Novel ini menjadi semacam epos bagi perjalanan seorang “anak ajaib” di dunia musik. Dee Lestari seakan tengah menciptakan “Beth Harmon” dari dunia musik.
SEORANG gadis kampung usia tujuh belasan memiliki bakat alam istimewa di bidang musik. Lovinka atau Ping, nama gadis itu, bisa mengenali atau menghasilkan not secara sempurna tanpa harus mendengar nada rujukan. Dalam istilah musik, bakat ini disebut “tala mutlak” atau “perfect pitch”. Sebagai anak ajaib (prodigy) di bidang musik, Ping kemudian menghadapi tantangan dunia musik yang lebih akademis selain berbagai konflik dalam hubungannya dengan orang lain dan lingkungan.
Itulah kiranya premis utama novel Rapijali 1: Mencari karya terbaru pengarang “laris manis” Dewi Lestari atau yang akrab disapa Dee Lestari. Dalam perjalanannya di “dunia baru” setelah sang kakek—seorang bekas rocker kenamaan—meninggal dunia, Ping mengalami “gegar budaya”, yang tak hanya datang dari dunia bermusik tapi juga dari gaya hidup orang-orang baru di sekitarnya. Ini sebuah premis yang menjanjikan. Kisah perjalanan seseorang “anak ajaib” dari desa dalam melawan segala rintangan selalu menarik untuk diikuti dan memiliki potensi untuk memantik keasyikan, ketegangan, kecemasan, pengharapan, dan kesedihan.
- Judul Novel: Rapijali 1: Mencari
- Pengarang: Dee Lestari
- Penerbit: Bentang Pustaka
- Terbit: Februari 2021
- Tebal: xii + 350 halaman
Dalam kata pengantarnya, Dee Lestari mengatakan dia telah menulis janin kisah ini sejak lulus SMA atau pada 1993. Tapi, menurutnya, waktu itu dia belum memiliki cukup pengalaman dan stamina untuk menyelesaikannya. Dia bilang, kisah yang awalnya tampak sederhana ini ternyata cukup kompleks, melibatkan banyak karakter dan subplot. Dee kemudian melanjutkan penulisannya pada 2019. Itu berarti, “Rapijali” sabar menanti dalam laci meja kerjanya selama 27 tahun.
Ketika kisah ini dihidupkan kembali, tentu ada konsekuensi penyesuaian yang terjadi karena Dee memilih latar waktu pada era milenial. Tak hanya menyesuaikan deskripsi waktu dan latar, Dee juga harus menyetel ulang imajinasinya ke dunia anak muda (generasi milenial dan generasi Z) dan dunia musik saat ini. Adaptasi ini tentu saja tidak mudah karena Dee jelas bukan Dee 27 tahun lalu. Sebagaimana dituturkannya, dia mesti melakukan semacam riset atau observasi, terutama ketika saat ini anak-anak muda mengalami tantangan yang berbeda dengan generasinya. Tekanan media sosial kini sangat mempengaruhi kehidupan mereka, dari mulai cara pandang akan nilai-nilai, cara berkomunikasi dan berinteraksi, dan memori serta apresiasi mereka terkait musik.
Rapijali 1: Mencari bisa dikatakan berhasil menaklukkan tantangan tersebut. Dunia anak muda era milenial, cara pandang mereka terhadap nilai-nilai, gaya interaksi mereka, dan ketegangan-ketegangan di antara mereka, semuanya digambarkan dengan mengalir oleh novel ini.
Novel ini ditulis dengan sangat memperhatikan detail. Deskripsi latar, deskripsi aksi, deskripsi emosi, dialog, backstory, hubungan antarkalimat, hubungan antarparagraf, hubungan antarbagian, dan pengembangan karakter, semuanya dijalin penuh perhitungan sehingga bisa bersama-sama menggerakkan cerita dan memikat pembaca sampai akhir.
Novel ini menampilkan karakter ansambel. Nyaris tiap karakter diberi perhatian seimbang oleh Dee: diberinya backstory dan konflik mereka masing-masing. Hampir semua karakter terasa nyata bagi pembaca, dan membentuk semacam semesta “Rapijali”, yang memang direncanakan akan terbit berseri sebagaimana seri “Supernova”.
Kelebihan novel ini terutama adalah ketika sang pengarang menyelam ke dunia musik di tigaperempat bagian novel. Di titik ini, Dee memiliki keuntungan jika dibandingkan banyak pengarang. Sebelum mulai mengarang, dia lebih dikenal sebagai musisi.
Rapijali 1: Mencari bahkan bisa dikatakan sebagai ensiklopedia kecil menuju permusikan, terutama bagi pembaca yang tak terlalu familiar dengan dunia ini. Tak hanya menyajikan gambaran teknik bermusik, novel ini juga menjadi semacam referensi kepada lagu, genre musik, pemusik, dan sejarah semua itu. Andai saja novel ini dilengkapi semacam indeks, catatan kaki, atau catatan akhir terkait permusikan itu, menurut saya, pembaca akan lebih berterima kasih.
Dialog-dialog dalam novel ini juga lincah, sehingga bisa membuat pembaca gemas, bersedih, dan tertawa. Ini terutama bisa dirasakan pada bagian dialog anak-anak muda anggota band “Rapijali”. Kejujuran dan keceplasceplosan mereka bisa memunculkan perasaan-perasaan yang campur aduk tersebut.
Dari segambreng karakter dalam novel ini, Ping adalah karakter yang menarik untuk dibahas. Karakter ini mengalami perkembangan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan banyak karakter lain. Dari seorang gadis kampung yang ceria karena segala kebutuhan psikologisnya terpenuhi, Ping berubah menjadi gadis murung, pelamun, ganjil, dan kaku ketika terlempar ke tengah dunia yang sama sekali baru baginya: dunia yang disebutnya “penjara”.
Tapi, pada saat yang sama, di dunia baru itu, dia menemukan “surga” yang lain. Sebab, di dunia baru inilah, dia mendapati talentanya berpotensi berkembang melebihi apa yang telah dia capai di desa. Dia menemukan lebih banyak teman sebaya yang menyukai dan bisa bermain musik.
Saat berbicara musik, novel ini juga memberi insight bagi pembaca bagaimana seharusnya kita mengapresiasi musik. Musik bukan sekadar alunan nada atau jalinan not tapi juga dunia imajinasi yang mampu menarik pelakunya atau penikmatnya ke alam imajinal yang tak terbatas.
Dalam salah satu plot, misalnya, novel ini menggambarkan bagaimana Ping tenggelam dalam permainan musiknya. “Cukup dibutuhkan delapan bar intro dan beberapa baris kata untuk akhirnya Ping tiba di rumah, tempatnya menjadi diri sendiri. Tak lama kemudian, Ping sudah terseret ke dalam konstruksi lagu yang menghadirkan lanskap di benaknya. Lagu itu menggiringnya ke rumah Aki, ke aliran sungai hijau yang bermuara di bentangan laut biru di Batu Karas.”
Plot semacam ini—tentu saja dalam narasi yang berbeda—cukup banyak disampaikan oleh Dee Lestari. Ini mengingatkan kita bahwa seni, lebih daripada sekedar aktivitas teknis, adalah aktivitas jiwa yang melanglang buana ke alam imajinal untuk membantu manusia jeda dari rutinitasnya, merenungkan nilai-nilai kehidupan, dan melembutkan jiwa kemanusiaannya.
Dunia musik bukan satu-satunya dunia yang menjadi latar novel ini. Rapijali 1 juga sedikit menyajikan dunia perselancaran, persekolahan, dan politik. Meskipun hanya menyinggung dunia-dunia itu, Dee mempertahankan kemampuannya untuk tetap menyajikan detail-detail yang tak banyak diketahui orang pada umumnya.
Satu hal yang sedikit mengurangi greget novel ini adalah terlalu banyaknya karakter yang pengarang ciptakan plus konflik-konflik yang menyertai mereka. Memang itu terasa masih wajar atau tidak dibuat-buat tapi narasi novel ini menjadi berkesan tidak bulat. Di beberapa bagian, narasi karakter utama seperti Ping tenggelam saat pengarang harus menceritakan backstory dan konflik karakter-karakter sampiran. Mungkin juga hal ini tak terhindarkan tapi tak ayal membebani pikiran pembaca dengan banyak sub-konflik dan sub-plot.
Dari sederet karakter yang ditampilkan oleh Dee Lestari, ada satu karakter yang bagi saya tampak terlalu ideal jika dibandingkan dengan latar belakangnya. Dia Guntur Putra Sasmita. Guntur diceritakan sebagai seorang bekas walikota Jakarta Selatan tapi deskripsi aksi, emosi, dan dialog menggambarkannya sebagai politisi dengan gaya hidup kebarat-baratan (bahasa Indonesia-nya bercampur dengan bahasa Inggris, terbiasa minum wine atau wiski, punya manajer kampanye perempuan keturunan Tionghoa). Seorang birokrat karir (walikota di Jakarta Selatan ditunjuk dari kalangan birokrat dan bukan dipilih dalam pemilihan) biasanya berkarakter tipikal konservatif. Ya, ini biasanya dan bisa jadi ada karakter seperti Guntur yang di luar kebiasaan. Apalagi backstory Guntur mengatakan dia 17 tahun lalu seorang aktivis LSM. Seorang birokrat yang mencapai jabatan walikota di pemerintahan Jakarta biasanya harus menempuh perjalanan karir lebih daripada 20 tahun. Lagi-lagi, ini biasanya.
Bagaimanapun, novel ini tetaplah menarik karena kecermatan pengisahan dan penulisannya. Novel ini bukan hanya detail dari sisi penggambaran latar, aksi, emosi, dan pengembangan karakternya tapi juga cermat dalam penyusunan hubungan antarkalimat, antarparagraf, dan antarbagian, sehingga bisa membuat pembaca tenggelam dalam semesta lautan “Rapijali” sejak awal hingga akhir.
Yang lebih penting adalah novel ini menjadi semacam epos bagi perjalanan seorang “anak ajaib” di dunia musik. Inilah premis kisah yang menarik untuk terus diikuti di seri-seri selanjutnya. Dee Lestari seakan tengah menciptakan “Beth Harmon” dari dunia musik.[]