JELAJAH LITERASI

Menyingkap Berkah Hugo Cabret

in Film by

Berikut ini catatan apresiasi Haidar Bagir atas film Hugo (2012) besutan Martin Scorsese. Film ini berdasarkan novel bergambar karya Brian Selznick berjudul The Invention of Hugo Cabret (2007). Bagi Haidar, film ini berpesan agar setiap manusia menemukan perannya dalam kehidupan.

PADA suatu Sabtu, cukup lama di waktu lalu, seperti biasa saya mengajak anak-anak saya berjalan-jalan, sambil berencana menonton film. Yang dituju adalah The Lorax, sebuah film animasi menarik yang dibuat berdasarkan salah satu buku karya Dr. Seuss yang terkenal itu dengan judul sama.

Waktu itu ada dua pilihan gedung bioskop dari beberapa bioskop yang memutar film tersebut. Dan, karena alasan kesesuaian waktu (dan kesalahan pengambilan keputusan), kami pun memilih berjalan-jalan dan menonton di Mall Teraskota di Tangerang.

Ya, sebetulnya itu adalah suatu keputusan yang salah. Saya salah duga tentang jarak mal ini dari rumah kami di Cinere. Ternyata Teraskota cukup jauh. Tapi, ke sanalah kami semua akhirnya. Kecuali salah seorang anak saya yang karena harus menyelesaikan sebuah pekerjaan lain pergi sendiri naik taksi menyusul kami. Maka, saya dan anak-anak lain sampai terlebih dulu.

Sebetulnya ada cukup waktu sebelum kami harus masuk bioskop sesuai jadwal pemutarannya. Maka, kami pun menikmati mal sambil berkuliner sekadarnya. Tentu sambil menunggu kedatangan anak saya yang satunya. Seharusnya dia akan sampai di bioskop pada waktunya. Tapi, di luar dugaan saya, anak saya yang menyusul ini tak kunjung datang juga. Sampai beberapa lama, ponselnya tak lagi bisa dihubungi. Habis baterai tampaknya.

Dalam kegelisahan menunggunya, karena takut terlambat, saya pun memutuskan agar anak-anak saya yang lain segera mengantre membeli tiket dan masuk ke dalam bioskop yang memutar The Lorax. Saya ingat saat menemani anak-anak saya mengantre, saya bertemu Mbak Dewi “Dee” Lestari, penulis kondang novel-novel top itu, yang juga sedang mengantre mengantar putranya. Tapi untuk film John Carter. Mbak Dewi sempat bercerita bahwa ini kali kedua (atau ketiga) anaknya menonton film yang sama karena anaknya sangat menyukainya.

Alhasil, anak-anak saya pun masuk ke bioskop tanpa saya. Saya beruntung. Anak-anak saya yang sudah lebih dewasa dengan rela menemani adiknya menonton The Lorax. Biasanya saya yang ketempuhan menonton film animasi jika kakak-kakaknya memilih menonton film lain yang lebih sesuai dengan selera mereka.

Saya memutuskan menunggu anak saya yang satunya. Benar saja, anak saya pun datang tergopoh-gopoh dalam keadaan terlambat karena supir taksinya tidak mengetahui persis mal tersebut, sehingga dia dibawa berputar-putar sebelum sampai ke tujuan. Maklum, waktu itu belum ada fasilitas GPS. Maka, kami pun akhirnya harus memutuskan menonton film lain.

Seperti kakak-kakaknya, anak saya yang satu ini adalah penggila buku fantasi. Maka, pilihan kami jatuh ke film Hugo yang juga diputar di mal tempat kami berkunjung hari itu. Hugo saya pilih di antara film-film lain, termasuk John Carter, Margin Call, dan satu atau dua film lain.

  • Judul: Hugo
  • Sutradara: Martin Scorsese
  • Penulis: John Logan
  • Pemain: Asa Butterfield, Chloë Grace Moretz, Ben Kingsley, Sacha Baron Cohen
  • Rilis: 23 November 2011 (AS)
  • Durasi: 126 menit

Omong-omong, kalau saja tadi kami memilih gedung bioskop lain yang lebih dekat, kami tak akan bisa menonton Hugo karena film ini kebetulan tak diputar di sana. Jadi, seperti akan saya kisahkan di bawah ini, ternyata kesalahan saya memilih gedung bioskop ini adalah sebuah berkah terselubung. “Sengsara membawa nikmat”. Ternyata keterlambatan anak saya pun adalah sebuah berkah. Sebab, kalau bukan karena kedua kesalahan itu, saya mungkin sudah akan bersama yang lain menonton The Lorax, dan kehilangan kesempatan mendapatkan pesan-pesan moral dan keindahan dari sebuah film yang memang sudah seharusnya tak boleh saya lewatkan.

Maka, pesan pertama tulisan ini adalah, jangan menyesal jika kita tak mendapatkan apa yang kita harapkan. Sebab, lebih sering sebenarnya itu cara Tuhan memberi sesuatu yang lebih baik bagi kita. Tak percaya? Teruskanlah membaca tulisan ini.

Sekarang biarkan saya bercerita tentang Hugo besutan sutradara top dunia, Martin Scorsese (nama ini jugalah yang membuat saya memutuskan menonton Hugo di samping cerita anak saya tentang kehebatan bukunya— edisi Indonesia buku karya ilustrator top Brian Selznick ini pun kebetulan diterbitkan oleh Penerbit Bentang, unit usaha penerbitan buku di dalam Kelompok Mizan).

Inilah sebuah film dahsyat (Hugo meraih 11 nominasi Oscars dan 8 nominasi BAFTA—redaksi), yang dibuat berdasarkan novel dahsyat pula, yang merupakan salah satu film terbaik yang pernah saya tonton. Sebuah film yang bukan hanya dahsyat karena kisahnya, melainkan juga karena keunikan karakter-karakternya, akting para aktornya—antara lain Ben Kingsley yang memerankan Georges Melies sebagai salah satu karakter-utama film ini dan termasyhur karena aktingnya sebagai Gandhi di film dengan judul sama—setting film yang canggih sekaligus artistik, musik bernuansa Perancis yang romantis, suspense, dan banyak lagi.

Cerita ber-setting 1930 di Paris ini berkisah tentang seorang anak yatim, yang mewarisi kecintaan kepada teknik mengotak-atik mesin-mesin mekanis, yang pada waktu itu selalu dibuat berdasarkan rancangan mesin jam, yang umumnya melibatkan roda-roda (gir atau gear) dan per logam. Memang cerita Hugo dijalin dengan latar belakang mesin-mesin berancangan jam seperti ini—jam besar di stasiun Paris (Paris-Montparnasse), toko mainan anak di stasiun yang sama, automaton (robot) misterius, kamera film, dan proyektor mekanis awal, serta kaki palsu milik Inspektur Stasiun yang bengis kepada anak-anak.

Sebenarnya benang merah kisah Hugo terjalin lewat sejarah awal film di Perancis. Kisahnya juga melibatkan seorang mekanik jenius yang akhirnya tertarik membuat film dan berhasil menorehkan namanya dengan tinta emas di sejarah perfilman Prancis, tapi kemudian terjatuh ke dalam keputusasaan ketika film-filmnya tak lagi diterima masyarakat. Dia pula, Georges Melies, yang akhirnya memutuskan membuka toko mainan anak-anak di stasiun Paris. Takdir membawa hidup si anak (Hugo) berjalin dengan Melies melalui keinginannya memperbaiki automaton yang dibeli ayahnya dari sebuah museum.

Sebuah film yang dahsyat, tak segan saya sekali lagi menyatakannya. Tapi, yang paling dahsyat adalah pesan moral film ini. Dan inilah yang bisa saya petik darinya.

Sebuah mesin bermakna dari function-nya. Fungsinya. Memang fungsi sebenarnya terkait erat dengan mekanika, mesin, dan alat. Tapi sesungguhnya, semua benda dan makhluk di alam ini diciptakan oleh penciptanya—sebagaimana sebuah jam diciptakan perancangnya—dengan function tertentu. Function yang menjadikannya punya alasan untuk diciptakan. Yang dengan itu, keberadaannya punya makna, dan ketiadaannya meninggakan kehilangan atau kekurangan.

Bahkan, bagai suku cadang sebuah jam, ketiadaannya dapat menyebabkannya tak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Seperti kata Hugo di puncak jam besar di stasiun Paris ketika melihat kota Paris dari ketinggian, “Aku melihat kehidupan ini seperti sebuah jam. Sebuah jam dibuat dengan suku cadang yang berjumlah pas, tiada berlebih. Dan setiap suku cadang memiliki function-nya sendiri. Aku ingin mencari apa function-ku dalam kehidupan ini.”

Fim ini menegaskan bahwa semua manusia (seharusnya) punya function dalam keseluruhan kehidupan ini. Dan tugas setiap orang untuk mencari function itu, yaitu mencari perannya di tengah kehidupan atau mencari makna hidupnya. Dan kemudian menyelenggarakan function-nya itu. Kalau tidak, dia akan hidup tanpa function. Adanya di dunia ini akan sama dengan ketiadaannya.

Dengan memperbaiki automaton dan memecahkan misterinya, Hugo ingin mencari function dirinya meski untuk itu ia harus siap mengorbankan jiwanya. Tapi di samping Hugo, film ini bercerita tentang sang master mekanik dan pembuat film jenius yang putus asa karena merasa kehilangan function-nya, juga tentang seorang inspektur stasiun yang kehilangan function-nya dan menjadi bengis karena latar belakang masa kecilnya yang tragis.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Film

Go to Top