JELAJAH LITERASI

“Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”

in Fiksi by

Bagaimana kekerasan seksual, brutalitas aparat negara, dan kesengsaraan hidup bisa berkaitan dengan kemaluan pria yang tertidur pulas? Di tangan Eka Kurniawan, hal-hal tersebut diadon jadi kisah getir sekaligus menggelikan.

SEPERTI Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah novel karya Eka Kurniawan. Diterbitkan pertama kali pada 2014 oleh Gramedia Pustaka Utama, Seperti Dendam merupakan novel ketiga Eka setelah Cinta Itu Luka (2002) dan Lelaki Harimau (2004).

  • Judul Buku: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
  • Pengarang: Eka Kurniawan
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
  • Terbit: Mei 2019 (Cetakan Pertama Mei 2014)
  • Tebal: x + 252 halaman (Edisi digital)

Novel ini mengisahkan perjuangan seorang pria mengembalikan kejantanannya yang hilang. Kemaluan pria menjadi fokus penceritaan, dan digambarkan secara alegoris lewat sosok seekor burung tidur pada sampul edisi perdananya—yang dirancang Eka sendiri.

Seperti Dendam makin menahbiskan Eka Kurniawan sebagai pengarang yang menulis dengan gaya tak lazim: mengadon berbagai elemen ragam kesusastraan—tak terkecuali mitos, erotika stensilan, komik silat, dan horor—menjadi kesatuan penceritaan hal-hal yang ditabukan oleh diskursus arus utama, seperti kisah persetubuhan banal, kekerasan seksual, dan brutalitas aparat negara.

Plot

Ajo Kawir, remaja bengal yang terobsesi dengan tubuh perempuan dan seks, suka mengintip persetubuhan penduduk kampung. Tapi, petualangan Ajo Kawir berakhir pada suatu malam ketika dia mengintip dua polisi memerkosa perempuan gila, bekas istri seorang bramacorah. Dia trauma dan menjadi impoten. Kemaluannya terus tidur meskipun coba dibangunkan dengan segala cara.

Untuk melampiaskan frustasi karena tak mampu ereksi, Ajo Kawir suka berkelahi dengan siapa pun. Suatu waktu dia bernafsu ingin membunuh Pak Lebe, pengusaha tambak dan juragan kontrakan yang menindas Janda Muda penghuni kontrakannya. Untuk itu, Ajo Kawir harus berhadapan dengan Iteung, gadis jago silat centeng Pak Lebe. Keduanya bertarung habis-habisan sampai tak bisa bangun tapi kemudian malah saling jatuh cinta.

Keduanya menikah meskipun Iteung tahu ia tak mungkin menikmati “burung” suaminya. Persoalannya, trauma akibat pelecehan seksual gurunya membuat memori Iteung tak bisa lepas dari bayangan tentang lingga (phallus), penis yang ereksi. Dia akhirnya berselingkuh. Ajo Kawir murka dan meninggalkan istrinya yang tengah mengandung anak dari lelaki lain.

Sebelas tahun kemudian, Ajo Kawir berkelana di jalan-jalan lintas Jawa dan Sumatera, di balik kemudi truk miliknya. Dia mengantarkan barang apa saja. Dia sudah berdamai dengan penisnya. Telah timbul suatu kesadaran baru. Baginya, kemaluannya yang terus tertidur pulas itu mengajarkannya jalan sunyi, jalan damai. Dia tak mau berkelahi lagi meskipun kerap dipancing orang-orang yang tetap menganggapnya petarung nomor wahid karena pernah membunuh Si Macan: bramacorah yang paling ditakuti.

Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Itulah yang kupelajari dari milikku selama bertahun-tahun ini… Tapi kemaluan juga bisa memberimu kebijaksanaan. Itu juga kupelajari dari milikku,” kata Ajo Kawir.

Sementara itu, Iteung yang tetap mencintai Ajo Kawir percaya bahwa hanya dengan membunuh dua polisi pemerkosa itu, kemaluan suaminya bisa pulih seperti sedia kala. Dia bertekad mencari kedua polisi itu dan membunuh mereka.

Respons

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas telah terbit sebelas cetakan. Cetakan terakhir meluncur pada Mei 2019 dengan sampul baru yang dirancang Alit Ambara.

Pada 2017, New Directions Publishing, penerbitan berbasis di New York, menerbitkan novel ini dalam bahasa Inggris berjudul Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash yang diterjemahkan oleh Annie Tucker. Edisi terjemahan bahasa Inggris novel ini disebut ketika Eka memperoleh Prince Claus Award 2018. Situs ulasan buku Publisher Weekly menyebut novel ini “luar biasa lucu dan aneh”.

Pada 2020, Palaris Films mengumumkan akan mengadaptasi novel ini ke layar lebar. Film ini dijadwalkan tayang pada 2021. Sutradara peraih Citra, Edwin, akan menggarap film ini. Ini kerja sama ketiga Palaris Films dengan Edwin setelah Posesif (2017) dan Aruna & Lidahnya (2018).

Ulasan Singkat

Meskipun tak sekental Cantik Itu Luka, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas masih menunjukkan realisme magis. Karakter Jelita, yang tiba-tiba muncul di bak truk Ajo Kawir, menjadi penanda signifikan.

Tokoh ini mampu membangunkan kemaluan Ajo Kawir setelah “si burung” berpuluh tahun mengerut, meringkuk. Padahal, Jelita adalah perempuan berwajah dan bertubuh buruk. Pengalaman-pengalaman erotis Ajo Kawir dan Jelita juga digambarkan seolah-olah berada di antara mimpi dan kenyataan.

Jelita pun tiba-tiba menghilang secara misterius. Ajo Kawir kemudian menyadari kemiripan Jelita dengan Rona Merah, perempuan gila korban pemerkosaan dua polisi. Tak lama setelah malam yang memicu trauma dan impotensi Ajo Kawir itu, Rona Merah ditemukan mati.

Novel ini ditulis mirip fragmen-fragmen skenario film. Tiap fragmen kadang berisi satu, dua, atau tiga paragraf. Tiap fragmen menceritakan momen dan ingatan tokoh secara langsung tanpa penceritaan latar belakang.

Fragmen-fragmen tersebut juga seringkali diposisikan tak secara kronologis. Bahkan, ada peristiwa akan datang dihimpit oleh dua peristiwa saat ini. Alur novel ini akibatnya seakan tumpang-tindih, tapi ajaibnya tetap menjadi kesatuan yang menarik.

Bahasa yang digunakan lugas dan bahkan vulgar. Kata-kata seperti ngaceng, kontol, memek, dan tai dipakai Eka tanpa sungkan. Diksi lugas dan vulgar plus penceritaan dan penggambaran realis membantu pembaca untuk mudah menyusun cerita dalam pikiran mereka meskipun alurnya tak lazim.

Kemaluan pria yang menjadi pusat penceritaan dalam novel ini menarik untuk dikaji secara psikoanalisis. Kata-kata Ajo Kawir, “Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala”, mengingatkan kita kepada teori perkembangan jiwa manusia menurut Sigmund Freud, terutama pada tahap ketiga yang disebut phallic stage.

Freud berpendapat anak, baik lelaki maupun perempuan, dalam phallic stage (sekitar usia 3-6 tahun) terobsesi dengan lingga (phallic) atau penis saat ereksi. Obsesi ini melahirkan kompleks berbeda pada diri anak lelaki dan perempuan.

Anak lelaki mengalami Oedipus Complex, di mana ia lebih berhasrat kepada ibunya dan mencurigai ayahnya sebagai saingan karena ia dan ayahnya sama-sama memiliki penis. Anak perempuan mengalami Electra Complex, di mana ia lebih berhasrat kepada ayahnya dan menganggap ibunya sebagai saingan. Bagi anak perempuan, menurut Freud, kecenderungan ini lahir akibat rasa cemas dan inferior karena tak memiliki penis seperti lelaki (penis envy).

Seperti Dendam tentu saja tak sekompleks Freud dalam berteori atau berfilsafat soal lingga. Tapi, obsesi Iteung pada kemaluan tegang dan keras Pak Toto, gurunya, akibat Iteung dilecehkan saat bocah dan kecemasan Ajo Kawir karena tak mampu ereksi menjalin satu demi satu momen hingga membentuk penceritaan utuh.

Bukan cuma itu, persoalan “kemaluan” ini juga dialami tokoh-tokoh lain dan memicu momen demi momen dalam hidup mereka. “Kehidupan manusia ini hanyalah impian kemaluan kita. Manusia hanya menjalaninya saja,” kata Ajo Kawir.[]


Profil Pengarang

Eka Kurniawan lahir di Tasikmalaya pada 1975 tapi besar di Pangandaran. Sejak kecil, Eka tertarik dengan dongeng yang diceritakan keluarga atau kadang yang ia nikmati melalui siaran radio. Bekalangan ia menyukai komik silat dan novel horor.

Eka menamatkan studi di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan menulis skripsi tentang realisme sosialis dalam karya Pramoedya Ananta Toer. Tapi, Eka kemudian tak memilih realisme sosialis sebagai strategi kepengarangannya. Dia meramu elemen dari berbagai ragam kesusastraan.

Meskipun demikian, seperti Pramoedya, Eka kerap menyajikan kisah manusia dan masyarakat yang terpinggirkan. Dia juga menyentuh isu-isu kontroversial dalam sejarah Indonesia.

Dengan strategi kepengarangan adonan realis dengan magis atau surrealis dan isu sosial kontroversial, Eka sering dibandingkan dengan Gabriel Garcia Marquez. Eka sendiri mengaku mengagumi Gabo atau Gabito (sapaan akrab sastrawan besar Kolombia itu). Dia bilang, dia menggunakan pisau bedah perintis realisme magis itu untuk membongkar konteks sosial-politik Indonesia. Baik Indonesia maupun Amerika Latin, menurut Eka, memiliki kemiripan: sama-sama negara pascakolonial dan religius.

Pada 2016, melalui Lelaki Harimau (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Man Tiger), Eka menjadi orang Indonesia pertama yang dinominasikan untuk Man Booker International Prize, bersaing dengan nama besar peraih Nobel Kesusastraan seperti Orhan Pamuk (Turki) dan Kenzaburo Oe (Jepang). Eka memang akhirnya tidak masuk “6 Besar” penghargaan itu tapi namanya mulai dikenal dunia. BBC menyebut Eka sebagai “meteor paling terang dalam cakrawala baru kesusastraan Indonesia”.

Selain novel Cantik itu Luka, Lelaki Harimau, dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, Eka juga menulis sejumlah kumpulan cerpen. Di antaranya, Corat-Coret di Toilet (2000), Cinta Tak Ada Mati (2005), Kumpulan Budak Setan (2010, bersama Intan Paramaditha dan Ugoran Prasad), dan Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (2015). Salah satu cerpennya, “Tak Ada Orang Gila di Kota Ini” diadaptasi menjadi film pendek pada 2019 oleh sutradara Wregas Bhanuteja. Dia juga menulis esai di harian Jawa Pos.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Fiksi

Go to Top