The Trial of the Chicago 7 merupakan visualisasi sinematik masa keemasan aktivisme “kiri” di Amerika Serikat. Sebuah masa yang mungkin belum tertandingi hingga kini, bahkan oleh gerakan Occupy Wall Street 2011 sekalipun.
BAGAIMANA menghadirkan momen bersejarah dalam sinema tanpa kehilangan konteks sekaligus detail? Untuk memperoleh jawabannya, kita mungkin harus belajar kepada Aaron Sorkin. Jika Anda setuju merujuk kepada Sorkin, maka satu lagi elemen yang penting ditambahkan: naskah cerdas plus selundupan humor gelap.
Charlies Wilson’s War (2007) adalah buktinya. Film ini memang tidak diarahkan Sorkin. Sineas asal New York itu hanya menulis skenarionya. Tapi, melalui skenario itu, film yang dibintangi Tom Hanks dan Julia Roberts itu mampu menunjukkan kepada kita titik krusial dalam sejarah perang melawan teror: dukungan Amerika Serikat kepada kelompok muslim ekstremis dalam Perang Afghanistan.
Di satu sisi, film ini memperlihatkan kesuksesan kebijakan politik Amerika dalam Perang Dingin. Dukungan Amerika kepada “mujahidin” di Afghanistan berhasil memaksa “Tentara Merah” hengkang dari negeri itu, dan kemudian berperan dalam menggulung Uni Soviet menuju kebangkrutan pada 1991. Di sisi lain, film itu juga menyiratkan bahwa dukungan itu kemudian menjadi bumerang ketika kelompok “mujahidin” bermetamorfosis menjadi “Al-Qaeda”, kelompok teror di balik tragedi 9/11.
Skenario Sorkin juga tak kehilangan detail. Ia menceritakan bagaimana seorang agen intelijen naif, politisi ambisius, dan sosialita konservatif berpadu dalam tipu-tipu dan lobi-lobi demi menggolkan operasi rahasia mendukung “mujahidin”. Cerita ini kemudian dia bungkus dengan dialog cerdas dan humor menggelitik sekaligus memuakkan.
Keberhasilan Charlie Wilson’s War tampaknya kini direplikasi Sorkin dalam The Trial of the Chicago 7. Tapi, dia kali ini juga tampil sebagai sutradara (setelah sebelumnya direncanakan akan dibesut oleh Steven Spielberg). Momen sejarah yang coba ditangkap The Trial of the Chicago 7 bukanlah materi simpel. Aktivisme dan demonstrasi anti-Perang Vietnam di Amerika melibatkan latar belakang yang merentang setidaknya sejak awal 1968 hingga medio 1970-an; aktivis dari beragam pergerakan; dan intrik politik tingkat tinggi.
Pengadilan atas tujuh demonstran jalanan (sebelumnya delapan)—yang kemudian disebut “Chicago 7”—dalam satu jerat pidana federal, yakni konspirasi lintas-negara bagian untuk memicu kerusuhan, di pengadilan Illinois, mencerminkan kompleksitas tersebut. Tapi, Sorokin sekali lagi berhasil menjahit kerumitan tersebut dalam kisah yang informatif, memikat, sekaligus menghibur. The Trial of the Chicago 7 adalah sebuah paket lengkap drama ruang pengadilan, politik, sejarah, sekaligus aktivisme.
- Judul Film: The Trial of the Chicago 7
- Sutradara: Aaron Sorkin
- Penulis: Aaron Sorkin
- Pemain: Sacha Baron Cohen, Eddie Redmayne, Yahya Abdul-Mateen II, Jeremy Strong, Alex Sharp, John Carroll Lynch, Mark Rylance, Michael Keaton, Joseph Gordon-Levitt, Frank Langella, Aliece Kremelberg
- Rilis: 16 Oktober 2020 (Netflix)
- Durasi: 130 menit
Drama ruang pengadilan biasanya membosankan. Kita dipaksa mendengar pengacara dan jaksa beradu argumentasi hukum dalam adegan panjang. Tapi ini tidak terjadi dalam The Trial of the Chicago 7. Alih-alih bosan, kita malah bakal menantikan adegan demi adegan persidangan karena tiap-tiap adegan bisa membuat kita tertawa, getir, geram, dan bahkan mungkin meneteskan air mata. Ruang pengadilan dalam film ini menjelma panggung teater sekaligus stand-up komedi.
Mungkin Anda akan merasakan Sorkin terlalu berlebihan menggambarkan adegan di ruang pengadilan itu. Tidak. Itulah faktanya. Dialog antara Hakim Julius Hoffman (Frank Langella) dan Abbot “Abbie” Hoffman (Sacha Baron Cohen) soal nama belakang mereka yang sama bukanlah rekaan Sorkin. Begitulah yang tertulis dalam catatan persidangan, dan dialog ini benar-benar menggelikan.
Hakim Julius Hoffman: “Catatan harus menunjukkan bahwa terdakwa Hoffman dan saya tidak berkaitan.”
Terdakwa Abbie Hoffman: “Ayah, tidak!”
Kebiasaan Hakim Hoffman salah menyebut nama terdakwa dan juga biasnya kepada rezim berkuasa adalah fakta persidangan. Lalu, adegan Abbie dan Jerry Rubin (Jeremy Strong) mengenakan jubah kebesaran hakim juga kenyataan meskipun keduanya tidak mengenakan seragam polisi di balik jubah itu. Demikian pula adegan Bobby Seale (Yahya Abdul-Mateen II) yang diborgol ke kursi terdakwa dengan mulut disumpal kain serta adegan pembacaan nama-nama tentara Amerika yang tewas di Vietnam meskipun yang membacakannya bukan Thomas Hayden (Eddie Redmayne) melainkan David Dellinger (John Carroll Lynch). Semua itu fakta dan terekam dalam catatan persidangan, yang saat itu hanya bisa dibayangkan publik melalui sketsa hasil karya para seniman pengadilan.
Jadi, bahan film ini sebenarnya adalah emas yang tinggal dipoles Sorkin sehingga makin berkilau. Menurut Andrew Chow dari majalah Time, apa yang terjadi dalam persidangan lima bulan kala itu bahkan lebih parah daripada yang tersaji dalam film 130 menit. Misalnya, Seale diborgol dan disumpal selama beberapa kali sidang sebelum jaksa penuntut Richard Schultz (Joseph Gordon-Levitt) meminta Seale disidangkan terpisah. Dalam film, permintaan Schultz itu diajukan segera pada hari yang sama saat Seale diperlakukan brutal. Terlepas dari itu, hasil polesan Sorkin membuat materi sejarah itu makin memikat.
Itu bukan hanya karena skenarionya sendiri tapi juga penampilan gemilang sederet aktor tenar. Meskipun Redmayne dan Cohen punya porsi sedikit lebih dominan, akting pemeran lainnya tak kalah gemilang. Sorkin memberi setiap peran momen gemilangnya masing-masing.
Dakwaan atas delapan aktivis itu diajukan sekitar tujuh bulan setelah kerusuhan pada perhelatan konvensi nasional Partai Demokrat Agustus 1968. Enam bulan pertama sejak kerusuhan, Ramsey Clark (Michael Keaton), jaksa agung di pemerintahan Lyndon B Johnson, menolak merapal dakwaan karena menemukan bahwa kerusuhan dipicu polisi. Dakwaan dibangkitkan kembali ketika kekuasaan berpindah ke tangan Richard Nixon dengan Jaksa Agung John Mitchell (John Doman).
Sorkin menunjukkan hal itu di awal dan menjelang akhir film melalui adegan pertemuan Schultz dan bosnya Thomas Foran (J.C. MacKenzie) dengan Mitchell serta adegan kesaksian Clark di persidangan. Sorkin ingin menunjukkan bahwa pengadilan atas “Chicago 7” murni dimotivasi oleh politik meskipun tak ada catatan mengenai pertemuan Schultz dan Foran dengan Mitchell. Sementara untuk kesaksian Clark, Sorkin berimprovisasi dengan menggambarkan Clark jelas-jelas menyatakan bahwa Departemen Kehakiman di masanya tak menemukan bukti telah terjadi konspirasi untuk memicu kerusuhan. Adegan kesaksian Clark tak sepenuhnya akurat. Meskipun benar Clark bersaksi di persidangan tanpa kehadiran juri, kesaksiannya tak selugas yang digambarkan dalam film. Tapi, adegan tersebut tak bisa juga dinilai sebagai sepenuhnya fabrikasi karena, pada kenyataannya, kebijakan Clark pada saat menjabat jaksa agung sangat jelas bahwa kerusuhan Chicago dipicu oleh polisi, dan bukan oleh para aktivis.
Dari sini, kita bisa belajar bagaimana Sorkin menafsir detail untuk menghadirkan konteks. Rezim Nixon memang menarget kedelapan aktivis itu karena memandang mereka sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Itu bukan sebuah pandangan baru. Sejak era John F Kennedy dan Johnson, FBI sudah memata-matai aktivis-aktivis yang mereka sebut “kiri baru radikal”. Tapi, keberadaan Clark di Departemen Kehakiman (sebelumnya sebagai wakil jaksa agung) yang lebih mendukung gerakan hak-hak sipil menghambat upaya kriminalisasi atas para aktivis (setelah pensiun dari politik, Clark menjadi pengacara internasional dan aktivis antiperang).
Bagian menarik lain dari film ini adalah gambaran cukup detail tentang perbedaan pandangan di antara para aktivis “Chicago 7”, terutama antara Hayden dan Hoffman. Hayden adalah pemimpin Students for Democratic Society (SDS), organisasi mahasiswa kiri terbesar di Amerika pada dekade 1960-an hingga 1970-an (memiliki cabang di 300 kampus dengan anggota mencapai 30.000). Meskipun berideologi kiri, SDS adalah sebuah organisasi pelangi yang menghimpun mahasiswa “kiri-tengah” (libertarian kiri) hingga “kiri-jauh” (anarkis). Hayden tampaknya mewakili libertarian kiri yang masih percaya bahwa demokrasi elektoral di Amerika bisa menjadi peluang untuk melakukan perubahan. Ini terlihat dalam debatnya dengan Hoffman. “Jika kau tak menang dalam pemilu, tak penting apa yang kedua.”
Hoffman adalah perintis Youth International Party, yang pengikutnya tenar dengan sebutan “Yippies”. Organisasi ini berhaluan anarkisme yang tak peduli pada otoritas, dan apalagi pemilu. Mereka berupaya menghadirkan “budaya-tanding” terhadap kemapanan: seks bebas, ganja, dan satir terhadap simbol otoritas. Pada 1968, mereka mencalonkan seekor babi sebagai presiden Amerika. Bagi aktivis kiri lain, para “Yippies” dianggap tak signifikan atau tak serius melakukan revolusi.
Di antara Hayden dan Hoffman, ada figur Seale dan David Dellinger (John Carroll Lynch). Seale salah satu pendiri dan pemimpin Black Panther Party, organisasi radikal kiri warga kulit hitam. Black Panther mengadvokasi penggunaan senjata api untuk membela diri dari brutalitas aparat keamanan. Dalam sebuah dialog dengan Hayden dan pengacara William Kunstler (Mark Rylance) di penjara, Seale mengatakan, bagi kulit putih seperti Hayden dan Hoffman, perjuangan mereka mungkin hanya dipicu oleh pemberontakan terhadap figur “ayah” yang kaku, tapi bagi warga kulit hitam, perjuangan ini soal hidup dan mati. Ini satu contoh dialog memikat dari Sorkin, terlepas dari akurasi sejarahnya.
Sementara itu, Dellinger adalah salah satu pentolan National Mobilization Committee to End the War in Vietnam atau yang biasa disingkat “Mobe”. Dia pasifis kiri yang mengimani perjuangan anti-kekerasan layaknya Mahatma Gandhi. Adegan Dellinger memukul seorang marshall setelah dia kecewa dengan cara Hakim Hoffman memimpin persidangan disebut tidak pernah terjadi dalam kenyataan. Jadi, jika Abbie, Hayden, dan Seale mungkin “menghalalkan” penggunaan kekerasan ketika dihadapkan pada kekerasan, Dellinger tetaplah pasifis sejati.
Namun, terasa kemudian ada ketimpangan gender ketika pemeran film ini didominasi laki-laki. Dalam kenyataannya, memang tak ada terdakwa perempuan dalam “Chicago 7”. Dalam film ini, hanya ada dua pemeran perempuan yang memiliki porsi lumayan: Alice Kremelberg yang memerankan Bernardine, staf di sekretariat SDS, dan Caitlin FitzGerald sebagai agen FBI Daphne O’Connor yang menyusup ke dalam gerakan anti-perang. O’Connor adalah karakter fiktif karena dalam catatan persidangan tak ada agen perempuan yang menginfiltrasi gerakan para aktivis dan kemudian menjadi saksi di persidangan. Sementara, Bernardine tampaknya figur riil yang merujuk kepada Bernardine Rae Dohrn.
Bernardine Rae Dohrn adalah aktivis Revolutionary Youth Movement (YRM), sayap teradikal dari SDS. Kelak faksi ini menyempal dari SDS dan membentuk organisasi baru bernama Weather Underground. Bernardine memang tercatat berperan dalam demonstrasi anti-perang selama konvensi nasional Partai Demokrat 1968 tetapi perannya lebih besar daripada sekadar operator telepon, sebagaimana yang digambarkan dalam film. Dia mengorganisasi massa demonstran di sekitar gedung pengadilan Illinois, dan karena aktivitas ini sempat ditahan polisi. Ketika kemudiaan bergerak dalam Weather Underground bersama suaminya Bill Ayers, Bernardine sempat masuk dalam daftar “10 orang paling dicari FBI” karena diduga terlibat dalam sejumlah aksi peledakan di Pentagon dan beberapa kantor polisi.
Yang juga patut dicatat, para aktivis di atas adalah kaum intelektual. Mereka mahasiswa dan dosen, dan bahkan sebagiannya kemudian melanjutkan studi hingga tingkat doktoral. Jadi, tidaklah tepat jika dikatakan bahwa perorganisasian massa hanyalah pekerjaan mereka yang tidak menggunakan otak.
The Trial of the Chicago 7 merupakan visualisasi sinematik masa keemasan aktivisme “kiri” di Amerika. Sebuah masa yang mungkin belum tertandingi hingga kini, bahkan oleh gerakan Occupy Wall Street 2011 sekalipun.
Gerakan anti-perang pada dekade 1960-an hingga 1970-an mencatatkan legasi bagi gerakan-gerakan pada masa kini. Ia di satu titik memang berhasil mencapai tujuannya. Perang Vietnam makin tak populer di mata publik Amerika. Perlahan-lahan hingga akhir 1970-an, makin banyak anak muda Amerika yang menolak diterbangkan ribuan kilometer hanya untuk membunuh bangsa lain yang tak memusuhi mereka.
Tapi di sisi lain, gerakan ini gagal mewarisi roh perlawanannya ke generasi berikut. Politik progresif Amerika makin melempem di tengah menguatkanya duopoli partai: Demokrat dan Republik. Sebagian besar anggota “Chicago 7” pun kemudian seperti menyerah pada kenyataan tersebut. Rubin menjadi pialang saham dan bahkan menyatakan “penciptaan kemakmuran adalah revolusi Amerika yang sesungguhnya”. Hayden menjadi anggota senat negara bagian California dan terpilih enam kali berturut-turut. Dia mabok dengan kemenangannya dalam demokrasi elektoral. Hanya Abbie Hoffman yang tetap setia dalam keyakinannya: anarkisme. Ketika Hoffman dikuburkan pada 1989, The New York Times menulis bahwa sebagian besar pelayat yang dulunya adalah demonstran anti-kemapanan kini telah menjadi anggota dari “kemapanan” yang mereka tentang.[]