JELAJAH LITERASI

Demam Catur Gara-gara “The Queen’s Gambit”

in Bukupedia by

Miniseri Netflix The Queen’s Gambit melahirkan demam catur. Penjualan perangkat catur naik 87 persen sedangkan buku tentang catur 603 persen. Novel The Queen’s Gambit, yang menjadi dasar skenario miniseri, juga masuk jajaran bestseller setelah 37 tahun terbit.

POPULARITAS miniseri Netflix The Queen’s Gambit melahirkan demam catur, terutama di Amerika Serikat. Firma riset pasar NPD menyebut penjualan perangkat catur meroket 87 persen sedangkan buku catur 603 persen selama tiga pekan setelah penayangan miniseri tersebut pada 23 Oktober 2020.

“Gagasan bahwa sebuah film televisi yang bagus bisa berdampak pada penjualan produk bukanlah hal baru, tapi pada akhirnya kita bisa menyaksikan itu melalui data,” kata Juli Lennett, penasihat industri mainan NPD, seperti dikutip dari situs firma tersebut. Penjualan buku-buku dan perangkat catur, yang sebelumnya datar atau bahkan menurun selama bertahun-tahun, kini menaik tajam ketika miniseri baru itu memperoleh banyak penonton.

The Queen’s Gambit kreasi Scott Frank dan Allan Scott bukan hanya sukses secara kritik (mendapatkan skor 100 persen di situs Rotten Tomatoes) tapi juga secara penonton. Menurut Netflix, seperti dikutip dari The Hill, tujuh episode miniseri ini memperoleh 62 juta penonton dalam 28 hari pertama penayangannya. The Queen’s Gambit masuk 10 besar di 92 negara dan menjadi nomor wahid di 63 negara.

Novel The Queen’s Gambit (1983) karya Walter Tevis, yang diadaptasi oleh miniseri tersebut, untuk pertama kalinya masuk dalam jajaran bestseller The New York Times setelah 37 tahun diterbitkan. Penjualan beberapa buku catur juga melesat, menurut NPD. Di antaranya adalah Bobby Fischer Teaches Chess oleh Bobby Fischer, Chess Fundamental oleh Jose Capablanca, Chess for Kids oleh Michael Basman, dan The Complete Book of Chess Strategy: Grandmaster Techniques from A to Z oleh Jeremy Silman.

Rupanya kita juga hanya harus menunggu, apakah miniseri itu akan mempengaruhi penjualan model busana yang dikenakan oleh Beth Harmon, karakter utamanya. Catur dan fesyen tampaknya pasangan yang tak lazim. Di dunia catur yang didominasi pria, kita lebih sering menyaksikan kemeja putih dan blazer plus kacamata tebal. Kalaupun kita menemukan pecatur perempuan, ia biasanya mengenakan stelan yang nyaris sama dengan pecatur pria. Tapi, Beth Harmon diciptakan berbeda.

Gabriele Binder, perancang kostum miniseri ini, menciptakan Beth sebagai ikon mode. Lihatlah gayanya berbusana: paduan warna hitam putih atau jas warna-warni dengan pola kotak-kotak yang menyimbolkan papan catur. Dengan membungkus Beth dalam busana-busana modis itu, The Queen’s Gambit seakan ingin menunjukkan bahwa perempuan berotak tetaplah bisa bersolek layaknya supermodel.

“Catur tak akan pernah lagi menjadi sama,” kata Cathleen Sheehan, pakar desain busana di New York seperti dikutip dari The New York Times. “Film ini menghadirkan keglamoran internasional, kemanusiaan, dan sejarah terkait permainan catur. Setiapkali adegan berganti, saya selalu bergairah menunggu apa yang akan dia (Beth) kenakan.”

Kostum-kostum dari The Queen’s Gambit kini bisa disaksikan pada pameran virtual di Museum Brooklyn. Bekerja sama dengan Netflix, museum ini juga memamerkan kostum dari miniseri lain, The Crown. Sayangnya, kostum glamor Beth belum bisa dibeli di toko-toko sebab Binder membuatnya hanya untuk Beth.

Selain novel The Queen’s Gambit—dan buku-buku tentang permainan catur—berikut sejumlah buku terkait catur yang akan menarik untuk Anda baca.

The Luzhin Defense (1930), Vladimir Nabokov

Ini salah satu novel terbaik terkait catur selain The Queen’s Gambit. Ditulis oleh pengarang-penyair Amerika kelahiran Rusia, Vladimir Nabokov (dikenal dengan nama pena Vladimir Sirin), novel ini bercerita tentang Aleksandr Ivanovich Luzhin, anak yang tidak menarik, pendiam, dan menjadi korban perisakan teman-temannya di sekolah.

Tapi, begitu mengenal catur, ia menunjukkan bakat ajaibnya. Luzhin kemudian menjadi grandmaster hanya dalam sepuluh tahun.

Plot kemudian berpusat pada turnamen dunia catur di Italia di mana Luzhin jatuh cinta kepada seorang perempuan muda, Natalia Katkov. Selain harus menghadapi lawan-lawan tangguh dalam kompetisi itu, Luzhin juga menghadapi siksaan mental dari masa lalunya.

Novel ini pernah diadaptasi ke layar lebar dengan judul sama oleh Marleen Gorris pada 2000. Dibintangi John Turturro dan Emily Watson, film ini memperoleh nominasi aktris terbaik atas nama Watson dalam British Independen Film Award dan London Film Critics Circle.

The Grandmaster: Magnus Carlsen and the Match that Made Chess Great Again (2018), Brin-Jonathan Butler

Jangan terkecoh judulnya! Buku ini seolah akan mengulas permainan Magnus Carlsen—anak ajaib asal Norwegia (menjadi grandmaster pada usia 13 tahun) yang menjadi juara dunia saat ini—ketika mengalahkan grandmaster Rusia, Sergey Karjakin, pada kejuaran dunia 2016. Tapi, buku ini justru lebih banyak mengulas hal lain di seputar kejuaran dunia tersebut, terutama pecatur-pecatur muda berbakat.

Butler, seorang jurnalis olahraga, seakan terobsesi dengan pecatur-pecatur aneh. Ini menggemakan kembali ingatan akan Paul Morphy dan Bobby Fischer, dua legenda catur Amerika yang jenius sekaligus “gila”. Seorang pengulas buku ini, Peter Flom, dalam blognya mengatakan buku ini seakan ingin mengatakan, “Mama, jangan biarkan anak-anakmu menjadi pemain catur!”

All the Wrong Moves: A Memoir About Chess, Love, and Ruining Everything (2019), Sasha Chapin

Sasha Chapin, eks pecatur dan penulis asal Kanada, pertama kali terpikat dengan permainan 64 petak itu saat menjadi anggota klub catur di sekolah menengah. Dia terobsesi dengan catur hingga melupakan segala yang lain. Meskipun selalu gagal memenangkan kejuaraan, dia tak pernah menyerah. Ia seperti kekasih yang ditolak tapi gagal move on.

Pada akhirnya, dia menyadari bahwa catur bukanlah bidangnya. Dia memilih menjadi penulis.

Buku ini seperti memoar pecatur gagal yang berhasil di bidang lain, seperti Albert Einstein yang juga dikabarkan terobsesi dengan catur tapi tak pernah bisa memainkannya dalam sebuah gim kompetitif.

Deep Thinking: Where Machine Intelligence Ends and Human Creativity Begins (2017), Garry Kasparov

Dalam buku ini, juara dunia ke-13 dan pecatur nomor satu terlama (sekitar 22 tahun) Garry Kasparov menceritakan pengalamannya bertanding melawat pecatur paling keras kepala dan tak kenal lelah: superkomputer IBM yang diberi nama Deep Blue. Kasparov kalah, dan inilah momen di mana mesin kecerdasan buatan mampu mengalahkan juara manusia dalam permainan otak ini—setelah sebelumnya (pada 1972) Bobby Fischer mampu mengalahkan desain awal kecerdasan buatan komputer Greenblatt buatan Massachusetts Institute of Technology.

Jika banyak kritik menggambarkan kecerdasan buatan akan menjadi ancaman bagi manusia, Kasparov justru melihat berbagai kemungkinan positif. Dia percaya bahwa manusia akan mencapai level keluhuran baru dengan bantuan alat buatannya itu—keluhuran yang tak akan mampu disaingi mesin itu.

Buku ini juga menunjukkan bagaimana Kasparov menjalin ceritanya dengan sebuah gambaran lebih besar: bagaimana kekuatan pikiran manusia menghadapi kekuatan korporasi yang bertekad untuk melakukan apa pun demi menghancurkan setiap oposisi. Kita tahu, seusai pensiun, Kasparov menjadi aktivis politik.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Bukupedia

Go to Top