JELAJAH LITERASI

Yang Diabaikan dari Krisis Nuklir Iran

in Wacana by

Dalam Manufactured Crisis, jurnalis kawakan Gareth Porter mengungkap lapis demi lapis kebohongan propaganda anti-program nuklir Iran.

HARI-HARI ini Iran kembali menjadi buah bibir di headline media. Pembunuhan atas Qassem Soleimani, seorang jenderal ikonik Iran oleh serangan drone Amerika Serikat, memicu serangkaian krisis: serangan balasan Iran ke pangkalan militer AS di Irak; resolusi parlemen Irak meminta penarikan mundur pasukan asing; dan tertembak jatuhnya pesawat sipil Ukraina oleh rudal pertahanan udara Iran.

Namun, krisis yang bisa dibilang paling mencemaskan adalah potensi kehancuran kesepakatan nuklir Iran dengan P5+1 (lima negara anggota tetap DK PBB dan Jerman – sebelum AS secara sepihak keluar dari kesepakatan) yang disebut dengan JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action). Tiga negara Eropa (Perancis, Inggris, dan Jerman) dilaporkan berencana mengaktifkan mekanisme sengketa dalam JCPOA – sinyal bahwa, menurut mereka, Iran telah melanggar JCPOA. Ironisnya, sebagaimana dilaporkan The Washington Post, langkah mereka dipicu oleh Presiden AS Donald Trump yang mengancam akan menaikkan tarif impor mobil Eropa hingga 25 persen. Sebagai respons, Iran mengancam akan keluar dari Traktat Non-Proliferasi Nuklir atau NPT.

Sebuah perkembangan yang tidak menguntungkan bagi perdamaian dunia.

Di tengah potensi krisis itu – dan juga berita demi berita tentangnya yang tak henti berseliweran – mungkin ada baiknya kita mengulas Manufactured Crisis: The Untold Story of the Iran Nuclear Scare. Buku ini karya Gareth Porter, seorang jurnalis investigatif pemenang penghargaan asal AS.

  • Judul Buku: Manufactured Crisis: The Untold Story of the Iran Nuclear Scare
  • Penulis: Gareth Porter
  • Penerbit: Just World Books
  • Tahun: 2014
  • Tebal: 312 halaman

Porter dikenal lewat karya-karya yang membongkar sejumlah skandal invasi dan kebijakan luar negeri negaranya di Vietnam, Kamboja, Afghanistan, dan Pakistan. Untuk dedikasi ini, dia pernah diganjar penghargaan Martha Gellhorn Prize for Journalism pada 2012.

Martha Gellhorn Prize adalah salah satu penghargaan ternama bagi jurnalis. Ia diberikan untuk mengenang Martha Gellhorn (1908-1998), seorang wartawan perang dan novelis AS. Sejumlah jurnalis investigatif yang pernah memperoleh penghargaan ini antara lain Robert Fisk (The Independent), Patrick Cockburn (The Independent), dan Ian Cobain (The Guardian).

Sejak 2006, Porter secara khusus menyelidiki kisah di balik kehebohan program nuklir Iran. Hasil reportase, investigasi, dan analisisnya terbit antara lain di Inter Press Service (tempat ia bekerja hingga 2014), Foreign Policy, Al-Jazeera, The Nation, dan The Huffington Post. Manufactured Crisis tampaknya adalah buku Porter pertama terkait Iran. Kabarnya, buku keduanya tentang Iran, The CIA Insider’s Guide to the Iran Crisis: From CIA Coup to the Brink of War, bakal terbit pada Februari 2020.

***

DALAM budaya berbahasa Inggris, ada ungkapan “conventional wisdom”. Ini didefinisikan sebagai ide atau penjelasan yang diterima sebagai kebenaran oleh publik atau para ahli, bahkan meskipun ia secara fundamental tidak benar.

Sulit menemukan padanan ungkapan itu dalam bahasa Indonesia. Apakah “kebijaksanaan konvensional” atau “kebijaksanaan umum”? Sebab, jika ternyata tidak benar dan terus diyakini sebagai kebenaran – bukankah tak pantas jika ia disebut “kebijaksanaan”? Justru, dalam konteks ini, pernyataan Menteri Propaganda Nazi, Joseph Goebbels, “Ulangi kebohongan sesering mungkin, maka ia menjadi kebenaran,” akan lebih tepat untuk menggambarkan ungkapan tersebut.

Nah, conventional wisdom seputar kehebohan nuklir Iran inilah yang dilawan dan bahkan dibongkar Porter dalam Manufactured Crisis. Conventional wisdom – yang terus berkembang menjadi sekokoh keyakinan – terkait nuklir Iran adalah bahwa negeri Persia itu memang mengembangkan senjata nuklir. Menurut Porter, ‘keyakinan’ semacam itu muncul di satu sisi karena ketidakmampuan – atau ketidakmauan – Barat melihat sistem politik Iran. Fatwa Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei, telah menyatakan bahwa pengembangan senjata pemusnah massal, seperti senjata biologi, kimia, dan nuklir adalah haram. Dan, bagi Porter, fatwa Khamenei “berurat akar” dalam sistem politik Iran.

Di sisi lain, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) – pengawas non-proliferasi nuklir PBB – dalam serangkaian laporannya memastikan bahwa Iran mematuhi setiap aturan pengawasan, dan bahkan aturan paling ketat sekalipun yang pernah diberlakukan IAEA pada suatu negara. Memang muncul informasi bahwa Iran telah melanggar kewajibannya kepada IAEA. Tapi, berdasarkan temuan IAEA, ternyata itu cuma masalah pencatatan, yang tidak lebih serius daripada masalah sejumlah negara anggota IAEA lainnya. Ada pula kabar bahwa Iran tidak mengumumkan keberadaan fasilitas pengayaan di Natanz. Padahal, menurut aturan IAEA, fasilitas tersebut belum waktunya diumumkan karena tahapannya masih sangat awal.

Bahkan, komunitas intelijen AS dalam National Intelligence Estimate pada 2007 menyimpulkan bahwa Iran telah menghentikan “semua pekerjaan terkait pengembangan senjata nuklir” pada 2003. Sebuah penilaian yang di satu sisi ambigu dalam penggunaan istilah tapi di sisi lain menunjukkan bahwa – setidaknya sejak 2003 – tidak ada program senjata nuklir Iran. Yang ada hanya program energi dan penelitian nuklir.

Menurut Porter, penilaian intelijen AS tersebut sebagian besarnya didasarkan pada penyadapan elektronik. Porter juga menemukan bahwa satu-satunya bukti bahwa Iran pernah pada suatu masa berniat memproduksi bom atom datang dari dokumen palsu, baik yang dikirim langsung oleh Israel ke IAEA atau secara tidak langsung oleh Israel melalui Mujahideen-e Khalq (MEK), kelompok pemberontak Iran yang pernah masuk dalam daftar teroris versi AS tapi kemudian dikeluarkan dari daftar itu pada 2012.

Di sini, Porter mengungkap bahwa ada kekuatan politik utama yang tak lelah mempromosikan ‘keyakinan’ bahwa Iran berambisi memproduksi senjata nuklir. Kekuatan itu adalah pemerintah Israel dan sekutu mereka di AS, yakni kekuatan neokonservatif.

Conventional wisdom itu juga mempengaruhi perspektif pers. Media lebih tertarik memberitakan “program rahasia senjata nuklir” Iran ketimbang melihat fakta bahwa program itu bekerja dalam koridor NPT dan dalam pengawasan IAEA. Dan seiring perjalanan waktu, kebiasaan menyebut “program rahasia senjata nuklir” Iran telah menjadi semakin kuat sekokoh iman – sebuah kebohongan yang diulang sesering mungkin.

Bagi Porter, kondisi tersebut memiliki implikasi besar bagi kebijakan AS terhadap Iran dan program nuklirnya. Keyakinan bahwa Iran benar-benar bertekad untuk memperoleh senjata nuklir menjadi pertimbangan utama dalam setiap negosiasi dengan Tehran. Dan negosiasi itu selalu bertujuan menghalangi hak Iran sebagai anggota NPT untuk mengembangkan energi nuklir.

Jika conventional wisdom tanpa dasar kebenaran itu bisa diubah, Porter meyakini akan ada pendekatan yang berbeda: pendekatan yang tidak berisiko kehilangan peluang untuk meningkatkan hubungan AS dengan Iran. Di sini, Manufactured Crisis berkontribusi penting bagi para pengambil kebijakan luar negeri di Washington.

Dalam buku ini, Porter menunjukkan ketelitian luar biasa dalam mengolah laporan IAEA – gaya investigasi jurnalistik kuno yang bagus tapi sayangnya sudah banyak diabaikan media saat ini. Porter melengkapinya dengan wawancara sejumlah eks pejabat kunci Iran, AS, Israel, dan IAEA. Lalu, dia mengombinasikannya dengan bocoran tersohor kabel diplomatik oleh Wikileaks terkait topik ini.

Tapi, tentu saja tak ada gading yang tak retak. Porter terlalu percaya diri ketika berkesimpulan bahwa seluruh birokrasi keamanan nasional AS dan seluruh komponen politik di Washington pasti tunduk dengan lobi Israel, dan pada gilirannya akan menggiring Abang Sam ke dalam palagan dengan Iran.

Di sini, Porter terbukti salah. Presiden Barack Obama – terlepas dari catatan buruknya dalam mewujudkan sejumlah janji politik – ternyata mampu melahirkan JCPOA, sebuah kesepakatan yang pada saat itu dianggap terobosan untuk mengakhiri kebuntuan. Bahkan, JCPOA dilaporkan membuat hubungan Obama dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegang.

Bagaimanapun, ‘kesalahan’ asumsi Porter hingga batas tertentu wajar. Buku itu terbit pada 2014 atau satu tahun sebelum JCPOA diteken Iran dan P5+1 pada 2015. Dan kita juga tahu, Trump kemudian secara sepihak menarik AS dari kesepakatan itu pada 2018. Kita juga tahu negara-negara Eropa yang terlibat dalam JCPOA tak pernah memenuhi janji mereka: membuka akses perdagangan dengan Iran.

Karena itu, akan menarik membaca bagaimana Porter membahas perkembangan isu tersebut dalam buku barunya: The CIA Insider’s Guide to the Iran Crisis: From CIA Coup to the Brink of War. Terlebih buku ini dia tulis bersama John Kiriakou, eks pejabat senior CIA yang terkenal karena menjadi whistleblower dalam skandal program penyiksaan CIA.

Manufactured Crisis sangat layak menjadi rujukan dan bacaan para pengamat kebijakan luar negeri, termasuk pengamat persoalan Timur Tengah, mahasiswa, dan khalayak umum. Memang terdapat kerumitan, terutama ketika memasuki istilah-istilah teknis dan hukum non-proliferasi nuklir. Tapi, secara keseluruhan buku ini enak dibaca. Sayang memang, buku ini tampaknya belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Wacana

Go to Top