JELAJAH LITERASI

“Malas Itu Perlu”: Motivasi Diri Tak Lazim dari Negeri Ginseng

in Wacana by

Meskipun sempat sedikit dikecewakan oleh judulnya, isi buku ini memberi kompensasi yang jauh lebih besar daripada kekecewaan itu.

BUKU ini diberi judul Malas Itu Perlu: Menjadi Sukses Tanpa Susah Payah. Ketika membaca judulnya, saya membayangkan sebuah buku yang akan memberi semacam tip-tip bagaimana menjadikan kemalasan sebagai kunci meraih kesuksesan. Maklum, malas bisa jadi menghinggapi semua orang—dan terutama saya—sementara pada saat yang sama kita ingin mereguk sebanyak mungkin kesuksesan dengan sedikit usaha.

Namun, judul itu rupanya tidak terlalu mencerminkan isi bukunya. Entah atas alasan apa penerbit memberi judul seperti itu terhadap buku yang judul bahasa Inggris-nya, Anyway, Be Kind to Myself Today. Alasan-alasan marketing, mungkin. Entahlah. Tapi, yang pasti buku ini tidak menyajikan petunjuk-petunjuk praktis meraih kesuksesan tanpa bersusah payah atau sukses hanya dengan bermalas-malasan. Bukan itu.

  • Judul Buku: Malas Itu Perlu: Menjadi Sukses Tanpa Susah Payah
  • Penulis: Dodaeche
  • Penerbit: Kaifa (PT Mizan Pustaka)
  • Terbit: 2017
  • Tebal: 274 halaman

Buku ini berisi cetusan pikiran dan curahan hati penulisnya tentang apa yang dia pikirkan, rasakan, dan alami dalam kehidupan sehari-hari. Menariknya, cetusan dan curahan yang dia tuangkan dalam bentuk teks dan ilustrasi itu tak lazim, dan bahkan bisa dibilang melawan pandangan umum. Bagi saya, dalam beberapa hal, cetusan dan curahan sang penulis berhasil membuat saya berpikir ulang tentang apa yang saya yakini selama ini.

Sang penulis masih misterius bagi saya. Meskipun diterjemahkan dari judul bahasa Inggris, buku ini tampaknya pertama kali ditulis dalam bahasa Korea. Penulisnya adalah ilustrator sekaligus penulis asal Korea Selatan. Namanya Dodaeche. Apakah ini nama asli atau nama pena? Entahlah. Tak ada petunjuk di dalam buku. Di mesin pencarian Google pun, sebutan “Dodaeche” tidak merujuk kepada sebuah nama Korea yang biasa digunakan. Dia memang memiliki situs web dan akun media sosial tapi keduanya berbahasa Korea yang tidak saya pahami.

Bagaimanapun, Dodaeche tampaknya sosok yang cukup unik. Perhatikanlah bagaimana dia mendeskripsikan dirinya:

Dodaeche lahir dari seorang ayah yang gagal ujian negara dan seorang ibu yang rajin. Mewarisi salah satu sifat kedua orangtuanya, yaitu menjadi “pemalas”. Pernah bekerja di berbagai bidang, seperti wartawan koran online, penulis web radio, editor website, ilustrator, dan penulis lagu. Pernah juga menjalankan bisnis individu…Memuji diri sendiri adalah hobinya.”

Lalu apa curahan dan cetusan Dodaeche yang menarik buat saya?

Bisa dibilang, dia jujur mengutarakan pikiran dan perasaannya. Tanpa tedeng aling-aling, dia mengakui kemalasan rutinnya. Saat akan bangun tidur, saat dalam perjalanan ke kantor, saat berada di dalam bus yang berdesak-desakan, saat berada di dalam kereta, saat berada di kantor, dan bahkan saat bekerja, Dodaeche bercerita kemalasan tak pernah angkat kaki dari dirinya. Saat bekerja sekalipun, misalnya, dia kerap membayangkan dan berimajinasi sedang menikmati liburan.

Dia membuat kemalasan begitu manusiawi, dan tampaknya demikian. Saya merasa hampir setiap kita selalu didera kemalasan setiap waktunya. Meskipun kita menyukai pekerjaan yang kita lakukan, kemalasan seperti malas beranjak dari tubuh dan pikiran kita.

Bagaimanapun, seperti dikatakan buku ini, kita toh harus tetap pergi kerja. Bekerja seakan bukanlah sesuatu yang kita bisa nikmati dalam kehidupan ini. Bekerja adalah keterpaksaan—jika bukan siksaan—karena tuntutan hidup dan tuntutan status sosial di tengah-tengah masyarakat.

Dodaeche seolah ingin mengatakan, betapa pun kita mengklaim mencintai pekerjaan kita, akuilah bahwa kita lebih menyukai bersantai ria, berleha-leha, dan melakukan apa yang kita sukai: membayangkan diri kita ada di atas perahu yang menyusuri sungai panjang; atau berada di dalam pesawat ulang alik menjelajahi angkasa luar. Penulis juga seakan ingin mengatakan, kalau kita malas, itu tidak apa-apa. Kemalasan bukanlah sebuah aib atau sesuatu yang perlu kita benci lalu musuhi.

Karena berbicara tentang malas, Dodaeche menyinggung soal “mengatur waktu” dan “hidup penuh keteraturan”. Dia mempertanyakan orang yang selalu bertanya-tanya harus melakukan apa agar waktu yang mereka miliki efisien. Mengapa, katanya, kita tak bisa membiarkan saja waktu berjalan sesuai dengan keinginan kita?

Betapa pun efisiennya waktu itu kita isi dengan pekerjaan-pekerjaan, pada akhirnya waktu yang berlalu itu tetap tak bisa kita nikmati. Ia tidak berlalu sesuai keinginan kita. Jadi, apa sesungguhnya makna efisiensi waktu? Apakah itu sesuatu yang berlalu dengan keterpaksaan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tak kita inginakn ataukah yang berjalan dengan apa-apa yang bisa kita nikmati?

Lalu, soal hidup penuh keteraturan. Tak jarang orang stres karena mendapati barang-barang atau apa pun di sekitarnya tampak tidak teratur atau tidak sesuai dengan norma-norma umum. Pada akhirnya, menurut Dodaeche, orang yang tidak teratur justru punya kelebihan. Menurut dia, mental orang yang tidak bisa teratur tak akan terpuruk ketika dia harus berada di lingkungan berantakan. Jadi, dengan kata lain, level stres orang yang tidak teratur lebih rendah daripada level stres orang yang berupaya sekeras mungkin untuk hidup teratur.

Lalu apa sebenarnya hidup bagi Dodaeche?

Dia menganggap hidup akan selalu menjumpai kesulitan di mana pun dan kapan pun. Secara filosofis, Dodaeche menganalogikan hidup ini dengan tangisan bayi. Dia bertanya, mengapa bayi terus menangis padahal kedua orang tuanya sudah berupaya menenangkannya. Menurutnya, si bayi sudah tahu bahwa kehidupan di dunia ini akan penuh dengan kesulitan tanpa ada seorang pun yang memberi tahunya, dan karena itu menangis. Bayi itu menangis setelah keluar dari dalam rahim ibunya yang hangat dan nyaman. Bayi itu rupanya menyadari bahwa kesulitan yang panjang segera menantinya.

Tapi, ketika tumbuh dewasa, dia justru bisa tertawa dan bahkan sering tertawa. Bagi Dodaeche, manusia rupanya belajar tertawa ketika telah menyadari apa yang dipersembahkan oleh kehidupan ini: kesulitan. Kesulitanlah yang justru mengajari manusia untuk tertawa.

Di sinilah, bagi Dodaeche, poin dari kehidupan ini, yaitu jalani dan nikmati saja, dan akan lebih baik jika sambil tertawa. Dia mengatakan, “Untungnya kita masih bisa tertawa. Walaupun tawa belum tentu merupakan nilai dasar kehidupan, kita harus berusaha untuk bisa tertawa.”

Secara filosofis juga, Dodaeche mengambil pelajaran dari kehidupan seekor tonggeret. Sebagaimana kita ketahui, tonggeret adalah serangga mirip lalat yang bisa punya masa hidup hingga 17 tahun. Karena itu, tonggeret disebut sebagai salah satu serangga berumur panjang. Tapi, umur panjang tonggeret hanya berlaku ketika serangga ini berada di dalam tanah. Ketika keluar dan berjalan di atas tanah dan melakukan tugas kodratinya—kawin dan berkembang biak—tonggeret dalam jangka tujuh hari akan mati.

Bagi Dodaeche, kehidupan manusia tak jauh berbeda dengan kehidupan seekor tonggeret. Tonggeret harus menjalani takdirnya keluar ke atas tanah, kawin, berkembang biak, dan kemudian mati. Begitu juga manusia. Kita lahir ke dunia ini, mengalami kesulitan, dan mati. Bagi Dodaeche, kesulitan akan selalu ada dalam hidup ini. Dia menyebutnya sebagai “perpindahan kesulitan sejajar”. Kita mungkin berupaya lari dari kesulitan tapi pada hakikat, menurut dia, kita hanya berpindah dari “kesulitan 1” ke “kesulitan 2”; dari “kebosanan 1” ke “kebosanan 2”.

Di tengah-tengah kesulitan itu, manusia seharusnya menjalani kehidupan ini dengan melakukan apa yang bisa dia nikmati. Dodaeche mengisahkan seorang kontestan “KPop Star” yang tereliminasi, padahal dia sudah berhenti bekerja agar bisa fokus bermusik. Kemudian, seorang kontestan lain menghibur si kontestan yang gagal tadi dengan berkata, “Tidak apa-apa. Masih ada jalan lain untuk bertahan hidup.”

Bagi Dodaeche, orang memang terbiasa menyemangati dan menghibur orang lain karena tahu hidup ini penuh kesulitan. Tapi, upaya itu toh tidak menjadikan hidup baik-baik saja. Hidup, menurut Dodaeche, tidak akan baik-baik saja jika kita tidak bisa melakukan apa yang bisa kita nikmati. Tetap hidup memang penting tapi lebih penting lagi adalah melakukan apa yang kita bisa nikmati.

Oleh karena itu, tampaknya bagi Dodaeche ada hal-hal dalam hidup ini yang tak bisa kita hindari dan bahkan tak perlu kita mengerti. Ada kepastian-kepastian yang tidak bisa kita ubah dan tidak perlu juga kita pahami kenapa harus begitu. Jadi, kuncinya adalah jalani dan nikmati saja dengan melakukan hal yang bisa kita nikmati.

Lalu, apa yang dilakukan Dodaeche untuk bisa menikmati hidupnya? Uniknya, dia bisa menikmati hidupnya hanya dengan melakukan hal-hal sederhana, seperti makan cokelat atau kari. Katanya, pernahkah terpikir oleh kita bahwa sepotong cokelat dan semangkuk kari bisa menyelamatkan hari-hari kita? Pada suatu hari kita mungkin kesal karena seseorang di tempat kerja. Tapi, kekesalan itu lenyap tak berbekas ketika kita membayangkan semangkuk kari dan sepotong cokelat menanti di rumah atau karena kita menjumpai orang-orang sopan yang tersenyum kepada kita di pasar atau di jalanan.

Terasa ada nuansa fatalisme dalam cetusan dan curahan Dodaeche dalam buku ini. Apa yang dia sampaikan relatif tidak jauh berbeda dari para filsuf Stoisisme yang menganjurkan kita untuk mengendalikan pikiran dan perasaan agar tetap bisa menikmati hidup dan berbahagia, atau yang disebut sebagai indifference (sikap masa bodoh).

Tapi, manusia tetaplah bukan seekor tonggeret yang hanya menjalani panggilan alam untuk keluar ke atas tanah, kawin, dan sudah itu mati. Manusia tetap memiliki pilihan-pilihan bebas.

Mungkin saja Dodaeche ingin mengatakan bahwa seekor tonggeret justru menikmati siklus hidupnya. Seekor tonggeret mungkin juga bersikap masa bodoh terhadap pandangan yang mengatakan dia bodoh karena keluar dari dalam tanah hanya untuk mati. Seakan Dodaeche ingin mengatakan bahwa kehidupan sejati adalah kehidupan yang kita nikmati, dan bukan kehidupan menurut pendapat orang lain.

Dalam prolog buku ini, Dodaeche menulis dan mengilustrasikan sebuah kisah menarik tentang ubi yang berbahagia. Alkisah, sebatang ubi hidup di tengah-tengah kumpulan ginseng. Ubi itu tak menyadari bahwa dirinya ubi, dan bukan ginseng. Tapi, ubi itu bahagia. Para ginseng merasa aneh ada ubi yang hidup bahagia di tengah-tengah mereka. Salah satu ginseng bertanya, apakah si ubi masih akan bahagia seandainya dia tahu bahwa dia ubi, dan bukan ginseng. Akhirnya, si ginseng memberitahu si ubi bahwa dia adalah ubi, dan bukan gingseng. Tapi, si ubi tetap bahagia.

Artinya, meskipun kita hidup aneh atau ganjil di tengah-tengah banyak orang, itu bukan masalah. Justru, menurut Dodaeche, hidup orisinal akan membuat kita bahagia. Orang-orang seperti ini juga diperlukan oleh peradaban manusia. “Sedikit demi sedikit aku merasa dunia menjadi lebih baik karena orang-orang yang berani berpendapat.”

Pada akhirnya, meskipun saya sempat dikecewakan oleh judulnya, buku ini memberi kompensasi yang jauh lebih besar daripada kekecewaan itu. Cetusan pikiran dan curahan hati sang penulis anti-mainstream. Ia bisa menggugah atau bahkan menggugat pandangan-pandangan lazim yang kadung melekat di benak kita dan merembes ke dalam keyakinan kita. Seperti para filsuf Stoisisme, Dodaeche percaya bahwa pengendalian perasaan dan pikiran serta bersikap masa bodoh atau indifference adalah kunci kebahagiaan.

Meskipun demikian, cara penyampaian Dodaeche relatif lebih memberontak dan lebih bernuansa provokatif jika dibandingkan dengan para filsuf Yunani dan Romawi kuno tersebut. Dan, buku ini lebih pantas diberi judul “Malas Itu Perlu: Berbahagia Tanpa Susah Payah”.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Wacana

Go to Top