JELAJAH LITERASI

Sirah Muhammad: Menjawab Tuduhan Orientalis dan Menemukan Nabi yang Penuh Kasih

in Wacana by

Penerbit Mizan menerbitkan edisi terjemahan baru Hayat Muhammad, karya legendaris Muhammad Husain Haikal. Terjemahan baru ini terasa lebih lincah dengan langgam bahasa terjemahan yang lebih bisa diterima pembaca saat ini.

Sirah termasuk genre buku biografi, yaitu tentang perjalanan hidup seseorang—biasanya dari lahir hingga wafat. Kata sirah yang secara etimologis berarti ‘perjalanan’ kerap digunakan secara khusus untuk buku-buku biografi para nabi.

Biografi kemudian bisa dikatakan sebagai buku sejarah yang dipersonalisasi. Dengan kata lain, biografi adalah sejarah yang dibaca dengan kacamata personal.

Selain bersifat lebih personal, sebuah buku biografi tentulah sebuah ringkasan dari sebuah kehidupan seseorang yang panjang. Keringkasan itu mau tidak mau mengakibatkan penyederhanaan, pemadatan, dan tidak jarang di sana-sini penghilangan. Penghilangan bisa terjadi disengaja atau tidak disengaja akibat keterbatasan atau intensi tertentu.

Selain itu, aspek penting dalam penulisan sirah adalah soal komposisi fragmen-fragmen di dalamnya. Seorang penulis sirah bisa jadi memberi fragmen tertentu porsi yang lebih besar daripada fragmen lain, sehingga fragmen itu tampak menonjol. Lalu, ia memberi fragmen lain porsi kecil sehingga fragmen itu tampak hanya sisipan, padahal mungkin fragmen itu bagi penulis lain sangat penting.

Oleh karena itu, komposisi mempengaruhi citra sang sosok yang dituliskan. Boleh jadi citra yang ditampilkan itu relatif dekat dengan karakter sebenarnya sang sosok, tetapi boleh jadi tidak tepat atau malah mendistorsinya.

Selain soal komposisi, aspek penting lain adalah bagaimana penulis sirah menjalin fragmen-fragmen yang ada menjadi sebuah cerita yang bukan hanya masuk akal dan faktual-historis tapi juga memikat hati pembaca, memantik sisi humanis pembaca.

Hal-hal itulah yang bisa kita jumpai dalam Hayat Muhammad (1935) karya legendaris penulis, jurnalis, cum politisi Mesir, Muhammad Husain Haikal (1888-1956). Menteri Pendidikan Mesir pada 1940 dan 1944 ini mampu menceritakan peristiwa demi peristiwa, momen demi momen, dari kehidupan Nabi dengan mengalir. Gaya penulisan bertutur ini berbeda dengan, misalnya, Sirah Nabawiyah (2001) karya ulama Suriah Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy atau Ar-Rahiq Al-Makhtum (1976), sirah karya ulama India Safiur Rahman Mubarakpuri. Dua sirah terakhir lebih menekankan pada konten. Separuh konten sirah Al-Buthy bahkan berisi penjelasan (syarah) dan kajian yurisprudensi (fiqh).

Selain menulis dengan bercerita, Haikal juga menopang sirah-nya dengan argumentasi yang tak jarang polemis. Ini bisa dipahami karena Hayat Muhammad ditulis ketika dunia Muslim tengah menghadapi kolonialisme Barat. Dari sisi semangat zaman, Haikal memiliki spirit melawan tuduhan-tuduhan tendensius para orientalis yang mendiskreditkan Nabi dan mendistorsi perjalanan hidupnya. Saat menulis pengantar untuk edisi bahasa Indonesia (Sejarah Hidup Muhammad—1973) yang diterjemahkan oleh Ali Audah, Hamka menyatakan sirah Haikal memberi generasi muda Muslim tameng untuk menghadapi serangan-serangan para orientalis terhadap riwayat hidup Nabi.

Di Indonesia, Hayat Muhammad telah diterbitkan oleh sejumlah penerbit, antara lain Litera Antarnusa dan Pustaka Jaya. Pada November 2021, Penerbit Mizan menghadirkan edisi terjemahan baru dari Hayat Muhammad dengan judul Sirah Muhammad. Rashid Satari menerjemahkannya dari edisi bahasa Arab dengan merujuk kepada edisi bahasa Inggris The Life of Muhammad (1976) yang diterjemahkan cendekiawan kenamaan asal Palestina, Ismail Raji Al-Faruqi. Jika dibandingkan dengan terjemahan Ali Audah dengan gaya bahasa lamanya, terjemahan Mizan ini terasa lebih lincah dan langgam bahasa penerjemahannya lebih bisa diterima pembaca saat ini.

Seperti telah disebutkan—bahwa penulisan sirah tak terhindarkan dari penghilangan fragmen tertentu entah disengaja atau tidak, Haikal dalam Sirah Muhammad tampaknya mengabaikan satu fragmen penting dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad. Yakni, peristiwa yang dikenal dengan sebutan Ghadir Khum, saat Nabi memberi wasiat terakhir kepada umatnya terkait kepemimpinan setelahnya. Peristiwa ini diabadikan dalam sejumlah hadis yang mutawatir (strata periwayatan hadis paling tinggi). Membaca Sirah Nabi Muhammad (2011) karya cendekiawan Muslim Indonesia, Muhammad Quraish Shihab, juga memasukkan peristiwa tersebut.

Bagaimanapun, meringkaskan sekitar 63 tahun masa kehidupan Nabi Muhammad hanya dalam ratusan halaman pastilah pekerjaan yang sangat sulit, jika bukan nyaris mustahil. Kemusykilan itu bukan hanya menyangkut sumber-sumber historis yang ditulis ratusan tahun setelah Sang Nabi wafat. Lebih daripada itu, problemnya juga adalah bagaimana memperlakukan sumber-sumber tersebut sebagai elemen-elemen yang menyusun cerita biografis tentang Sang Nabi.

Perlakuan sang penulis selalu melibatkan faktor-faktor intrinsik penulisan, misalnya kelengkapan sumber, gaya penulisan, metode penulisan, dan keluasan wawasan penulis. Di dalamnya juga ada faktor-faktor ekstrinsik yang berpengaruh, misalnya paradigma, tendensi politik, corak mazhab, personalitas (termasuk intensi dan motivasi) pengarang, dan milieu sosial (termasuk zeigeist atau semangat zaman).

Dengan mempertimbangkan hal-hal semacam itu, setiap sirah memiliki karakter yang unik, betapa pun sang tokoh yang ditampilkan sama dan satu juga: Nabi Muhammad Saw.

Beberapa sirah lebih menekankan Muhammad sebagai nabi dan rasul Tuhan yang bersifat maksum (terlindungi dari dosa dan maksiat), terbimbing wahyu, dan tidak pernah memperturutkan hawa nafsu (QS 53: 4) dalam segala situasi dan keadaan, dari lahir hingga wafat. Hanya dengan kondisi dan kualitas seperti itulah Nabi layak menjadi teladan terbaik bagi umatnya.

Beberapa sirah memandang Nabi secara berbeda. Nabi hanya maksum dalam hal akidah dan ibadah, tetapi tidak maksum dalam hal-hal di luar itu. Nabi bisa juga melakukan kesalahan tetapi begitu terjadi, segera ditegur dan dibetulkan oleh Tuhan sendiri. Mereka sering mengutip perkataan yang dinisbatkan kepada Nabi: engkau lebih tahu menyangkut urusan dunia kalian—dikaitkan dengan kesalahan saran Nabi kepada seorang sahabat soal tata cara bertanam kurma.

Ada juga beberapa sirah yang menempatkan Nabi lebih terutama sebagai seorang manusia “biasa” dengan segala potensi, kemungkinan, dan tabiat alaminya. Nabi hanya mendapatkan informasi spiritual (wahyu) ketika berdialektika dengan problem dan tantangan dakwah yang dihadapinya. Wahyu di sini lebih dilihat sebagai semacam inspirasi atau ilham, yang juga bisa dialami oleh manusia biasa, tetapi dengan kualitas yang lebih tinggi. Nabi di sini dilihat dari sisi humanistis sepenuhnya. Terkadang Nabi melakukan kesalahan, bertobat, dibetulkan oleh sahabat, silap lidah—pendeknya, kesalahan-kesalahan manusiawi yang lumrah dilakukan manusia pada umumnya.

Ada juga jenis sirah yang menempatkan Nabi bukan hanya sebagai manusia biasa, tetapi sebagai manusia yang penuh kesalahan dan berbahaya. Jenis seperti ini ditulis oleh kalangan islamofobia, yang dimulai sejak Abad Pertengahan dan masih bersisa hingga kini. Islamofobia memang berusaha menampilkan Nabi sebagai berwajah monster. Jenis yang ini jelas tidak akan dapat diterima oleh kalangan Muslim dan orang-orang yang berpikiran waras.

Pelbagai macam perbedaan sirah itu muncul sekurang-kurangnya karena beberapa faktor berikut. Perbedaan sumber rujukan bakal menghasilkan jenis sirah berbeda. Apabila sumbernya sama, masih terbuka kemungkinan bagi terjadinya perbedaan penafsiran. Penulis sirah juga, sadar atau tidak, bersikap selektif atas sumber sejarah: menerima yang ini dan menolak yang itu, karena preferensi tertentu. Terhadap sumber sejarah yang sama, penulis-penulis sirah dapat berbeda pandangan dan perlakuan terhadapnya.

Sirah Muhammad karya Haikal ini termasuk jenis sirah global, yang mencakup peristiwa-peristiwa penting dalam kurun waktu sejak lahir—bahkan pra-lahir—hingga wafatnya Nabi. Ada pula sirah dalam tinjauan aspek-aspek tertentu dari biografi Nabi, misalnya maghâzi (aspek militer), dalâ’il (aspek kemukjizatan), syamâ’il (aspek fisikal), dan khashâ’ish (aspek keistimewaan/keunikan), dan aspek-aspek politik, manajemen, ekonomi, dakwah, pergerakan (haraki), pendidikan, kenegaraan, hukum, sosial, sufistik, dan lain-lain.

Pelbagai jenis sirah itu bersifat saling melengkapi demi mendapatkan gambaran yang lebih detail dan utuh tentang sejarah hidup Nabi, meskipun kadar keutuhan yang sempurna itu tentu mustahil dicapai. Di atas semua itu, perbedaan paradigma di kalangan para penulis terhadap hakikat, peran, dan kedudukan Nabi bakal berujung pada perbedaan sirah yang dihasilkan.

Guna memeriksa validitas suatu sirah, orang sekurang-kurangnya mesti memegang paradigma terpenting, yakni bahwa Nabi bersifat maksum dan selalu dibimbing wahyu (QS 53: 4), berakhlak agung dan mulia (QS 68: 4), dan berorientasi rahmat (kasih sayang) kepada seluruh alam semesta (QS 107: 21).

Di samping itu, mengingat perbedaan dan keragaman sumber sejarah, orang mesti menggunakan pendekatan historiografis secara ilmiah untuk mengonfirmasi kesahihan data sejarah. Dengan upaya itu, kita berharap dapat menemukan wajah Nabi yang penuh kasih sayang dan berakhlak mulia dalam kitab-kitab sirah Nabi, dan bukan wajah yang keras dan kasar.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Wacana

Go to Top