JELAJAH LITERASI

“Saring sebelum Sharing”: Agar tak Dangkal dalam Beragama

in Wacana by

Media sosial menjadi lahan penyebaran pemahaman dangkal terhadap ajaran Islam. Dalam Saring sebelum Sharing, Nadirsyah Hosen mencoba menghadirkan narasi tanding: kedalaman yang disajikan secara simpel dan mudah dimengerti.

MEDIA sosial ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia diklaim menghadirkan demokratisasi media – ketika yang tak bisa bersuara mendapatkan megafon. Tapi, di sisi lain, media sosial membuka kotak pandora. Hoaks dan informasi palsu menyebar dalam kecepatan kuantum: viral!

Lewat media sosial pula, obsesi memurnikan ajaran agama – yang di antaranya dirasuki kebencian dan intoleransi – seakan mendapatkan panggung. Penggalan-penggalan teks suci disebarkan tanpa konteks dengan tujuan menghakimi dan bahkan memprovokasi kebencian terhadap pemahaman keberagamaan orang lain.

Mengapa ironi di atas bisa terjadi?

Puritanisme membutuhkan kedangkalan karena menolak keberagaman (yang meniscayakan keluasan dan kedalaman). Ia terobsesi hidup di luar dimensi ruang dan waktu: agar yang “asli” bisa langgeng tanpa “noda”; tanpa “corak”. Ia karenanya membutuhkan disrupsi atas ruang-waktu: kecepatan dan keseragaman.

Jadi, kedangkalan membutuhkan kecepatan dan keseragaman, dan media sosial menyediakan keduanya.

Sebuah situs web satire Science Post pernah mempos satu tulisan yang isinya cuma “lorem ipsum”. Tulisan itu lalu diberi judul provokatif: “Study: 70% of Facebook users only read the headline of science stories before commenting”.1“Study: 70% of Facebook users only read the headline of science stories before commenting”. 5 Maret 2018. The Science Post. Mengejutkan! Artikel itu langsung disebar oleh 46.000 orang.

Science Post berhasil membuktikan lebih lanjut sebuah studi oleh ahli komputer dari Colombia University bahwa 59 persen link yang disebarkan di media sosial tak pernah benar-benar diklik, apalagi dibaca.2Caitlin Dewey. “6 in 10 of you will share this link without reading it, a new, depressing study says”. 16 Juni 2016. The Washington Post. Itu artinya, sebagian besar orang cuma doyan bermain jari daripada berpikir: hanya menyebarkan (share, retweet) tanpa membaca.

Studi juga menyimpulkan bahwa “festival” sebar-menyebar tanpa membaca itulah yang membentuk pesan dominan di media sosial – atau yang biasa disebut “viral”. Itu berarti retweet dan share tanpa pikir itulah yang membentuk budaya kita saat ini.

Kemudian, algoritma media sosial, seperti Facebook dan Twitter, “menyensor” pilihan informasi sesuai kebiasaan dan kesukaan penggunanya. Para gatekeeper informasi (jurnalis dan editor di media warisan Guttenberg) yang kerap dicibir doyan “framing” itu pun kini digantikan oleh mesin ciptaan Mark Zuckerberg dan Jack Dorsey sebagai editor-in-chief konten global.

Aksi “sensor” ini juga ditambah dengan kecenderungan pengguna media sosial memblok twit atau post dari pengguna lain yang tak disukai. Benarlah kata sastrawan Chile, Roberto Bolano: “people see what they want to see and what people want to see never has anything to do with the truth.”

Alhasil, di media sosial, tak ada logika diskursif dalam keberagaman opini seperti yang dibayangkan Socrates atau Hegel. Yang terjadi hanyalah “debat kusir” atau “ngerumpi” dalam komunitas-komunitas yang terisolasi satu sama lain.

Di tengah badai informasi media sosial yang berkarakter seperti itu, Nadirsyah Hosen mencoba mendayung. Tesis Gus Nadir – demikian dia biasa disapa – kira-kira seperti ini: alih-alih menghindari media sosial, adalah lebih baik jika para kiai, ulama, dan santri yang memiliki kedalaman ilmu terjun ke media sosial dan menjelaskan berbagai isu secara tidak jelimet dan dalam bahasa yang mudah dipahami.

Rois Syuriah Pegurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama itu telah mengawalinya lewat sejumlah buku, seperti Tafsir al-Quran di Medsos dan Saring sebelum Sharing.

Dalam Saring sebelum Sharing, Nadirsyah membahas sejumlah isu. Sebenarnya isu-isu itu bisa dikatakan cukup pelik dalam tradisi keilmuan Islam. Tadi, dia berhasil menyajikannya secara simpel tanpa mengurangi kedalamannya. Di antara yang dibahas adalah isu-isu yang sempat viral di media sosial.

  • Judul Buku: Saring Sebelum Sharing
  • Penulis: Nadirsyah Hosen
  • Penerbit: PT Bentang Pustaka
  • Tahun Terbit: Februari 2019
  • Tebal: 326 halaman + xv

Kelompok puritan memiliki slogan seperti “kembali kepada al-Quran dan hadis”. Slogan ini – dan yang sejenisnya – mengisyaratkan penolakan mereka terhadap sejarah peradaban Islam yang telah ditulis dengan etos keilmuan para imam dan ulama.

Nadirsyah, dalam Saring sebelum Sharing, menunjukkan kemuskilan semangat pemurnian itu. Bahkan, keberadaan al-Quran dan hadis itu sendiri justru meniscayakan kemuskilan tersebut.

Hadis – ucapan, tindakan, dan persetujuan Nabi Muhammad – bukanlah produk “siap pakai”. Para imam dan ulama sangat berhati-hati memperlakukan hadis karena ia dikodifikasi ratusan tahun setelah Nabi wafat. Dalam perjalanan sejarah, kita tahu, studi terhadap hadis melahirkan disiplin-disiplin ilmu yang berfungsi sebagai alat untuk menilai autentisitas hadis dan memahami isinya.

Menurut paparan Nadirsyah, sebuah hadis setidaknya harus melalui beberapa tahapan sebelum bisa diamalkan dan diajarkan. Tahapan itu antara lain: (1) bagaimana mengetahui rantai periwayatannya bersambung hingga Nabi; (2) bagaimana mengetahui perawi-perawinya kredibel; (3) bagaimana memahami isinya, terutama jika dirasa bertentangan dengan hadis lain atau bahkan dengan al-Quran.

Demikian pula dengan al-Quran. Menurut Nadirsyah, setiap umat memang bisa membaca, mempelajari, dan menikmati keindahan isi al-Quran. Tapi pada saat yang sama, tak setiap orang bisa mengajarkan, menafsirkan, dan apalagi menggali hukum dari Kitab Suci itu. Hanya orang dengan kualifikasi tertentu yang bisa melakukan semua itu karena penafsiran al-Quran dan penggalian hukum darinya membutuhkan penguasaan seperangkat ilmu.

Kelompok puritan, menurut Nadirsyah, sebenarnya menyadari bahwa memahami al-Quran dan hadis meniscayakan otoritas keilmuan. Tapi, mereka menganggap bahwa hanya ulama dari kalangan merekalah – dan bukan prinsip-prinsip keilmuan Islam – yang harus diikuti.

“Salafi mendobrak dominasi mazhab dan, diakui atau tidak, telah menciptakan mazhab baru. Bedanya, kalau yang lain menganggap Muslim yang mengikuti salah satu mazhab itu masih dianggap benar, Salafi menganggap mereka yang mengikuti mazhab selain mazhab Salafi sendiri itu pasti salah.”

Saring sebelum Sharing memuat sekitar 70 artikel yang berdiri sendiri. Artinya, kita bisa mulai membaca dari mana saja sesuai ketertarikan kita pada tema tertentu. Artikel juga ditulis singkat, sehingga cukup dibaca 4-5 menit. Karena tiap artikel berdiri sendiri, pengulangan pembahasan tertentu di beberapa artikel tampak tak bisa dihindari.

Dalam buku ini, Nadirsyah antara lain memverifikasi dan menganalisis beberapa hadis kontroversial yang pernah diviralkan. Di antaranya adalah hadis tentang bendera dan panji Nabi yang diklaim sebagai “bendera tauhid” serta identik dengan milik ISIS dan Hizbut Tahrir Indonesia; hadis tentang sikap-sikap Nabi terhadap non-Muslim; dan hadis tentang riba.

Ada lagi pembahasan tentang hadis-hadis terkait ibadah yang sepintas remeh temeh tapi dijadikan perdebatan tak berkesudahan oleh sebagian orang, seperti perbedaan bacaan dalam salat, niat salat, atau bahkan cara duduk di masjid. Ayat al-Quran juga dibahas, antara lain yang terkait dengan pernyataan viral seorang “penceramah gaul” bahwa Nabi pernah sesat sebelum menerima wahyu.

Meskipun artikel-artikel dalam buku ini ditulis pendek-pendek, Nadirsyah menyertakan rujukan kepada sumber-sumber otoritatif klasik Islam. Para ulama penulisnya tentu saja mendasarkan pendapat mereka kepada al-Quran dan hadis.

Dalam Saring sebelum Sharing, Nadirsyah ingin menunjukkan bahwa pembahasan yang dalam bisa juga disampaikan secara simpel dan tidak jelimet.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Wacana

Go to Top