JELAJAH LITERASI

“Islam Tuhan, Islam Manusia”: Menjadi Tuhan versus Menjadi Manusia

in Wacana by

Islam Tuhan, Islam Manusia karya Haidar Bagir menunjukkan problem kemanusiaan saat ini adalah obsesi manusia “menjadi Tuhan”. Karenanya, solusi bagi problem itu adalah kembali “menjadi manusia”.

ADA satu bagian dialog cukup panjang yang saya sukai dalam film drama satire India PK (2014), dan cuplikannya sempat viral di media sosial. Dialog terjadi antara PK (Amir Khan) dan Tapasvi Maharaj, seorang agamawan Hindu (Saurabh Shukla). Begini dialog tersebut.

“Tuhan mana yang kuharus percayai? Kau bilang ada satu Tuhan. Aku bilang tidak. Ada dua Tuhan. Tuhan yang ciptakan kita. Dan Tuhan yang kau ciptakan. Kita tak tahu apa pun tentang Tuhan yang menciptakan kita. Tapi Tuhan yang kau ciptakan sama sepertimu. Picik. Menerima suap. Memberi janji palsu. Siap menemui yang kaya. Membuat yang miskin menunggu. Tumbuh dalam sanjungan. Membuat hidup dalam ketakutan…Percayalah pada Tuhan yang menciptakan kita. Tuhan yang kau ciptakan harus dihapus,” papar PK, sesosok alien, memulai dialog ini.

“Kau akan menghapus Tuhanku, dan aku akan diam?” balas Tapasvi. “Aku tahu cara melindungi Tuhanku.”

“Kau akan melindungi Tuhan? Ini planet kecil. Miliaran planet yang lebih besar melayang di angkasa. Kau, duduk di sudut planet mungil ini, berani mengatakan akan melindungi-Nya? Pencipta alam semesta! Dia tak butuh perlindunganmu. Dia bisa melindungi Diri sendiri.”

Dialog reflektif di atas (dan terasa lebih menohok saat disampaikan dalam film) bisa dibilang mewakili spirit dan pikiran Haidar Bagir dalam bukunya Islam Tuhan, Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau. Frasa “Islam Tuhan, Islam Manusia” membuhul tiga puluhan tulisan, makalah, dan wawancara Haidar di sejumlah media selama satu dekade terakhir. Karena frasa itu menjadi titik temu kumpulan tulisan ini, Haidar menjelaskannya dalam sebuah bagan di awal buku dan dalam bagian pendahuluan. Penjelasan ini menjadi penting karena dengannnya pembaca bisa menemukan gagasan dan narasi besar penulis dari berbagai tema yang disajikan dalam kumpulan tulisan tersebut.

  • Judul Buku: Islam Tuhan, Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau
  • Penulis: Haidar Bagir
  • Penerbit: Mizan
  • Terbit: Juli 2019 (Edisi Kedua)
  • Tebal: xxiv + 314 halaman

Dalam penjelasannya, Haidar percaya ada Islam yang berasal dari Tuhan seperti PK yang percaya ada Tuhan yang menciptakan kita. Tapi kemudian ketika sampai kepada manusia maka Islam dari Tuhan itu menjadi Islam Manusia sebagaimana PK menyebutkan ada Tuhan yang kita ciptakan.

Mengapa bisa demikian?

Sebab, Haidar melanjutkan, manusia tak bisa diperbandingkan dengan Tuhan. Selalu ada kesenjangan pengetahuan antara Tuhan dengan manusia tentang kebenaran dan Islam. Ketika sampai kepada manusia, kebenaran Islam menjadi tafsir seperti PK mengatakan bahwa kita tak mungkin sepenuhnya mengetahui Tuhan yang menciptakan kita. Tafsir selalu memiliki dua kemungkinan. Ia bisa mengandung kesalahan atau mengungkap kebenaran parsial.

Dengan demikian, seseorang seharusnya bersikap rendah hati dan tidak memutlakkan tafsirnya. Seseorang semestinya juga bersikap terbuka kepada pendapat lain yang sama-sama punya potensi kebenaran parsial, sehingga kebenaran bisa dia capai lebih utuh.

Masih menurut penjelasan Haidar, frasa “Islam Tuhan, Islam Manusia” juga berarti bahwa Islam diturunkan bagi kebutuhan manusia, dan bukan kepentingan Tuhan. Manusialah yang membutuhkan agama, dan bukan Tuhan. Seperti PK yang mengatakan dalam dialog di atas, Tuhan tak membutuhkan perlindungan sebab Pencipta alam semesta itu bisa melindungi diri-Nya sendiri. Justru manusialah yang membutuhkan perlindungan Tuhan Sang Pencipta dari “tuhan-tuhan” picik, korup, penerima suap, pemberi janji palsu, dan diskrimnatif—atau “tuhan-tuhan” tanpa cinta—yang kita ciptakan.

Dengan ide pokok “Islam Tuhan, Islam Manusia”, buku ini mencoba menelusuri krisis yang dihadapi manusia pada umumnya dan muslim pada khususnya di bagian awal. Saya membaca problem itu dalam satu tarikan napas, yakni obsesi manusia “menjadi Tuhan” (playing god).

Obsesi akan kendali membuat raksasa-raksasa teknologi berlomba menambang data dan informasi. Keberlimpahan data dan informasi—seperti ditulis Haidar dalam “Zaman Kacau”—justru memicu disorientasi dan kebingungan di tengah masyarakat. Obsesi akan kecepatan lewat media dan teknologi informasi juga menjerumuskan manusia ke dalam kedangkalan dan sensasionalitas. Tak ada lagi cukup ruang dan waktu untuk merenung, merefleksi, dan menggali sesuatu lebih dalam. Lalu obsesi akan kemurnian dalam menjalankan agama mengakibatkan manusia merasa bisa memonopoli kebenaran, sehingga muncullah ekstremisme dan takfirisme.

Obsesi-obsesi “menjadi Tuhan” itu berakibat pada tergerusnya kesadaran manusia akan budaya (seperti ditulis Haidar dalam “Negeri Tuna Budaya”). Padahal, budaya adalah fitrah kemanusiaan. Budaya menyadarkan manusia pada ruang dan waktu, atau keterbatasan-keterbatasan manusia untuk tak pernah bisa “menjadi Tuhan”. Karenanya, budaya niscaya mendorong manusia kepada pencarian tanpa henti akan kebenaran; pengenalan tentang liyan; dan cinta kepada sesama makhluk Tuhan.

Dalam bagian-bagian berikutnya, Haidar berupaya mencari sumber yang bisa dijadikan solusi, cara mendekati persoalan di bagian pertama, dan solusinya. Pada intinya, dalam bagian-bagian tersebut, penulis seakan ingin mengatakan bahwa manusia harus kembali menjadi manusia. Sebab, seperti katak yang hendak menjadi lembu, manusia tak pernah bisa “menjadi Tuhan”.

Menjadi manusia, menurut Haidar, adalah memaksimalkan segenap potensi kemanusiaan yang dianugerahi Tuhan. Ia memaparkan potensi itu menjadi kekuatan akal (alam rasional), daya imajinasi (alam imajinal), dan energi spiritual (alam ruhani). Ini satu tema yang tampaknya Haidar sampaikan secara konsisten dalam tulisan-tulisannya sepanjang satu dekade terakhir.

Terlepas dari kompleksitas perdebatan para pemikir dan spiritualis tentang prinsipalitas tiap-tiap daya (yang dibahas beberapa tulisan dalam buku ini), bagi Haidar, menerima satu daya dan menyingkirkan daya-daya lainnya secara mutlak bisa mengembalikan manusia kepada problem kemanusiaan di atas. Dengan mengerahkan ketiga daya itu, manusia bisa mendekati Tuhan—atau dalam konteks buku ini: Islam Tuhan. Sebaliknya, tanpa satu dari ketiga daya itu, manusia malah bisa terjerembab ke dalam obsesi “menjadi Tuhan”.

Salah satu kelemahan dari buku kumpulan tulisan adalah hilangnya fokus kepada gagasan utama penulis meskipun di sisi lain kita memiliki pilihan untuk membaca tema dan tulisan tertentu. Tapi, dengan merumuskan narasi besar “Islam Tuhan, Islam Manusia”, penulis cukup berhasil mengikat tulisan-tulisan beragam tema dalam buku ini. Kita bisa melihat benang merah dalam pikiran Haidar Bagir. Ada konsistensi gagasan dalam tulisan-tulisannya.

Pada akhirnya, bagi saya, Islam Tuhan, Islam Manusia menunjukkan problem kemanusiaan saat ini adalah obsesi manusia “menjadi Tuhan”. Obsesi itu tak terbatas dalam pemahaman dan praktik keagamaan saja. Obsesi penguasa untuk berkuasa “seperti-Tuhan” juga bisa menghasilkan legislasi draconian dan tak masuk akal, seperti undang-undang yang berambisi mengontrol pikiran warga negara. Obsesi ilmuwan dan teknolog untuk menerapkan ilmu “seperti-Tuhan” bisa melabrak etika kemanusiaan, seperti terlihat dalam kontroversi etis penerapan bioteknologi. Dan tentu saja obsesi orang beragama untuk “membela Tuhan” bisa berakibat—seperti dikatakan PK—pada lenyap manusia itu sendiri dari planet Bumi akibat teror dan peperangan. Jadi, “Islam Tuhan, Islam Manusia” pada akhirnya juga adalah “Ilmu Tuhan, Ilmu Manusia”; dan “Kuasa Tuhan, Kuasa Manusia”.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Wacana

Go to Top