Zainal Abidin Bagir
Doktor dalam bidang sejarah dan filsafat sains dari Universitas Indiana, Bloomington
Menyusul perdebatan tentang sains dan agama pada masa pandemi Covid-19, kami menukil tulisan Zainal Abidin Bagir dari pengantar buku Juru Bicara Tuhan (Mizan, 2002) karya Ian Barbour—fisikawan-teolog yang dipandang sebagai peletak dasar bidang kajian sains dan agama.
BANYAK orang tersentak ketika empat tahun lalu (1998) majalah berita ternama, Newsweek, secara mencolok menampilkan judul “Science Finds God” di sampulnya. Tersentak, bukan cuma karena isi laporan itu cukup ramah terhadap agama, melainkan juga karena judul laporan itu sendiri. Menemukan Tuhan? Apakah ini semacam berita sensasional tentang, misalnya ditemukannya gen yang berperan dalam penyakit alzheimer atau ditemukannya obat penyembuh AIDS? Bagaimana mungkin ilmu empiris “menemukan” Tuhan? Protes banyak pembaca majalah itu benar adanya. Mengatakan bahwa sains telah menemukan Tuhan adalah amat gegabah, kalau bukan konyol.
Akan tetapi, yang penting dicatat bukan benar atau tidaknya hal itu. Bahwa sebuah majalah berita ternama di Amerika Serikat berani menurunkan laporan utama dengan tema tersebut sudah merupakan berita tersendiri. Tema utama dalam laporan itu juga baru—setidaknya dalam konteks AS: ternyata banyak ilmuwan yang masih berpikir tentang agama dengan serius, dan tak menganggap aktivitas ilmiah mereka bertentangan dengan keberagamaan mereka. Tak cuma itu, perbincangan tentang sains dan agama pun sudah masuk ke ruang-ruang akademik. Patut dicatat juga di sini: para aktor “gerakan” baru ini bukanlah kaum agamawan per se, melainkan terutama adalah para ilmuwan sendiri—sebagian kecilnya dengan tambahan pendidikan formal dalam teologi.
Laporan Newsweek itu sendiri ditulis terutama berdasarkan konferensi internasional “Science and Spiritual Quest” (SSQ) pada Musim Panas 1998. Arthur Peacocke, seorang ilmuwan-teolog yang aktif dalam perdebatan beberapa tahun terakhir ini, menuliskan kesannya tentang konferensi itu:
“Pada 1998, saya menghadiri simposium di Berkeley, California, dan menyaksikan dua lusin ilmuwan terkemuka mengaitkan kegiatan profesional mereka sebagai ilmuwan dengan pencarian spiritual mereka, di hadapan lebih dari tiga ratus orang. Di antara mereka, ada ilmuwan Muslim, Yahudi, dan Kristen, serta ada pula yang menggambarkan dirinya sebagai agnostik. Yang mengesankan bagi saya adalah adanya rasa ketakjuban terhadap alam yang sama-sama mereka alami. Tampak jelas bahwa mereka menganggap komitmen kepada pencapaian ilmiah tak perlu bertentangan dengan komitmen kepada agama—bahkan kepada tradisi keimanan dan praktik-praktik keagamaan yang cukup spesifik. Mereka tak menganggap aktivitas mereka sebagai ilmuwan terpisah dari hidup mereka sebagai orang beragama…Bagi mereka, pencarian ilmiah dan religius sama-sama merupakan penjelajahan realitas—keduanya tak terpisahkan, saling terkait, dan saling memperkuat.” (Peacocke 2001, 6)
Dalam jurnal Zygon, yang berspesialisasi pada sains dan agama, Gregory R. Peterson (2000) bahkan mencatat dasawarsa 1990 sebagai titik balik penting dalam lanskap wacana sains dan agama. Pada awal dasawarsa itu, secara serentak terbit beberapa buku akademik pada saat yang hampir bersamaan (di antaranya buku Barbour, Religion in an Age of Science). Sementara itu, pada akhir dasawarsa 1990-an, muncul beberapa liputan penting di media massa dan majalah ilmiah, seperti Nature dan Scientific American, yang membawa isu ini ke kesadaran publik. Padahal, tiga dasawarsa sebelumnya, sains dan agama belum lagi mewujud sebagai sebuah wacana intelektual—untuk tak menyebut wacana akademik—yang terhormat.
Tentu saja, semua perkembangan ini tak muncul tiba-tiba. Di belakang perkembangan semarak beberapa tahun belakangan ini, ada sejarah cukup panjang mengenai perintisan “bidang” baru ini (kalau memang sudah bisa disebut bidang kajian tersendiri). Misalnya, kajian sejarah sains pada Abad ke-20 sedikit demi sedikit memberikan gambaran yang lebih kompleks tentang hubungan sains modern dengan agama. Pengkajian lebih dalam (dan data-data baru) dalam kasus-kasus paradigmatik sains-agama, seperti inkuisisi Galileo, sisi “irasional” Newton dan Boyle, juga tanggapan kaum agamawan Kristen awal terhadap penerbitan karya Darwin, Origin of Species, menunjukkan bahwa sains dan agama (atau, sering ilmuwan dan kaum agamawan) tak selalu berhadap-hadapan. Selain itu, gerakan positivisme, yang amat populer di kalangan banyak filosof Barat pada 1930-an hingga 1950-an dan menganggap klaim-klaim agama (sesungguhnya tidak hanya agama, tetapi gagasan non-empiris apa pun) sebagai nonsens, juga mulai memudar dengan munculnya kaum pascapositivis, seperti Thomas Kuhn dan Paul Feyerabend. Klaim kelewat optimis bahwa teori-teori sains adalah representasi alam yang sesungguhnya—yang selama tiga abad terakhir ini ikut menghidupi cita-cita zaman Pencerahan—pun mulai dikurangi optimismenya.
Pada saat yang sama, awal 1960-an, Ian Barbour, dosen muda bidang fisika sekaligus teolog, mulai giat menulis tentang sains dan agama. Buku pertamanya, Issues in Science and Religion (1966), menampilkan gambaran yang amat berbeda tentang hubungan sains dan agama. Dalam konteks pada masa itu, “amat berbeda” bisa berarti sederhana saja: sains dan agama tak selalu ada dalam hubungan konflik.
Mengenai peran Barbour dalam perkembangan terakhir ini, para pengkaji sains dan agama bersepakat: tak berlebihan mengatakan bahwa dialah peletak dasar wacana mutakhir tentang sains dan agama. Tentu, dia bukan orang pertama yang menaruh perhatian pada isu yang sudah berusia lama ini. Sejak awal perkembangan sains modern, pertanyaan-pertanyaan menyangkut otoritas teori sains dan otoritas wahyu sudah kerap muncul. Lalu, pada awal Abad ke-20, kita kerap menemui lontaran-lontaran religius para ilmuwan besar, seperti Einstein, Heisenberg, Schrodinger, atau Planck. Akan tetapi, sebagaimana diakui para pengkaji isu ini, Barbour adalah orang pertama yang secara amat serius mengembangkan wacana ini, baik dari segi materi maupun metodologinya. Jika saat ini “sains dan agama” bisa dianggap sebagai bidang atau disiplin kajian tersendiri, peran Barbour amat besar dalam pembentukannya.
Selain itu, hingga kini pun (lebih-lebih pada 1960-an), bagi banyak orang di AS, “sains dan agama” sering hanya dipahami terbatas pada polemik hebat “evolusi versus penciptaan”. Polemik ini malah kerap membawa nama buruk agama karena perseteruan itu terjadi antara pendukung sains yang dianggap lambang rasionalitas melawan kaum agamawan yang—dengan sendirinya—terposisikan menjadi wakil sikap tak rasional. Dari sisi ini, Barbour juga ikut berperan membuka mata banyak orang bahwa ada ruang yang amat luas untuk membicarakan kemungkinan interaksi sains dan agama, dari genetika hingga teori relativitas dan mekanika kuantum. Barbour jugalah yang—dengan buku pertamanya itu—mulai membuat tipologi posisi dalam perbincangan tentang hubungan sains dan agama, yang dalam bentuk paling matangnya terungkap dalam buku When Science Meets Religion: Enemies, Strangers or Partners?Pembuatan tipologi ini sendiri sudah berperan penting dalam menunjukkan betapa beragamnya posisi yang bisa diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama. Bahwa masalah ini cukup kompleks, dan bahwa di samping Konflik atau Independensi, yang memang merupakan pendekatan paling populer, ada kemungkinan lain yang sebelumnya tak terlihat.
Salah satu pengakuan penting akan keberhasilan rintisannya ini terwujud dalam pemberian penghargaan Templeton (yang besarnya satu juta dolar AS, lebih besar daripada hadiah Nobel) pada 1999. Seluruh hadiah itu, dia sumbangkan ke Center for Theology and Natural Sciences, yang setahun sebelumnya menjadi penyelenggara SSQ di Berkeley. “Tujuan saya sejak awal terlibat dalam wacana ini adalah mempromosikan dialog tentang masalah-masalah konseptual dan etis, bukan mencampuradukkan sains dan agama,” ujar Barbour dalam pernyataan pers penerimaan hadiah itu. “Dari pandangan yang meletakkan sains dan agama dalam kotak-kotak terpisah, saya bergerak untuk menemukan wilayah-wilayah subur bagi pengembangan interaksi keduanya.”
Riwayal Hidup Barbour
SAINS dan agama adalah bagian penting dalam latar belakang pendidikan dan karier Barbour sejak awal. Dia lahir pada 1923 di Beijing. Ayahnya adalah ahli geologi asal Skotlandia. Ibunya berasal dari Amerika. Dan keduanya mengajar di Universitas Yenching, Beijing. Pada umur 20 tahun, dia lulus S-1 dari Swarthmore College, lalu S-2 dari Universitas Duke, dan Ph.D. dari Universitas Chicago pada 1949—semuanya dalam bidang fisika. Karier pertamanya adalah dalam bidang fisika energi tinggi. Namun, baru beberapa tahun mengajarkan fisika, Barbour—yang sekolah menengahnya diselesaikan di sekolah Kristen—tertarik mengkaji persoalan-persoalan filsafat dan agama. Dia pun kemudian memutuskan untuk sekolah lagi, mempelajari filsafat dan etika di Universitas Yale, dan mendapat ijazah teologi pada 1956.
Mulai 1955, hingga saat ini, dia mengajar di Carleton College, Minnesota. Sejak awal, dia telah mendapat tugas ganda, yakni mengajar di jurusan fisika, dan membantu mendirikan jurusan agama di sana. Pada tahun-tahun pertamanya di Carleton, dia lebih banyak melakukan riset fisika, dan menulis cukup banyak makalah di beberapa jurnal ilmiah. Namun, sejak 1960, aktivitas teologinya lebih menonjol, terutama setelah buku pertamanya terbit pada 1966. Pada 1972, dia merintis program dalam sains, teknologi, dan kebijakan publik di Carleton College.
Pengakuan pertama akan otoritasnya dalam perbincangan sains dan agama datang dalam bentuk undangan untuk memberikan rangkaian kuliah Gifford Lectures pada 1989-1991. Forum akademik yang prestisius ini bertujuan “mempromosikan studi mengenai theology of nature dalam makna terluasnya—yaitu ilmu mengenai Tuhan”, dan sejak 1988, telah menghadirkan para sarjana terkemuka, seperti William James, Niels Bohr, Seyyed Hossein Nasr, Paul Ricoeur, dan Annemarie Schimmel. Dari ceramah-ceramah ini, dia menerbitkan buku terpentingnya, Religion in an Age of Science dan Ethics in an Age of Technology.
Sejak awal diterbitkannya hingga kini, buku-buku Barbour, terutama Issues dan Religion in an Age of Science, bisa dianggap sebagai buku bacaan wajib pengkaji masalah sains dan agama. Bukan terutama karena kedalamannya, melainkan lebih karena kelengkapan dan efektivitas metodenya. Tema sains dan agama bercakupan amat luas dan multidisipliner karena setidak-tidaknya mencakup beberapa cabang sains, sejarah dan filsafat sains, juga sejarah agama dan kajian agama atau teologi secara umum. Oleh karena itu, menyajikan bidang ini untuk pembelajar dengan latar belakang yang amat beragam cukup sulit. Untuk audiens inilah, Barbour berhasil menemukan cara penyajian yang cukup efektif.
Buku Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama (terjemahan Penerbit Mizan atas When Science Meets Religion: Enemies, Strangers or Partners) sendiri merupakan semacam ringkasan dari buku-bukunya sebelumnya, sekaligus juga memperbarui informasi yang berkenaan dengan beberapa teori ilmiah ataupun pandangan-pandangan yang baru muncul mengenai hubungan sains dan agama. Seperti diungkapkan oleh Barbour sendiri dalam Bab Pendahuluan, dia tak memaksudkannya sebagai pengganti penjelajahan tangan-pertama. Buku kecil ini sangat efektif jika ditempatkan sebagai peta besar pembicaraan tentang sains dan agama. Untuk pengkajian lebih dalam, catatan-catatan rujukan di halaman belakang sudah lebih dari cukup sebagai panduan awal.
Posisi Barbour
HAMPIR semua buku Barbour memang bertujuan utama memberikan peta. Seperti ditulis oleh banyak partisipan dalam diskusi sains dan agama, peta multidisipliner ini telah membantu mereka menemukan jalannya masing-masing dan bergerak ke arah yang berbeda-beda. “Karya Barbour-lah yang memungkinkan saya berkarya,” ujar teolog wanita Sallie McFague, penulis Metaphorical Theology: Models of God in Religious Language (1982) dan The Body of God: An Ecological Theology (1993). Seperti ditulis McFague, bagi para teolog, Barbour adalah sahabat yang mengajarkan perkembangan mutakhir sains dan implikasi metafisisnya. Sementara itu, bagi ilmuwan, dia menunjukkan relevansi teologis teori-teori ilmiah.
Bagaimana dengan posisi Barbour sendiri? Seperti dapat dibaca di dalam buku ini, dari tipologi empat pendekatan yang diajukannya (Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi), dia menyatakan “bersimpati kepada Dialog dan Integrasi” (hal. 40-42)1. Kedua pendekatan ini berdiri di atas dua premis dasar penting, yaitu pengakuan akan keabsahan klaim kognitif sains ataupun klaim kognitif agama. Dengan perkataan lain, sains ataupun agama dianggap memberikan pengetahuan atau deskripsi tentang alam.
Pendekatan Konflik mengakui kedua premis ini, namun melihat bahwa keduanya kerap bertentangan. Sementara Independensi biasanya berawal pada penafian premis kedua—misalnya dengan menyatakan bahwa sains berurusan dengan fakta dengan deskripsi mengenai alam, sedangkan urusan agama adalah makna. Dengan ini, keduanya terpisah sama sekali dan konflik tak akan terjadi. Namun, bagi kaum beragama yang “serius”, premis kedua sulit diingkari. Kitab suci tak hanya berisi anjuran moral, tetapi juga menggambarkan apa yang terjadi di alam—dan, lebih dari itu, mengabarkan bahwa Tuhanlah yang terlibat dalam sejarah alam semesta, termasuk kehidupan manusia. Oleh karena itulah, potensi Konflik menjadi amat nyata. Contoh paling sederhana adalah teori evolusi, yang bisa ditafsirkan sebagai melenyapkan keniscayaan adanya pencipta alam semesta, sementara sosok Tuhan sebagai Pencipta adalah satu hal terpenting keyakinan umat beragama—setidaknya dalam agama-agama Ibrahimik.
Lalu, apa yang menghalangi penganut jenis Dialog dan Integrasi yang juga mengakui nilai kognitif agama dari mempertentangkan klaim keagamaan dan klaim ilmiah? Perbedaan terpenting dari Konflik adalah bahwa Integrasi cenderung membaca kitab suci secara amat literal, dan Barbour memberikan cukup banyak contoh untuk ini. Meskipun Barbour tak mengelaborasi cara pembacaan kitab suci penganut Dialog dan Integrasi, kita bisa merekonstruksinya sebagai berikut.
Penganut Dialog dan Integrasi (terutama Integrasi) melihat bahwa cara pembacaan yang literal pun sebenarnya sudah merupakan penafsiran tersendiri karena, diakui atau tidak, cara kita membaca kitab suci (dan sesungguhnya, teks apa pun) tak pernah bebas dari konsepsi-konsepsi awal yang sudah kita miliki sebelumnya karena kita tak pernah mendapat “kemewahan” memiliki kepala kosong. Pengakuan keniscayaan adanya konsepsi awal dalam tindakan pembacaan ini justru bisa dikatakan membebaskan si pembaca—yaitu membebaskannya untuk memperkaya diri dengan konsepsi-konsepsi yang baik, yang teruji, dan bukan konsepsi common sense yang diyakini secara tak sadar. Pemahaman yang diperoleh melalui sains pun menjadi penting: teori-teori sains adalah salah satu sumber konsepsi-konsepsi terbaik tentang alam. Inilah alasan penting penganut Integrasi—khususnya yang disepakati Barbour—mengembangkan pendekatan theology of nature. Dalam theology of nature ini, sains dan kitab suci atau doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan sama-sama menjadi sumber bagi suatu pandangan-dunia yang koheren untuk kaum beriman.
Di sini, ada dua hal penting yang perlu dicatat. Pertama, sejak awal perlu ditekankan bahwa aktivitas ini (penciptaan theology of nature) berbeda sepenuhnya dari upaya apologetis untuk menjustifikasi doktrin-doktrin agama atau kitab suci dengan menggunakan hasil-hasil sains. Teori ilmiah digunakan bukan untuk mendukung kebenaran agama atau kitab suci. Kebenaran keduanya diasumsikan lebih dahulu—justifikasinya adalah urusan lain (dan menggunakan sumber lain), yang tak menjadi pokok persoalan di buku ini (Juru Bicara Tuhan). Dari asumsi ini, aktivitas selanjutnya adalah penafsiran. Untuk mendapatkan penafsiran yang baik inilah hasil-hasil sains ikut dipertimbangkan. Jadi, bisa dikatakan bahwa doktrin-doktrin agama/kitab suci ataupun teori-teori sains dianggap sebagai “bahan mentah”, yang melalui proses menafsirkan dikembangkan menjadi metafisika atau pandangan-dunia yang koheren.2
Kedua, premis (1) di atas menyatakan bahwa sains memang benar-benar memberi kita teori-teori yang benar dan berbicara tentang alam semesta. Pandangan ini dalam filsafat sains biasa disebut realisme ilmiah, dan meskipun tampaknya merupakan common-sense saja, nyatanya sulit mendapatkan justifikasi yang memuaskan. Alternatifnya adalah pandangan antirealis, yang salah satu varian populernya adalah instrumentalisme. Seorang instrumentalis tak akan peduli dengan apakah ruang-waktu itu datar (Newton) atau melengkung (Einstein); apakah hubungan sebab-akibat yang melandasi hukum-hukum fisika benar-benar ada, atau tidak. Tanpa itu semua, baginya sains tetap absah, yang penting adalah hukum-hukum empiris itu dapat memprediksi fenomena dengan baik. Sains adalah alat. Barbour secara amat ringkas membahas soal ini di halaman 160-162 ketika membahas mekanika kuantum. Namun, sesungguhnya, persoalan ini juga mengenai teori-teori fisika lain.
Barbour sendiri menganut apa yang disebutnya realisme bahwa sains memberikan gambaran tentang alam, namun bukan gambaran yang lengkap; bahwa ilmuwan menyumbangkan biasnya dalam teori ilmiah, namun alam juga memberikan sumbangan yang cukup penting. Dengan dasar ini, Barbour menggunakan teori ilmiah untuk menganalisis interaksi sains dan agama pada tingkat teori (yang bagi realis dianggap berbicara tentang alam) sehingga dia bisa berbicara tentang, misalnya “implikasi metafisis mekanika kuantum”. Selanjutnya, seperti dilakukannya di dalam buku ini, dia bisa melihat apakah metafisika tersebut sesuai dengan doktrin-doktrin teologis atau kitab suci tertentu, yang—jika perlu—bisa dimodifikasi dengan mempertimbangkan metafisika itu.
Bagaimanapun, ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, meskipun apa yang disebut realisme kritis ini termasuk moderat dalam hal klaimnya, sebagai sebuah posisi filsafat, ia tak sepenuhnya bebas dari kontroversi. Masih banyak kritik yang biasa diajukan ke posisi ini. Kedua, sebagian orang akan enggan mengaitkan teologi, sebagai kumpulan doktrin yang terkait dengan keimanan, dengan teori ilmiah, yang masih amat mungkin terus berubah. Realisme kritis mengakui kemungkinan perubahan ini, tetapi menganggap bahwa bagaimanapun perubahan ini mengarah mendekati kebenaran—dengan perkataan lain, sejarah sains tidak sekadar berisi rentetan perubahan, tetapi juga kemajuan. Namun, banyak orang yang tak seoptimis Barbour dalam hal ini.
Pembahasan persoalan ini dalam literatur filsafat sains sudah berlangsung sepanjang Abad ke-20, dan hingga kini tak tampak ujungnya. Jika realisme bisa dipertahankan, sesungguhnya sebagian besar orang mungkin akan menjadi realis. Akan tetapi, ada persoalan-persoalan besar dalam pandangan ini—misalnya satu contoh yang telah disinggung sebelumnya, tentang apakah kesinambungan dalam sejarah sains bisa dipandang sebagai kemajuan, atau tidak. Ringkasnya, ada dua hal besar yang menjadi persoalan di sini: apakah makin lama pengetahuan kita tentang alam makin bertambah, dan apakah pengetahuan itu berdiri di atas dasar yang kukuh. “Krisis kebenaran” yang kini ada dalam mekanika kuantum—yang sesungguhnya merupakan teori paling akurat dalam sejarah manusia—makin memaksa orang untuk berhati-hati.
Perspektif Lain: “Sains Islam” dan “Sains Kristen”
Untuk mengenali posisi Barbour dengan lebih baik, kita bisa membandingkannya dengan satu genre lain dalam perbincangan tentang sains dan agama. Secara umum, Barbour tak pernah mempertanyakan legitimasi epistemik sains. Realisme kritisnya, selain memberinya dasar untuk menerima apa yang dinyatakan teori sains sebagai representasi alam, juga mengindikasikan penerimaannya akan objektivitas dan netralitas sains. Namun, bagi sebagian orang, ada masalah lebih mendasar menyangkut sains secara umum, sebagai suatu upaya kognitif—lebih mendasar daripada persoalan pencarian implikasi metafisis, yaitu bahwa secara metodologis, sains memiliki kerancuan fundamental, yang bersumber pada metafisikanya sendiri sehingga hasilnya kerap tampak menyudutkan agama. Sains tak dapat mengklaim universalitas dan objektivitas karena ia—meski jarang diakui—dilandaskan pada metafisika tertentu. Lebih jauh, metafisika inilah yang pada dasarnya kerap bertentangan dengan kebenaran-kebenaran yang diakui agama. Sebagai akibatnya, apa yang tampak sebagai Konflik antara temuan-temuan empiris sains dan agama sesungguhnya bersumber pada metafisika ini.
Genre ini wujud dalam konteks Kristen ataupun Islam. Di kalangan Kristen, yang termasuk dalam arus ini, misalnya adalah gagasan yang mengkristal dalam konferensi pada 1992 yang diselenggarakan The Pascal Centre for Advanced Studies in Faith and Science. Lembaga asal Kanada tersebut didirikan pada 1988 untuk “mendukung diskusi terbuka mengenai iman dan agama dari perspektif biblikal”. Isu-isu yang muncul di sana di antaranya adalah apakah sains modern dalam sejarahnya dibentuk oleh pandangan-dunia tertentu; haruskah sains, secara normatif, dibentuk oleh pandangan-dunia; apakah sains tidak netral secara metafisis (metaphysically neutral), dan sebagainya. Meskipun tak semua penulis dalam buku empat jilid tebal yang berisi pengembangan makalah-makalah konferensi itu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan “ya”, di dalam buku ini, kita akan menemukan argumen-argumen untuk menunjukkan ketaknetralan sains secara metafisis yang—lepas dari persoalan keabsahannya—paling matang3. Khususnya, beberapa teori ilmiah dianggap dilandaskan pada metafisika yang menyudutkan beberapa keyakinan Kristiani, misalnya tentang penciptaan alam dan hubungan Tuhan dengan alam.
Lalu, apa ujung dari argumen-argumen tersebut? Penciptaan apa yang disebut sebagai “sains teistik”, atau “sains Kristen”, yaitu suatu sistem sains yang sensitif terhadap keyakinan Kristiani. Sampai di sini, kita bisa melihat betapa miripnya gagasan ini dengan gagasan tentang “sains Islam” atau “Islamisasi sains” yang cukup populer di Dunia Islam khususnya dua dasawarsa belakangan ini dalam tulisan-tulisan pemikir Muslim, seperti Seyyed Hossein Nasr dan Ziauddin Sardar.
Sama halnya dengan sains teistik, gagasan sains Islam kerap mendapat kritik keras, bukan cuma dari non-Muslim bahkan juga dari kalangan Muslim sendiri. Gagasan ini dianggap tak realistis sama sekali karena membayangkan adanya sebuah sistem sains yang baru sama sekali, yang seperti kerap disebut pendukung gagasan ini, “khas Islam”. Selain tak realistik, akankah “sains Islam” ini kehilangan universalitasnya, yang oleh banyak sejarahwan justru dianggap merupakan ciri sains yang dikembangkan dalam “Zaman Keemasan” peradaban Islam? Karena penekanannya pada kebenaran agama masing-masing, sebagian orang bahkan menganggap gagasan “sains Islam” ataupun “sains teistik” Kristen sebagai salah satu wajah fundamentalisme—yang belakangan ini makin tak populer—sebagaimana tampak dalam klaim eksklusivitasnya. Lebih jauh, bagi Abdus Salam gagasan sains Islam telah mengakibatkan kerugian besar bagi kaum Muslim, yang saat ini justru butuh mengatasi ketertinggalan ilmiahnya.
Kritik-kritik tersebut mungkin tak sepenuhnya tak beralasan. Namun, gagasan “sains Islam” ataupun “sains Kristen” memiliki beberapa varian. Kritik-kritik tersebut tampaknya mengena untuk sebagiannya, namun tak sepenuhnya tepat dialamatkan ke varian-varian lain. Sebagai contoh, dalam kasus Islam, ada Nasr, yang memang kritik-kritik keras dan radikalnya terhadap sains modern bisa dengan mudah dianggap sebagai upaya delegitimasi sains modern. Namun, pengkajian gagasan-gagasannya dengan lebih dekat memberikan gambaran yang berbeda.
Seperti diakuinya sendiri, Nasr tak menentang sains itu sendiri jika dengan kata ini dimaksudkan teori-teori ilmiah sebagaimana yang diajukan Newton, Einstein, Bohr, Heisenberg, dan sebagainya. Yang menjadi sasarannya adalah apa yang disebutnya sebagai metafisika atau pandangan dunia yang dianggap didasarkan sepenuhnya pada teori-teori itu. Kritik Nasr terutama berkaitan dengan sifat sekuler sains modern, yang tak mengakui kenyataan ilahiah, dan posisinya sebagai sumber ilmu. Lebih jauh, sains modem dianggap melakukan penindasan epistemologis dengan cara tak mengakui cara-cara pandang lain terhadap alam, termasuk yang ada dalam agama. Kepercayaan akan realitas di luar realitas empiris pun dianggap mitos atau takhayul belaka.
Namun, kritik mendasar ini tak menjadikannya menolak banyak aspek lain sains modern. Baginya secara umum, sains memberikan pengetahuan tentang alam. Meskipun sifatnya parsial, pengetahuan ini sudah mampu mengungkapkan amat banyak aspek alam semesta, dan memungkinkan diciptakannya teknologi yang efektif. Yang tak disetujui Nasr adalah pandangan bahwa alam semesta adalah tak lebih dari apa yang berhasil diungkapkan sains. Inilah yang biasanya disebut “saintisme”. Tentu, ini berbeda amat jauh dari tuduhan sebagian orang, termasuk Hoodbhoy, yang mengesankan Nasr sebagai sosok antisains modern.
Alih-alih menolaknya, Nasr menyerukan “penyerapan dan adaptasi yang arif”, termasuk di sini adalah penolakan beberapa aspek sains modem yang dianggap tak berdasar pada fakta, tetapi lebih merupakan tafsiran atas fakta atau teori ilmiah. Pembedaan antara teori yang didasarkan sepenuhnya pada fakta (atau evidence) dengan penafsiran filosofis atasnya adalah pembedaan yang amat penting dan lazim digunakan. Contoh terbaik untuk ini adalah apa yang terjadi dalam mekanika kuantum. Hingga kini, mekanika kuantum dikenal sebagai teori ilmiah yang paling akurat di sepanjang sejarah manusia, namun paradoksnya, apa yang sesungguhnya dikatakan teori ini tentang alam benar-benar membingungkan. Beberapa penafsiran yang saling bertentangan diajukan tanpa ada kesepakatan hingga kini—di antaranya ada yang melihat mekanika kuantum melenyapkan determinisme dari sains, namun ada juga yang melihat bahwa determinisme klasik masih bisa dipertahankan sepenuhnya4. Dalam pengkajian kontemporer sejarah sains, nyata juga bahwa sesungguhnya determinisme klasik yang dianggap berasal dari Newton itu hanyalah merupakan salah satu penafsiran saja dari mekanika Newton. Teori Newton bisa juga dipahami sebagai tak menggambarkan alam yang deterministik. Jika kita berbicara soal penafsiran, tak ada jaminan adanya tafsir yang unik. Meskipun “tak ada tafsir yang unik”, tentu tak berarti bahwa sebarang tafsir bisa diterima.
Bagi Nasr, penerimaan atas teori yang sepenuhnya didasarkan pada fakta (tanpa perlu menerima penafsiran tertentu) perlu dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang sesuai dengan pandangan Dunia Islam—apa pun itu. Inilah proses yang disebut Nasr sebagai “integrasi sains ke tingkatan ilmu yang lebih tinggi”. Salah satu contoh untuk ini, yang amat dipuji Nasr, adalah apa yang dilakukan Wolfgang Smith, fisikawan yang berusaha menjelaskan paradoks mekanika kuantum dalam konteks filsafat perenial.
Jika tidak, mestinya tak perlu ada keberatan penting terhadap gagasan Nasr—setidaknya, kita tahu bahwa ia cukup mengapresiasi sains modern yang memang kesuksesan kognitifnya tak bisa dimungkiri5. Sikap kritis Nasr diarahkan pada ideologi semacam positivisme dan reduksionisme, yang bahkan sesungguhnya tak pernah sepenuhnya ditaati oleh para ilmuwan itu sendiri. Lebih jauh, syarat utama proses integrasi sains yang disebutnya itu mensyaratkan penguasaan sepenuhnya terhadap teori-teori sains, yang hanya bisa dilakukan oleh ilmuwan yang terdidik dalam tradisi ilmiah ini. Oleh karena itu, kritik Hoodbhoy bahwa upaya Nasr bersifat kontra-produksi terhadap pengembangan sains di masyakarat Muslim tak tepat sama sekali.
Jika kerap ada sumber salah paham, itu tampaknya berasal dari penggunaan kata “sains Islam” (juga “sains teistik”), yang bagi banyak orang segera mengesankan sikap yang amat parokial. Sesungguhnya, jika memang benar bahwa pusat perhatian Nasr lebih pada metafisika, bukan pada teori-teori ilmiah itu sendiri, penggunaan kata “sains” mungkin juga tak tepat. Kita bisa melihat upaya yang diusulkan Nasr (dan dilakukan Wolfgang Smith), tak jauh berbeda dengan apa yang disebut theology of nature oleh Barbour—jadi, ini adalah sebentuk teologi, bukan sains sebagaimana yang lazim dipahami saat ini. Hal yang sama bisa dikatakan untuk gagasan “sains teistik”, yang sesungguhnya juga bisa dipahami sebagai amat mirip dengan gagasan Barbour.
Akan tetapi, ini tak lalu berarti bahwa gagasan “sains Islam” ataupun “sains teistik” identik dengan theology of nature Barbour.6 Salah satu perbedaan utamanya menyangkut persoalan keluwesan pandangan dunia/teologi.
Ketegangan Pandangan-Dunia Agama dan Pandangan-Dunia Sains
KETIKA Nasr menyarankan penyerapan sains modern secara arif, kriteria utamanya adalah pandangan Dunia Islam. Pandangan-dunia, dengan demikian, memiliki prioritas (ditetapkan terlebih dahulu) dibandingkan dengan sains. Namun, bagi Barbour, teori-teori sains memiliki andil yang sama pentingnya sebagai sumber teologi dibandingkan dengan interpretasi doktrin-doktrin agama atau kitab suci. Teologi dengan demikian menjadi lebih terbuka terhadap perubahan. Teologi lama bisa dimodifikasi dengan cukup radikal sebagai akibat pengetahuan empiris baru tentang alam. Salah satu alasan Barbour memilih mengembangkan teologi proses (yang berasal dari filsafat proses ilmuwan-filosof A.N. Whitehead di awal Abad ke-20) adalah persis karena teologi ini, dia pandang lebih sesuai dengan teori-teori sains mutakhir, khususnya teori-teori evolusi dan kosmologi mutakhir.
Sementara itu, Nasr justru mengkritik para teolog yang, menurutnya, sering terlalu silau oleh sains modern dan terburu-buru menyesuaikan diri dengan temuan-temuan baru.7 Kaum tradisionalis, Nasr khususnya, memang tampak amat enggan melakukan rekonstruksi teologis karena baginya, filsafat tradisional (bagi Nasr, filsafat perenial) adalah filsafat sakral yang keberlakuannya melampaui sejarah. Jika demikian, memang menjadi tak jelas benar apa fungsi “integrasi sains ke tingkatan ilmu yang lebih tinggi”. Sekali lagi, fenomena yang mirip (keengganan mengubah teologi) bisa kita temui juga di kalangan penganjur gagasan “sains teistik”.
Dalam konteks Islam, sikap Nasr ini berbeda secara mencolok dengan Muhammad Iqbal, yang mengupayakan “rekonstruksi” teologi Islam. “Rekonstruksi” bagi Iqbal adalah semacam metodologi yang membuka ruang bagi penyesuaian dengan perubahan—salah satunya adalah perubahan dalam pengetahuan kita, termasuk dalam sains—demi penciptaan teologi yang lebih sesuai dengan semangat zaman dan dengan demikian, lebih mudah dipahami oleh generasi-generasi pada zaman itu. Iqbal sendiri menyadari risikonya bahwa pada zaman tertentu, bisa jadi teologi yang dirumuskan pada zaman sebelumnya mesti direkonstruksi lagi. Persis seperti inilah sumber kritik Rahman terhadap Iqbal: Bagi Rahman, pada masanya, filsafat Iqbal terlalu “sesuai dengan zamannya” sehingga kini, dia menjadi “ketinggalan zaman”. Namun bagi Iqbal, ini hanya berarti bahwa pemikiran manusia tak pernah mencapai titik final, dan oleh karena itu, rekonstruksi adalah proses tanpa henti. Satu hal yang mungkin dilupakan kaum tradisionalis adalah bahwa sesungguhnya, “tradisi” pun merupakan produk sejarah pada masa formatifnya; teologi “tradisional” Islam adalah hasil pemikiran manusia yang memiliki akses terbatas pada sumber teologi: kitab suci ataupun pengetahuan tentang alam.
Kita bisa melihat, sementara Iqbal bersedia memikul risiko “ketinggalan zaman”, Nasr tampaknya khawatir teologi justru menjadi “bulan-bulanan” sains. Kekhawatiran Nasr bukannya tak beralasan. Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam pembahasan tentang realisme kritis, Barbour tergolong cukup optimis dalam menerima kebenaran teori-teori ilmiah pada saat banyak ilmuwan dan filosof sains berusaha amat berhati-hati (khususnya menyangkut mekanika kuantum).8
Pada sisi lain, keengganan melakukan revisi teologis, seperti ditunjukkan Barbour dalam bab tentang evolusi di dalam buku ini (Juru Bicara Tuhan), memang bisa menjadi sumber Konflik. Ini disebabkan oleh, seperti telah disebutkan tadi, meskipun ada ruang penafsiran metafisis atas teori-teori ilmiah yang cukup besar, tak sebarang penafsiran bisa diterima. Penafsiran hanya bisa dilakukan dalam batas-batas yang ditetapkan oleh teori-teori ilmiah yang ditafsirkannya. Oleh karena itu, meskipun teori-teori sains itu sendiri tak niscaya bertentangan dengan agama, kemungkinan Konflik tetap tak tertutup. Ini di antaranya bisa terjadi jika ada kekakuan yang tak bisa dikompromikan dalam teologi. Sebagai contoh, pandangan yang menganggap bahwa tindakan Tuhan bersifat deterministik sepenuhnya bisa bertentangan dengan salah satu tafsir mekanika kuantum yang menganggap tak ada determinisme dalam alam—atau, setidaknya, bisa mengurangi probabilitas kebenaran teologi itu.
Jika kemungkinan Konflik itu memang diakui, yang mesti dilakukan adalah mengenali sumbernya pada masing-masing kasus. Dan, jika ada keyakinan bahwa Kitab Suci dan Kitab Alam keduanya berasal dari Tuhan Yang Satu, analisis itu bertugas menunjukkan bahwa seharusnya tak ada Konflik di antara dua kebenaran yang berasal dari satu sumber yang sama itu. Caranya, dengan memodifikasi tafsiran filosofis atas teori ilmiah ataupun dengan merevisi teologi. Dalam hal ini, Barbour—dan beberapa pengkaji di dunia Barat lainnya—sudah bergerak cukup jauh dibandingkan dengan kaum beragama lain dengan memetakan kemungkinan-kemungkinan hubungan positif antara keduanya yang amat beragam.
Ini tentu sama sekali tak berarti bahwa dia telah menyelesaikan semua masalah. Kritik Nasr terhadap revisi teologis yang didasarkan pada teori sains mutakhir (seperti yang dilakukan Barbour dan Peacocke) menggambarkan adanya ketegangan abadi antara sains dan agama yang terus berubah. Jika ketegangan—yang tak selalu berkonotasi buruk—ini bisa diubah menjadi sumber kreativitas, kita bisa berharap pemahaman tentang alam yang diperoleh melalui sains mampu memperkaya pemahaman keagamaan.[]
[Dinukil dari Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, 2002 (Bandung: Mizan), hal. 19-38]
1Di dalam buku sebelumnya, Religion in an Age of Science (1990, 30), dia lebih tegas menyatakan bersepakat dengan posisi keempat, Integrasi.
2Dalam konteks ini, perbedaan theology of nature dengan natural theology (yang merupakan versi lain dari Integrasi) perlu ditekankan. Dalam natural theology, persoalan utamanya adalah pembuktian keberadaan Tuhan; premis yang digunakan untuk sampai pada kesimpulan itu berasal dari teori-teori sains, yang dianggap menunjukkan secara nyata adanya perencanaan dalam alam—langkah berikutnya adalah menamai Tuhan sebagai Sang Perencana.
3Menarik untuk dicatat bahwa sebagian besar peserta dalam konferensi itu bukanlah ilmuwan, melainkan filosof atau sejarawan sains. Ini menunjukkan perbedaan cukup mencolok dengan arus yang diwakili Barbour (dan peserta konferensi SSQ yang telah disebutkan sebelumnya), yang hampir semua partisipannya adalah ilmuwan aktif, dan sebagian kecil mendapat pendidikan formal sekaligus dalam sains ataupun teologi.
4Dalam mekanika kuantum, istilah yang digunakan untuk membedakan kedua hal ini adalah formalisme (yang terungkap dalam persamaan-persamaan matematika) dan penafsiran (yang merupakan jawaban atas pertanyaan, “seperti apakah alam yang digambarkan teori ini?”). Satu formalisme bisa memiliki beberapa penafsiran. Kesepakatan antarilmuwan hingga kini hanya sebatas formalisme.
5Gambaran ringkas mengenai pandangan Nasr di atas pastilah tak mewakili semua aspek pandangan Nasr, yang sebagiannya mendapat kritik-kritik berbeda. Misalnya, Sardar yang juga mengajukan gagasan sains Islam dan memiliki argumen hubungan sains modern dan lslam yang amat mirip, toh berulang-ulang mengkritik keras Nasr karena dianggapnya terlalu berorientasi mistikal. Yang ingin ditunjukkan di sini hanyalah sikapnya terhadap sains modern dan kaitannya dengan posisi Barbour.
6Nasr juga menginginkan, misalnya, dibangkitkannya kembali beberapa cabang sains Islam, seperti ilmu kedokteran Islam ala lbn Sina, yang hingga kini masih dipraktikkan di beberapa komunitas Muslim (misalnya di Pakistan, di Rumah Sakit Hamdard yang mendapat lisensi dari pemerintah) dan didasarkan pada prinsip-prinsip kedokteran yang berbeda dengan kedokteran modern (misalnya penekanan pada obat-obatan herbal) yang terbukti masih efektif. Dalam hal ini, concern Nasr memang jauh lebih luas daripada Barbour yang terbatas pada aspek metafisisologis sains.
7Dalam hal ini perlu disebutkan penolakan gigih Nasr terhadap teori evolusi karena menurutnya, teori ini, tak seperti mekanika kuantum, tak memiliki dukungan bukti empiris yang kuat. (Untuk ini, bacalah resensi dan wawancara penulis dengan Nasr di Suplemen Ruang Baca Koran Tempo, Senin 11 Februari 2002, hal. 10-11). Nasr mungkin keliru dalam hal ini. Namun, lepas dari itu, ini justru menegaskan prinsipnya: penolakan atau penerimaan teori ilmiah didasarkan pada dukungan empirisnya. Bagaimanapun, prinsip ini memang menjadi agak kabur ketika dia mengkritik evolusi yang dianggapnya mengingkari hierarki kemaujudan dalam filsafat tradisional (yaitu bahwa kemaujudan pada tingkat yang lebih tinggi tak dapat berasal dari tingkat yang lebih rendah, sedangkan teori evolusi menganggap semua makhluk hidup berasal dari sumber yang sama, yaitu makhluk hidup pada awal evolusi yang paling sederhana secara biologis). Saat ini, beberapa teolog Kristen yang menerima teori evolusi mengembangkan teologi panenteistik yang dianggap peka terhadap teori itu. Menarik untuk dicatat bahwa teologi serupa juga dikembangkan oleh beberapa filosof-sufi dalam tradisi Islam.
8Sekali lagi, perlu ditekankan di sini bahwa skeptisisme mengenai kebenaran sains adalah persoalan yang terpisah sama sekali dari pengakuan akan akurasi teori-teori ilmiah. Sementara tak ada orang yang menolak efektivitas teori-teori itu (bahkan teori Newton yang digugurkan Einstein pun masih terus dipakai hingga kini), pertanyaan tentang apakah teori-teori tersebut merepresentasikan alam dengan setia adalah persoalan lain tentang kebenaran.