Setelah 30 menit pertama akting mengagumkan dari Vanessa Kirby, Pieces of a Woman terengah-tengah karena terlalu ingin membicarakan banyak hal.
MELAHIRKAN adalah momen paling intens dalam kehidupan manusia, terutama bagi perempuan hamil dan bayinya. Momen antara hidup dan mati, kata banyak orang. Dalam Pieces of a Woman, sutradara Hungaria, Kornél Mundruczó, mengambarkan momen itu tanpa jeda, tanpa proses penyuntingan: long single take (lebih daripada 20 menit).
Itu sebuah pilihan artistik penuh risiko. Tapi, hasilnya mengagumkan, terutama berkat akting brilian Vanessa Kirby (yang dalam wawancara mengaku belum pernah mengalami momen itu di kehidupan nyata). Penampilan Kirby dalam film ini pun diganjar Volpi Cup untuk Aktris Terbaik 2020 dalam Festival Film Venice, tempat Pieces of a Woman ditayangkan untuk pertama kalinya.
- Judul Film: Pieces of a Woman
- Sutradara: Kornél Mundruczó
- Penulis: Kata Wéber
- Pemain: Vanessa Kirby, Shia LaBeouf, Ellen Burstyn
- Rilis: 4 September 2020 (Venice), 7 Januari 2021 (Netflix)
- Durasi: 128 menit
Volpi Cup menambah perbendaharaan penghargaan yang diperoleh aktris Inggris 32 tahun, yang memulai karir dari panggung teater ini. Kirby sebelumnya memenangi British Academy Television Award untuk Aktris Pendukung Terbaik sebagai Putri Margaret muda dalam drama seri The Crown (2016-2017). Peran yang sama mengantarkannya masuk dalam daftar nominasi peraih Emmy Award. Penggemar film laga lebih mengenalnya sebagai Alanna Mitsopolis atau White Widow dalam Mission: Impossible – Fallout (2018).
Pieces of a Woman adalah debut film berbahasa Inggris Mundruczó. Film-filmnya sebelum ini lebih banyak beredar di festival-festival internasional di Eropa dan memenangi sejumlah penghargaan. Selain di dunia perfilman, Mundruczó dikenal sebagai sutradara teater. Di bidang satu ini, dia orang non-Jerman pertama yang dinominasikan untuk meraih Faust Award pada 2017.
Skenario Pieces of a Woman ditulis oleh Kata Wéber, pasangan Mundruczó. Awalnya, ini sebuah naskah drama yang kemudian dikembangkan Wéber. Alhasil, film ini bisa dibilang visi para dramawan yang diwujudkan di layar sinema.
Cerita film ini menarik dan menurut saya jarang diangkat oleh sineas lain. Ia mengisahkan perempuan eksekutif muda Martha (Vanessa Kirby) dalam menghadapi trauma setelah bayi yang baru dilahirkannya meninggal. Dari adegan 20 menit lebih proses persalinan itu, kita bisa mengetahui ini kasus fetal distress atau gawat janin. Dalam dunia medis, kondisi ini antara lain ditunjukkan oleh bayi kekurangan oksigen dalam proses persalinan.
Meskipun teknologi kedokteran telah berkembang pesat, angka kematian bayi karena gawat janin di dunia cukup tinggi. Di Amerika Serikat (latar film ini adalah Boston), angka kematian dalam kasus ini bisa mencapai dua puluhan ribu per tahun. Pemicu bisa bermacam-macam, mulai dari gaya hidup, lingkungan sekitar, dan tingkat stres ibu hamil. Film ini karenanya memiliki premis cerita yang bisa jadi dialami cukup banyak orang.
Tragedi persalinan dalam Pieces of a Woman setidaknya melahirkan dua plot. Pertama, hubungan Martha dan pasangannya Sean (Shia LaBeouf) yang kemudian mendingin dan konflik antara Martha dengan keluarga intinya: ibunya Elizabeth (Ellen Burstyn) dan adik perempuannya Anita (Iliza Shlesinger). Sementara Martha berupaya melupakan kenangan apa pun yang tertinggal dari bayinya (yang sempat merasakan dunia selama beberapa menit), Sean justru ingin selalu mengenangnya. Sementara Martha mencoba tak peduli dengan dampak hukum dari kematian bayinya, Elizabeth justru ingin Martha menuntut Eva (Molly Parker), bidan yang membantu persalinan, ke pengadilan pidana dan perdata sekaligus.
Di sinilah muncul plot kedua, yakni kasus hukum terkait kematian bayi dalam proses persalinan. Plot ini sebenarnya menarik untuk digali. Sependek pengetahuan saya, di Amerika, tak sedikit firma hukum yang memiliki divisi pengacara yang khusus menangani kasus-kasus seperti ini. Di Indonesia, kasus pidana terkait dengan kondisi gawat janin pernah terjadi di Manado. Tiga dokter dibui 10 bulan setelah gagal menganani persalinan dengan kondisi gawat janin. Bedanya dengan kasus Martha dalam Pieces of a Woman, kasus nyata di Manado berakhir dengan kematian sang ibu.
Isu medis dan hukum terkait proses persalinan menurut saya jarang diketahui banyak orang, terutama pasangan yang menantikan persalinan bayi mereka. Apa saja faktor yang bisa memicu kondisi gawat janin? Mengapa kegagalan dalam menangani kondisi tersebut bisa berujung di meja hijau, padahal proses persalinan kerap memicu situasi tak menentu, yang tak bisa diperkirakan sebelumnya, sekalipun oleh tenaga ahli seperti dokter atau bidan? Sebuah film dengan cerita menarik tentu bisa menjadi media yang pas untuk memberikan informasi semacam itu kepada masyarakat.
Di hadapan dua plot tersebut, seorang narator, entah itu sutradara atau pengarang, bisa memilih memfokuskan karyanya pada satu plot sementara menjadikan plot lain sebagai subplot. Mundruczó rupanya tak melakukan itu. Dia mencoba menceritakan keduanya meskipun dalam kuantitas durasi yang berbeda. Isu hubungan Martha dengan Sean dan Elizabeth lebih mendominasi film daripada isu medis dan hukum. Tapi, itu bukan berarti isu pertama adalah plot utama film ini karena Mundruczó tetap berupaya menceritakan isu kedua. Akibatnya, baik plot pertama maupun plot kedua sama-sama tak memperoleh detail yang cukup untuk membuat film ini makin menarik. Sejak 30 menit pertama, film ini terasa terengah-engah mempertahankan daya pikat yang telah diraihnya di awal.
Saya tak merasakan kecukupan narasi yang bisa menggambarkan kedekatan emosional antara Martha dan Sean. Ketika hubungan keduanya pada akhirnya digambarkan merenggang, saya tak terlalu merasakan kepedihan dari perpisahan mereka. Ada adegan di mana Sean mencoba berhubungan seksual dengan Martha setelah tragedi kematian bayi mereka yang kemudian ditanggapi dingin oleh Martha. Ada juga adegan kekerasan Sean terhadap Martha yang menunjukkan pasangan ini makin terasingkan dari satu sama lain. Tapi, kedua adegan itu tak terasa cukup karena di awal penonton tak disuguhi gambaran kemesraan keduanya (misalnya, melalui kilas balik).
Perbedaan status sosial pasangan ini juga menyumbang kepada perasaan tak cukup itu. Misalnya, kita tak pernah tahu bagaimana Martha yang elegan sebagai eksekutif di kantor mewah bisa jatuh cinta dengan Sean, seorang pekerja kerah biru konstruksi jembatan yang mengatakan dirinya “tak tahu adat”—dan ini, dia bilang, adalah faktor Elizabeth tak menyukai dirinya. Terlebih, ketika Sean kemudian menerima uang dari Elizabeth agar dia menghilang dari kehidupan Martha, saya tak merasakan kepedihan tapi justru keheranan. Jika memang mencintai Martha, mengapa Sean begitu mudah menerima imbalan finansial untuk menjauhi orang yang dicintainya? Alhasil, film ini tak menyelesaikan misteri soal hubungan Martha dan Sean, sehingga akibat dari tragedi itu terhadap perpisahan mereka terasa biasa saja.
Isu hukum kemudian didekati Mundruczó dengan cuplikan-cuplikan berita yang mengabarkan bidan Eva menghadapi dakwaan pidana dan tuntutan perdata. Lalu, klimaksnya adalah adegan ruang pengadilan ketika persoalan hukum kemudian diselesaikan oleh film ini dengan persoalan hati nurani.
Lepas dari dramatisasi lewat monolog Martha, adegan ruang pengadilan ini terasa asing atau terkesan dipaksakan ada dalam film. Jika isu hukum hanya subplot, menurut saya, cuplikan berita itu sudah cukup. Tapi, jika isu hukum menjadi plot selain isu pertama, maka banyak detail yang diabaikan Mundruczó. Sebelum berujung di ruang pengadilan, menurut saya, film ini akan menarik jika menggambarkan proses penyelidikan dan pemeriksaan kepolisian dan kejaksaan, termasuk dampaknya terhadap kehidupan pribadi dan sosial Martha dan Sean atau keluarga Martha—sesuatu yang justru hilang dari film ini.
Adegan lain yang tampak ganjil adalah monolog Elizabeth dalam adegan pertemuan keluarga. Dia menceritakan kisah kelahirannya di masa pendudukan Nazi. Di masa perang itu, ibunya (nenek Martha) tetap bisa melahirkan Elizabeth dengan selamat. Monolog ini bisa menggambarkan perasaan malu Elizabeth kepada Martha karena anaknya itu tak bisa melahirkan bayinya dengan selamat. Itu perasaan yang biasanya dimiliki orang tua—kerap membandingkan masa hidupnya dengan masa hidup anak-anaknya. Kita tahu nuansa kondisi dan situasi masa lalu dengan masa kini bisa sangat berbeda. Tapi anehnya, monolog ini berlangsung cukup panjang dan tanpa interupsi dari Martha. Mundruczó dan Wéber seakan ingin menyampaikan suatu pernyataan tentang penderitaan di masa Nazi, dan penonton tak mesti tahu apa kaitan pernyataan itu dengan kondisi mental Marta dan kasus kematian bayi di pengadilan. Martha pun diam seribu bahasa, tak menjadi wakil penonton untuk mempertanyakan itu.
Terakhir adalah adegan pamungkas film ini, di mana dikisahkan beberapa tahun kemudian Martha memiliki anak bernama Luci. Dengan adegan ini, Mundruczó mungkin ingin menunjukkan Martha telah berdamai dengan trauma dan melanjutkan hidupnya. Jika ini yang dimaksud, adegan Martha berdiri di atas jembatan dengan kupluk peninggalan Sean seraya menebar abu bayinya sudah cukup menggambarkan suatu penyelesaian. Adegan pamungkas itu jadi tampak sia-sia dan sepertinya hanya bertujuan memberi kepuasaan kepada penonton dengan happy ending.
Namun, secara keseluruhan saya bisa menikmati film ini. Penampilan para pemerannya, terutama Vanessa dan Shia, memikat emosi. Visualisasinya juga puitis. Gambar jembatan yang perlahan-lahan tersambung sebagai penanda tiap episode waktu seakan ingin menunjukkan hidup terus berjalan terlepas apa deritamu. Cerita tentang apel merupakan gambaran bahwa hidup ini selalu akan menumbuhkan kehidupan dari kematian. Film ini seperti memberi pesan bahwa, apa pun pilihanmu dalam menghadapi kepedihan, entah itu melupakan atau mengingatnya, tragedi itu tetaplah bagian dari kehidupan. Kita mungkin akan menangisinya. Tapi, bukankah kita juga perlu tersenyum karena ia pernah menyambangi hidup kita, sehingga kita bisa belajar dan hidup lebih baik?[]