Film ini bercerita intens tentang karakternya dalam latar budaya lokal yang kuat. Ia menghibur sekaligus menggugat tabu secara blak-blakan.
Apa yang anda cari dari sebuah film? Jika diizinkan menjawabnya, saya akan mengatakan, saya ingin berkelana ke dalam pikiran seseorang, menyelami perasaannya, dan mengenali budaya di sekitarnya yang membentuk caranya merespons dan bertindak. Semua itu saya dapatkan pada film Yuni.
Yuni adalah feature ketiga Kamila Andini setelah The Mirror Never Lies (2011) dan Sekala Niskala (2017). Ia bercerita tentang Yuni (Arawinda Kirana), seorang gadis yang berada di persimpangan jalan menuju kedewasaan. Yuni tak hanya menghadapi pertanyaan tentang apa yang akan ia lakukan setelah beranjak dewasa dan lulus dari sekolah menengah. Tapi, Yuni juga menghadapi pertentangan pelbagai kultur: cara beislam yang puritan, gaya hidup Barat, dan tradisi lokal masyarakat sekitarnya—yang kadang dipengaruhi cara pandang keagamaan tertentu.
- Judul Film: Yuni
- Sutradara: Kamila Andini
- Penulis: Kamila Andini, Prima Rusdi
- Pemain: Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Asmara Abigail, Dimas Aditya, Marissa Anita
- Rilis: 9 Desember 2021 (Indonesia)
- Durasi: 95 menit
Dalam lanskap pertentangan budaya itu, Andini mengajukan sejumlah tema berat kepada penonton. Tentang pernikahan. Tentang seks dan kenikmatan. Tentang keperawanan. Tentang perjodohan. Tentang menjadi perempuan di tengah masyarakat patriarkis.
Apakah pernikahan itu niscaya menghasilkan kebahagiaan? Tradisi yang diwakili Nenek (Nazla Thoyib) mengatakan pernikahan itu mendatangkan rezeki. Tapi, Yuni menyaksikan bagaimana temannya Tika (Anne Yasmine) dan Suci (Asmara Abigail) justru menderita setelah menikah.
Bukankah seks itu nikmat? Siapa bilang? Tika justru mengatakan dia merasakan sakit saat malam pertama tapi tak mengungkapkannya karena takut suaminya naik pitam.
Lalu, apakah arti keperawanan? Jangan-jangan keperawanan hanya ilusi sebagian orang yang ingin mendiskriminasi perempuan dalam pendidikan dan pernikahan.
Kemudian, apakah gadis tak punya hak memutuskan pilihan dalam perjodohan? Lebih jauh, apakah perempuan tak berhak memutuskan apa yang menurutnya bisa membuatnya bahagia?
Yuni mengajukan semua pertanyaan itu tanpa membuat penonton mengernyitkan dahi. Tema-tema berat itu menjadi renyah berkat narasi dan adegan yang simpel. Penonton bisa mengunyah tema-tema itu melalui dialog keseharian berdialek Jawa-Serang dalam narasi di antara sahabat dan keluarga.
Nyaris 90 persen film ini berdialek Jawa-Serang. Ini juga pernah dilakukan Andini dalam The Mirror Never Lies yang berbahasa Bajo. Inilah salah satu yang membuat Yuni menjulang di tengah banyak film Indonesia lain pada 2021. Pilihan menggunakan dialek Jawa-Serang sepanjang film membuat Yuni terasa riil; membuat penonton seakan tengah menyaksikan sebuah dokumenter tentang keseharian warga “kampung-kota” di Serang. Tema-tema besar itu tersampaikan begitu saja tanpa perlu khotbah-khotbah atau dialog-dialog pamflet.
Tabik buat para pemain yang telah mampu menampilkan dialek Jawa-Serang dan bahasa tubuh karakternya secara natural. Anda tak akan membayangkan ada seorang Marissa Anita pada karakter Bu Lies. Luar biasa.
Yuni kian natural juga karena latarnya yang alamiah: sebuah “kampung-kota” yang menghadapi tarik-menarik antara tradisi dan modernitas. Orang-orang masih mempertahankan cara pandang lama dan kekerabatan mereka tapi pada saat yang sama kapitalisme mulai merangsek dengan membawa cara pandang dan gaya hidup baru. Di “kampung-kota” inilah Yuni hidup mengadapi dunia internal dan ekstenalnya yang berubah.
Perkembangan dan perubahan sosial-politik tak hanya membawa gaya hidup Barat tapi juga kecenderungan purifikasi dalam berislam. Yuni merefleksikan bagaimana politisi memainkan isu-isu moralitas dan keagamaan demi mendulang suara lewat adegan wakil bupati yang mengampanyekan tes keperawanan bagi siswi sekolah menengah. Lalu, ada rohis yang merepresentasikan cara berislam yang kaku dengan melarang pementasan musik di sekolah. Bagi masyarakat di Nusantara yang sejak Abad ke-13 mengenal Islam, model berislam seperti ini bisa dikatakan hal baru sebab budaya Islam di Nusantara sangat menghargai seni.
Pamali menolak lamaran pria lebih daripada dua kali—yang menjadi tema utama film ini—memang kerap dikaitkan dengan ajaran Islam. Konon, ada hadis yang menyatakan menolak lamaran pria baik-baik akan mendatangkan musibah. Tapi jangan lupa dalam Islam, seorang gadis tetap memiliki hak untuk dimintakan izin atau didengar keinginannya. Sebab, hanya diamnya si gadis yang dianggap sebagai persetujuan.
Dalam film ini, Yuni justru tak diam. Dia langsung menolak lamaran pria-pria yang tak berkenan di hatinya—sesuatu yang dianggap tabu oleh masyarakatnya.
Karena itulah, Yuni sendirian, baik di tengah keluarga maupun masyarakatnya. Meskipun mengatakan akan mendukung apa yang diinginkan anaknya, orang tua Yuni tak cukup mampu mengafirmasi keinginan Yuni sementara lingkungannya masih memandang menolak pinangan sebagai hal yang tabu.
Yuni sebenarnya hanya membutuhkan afirmasi dari orang-orang dewasa di sekitanya. Sebagai gadis yang beranjak dewasa, dia dihantui perasaan takut salah dalam melangkah. Di sinilah, orang tua perlu mendukung keptusan si anak selama keputusan itu membuat dia bahagia. Anak perempuan memiliki hak untuk memilih. Kalaupun nanti pilihannya salah, dia setidaknya telah menjalani pilihannya sendiri, dan bukan pilihan orang lain yang dipaksakan terhadapnya.
Yuni yang beranjak dewasa terpenjara oleh persepsi tabu yang mengakar kuat di dalam masyarakatnya. Inilah yang membuatnya ragu dan bimbang. Dari sekian karakter di sekitarnya, hanya Bu Lies (Marissa Anita), guru pembimbingnya, yang mendukung dan bahkan mendorong Yuni untuk tetap melanjutkan pendidikan. Persoalannya Bu Lies pun menghadapi perangnya sendiri melawan lingkungan pendidikan yang tak kalah patriarkisnya, yang masih memandang bahwa perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi.
Cara Andini menampilkan sosok Yuni sangat intens. Sorot close-up pada tubuh Yuni di awal film, sorot yang mewakili pandangan Yuni pada gurunya Pak Damar (Dimas Aditya), dan sorot close-up saat Yuni masturbasi di kamarnya membawa kita kepada alam pikir dan keinginan karakter ini: gadis dengan tubuh mudanya yang penuh hasrat, ambisi, keraguan, dan sekaligus ketidakpastian. Dengan cara ini, Andini juga secara konsisten menampilkan sisi feminitas dalam film ini, termasuk di antaranya adegan memasang pembalut di toilet sekolah. Obsesi Yuni kepada warna ungu makin membuat film ini bertutur amat feminin.
Arawinda menampilkan akting yang luar biasa. Ia mampu menampilkan sosok gadis cerdas yang disesaki keingintahuan tapi pada saat yang sama tak menemukan jawaban atas keraguannya dan dukungan atas keputusannya. Dia ceria sekaligus resah. Dia penuh harap sekaligus cemas. Dia ingin melakukan apa yang menurutnya bisa membuatnya bahagia tapi menemukan lingkungannya menganggap semua itu tabu, pamali, atau tak lazim. Dia ingin bebas tapi kurungan persepsi umum membuatnya tak pasti melangkah. Sayang, pada saat seperti ini, nyaris tak ada yang mendukungnya. Yang ada hanyalah mereka yang serba melarang, serba bicara “pamali”, atau hanya diam tak berbuat apa-apa.
Penontonya juga tak boleh melupakan karakter Yoga yang diperankan dengan baik oleh Kevin Ardilova. Meski tak seintens Yuni, karakter ini diberi bagian cukup oleh Andini untuk berkembang. Dari remaja kikuk yang menaksir Yuni, kakak kelasnya, Yoga di akhir film bahkan tampak lebih dewasa daripada Yuni, terutama ketika dia bicara tentang mengambil keputusan sendiri dan kota yang sudah berubah karena industri yang makin merangsek.
Amatlah wajar ketika Yuni dipilih menjadi film yang mewakili Indonesia dalam Academy Awards 2022 untuk kategori “Best International Feature Film”. Film ini bercerita intens tentang karakternya dalam latar budaya lokal yang kuat. Meskipun bertema serius, film ini bertutur sederhana dan jujur.
Dengan menonton film ini, penonton akan dibawa ke dunia lain, dunia yang bisa jadi belum pernah anda temui: dunia urban di pinggiran kota, dunia orang berdialek Jawa-Serang, dan dunia perempuan. Inilah yang membuat sebuah film menarik, yakni ketika ia mampu membawa anda ke tempat-tempat dan suasana-suasana yang belum pernah anda rasakan.
Yuni adalah salah satu film Indonesia pada 2021 yang tak boleh anda lewatkan. Ia menghibur dan menggugat tabu secara blak-blakan. Jika anda remaja perempuan, film ini akan membuat anda berefleksi tentang pilihan-pilihan yang akan anda ambil begitu anda beranjak dewasa. Jika anda orang tua yang memiliki anak perempuan, film ini akan membuat anda berpikir untuk menjadi pendukung keputusan anak anda selama itu membuatnya bahagia.
Kebahagiaan ada di persepsi masing-masing. Kita tak akan pernah tahu apa yang membuat seseorang berbahagia.
Catatan kecil saya tentang film ini ada pada ending-nya. Tak seperti Sekala Niskala yang surealis, Yuni digarap Andini secara realis. Tapi sayangnya, di akhir film, Andini seakan tak ingin lepas dari gaya surealisnya ketika menghadirkan adegan dimana karakter-karakter perempuan dalam film ini bernyanyi bersama sambi mengelilingi api ungun. Ending yang puitis itu terasa mengganggu alur cerita film ini yang sederhana, to the point, dan natural.[]