanan, meminta kepingan dua puluh lima sen.

“Bayangkan, makan saja kita pilih restoran Tionghoa,” katanya.

Dan itu terdengar seperti tuduhan berat untukku.

Sorry, let’s have dessert some place else,” kataku. Mencoba mengoreksi kekeliruanku.

“Bukan itu maksudku. Aku tidak mengkritik pilihanmu. Betul! Aku hanya menyebut fakta.”

Kutuang lagi anggur ke gelasnya. Dan ke gelasku. Pelayan membereskan meja kami dari sisa makanan. Dikosongkannya gelas anggurnya.

“Mau makan es krim di Sheraton?” tanyaku menunjuk hotel di sebelah.

Ia menggeleng perlahan. Matanya menatapku berhati-hati.

“Itu hanya selangkah dari pintu kamarmu, kan?”

Wrong! Aku tak tinggal di situ,” tangkisku. Terlalu cepat mungkin.

Lalu kulihat kabut di matanya. Dan aku tak suka itu. Aku lebih suka melihat senyumnya seperti tadi. Seperti di ujung Robson Street.

“Dengar!” katanya pelan. Bibirnya bergetar, “ini kedengarannya tidak bersahabat. Aku sungguh bersyukur bertemu denganmu malam ini. Malam yang sungguh indah. Dan aku tak ingin lebih dari ini.”

Kubiarkan ia meneruskan bicaranya.

“Aku punya satu permohonan,” katanya.

Tak enak aku dibakar tatapan matanya yang berkabut itu.

Go ahead!” kataku pelan. Kupegang tangannya di atas meja.

Please, jangan ajak aku ke tempat tidurmu.”

Aku tersentak. Kucoba menenangkan getar nadiku. Kugenggam tangannya lebih erat. Apakah aku memang sedang menggiringnya ke sana?

Please,” pintanya lagi. “Ini malam yang teramat menyenangkan bagiku. I feel human again. Dan aku tak ingin mencederai kebahagiaan ini. Aku ingin membawa kenikmatan ini ke tempat tidurku sendiri. Akan kubangunkan anakku dan akan kuceritakan kebahagianku malam ini.”

Ganti tangannya yang mengelus tanganku. Matanya yang basah berkilat kena sinar lilin.

“Bawakan makanan untuk anakmu,” kataku sambil mendegut lidah. Kulambai pelayan. Kupesan makanan untuk dibungkus.

“Ia seorang gadis kecil yang manis. Enam tahun. Ayahnya kabur, ibunya penganggur. Kasihan dia,” katanya menggeleng kepala.

“Kau membuatku teringat anakku pula,” kataku sambil menghela napas. Aku tak tahan bersedih-sedih macam begini.

“Kau luar biasa baik,” katanya. Tangannya menaik menggapai pipiku.

“Matamu seperti matahari,” katanya lagi, memandangi mataku. Dan aku tersipu-sipu. Sialan.

Kubayar makanan itu. Ia memandangi sisa uang yang kutinggalkan di meja untuk pelayan.

“Biar kupakai untuk membayar taksiku,” katanya tanpa basa-basi, lalu mengambil uang di meja itu.

Angin dingin menampar kami di luar. Beberapa taksi berderet menunggu penumpang di depan Sheraton Landmark.

“Terima kasih atas kebaikanmu. Aku sangat berbahagia malam ini,” katanya sambil menjabat tanganku.

“Kau tak akan lama di sini, kan? Dan karena itu aku tak mau terlibat secara emosional denganmu. Aku tak tahan menghadapi perpisahan.”

“Aku pun menikmati malam ini,” kataku.

Dikecupnya pipiku. Lalu ia masuk ke dalam taksi. Dibukanya jendela taksi. Dan berseru: “Mungkin aku akan menangis bila mengenangmu.”

Kulambaikan tanganku. Lalu kusimpan kedua tanganku ke dalam saku jaketku. Berjalan kembali ke Westin Bayshore.

***

Ada sebuah restoran seafood di ujung Davie Street yang lain, menurut Yellow Pages.

Aku melangkah ke sana. Lima belas blok dari Westin Bayshore. Biar saja. Waktuku sedang berlebih. Aku melangkah lagi.

Pada tikungan blok ketiga belas, seorang wanita menegurku. Gaunnya pendek bukan kepalang. Gincunya tebal. Tak kuhiraukan dia. Beberapa wanita lain menegurku pula. O, rupanya di sini tempatnya. Aku melangkah terus. Seafood restaurant, kataku meneguhkan iman. Sambil kuingat AIDS. Sambil kuingat herpes.

Lalu, di keremangan, di ujung blok keempat belas, kulihat dia. Tegak di sebelah tiang rambu. Benar, memang dia. Masih kuingat benar mantel bulunya yang kemarin. Masih kuingat rambut keritingnya yang mirip Barbra Streisand. Lalu ia pun melihatku. Mulutnya terbuka, menyebut nama Tuhan. Kemudian berlari. Menikung ke pompa bensin di Howe Street. Dan menghilang di kegelapan.[]

Seattle, Oct. 9, 1985.

[Dinukil dari Petang Panjang di Central Park, Bondan Winarno, 2016 (Jakarta: Noura Books)]


Ulasan

“Mantel Bulu” merupakan cerpen pemenang sayembara menulis cerpen majalah Femina pada 1985. Cerpen ini kemudian diterbitkan secara terbatas dalam kumpulan Pada Sebuah Beranda pada 2005 sebagai hadiah ulang tahun ke-55 Bondan Winarno. Pada 2016, penerbit Noura Books menerbitkan ulang cerpen ini dalam kumpulan Petang Panjang di Central Park.

Dunia kepengarangan Indonesia mengenal sejumlah nama pengarang sekaligus wartawan. Setidaknya yang pernah diulas dalam situs ini adalah Idrus, M Balfas, dan Mochtar Lubis. Mereka rata-rata bermain dalam genre realisme, dan tak terkecuali Bondan Winarno.

Dalam kumpulan Petang Panjang di Central Park, Bondan menunjukkan kepiawaian dalam bertutur. Ia menulis seperti mendongeng. Kalimat-kalimatnya mengalir, mudah dicerna. Dia tak menggunakan metafora-metafora yang rumit. Ia juga tampak tak berniat berkhotbah soal moral. Pokoknya hanya bercerita, seperti pokoke maknyus, ungkapan khasnya saat membawakan sebuah program kuliner di televisi.

Cerpen “Mantel Bulu” membawa kita kepada suasana di sebuah sudut kota Vancouver, Kanada. Ini satu lagi kekhasan Bondan dalam kumpulan Petang Panjang. Ceritanya datang dari mana-mana, dari Asia, Eropa, Amerika, dan bahkan Afrika. Kadang ia bertutur sebagai “aku” si narator orang Indonesia atau “dia” yang menceritakan kembali kisah karakter-karakter dari bangsa lain.

Dalam “Mantel Bulu”—dan juga dalam “Gazelle” atau “Santa” misalnya—Bondan mengisahkan konflik (bukan semata dalam pengertian “perselisihan”) antara karakter-karakter yang awalnya tak saling kenal, atau bisa dibilang baru saling kenal. “Aku”, lelaki asal Jakarta, dan perempuan bermantel bulu hingga akhir cerita bahkan tak tahu nama mereka masing-masing.

Dalam kehidupan, kita terkadang harus menghadapi persoalan emosional dengan orang-orang yang tak kita kenal: penjual di pasar, kasir di toko, polisi lalu lintas, atau bahkan akun anonim di media sosial. Impersonalitas dan personalitas seakan memiliki batasan teramat tipis.

Perempuan bermantel bulu tegas mengatakan dia tak ingin terlibat dalam hubungan emosional dengan si narator. Padahal, momen singkatnya bersama si narator adalah hubungan emosional meskipun mereka tak saling kenal: berpegangan tangan, bercerita, dan berkeluh kesah.

Dia juga tegas memohon agar momen singkat-bahagia itu tak berakhir di tempat tidur. Padahal, di akhir cerita, kita tahu perempuan itu adalah pekerja seks.

Bermain dalam paradoks antara impersonalitas dan personalitas, Bondan seperti ingin mengatakan bahwa yang impersonal belum tentu tak melibatkan emosi, dan sebaliknya. Hubungan seks yang tampak personal justru bisa jadi impersonal jika dilakukan sekadar untuk memuaskan nafsu atau memperoleh bayaran. Perempuan bermantel bulu adalah karakter yang sarat dengan pengalaman personal tanpa emosi: tidur dengan banyak lelaki yang tak dikenalnya demi menyambung hidup dia dan anak gadisnya.

Karena itu, pengalaman singkatnya dengan si narator membuat dia merasa diperlakukan layaknya manusia. Dalam menjalani profesinya, kemanusiaan itu terpaksa dia tanggalkan. Yang tersisa hanya tubuh, dengusan, dan lenguhannya.

Meskipun menolak terlibat secara emosional, kita tahu perjumpaan dua anak manusia di sudut kota itu melibatkan emosi. “Mungkin aku akan menangis bila mengenangmu,” kata si perempuan bermantel bulu.

Tanpa harus berbusa-busa menuliskan kalimat-kalimat gagah—dan kadang “disakralkan” sebagai “kata-kata mutiara”—cerita sederhana Bondan sudah bisa menyampaikan pesan moral yang kuat. Dan yang seperti ini bukanlah hal mudah bagi seorang pengarang.[]


Bondan Winarno

Bondan Winarno (1950-2017) lahir di Surabaya, Jawa Timur. Dia lebih dikenal sebagai pakar kuliner, aktivitas utama yang dia lakukan di periode akhir hidupnya. Dalam sebuah program kuliner di televisi, dia mempopulerkan kata maknyus.

Tak banyak orang yang tahu bahwa Bondan mengawali karir sebagai fotografer lalu pengarang, wartawan, copywriter iklan, dan penulis kolom. Dia juga menggeluti dunia kepramukaan.

Tulisan non-fiksinya lebih banyak mengulas kiat-kiat manajemen dan kuliner. Sementara, karya jurnalistiknya yang terkenal adalah Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi (1997), laporan investigasi skandal penipuan di dunia pertambangan.

Bondan telah mengarang di usia masih sangat muda. Saat berusia 10 tahun, dia sudah memenangi sayembara mengarang di majalah Si Kuncung. Sebelum 17 tahun, cerpennya dimuat di Varia, majalah hiburan terkenal pada masa itu. Cerpen-cerpennya kemudian banyak dimuat di koran Indonesia Raya dan Angkatan Bersenjata.

Di tengah-tengah kegiatannya sebagai jurnalis dan kemudian pengusaha, Bondan tetap produktif mengarang cerpen dan novel. Dia menghasilkan lima novel, tiga di antaranya telah diangkat ke layar lebar. Sementara, cerpen-cerpennya kerap mengisi rubrik sastra di Kompas Minggu, beberapa di antaranya kemudian dipilih Kompas masuk ke dalam antologi cerpen terbaik versi koran tersebut.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Nukilan

Ziarah Lebaran

Cerpen Umar Kayam “Ziarah Lebaran” merupakan salah satu dari 17 “Cerpen Pilihan

Terbang

Cerpen Ayu Utami Dengan berlatarkan kecemasan terkait keamanan transportasi udara, Ayu Utami

Pemintal Kegelapan

Cerpen Intan Paramaditha Dalam cerpen ini, Intan Paramaditha meramu horor dan misteri

Cinta Sejati

Cerpen Isaac Asimov Anda yang pernah mencoba aplikasi atau situs web kencan
Go to Top