Terinspirasi oleh terminologi homo sovieticus, Jalaluddin Rakhmat merumuskan homo orbaicus sebagai karakter manusia penghambat perubahan sosial. Apakah, setelah lebih dari dua dasawarsa reformasi, kita masih mengindap homo orbaicus?
PADA paruh kedua buku ini, Jalaluddin Rakhmat mengulas dua arus utama teori sosial tentang perubahan sosial, yang masing-masing diformulasikan oleh Karl Marx dan Max Weber. Dua filsuf Jerman ini memiliki pandangan diametral tentang apa yang menentukan sebuah proses perubahan sosial.
Dalam pandangan materialisme historis Marx, struktur ekonomi dan penggunaan alat produksi merupakan faktor pengubah sejarah dan masyarakat. Struktur, teknologi, dan alat produksi merupakan infrastruktur suatu masyarakat sementara keyakinan, ide, dan gagasan adalah suprastruktur. Marx percaya infrastruktur lebih dominan dan menentukan suprastruktur. Misalnya, struktur ekonomi akan menentukan cara masyarakat memahami agama, atau dengan kata lain posisi ekonomi kita akan membentuk cara kita beragama. Dengan demikian, bagi Marx, perubahan sosial tak bakal terjadi selama sistem dan struktur ekonomi tak berubah.
Berbeda dengan Marx, Weber meyakini bahwa ide menentukan perubahan. Teori Weber kerap dipandang sebagai antitesis atas teori Marx. Karena ideologi memegang peranan penting, Weber melihat peran besar individu-individu di masyarakat dalam mendorong perubahan. Keyakinan Weber ini dia dapatkan setelah mengamati kebangkitan kapitalisme.
Kapitalisme adalah sistem sosial yang berdasarkan pada perubahan pola-pikir dan perilaku individu-individu, kata Weber. Bersamaan dengan lahirnya kapitalisme, muncul pengusaha-pengusaha yang bermotif utama mencari keuntungan, bertindak rasional, dan memiliki semangat misi (spirit of capitalism), yang Weber hubungkan dengan etika Protestan. Bagi mereka, tujuan akhir bukanlah perolehan semata tapi akumulasi perolehan (laba). Untuk mencapai itu, mereka rela menunda pemuasan keinginan dengan menjalani hidup asketis. Lalu, mereka menganggap orang sukses di dunia merupakan manusia pilihan Tuhan.
Weber melihat ciri individu-individu seperti di atas dalam masyarakat Protestan. Jika dibandingkan dengan umat Katolik, masyarakat Protestan lebih mandiri, bebas, dan tidak bergantung kepada otoritas keagamaan, termasuk dalam memahami Bibel. Karakteristik seperti inilah yang kemudian mendorong pemberontakan kaum Protestan untuk mengubah struktur sosial.
Bagi orang-orang Protestan ini, indikator keridaan Tuhan adalah kesuksesan kita di dunia. Jika kita sukses, maka Tuhan senang kepada kita. Sebaliknya, jika kita gagal (atau miskin merana), maka Tuhan sedang murka kepada kita. Artinya, berkah Tuhan adalah kemakmuran di dunia. Dari etos Protestan ini, lahirlah semangat kapitalisme yang mengubah perilaku… Proses ini dengan jelas menunjukkan bahwa perubahan sosial terjadi karena ideas, superstructure, dan soft belief system. (hal. 109)
Jalaluddin juga menjelaskan teori Everest Hagen, murid Weber yang mencoba menurunkan teori-teori baru dari pandangan gurunya. Dengan landasan teori Weber, Hagen berupaya menjelaskan mengapa, di masyarakat modern ini, ada bangsa-bangsa maju dan bangsa-bangsa terbelakang. Dia lalu menjawabnya dengan membagi dua karakteristik berbeda dari manusia, yakni karakter otoriter dan karakter inovatif. Bangsa-bangsa maju kumpulan manusia-manusia berkarakter inovatif. Sebaliknya, bangsa-bangsa terbelakang paguyuban individu-individu berkepribadian otoriter.
Apa ciri pembeda dua kepribadian tersebut? Menurut Hagen, kepribadian otoriter pasrah dalam memandang realitas sebagaimana yang sudah dirumuskan oleh tradisi, misalnya agama. Kebanyakan orang Indonesia, misalnya, tak lagi mempertanyakan tradisi yang menyebut bahwa penguasa itu orang pilihan Tuhan, sehingga tak boleh digugat. Sebaliknya, pribadi inovatif selalu bersikap kritis terhadap realitas. Dia selalu mencoba pemahaman baru terhadap realitas.
Lalu, masih menurut Hagen, pribadi-pribadi otoriter menganggap diri mereka tak memiliki peran apa pun di tengah masyarakat. Mereka hanya individu yang mesti tunduk pada tuntutan-tuntutan sosial. Bahkan, mereka biasanya tidak bertanggung jawab atas perbuatan dan nasib mereka sendiri. Sebaliknya, karakter-karakter inovatif menilai diri mereka bisa mempunyai peran dan pengaruh di tengah masyarakat. Bagi mereka, keberhasilan dan kegagalan adalah tanggung jawab mereka sendiri.
Dua pribadi bertolak belakang ini juga menentukan tipe kepemimpinan. Biasanya dari pribadi otoriter, muncul pemimpin yang tertutup, kaku, mendikte, dan menuntut kepatuhan mutlak. Sementara, dari pribadi inovatif, akan lahir pemimpin yang terbuka, toleran terhadap perbedaan, dan mendorong ke arah berpikir kritis.
Pendidikan di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk negara kita… juga didasarkan pada itu semua. Guru… dianggap sama dengan dewa, bahkan mungkin di atas dewa. Dewa tertinggi bahkan disebut Batara Guru, bukan batara murid. Jadi, guru menghadapi muridnya dengan kaku. Guru tidak mengizinkan muridnya banyak bertanya. Tidak jarang guru tidak toleran terhadap perbedaan dan merasa terganggu oleh pikiran-pikiran kritis. (hal. 114)
Dari teori Hagen ini, Jalaluddin berpandangan, jika ingin melakukan perubahan sosial, maka kita harus mengampanyekan kepribadian inovatif secara luas, baik melalui pendidikan maupun media massa. Jika itu terjadi, akan muncul pribadi-pribadi kritis, terbuka, dan inovatif. Pribadi-pribadi inilah yang bakal bergerak untuk mengubah sistem sosial demi menyelesaikan problem sosial.
Dari dua teori tersebut, Jalaluddin jelas memilih teori ide sebagai penggerak dan pengubah sejarah. Dalam uraian berikutnya, dia menjelaskan teori ideas as historical forces, yang digunakan untuk membedakan manusia modern dari manusia tradisional. Dengan mengutip Alex Inkels, dia menyatakan jika kita mendidik masyarakat dengan karakter manusia modern, maka masyarakat itu akan bergerak mengubah sistem atau struktur sosialnya.
Jadi, rekayasa sosial dimulai dengan mengubah kepribadian individu yang terlibat dalam pranata sosial itu. Bagaimana kita bisa mengubah kepribadian seseorang? Jawabannya adalah dengan menanamkan ide-ide modern pada dirinya. (hal. 122)
Berikut ciri-ciri manusia modern:
- ia terbuka dan selalu mencari serta mencoba pengalaman, pandangan, dan pikiran baru;
- ia berjiwa mandiri dan tidak bergantung kepada pemilik otoritas, seperti presiden, pejabat, atau atasannya sendiri;
- ia percaya pada sains dalam memecahkan masalah;
- ia selalu berorientasi pada prestasi, atau pergerakan status sosial (mobilitas sosial);
- ia mempunyai rencana jangka panjang, dan menetapkan target pada setiap tahapannya; dan
- ia aktif berpolitik, atau selalu ingin berperan dalam menentukan kebijakan publik.
Manusia tradisional adalah mereka yang tak memiliki ciri-ciri di atas. Dan manusia tradisional inilah yang akan menghambat upaya perubahan sosial.
Di titik ini, Jalaluddin kemudian menjelaskan jenis kepribadian penghambat perubahan sosial. Dia menggunakan istilah homo sovieticus1, dan kemudian membandingkannya dengan kepribadian manusia Indonesia selama Orde Baru—yang disebutnya dengan homo orbaicus.
Ciri utama homo sovieticus adalah kepribadian ganda atau pecah, yang menurut Jalaluddin semacam schizophrenia (schizo berarti ‘pecah’ dan phreno berarti ‘otak’). Ia memiliki dua kepribadian yang masing-masing berdiri sendiri. Tak ada jembatan yang menghubungkan dua kepribadian tersebut. Dalam homo sovieticus, kepribadian terbelah menjadi dua wajah: wajah publik (wajah di hadapan orang banyak) dan wajah privat (wajah di kalangan sendiri). Dan dua wajah ini bisa sangat berbeda.
Misalnya, menurut Jalaluddin, orang berkepribadian homo sovieticus memiliki kebiasaan mencuri atau merusak barang-barang publik. Tapi, pada saat yang sama, dia sangat menjaga barang-barang milik pribadi. Ini bisa terjadi karena pribadi homo sovieticus lama hidup dalam kekuasaan korup, di mana pejabat tingginya doyan mencuri uang dan hak rakyat. Dengan berbagai tingkatannya, orang menjadi maling. Pejabat tinggi malingnya lebih tinggi lagi dan pejabat rendah malingnya lebih rendah lagi. Yang paling kasihan adalah mereka yang tidak mempunyai jabatan sehingga nasibnya selalu menjadi korban maling-maling besar. (hal. 128)
Ini juga menjelaskan mengapa koruptor yang menjarah uang rakyat besar-besaran tetap dermawan kepada keluarga dan lingkaran dekatnya. Sebab, mencuri milik publik dihargai, tetapi mencuri milik pribadi dikecam, dihakimi, dan kalau perlu disiksa sampai mati, seperti banyak kasus maling kelas teri yang dipukuli massa dan bahkan dibakar hidup-hidup. Stealing in public life is condoned (dihargai), but stealing in private life is condemned (dikutuk).
Ciri homo sovieticus dan homo orbaicus ini juga tampak pada sikap dalam bekerja. Jika pegawai negeri, mereka malas-malasan dan tidak efisien. Sebaliknya jika bekerja dengan perusahaan swasta atau di luar negeri, mereka rajin dan bertanggung jawab.
Ciri lain homo sovieticus adalah ia susah percaya kepada apa yang disampaikan di depan publik, terutama pernyataan-pernyataan para politisi. Sebaliknya, mereka mudah percaya dengan isu, desas-desus, atau ramalan. Bahkan, ada kecenderungan untuk tidak percaya kepada berita dari saluran-saluran resmi.
Kecenderungan ini tumbuh karena ia lama hidup dalam kekuasaan yang doyan berbohong, menipu, dan mengingkari janji. Apa yang kekuasaan itu bicarakan di hadapan masyarakat adalah apa yang tidak dilakukannya. Jalaluddin kemudian mengingat teori yang disampaikan pengarang Pramoedya Ananta Toer. Pram, begitu dia akrab disapa, punya rumus memahami ucapan pejabat Indonesia, yakni “x = bukan x”. Rumus itu dia buktikan ketika tentara membawanya keluar dari Pulau Buru. Seorang serdadu mengatakan, “Kamu akan dibawa langsung ke Jakarta.” Tapi, Pram berpikir, “Ini pasti berhenti di tengah jalan.” Dan ternyata benar. Pram diturunkan di Surabaya.
Jadi, kalau seorang pejabat berkata, “Mari kita mengetatkan ikat pinggang kita dan hiduplah sederhana”, pastilah pejabat itu sedang berusaha foya-foya dan hidup mewah. Anda boleh coba teori Pramoedya Ananta Toer ini. (hal. 129)
Ciri berikutnya dari homo sovieticus adalah tindakan palsu (phoney action). Contohnya, ketika pejabat datang mengunjungi suatu kota, aparat dan warga kota pun berbenah, berupaya memoles kota mereka agar terlihat bersih, aman, dan terkendali. Padahal, wajah asli kota itu kumuh, sering ada pencurian, dan banyak gelandangan serta pengemis.
Jalaluddin juga melihat phoney action dalam acara-acara kenegaraan atau pemerintahan. Pertemuan dan dialog pejabat dengan rakyat, misalnya petani atau nelayan, atau kunjungan ke lokasi-lokasi tertentu tampak alamiah, padahal semua itu sudah diatur dan ditatapanggungkan (staged). Tiap percakapan, tawa, dan tepuk tangan membahana, semuanya, palsu belaka. Inilah homo orbaicus yang tampak masih terjadi hingga kini.
Ciri berikutnya dari homo sovieticus dan homo orbaicus adalah mengeksploitasi bahasa sedemikian rupa, sehingga maknanya di depan publik akan berbeda dengan di kalangan sendiri. Misalnya, kejahatan yang dilakukan rakyat kecil akan disebut ‘kejahatan’ sesuai maknanya di dalam kamus. Tapi, jika kejahatan itu dilakukan aparat atau pejabat negara, maka akan dikatakan “kesalahan prosedur”. Contoh lain yang lebih anyar—dan ini tak ada dalam buku—adalah bagaimana seorang pejabat puncak pemerintahan berupaya keras membedakan makna kata mudik dan pulang kampung demi membenarkan kebijakannya pada masa wabah Covid-19. Bahasa dikacaubalaukan. Rujukan bahasa bukan lagi kamus, tapi pernyataan dan ucapan pejabat. Jalaluddin menyebut ciri ini dengan istilah “struktur kebohongan yang terorganisasi” (structure of organized lying) (hal. 154).
Ada ciri lain dari homo orbaicus. Jalaluddin mengistilahkannya dengan parasitic innovativeness (inovasi parasitik) dan prolonged infantilism (masa kanak-kanak kelamaan). Yang pertama tampak dalam perilaku selalu mencari celah untuk mengindar dari aturan dan hukum. Jika diperlukan, penghindaran itu ditempuh dengan membuat aturan atau hukum baru. Contohnya adalah kebijakan penyelamatan bank-bank bermasalah di masa krisis. Meskipun kemudian ditemukan kejahatan untuk memperkaya segelintir orang dengan merugikan keuangan negara, kebijakan itu dikatakan tak bisa dipidana. Yang kedua adalah kecenderungan menolak bertanggung jawab atas kesalahan sendiri. Orang yang bersikap seperti ini seringkali melemparkan kesalahan kepada orang yang lebih rendah status sosialnya: bawahannya atau rakyat kecil.
Ciri-ciri homo orbaicus—yang mirip dengan homo sovieticus—di atas muncul, dan bahkan tertanam kuat dalam perilaku, karena apa yang disebut Jalaluddin sebagai prolonged thought control (‘penguasaan pikiran berkepanjangan’). Jika ini terjadi, orang-orang akan membangun apa yang disebut dalam psikologi sebagai “mekanisme pertahanan ego” (ego defense mechanism). Semua orang mencoba mengembangkan perilaku di atas demi bisa bertahan dan selamat (hal. 143).
Selanjutnya, Jalaluddin membahas teori filsuf-sejarawan Inggris, Thomas Carlyle, tentang “tokoh besar” atau “manusia besar” sebagai penggerak perubahan. Seperti telah disebutkan pada bagian pertama tulisan ini, Carlyle menulis dalam bukunya On Heroes, Hero-Worship, and The Heroic in History (1841) bahwa, “Sejarah dunia ini adalah biografi manusia-manusia besar.” Ia melanjutkan, “Manusia besar selalu seperti halilintar, membelah langit, sementara manusia lain menanti dia seperti kayu bakar.”
Carlyle membagi tipe manusia di dunia ini menjadi tiga: (1) manusia biasa (ordinary people) yang membentuk jaringan menjadi masyarakat; (2) manusia luar biasa (exceptional actors) yang memiliki kearifan, bisa memahami apa yang dibutuhkan masyarakat, dan menggerakkan masyarakat ke arah perubahan. Menurut Jalaluddin, manusia luar biasa ini termasuk para nabi, pembaru, dan tokoh-tokoh besar dalam sejarah. Lalu (3) manusia yang berada di antara kedua tipe di atas. Manusia tipe ini tak memiliki kearifan seperti manusia luar biasa tapi mempunyai kedudukan atau posisi penting di tengah masyarakat. Mereka disebut holders of exceptional positions. Sejarah menyaksikan tak sedikit orang bodoh dan bebal yang menjadi penguasa: raja, presiden, dan pemimpin politik lain. Meskipun bodoh, mereka bisa mempengaruhi perjalanan sejarah karena posisi mereka.
Umumnya, pemimpin-pemimpin… bodoh-bodoh karena yang terlalu pintar jarang diterima dalam sistem yang demokratis. Mengapa? Kecerdasannya melampaui zamannya. Kalau Anda ingin memerintah bangsa kambing, kualitas Anda harus kualitas kambing juga. Kalau kualitas Anda harimau, kambing-kambing akan lari, tidak akan mengambil Anda sebagai pemimpin. (hal. 170)
Teori Carlyle mengatakan keputusan yang diambil manusia-manusia besar itu menentukan jalannya sejarah. Misalnya, kita tak mungkin membayangkan sejarah peradaban manusia tanpa Yesus atau Nabi Muhammad. Uni Soviet tak akan bubar jika Mikhail Gorbachev tak mengambil keputusan penting glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi).
Dengan begitu, menurut Carlyle, individulah yang mengubah masyarakat. Individualisme pun menjadi prinsip utama dalam teori heroic determinism.
Pandangan heroic determinism ini kemudian mendapatkan penentangan dari historisisme. Menurut historisisme, seseorang menjadi besar karena tuntutan dan keniscayaan sejarah (konteks dan situasi sosial). Sejarahlah yang menuntutnya mengambil keputusan pengubah sejarah. Jadi, Soeharto memanfaatkan Supersemar dari Sukarno untuk merebut kekuasaan karena tuntutan sejarah, dan bukan karena dia sendiri berambisi mendaki ke puncak kekuasaan.
Ada dua macam historisisme. Pertama yang dikemukakan Hegel, atau yang kita kenal dengan “idealisme historis”. Berbeda dengan Carlyle, Hegel berpandangan bahwa sejarah dunia adalah perkembangan ide manusia. Dia menyatakan setiap zaman memiliki jiwanya, atau zeitgeist. Manusia besar mampu menangkap dan mengarungi zeitgeist.
Kedua adalah “materialisme historis” yang digagas oleh Marx. Dia sebenarnya masih mendasarkan pandangannya pada tesis Hegel. Tapi, ia menolak kandungan idealistik filsuf pendahulunya itu. Jadi dialektika idealistik Hegel dijungkirbalikkan oleh Marx menjadi dialektika materialistik, di mana struktur politik-ekonomilah yang mempengaruhi jalannya sejarah, dan bukan ide.
Hegel berprinsip bahwa sejarah manusia itu berjalan progresif meskipun tampak mengalami maju-mundur dan pasang-surut. Bak sebuah spiral, titik terendah sejarah tetaplah masih lebih tinggi daripada masa sebelumnya. Bagi Hegel, yang mengarahkan gerak progresif sejarah ini adalah geist atau ‘jiwa’. Jiwa sejarah yang terwujud dalam “ide” tak bisa dikekang. Ia bebas dan berkembang.
Meskipun menerima dialektika Hegel, Marx menyoroti geist sebagai pusat pergerakan sejarah. Bagi Marx, Hegel terlalu mengawang-awang saat menyampaikan geist. Apa yang menggerakkan sejarah, menurut Marx, harus ditemukan dalam kegiatan konkret manusia, atau yang dia sebut dengan praxis. Inilah yang menjadi dasar pandangan Marx ketika menyatakan bahwa infrastruktur (praxis) lebih dominan daripada suprastruktur (geist).
Menurut Jalaluddin, baik Hegel maupun Marx, sama-sama menghilangkan peran individu. Padahal, betapa seringnya “manusia besar” tidak hadir dalam momen-momen penting sejarah, atau saat masyarakat membutuhkannya. Lalu, dia mengutip Carlyle: “Sejarah memanggil? Aduh, kita tahu Sejarah telah memanggil sangat keras bagi kedatangan manusia besar, tapi tak menemukannya saat membutuhkannya! Dia tidak datang; Langit tak mengutusnya; Sejarah… bingung dan karam karena dia tak datang saat dipanggil.”
Di antara determinisme heroik dan determinisme sejarah, Jalaluddin memilih jalan tengah. Dengan mendasarkan pemikirannya pada Alfred Krober dan Robert Menton tentang penelitian para genius dalam sejarah sains, dia menyatakan ada faktor yang saling berkaitan antara manusia dan sejarah. Pertama, sejumlah orang istimewa memang lahir dari rahim masyarakat. Kedua, orang istimewa ini tetap membutuhkan lahan subur dan ia juga harus mampu menjawab tuntutan zamannya (zeitgeist).
Bila pesan seorang manusia istimewa tidak memenuhi harapan masyarakat, manusia istimewa itu tidak akan menjadi manusia besar. Ia akan ditinggalkan, dilupakan, atau dikalahkan. Manusia besar adalah “the happy coincidence of social and individual factors”. (hal. 181)
Sejarah juga menyaksikan betapa banyak manusia-manusia istimewa yang baru diakui setelah mereka meninggal. Sebab, zaman saat mereka hidup tak bisa memahami, dan bahkan menyalahpahami, pemikiran mereka.
Dengan pemikiran tersebut, Jalaluddin merumuskan syarat-syarat seseorang bisa menjadi manusia besar: (1) dia memerlukan situasi yang menyebabkan dia mengambil keputusan heroik; (2) dia harus berada dalam posisi untuk mengambil keputusan penting secara otoritatif; dan (3) ia tak bisa sendirian, harus didukung sejumlah orang.
Heros are bred by heroic ages… (hal. 182).
Pada bagian pamungkas, Jalaluddin memasuki isu revolusi. Dia pertama-tama mengungkap paradoks persepsi orang terhadap revolusi. Jika kata revolusi diucapkan kepada tokoh reformasi seperti Amien Rais, maka ia akan mengatakan, “Rakyat sudah terlalu banyak menderita. Revolusi akan memperparah keadaan mereka.” Bagi dia, gambaran revolusi itu penuh dengan kekerasan, berdarah-darah, dan bakal mendatangkan penderitaan berkepanjangan. Apabila kata itu diajukan kepada seorang tokoh radikal, maka ia akan menyambutnya, “Hanya revolusi yang bisa menyembuhkan keadaan. Rakyat yang menderita tidak bakal kehilangan apa pun kecuali belenggunya.” Bagi si tokoh radikal ini, revolusi adalah gerbang emas menuju perbaikan sosial menyeluruh.
Piotr Sztompka dalam The Sociology of Social Change menggambarkan revolusi seperti si tokoh radikal tadi:
“Revolusi adalah manifestasi perubahan sosial yang paling spektakuler. Revolusi menengarai guncangan fundamental dalam proses sejarah, membentuk kembali masyarakat dari dalam dan merancang lagi bangsa. Revolusi tidak membiarkan apa pun seperti sebelumnya; revolusi menutup satu zaman dan membuka zaman baru. Pada saat revolusi, masyarakat mengalami puncak perannya, ledakan potensi transformasi diri. Pada bangkitnya revolusi, masyarakat dan para anggotanya seakan-akan dihidupkan kembali, hampir dilahirkan kembali. Dalam pengertian ini, revolusi adalah tanda kesehatan sosial.” (hal. 188)
Apa yang dicemaskan dari revolusi—bahwa revolusi akan mendatangkan penderitaan—sebenarnya tak sepenuhnya tak beralasan. Sepanjang sejarah, kita menyaksikan revolusi-revolusi yang awalnya ditujukan untuk menumbangkan seorang tiran justru berakhir dengan menciptakan tiran-tiran baru. Kalangan Marxian berpikir bahwa revolusi adalah pembawa zaman baru yang menjadikan rasio sebagai lokomotifnya, tapi revolusi tak jarang malah menindas dan menghacurkan apa-apa yang dianggap tak rasional.
Jalaluddin melihat paradoks pandangan terhadap revolusi disebabkan oleh seringnya revolusi dirancukan dengan perubahan sosial lainnya. Dia bilang, tak semua perubahan sosial yang cepat bisa disebut revolusi. Tak semua revolusi disertai kekerasan. Karenanya, kita harus mengidentifikasi ciri-ciri revolusi. Dia mengajukan ciri-ciri revolusi yang dirumuskan Sztompka:
- Revolusi menimbulkan perubahan dalam skala paling luas, menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat.
- Revolusi menghadirkan perubahan radikal dan fundamental, mencapai akar atau inti dari struktur masyarakat.
- Perubahan berlangsung sangat cepat, seperti ledakan dinamika yang terbersit dari arus lamban proses sejarah.
- Perubahan sangat terlihat jelas, sehingga paling dikenang.
- Revolusi memicu reaksi emosional dan intelektual yang sangat istimewa dari para peserta dan saksi revolusi: semangat membara, ledakan mobilisasi massa, optimisme, perasaan perkasa, kegembiraan, dan aspirasi melangit serta utopia masa depan.
Ada sejumlah perubahan besar dan cepat, yang menurut Jalaluddin, tak memenuhi ciri-ciri di atas. Antara lain adalah: (1) kudeta; (2) pemberontakan; (3) perlawanan atau mutiny; (4) putsch, istilah yang sering digunakan untuk merujuk kepada pengambilalihan kekuasaan oleh segelintir elite militer; (5) perang saudara; (6) perang kemerdekaan; dan (7) kerusuhan sosial.
Bagi Jalaluddin, teori-teori revolusi tak bisa meramalkan dan mengendalikan revolusi. Teori-teori hanya bisa menggambarkan atau melukiskan proses revolusi, apalagi semua itu biasanya dirumuskan setelah sebuah revolusi terjadi (post-factum). Ryszard Kapuscinski, jurnalis kenamaan Polandia, pernah menulis kutipan berikut saat menceritakan Revolusi Islam di Iran:
“Kudeta atau pengambilalihan istana bisa saja direncanakan; revolusi tidak. Ledakan revolusi, saat meledaknya, mengejutkan setiap orang, bahkan mereka yang merencanakannya. Setiap orang tercengang menyaksikan spontanitas yang tiba-tiba dan menghancurkan apa pun yang menghadang di hadapannya.” (hal. 192)
Dari berbagai definisi revolusi, Jalaluddin melihat ada tiga kelompok pandangan tentang revolusi. Pertama, mereka yang melihat revolusi sebagai transformasi masyarakat secara fundamental dan radikal. Di sini, inti revolusi adalah kedalaman dan keluasan perubahan yang dihadirkannya, sehingga jelas revolusi berbeda dari reformasi. Kedua, mereka yang menitikberatkan revolusi pada penggunaan kekerasan. Di sini, revolusi berlawanan dengan evolusi. Ketiga, mereka yang berupaya menggabungkan kedua pandangan di atas, sehingga revolusi dipahami sebagai perubahan cepat dan radikal, tapi juga sarat dengan kekerasan.
Jalaluddin tampak tak sependapat dengan pandangan yang menjadikan kekerasan sebagai unsur niscaya dalam sebuah revolusi. Dia mengajukan keberatan dengan menyebut contoh dalam sejarah. Gerakan Ahimsa Mahatma Gandhi yang berujung berakhirnya kekuasaan imperium Inggris di India serta kejatuhan komunisme di Eropa Timur, menurut Jalaluddin, adalah bukti sejarah revolusi tanpa kekerasan. Tapi, sejumlah pemikir tak memasukkan kedua contoh itu sebagai revolusi.
Sebagai gambaran tentang revolusi, Jalaluddin dalam buku ini mengulas empat mazhab teori revolusi: (1) mazhab behavioral; (2) mazhab psikologi; (3) mazhab struktural; dan (4) mazhab politik.
Mazhab Behavioral
Mazhab ini—yang dikemukakan oleh sosiolog Pitirim Sorokin setelah mengalami langsung Revolusi Rusia 1917—memandang revolusi akan terjadi jika ada penyimpangan perilaku individu dalam masyarakat. Penyimpangan ini terjadi dalam berbagai aspek kehidupan: penyimpangan dalam reaksi terhadap pembicaraan; penyimpangan reaksi terhadap kepemilikan; penyimpangan reaksi terhadap seks; penyimpangan reaksi terhadap perburuhan; penyimpangan reaksi terhadap otoritas; penyimpangan reaksi terhadap agama, moral, dan estetika. “Kita tak berhadapan dengan manusia… kita berhadapan dengan binatang buas yang terlepas bebas,” tulis Sorokin. (hal. 209)
Penyimpangan tersebut, menurut Sorokin, terjadi akibat represi terhadap kebutuhan dasar manusia, seperti sandang, pangan, papan, seks, rekreasi, hak milik, ekspresi diri, dan identitas. Tapi menariknya, menurut Sorokin, represi ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang sebelumnya menikmati kelapangan, dan bukan oleh mereka yang hidupnya sudah sulit sejak awal. Lalu, orang-orang yang kehilangan kelapangan ini melihat, pada saat yang sama, kelompok lain menikmati keuntungan dari represi tersebut.
Dari mazhab behavioral, Jalaluddin mengatakan, jika ingin menimbulkan revolusi, maka yang harus dilakukan adalah (1) menghambat pemenuhan kebutuhan sebagian besar masyarakat; dan (2) membangkitkan kekecewaan dan kemarahan mereka dengan membandingkan nasib mereka sebelumnya dan nasib kelompok yang diuntungkan represi rezim.
Mazhab Psikologi
Mazhab ini sebenarnya hampir mirip dengan mazhab behavioral, hanya lebih jauh melihat motivasi timbulnya revolusi bukan sekadar kehilangan kebutuhan dasar. Dua pemikir mazhab ini, James Davies dan Ted Gurr, merumuskan teori yang disebut “deprivasi relatif”. Teori ini mengatakan ada kesenjangan antara “ekspektasi nilai” dengan “kemampuan nilai”. Ekspektasi nilai itu harapan yang tumbuh dalam masyarakat terhadap suatu keadaan sedangkan kemampuan nilai adalah pencapaian rezim dalam memenuhi ekspektasi tersebut. Jika ekspektasi meninggi tapi tak diikuti oleh peningkatan pencapaian, maka akan terjadi kesenjangan. Kesenjangan itu kemudian akan dirasakan sebagai penderitaan dan berpotensi memicu revolusi.
Namun, tak serta merta penderitaan akan menyebabkan revolusi. Masih dibutuhkan syarat lain, yakni masyarakat menyadari penderitaan itu sebagai ketidakadilan. Di sinilah pentingnya kesadaran dan gerakan penyadaran. Jutaan rakyat Indonesia miskin. Mereka tidak bergerak untuk memberontak, karena mereka menerima kemiskinan itu sebagai takdir. Mereka tidak melihat penderitaan itu sebagai akibat ketidakadilan. (hal. 213)
Dari mazhab psikologi, jika ingin melakukan revolusi, maka Anda harus melakukan hal-hal berikut: (1) tingkatkan aspirasi rakyat sehingga tak lagi bisa dicapai; (2) turunkan pencapaian; atau (3) kembangkan aspirasi dan pencapaian secara bersamaan, tapi kemudian, di satu titik, turunkan pencapaian.
Mazhab Struktural
Mazhab ini melihat revolusi dipicu oleh ketegangan yang terjadi pada struktur, yang meliputi konfigurasi hubungan antara warga negara dan negara. Pemikir mazhab ini, Theda Skockpol, menulis dalam States and Social Revolutions, “Kita harus memandangnya dari perspektif struktural. Kita harus memusatkan perhatian pada hubungan objektif dan konflik antara berbagai kelompok dan bangsa; bukan pada kepentingan, pandangan, atau ideologi aktor tertentu dalam revolusi.” (hal. 217)
Berdasarkan pandangannya itu, Skockpol menggambarkan revolusi dalam tiga tahap. Pertama, kerusakan struktur, di mana negara mengalami krisis yang mengguncang rezim. Pemerintahan terpecah belah. Unsur-unsur pemberontakan muncul ke permukaan. Kedua, kehancuran rezim disertai dengan hilangnya kemampuan untuk mengendalikan alat represi negara. Di sini, perpecahan di kalangan militer mulai terjadi. Ketiga, elite politik baru merebut kekuasaan. Mereka mengonsolidasikan diri, mereorganisasi, dan mereintegrasi negara. Revolusi pun usai.
Mazhab Politik
Mazhab ini melihat revolusi sebagai fenomena politik biasa; bukan sesuatu yang menyimpang. Revolusi terjadi karena pergeseran perimbangan kekuatan politik dalam perebutan hegemoni. Ketika satu kekuatan berhasil memobilisasi massa yang cukup kuat untuk merebut kekuasaan dari rezim berkuasa, mereka akan meninggalkan cara-cara konvensional dan konstitusional: memilih jalan revolusi.
Dengan berdasarkan pandangan mazhab struktural, Charles Tilly dalam From Mobilization to Revolutions, merumuskan tujuh fase revolusi: (1) kemunculan kekuatan politik penantang secara gradual yang mulai mengklaim kekuasaan; (2) mobilisasi pendukung untuk menerima klaim itu; (3) kegagalan upaya rezim berkuasa untuk demobilisasi; (4) kekuatan penantang bersama pendukungnya menguasai sebagian pemerintahan; (5) kekuatan penantang memperluas kekuasaannya; (6) kekuatan penantang dikalahkan atau dikooptasi rezim berkuasa; dan (7) kemunculan lagi satu kekuatan baru yang menguasai seluruh rakyat. Pada tahap terakhir inilah, terjadi transformasi struktural dalam segala bidang: politik, ekonomi, budaya, hukum, dan moral.[]
[Sumber Foto: Tempo.co]
1Istilah ini dipopulerkan oleh pengarang dan sosiolog Rusia, Aleksandr Zinovyev, yang menulis buku berjudul Homo Sovieticus.