JELAJAH LITERASI

SEMES7A: Inspiratif, Memikat, dan Baik-baik Saja

in Film by

Film dokumenter inspiratif dengan gambar-gambar memikat. Tapi, Semesta seolah menyembunyikan aktor yang justru mempercepat perubahan iklim.

ORANG berbondong menuju pantai. Sesajen dipersembahkan. Air suci dipercikkan. Sembah dihaturkan. Doa dipanjatkan. Ritual Melasti atau penyucian diri di Ubud, Bali, mengawali Semesta, film dokumenter yang akan tayang di sejumlah bioskop utama mulai 30 Januari 2020.

Dari Ubud, penonton diajak ke Dusun Sungai Utik di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Lalu berturut ke Desa Bea Muring, Flores, Nusa Tenggara Timur; Kampung Folley, Raja Ampat, Papua Barat; Gampong Pameu, Aceh Tengah; Imogiri, Yogyakarta; dan Situ Gintung, Tangerang Selatan. Tujuh orang — atau lebih tepatnya tujuh komunitas — di tujuh provinsi itu punya cara hidup yang berperan dalam memperlambat perubahan iklim, atau seperti disebut oleh tagline film “mereka yang merawat Indonesia”.

  • Judul Film: Semesta
  • Sutradara: Chairun Nissa
  • Produser: Nicholas Saputra, Mandy Marahimin
  • Penulis: Cory Rogers
  • Produksi: Tanakhir Films

Nicholas Saputra dan Mandy Marahimin mengawangi produksi film ini lewat perusahaan yang mereka dirikan: Tanakhir Films. Nicholas tampaknya tak perlu saya jelaskan lagi. Mandy pun sebenarnya bukan orang baru di dunia film. Dia kerap berada di balik produksi sejumlah film, sebut saja misalnya 3 Hari Untuk Selamanya (2007), Keluarga Cemara (2018), dan Bebas (2019). Tapi, Semesta sepertinya produksi dokumenter pertama, baik bagi Nicholas maupun Mandy.

Berbeda dengan dua produsernya, sang sutradara Chairun Nissa cukup lama menggeluti dokumenter. Dua karya pertamanya, Purnama di Pesisir (2009) dan Payung Hitam (2011) memperoleh kesempatan diputar di beberapa festival film internasional.

Tujuh tokoh yang ditampilkan dalam Semesta (Tjokorda Raka Kerthyasa, Agustinus Pius Inam, Romo Marcelus Hasan, Almina Kacili, Muhammad Yusuf, Iskandar Woworuntu, dan Soraya Cassandra) sudah sering diulas di koran, majalah, dan situs berita. Peran mereka dalam merawat lingkungan bisa dibilang sudah diakui. Semesta kini mengangkat mereka ke level baru: level visual — tentu dengan harapan ketujuh orang itu bisa menginspirasi lebih banyak orang Indonesia (yang kebetulan menurut sejumlah survei kurang suka membaca).

Apalagi Semesta memperoleh jatah tayang di layar bioskop-bioskop utama. Ini fenomena yang menggembirakan. Karya dokumenter memasuki arus utama; tak lagi dianggap ‘sinema pinggiran’ yang cuma bisa ditonton di teve atau YouTube. Bagi pekerja dokumenter, ini tentu penghargaan dan peluang menjanjikan.

Di pekan ini saja, selain Semesta, kita bisa menyaksikan Nyanyian Akar Rumput, dokumenter karya Yuda Kurniawan tentang penyair cum aktivis buruh Wiji Thukul. Nyanyian Akar Rumput adalah pemenang Piala Citra dalam Festival Film Indonesia 2018 sementara Semesta nominasinya. Satu nominasi lain adalah Lakardowo Mencari Keadilan garapan Linda Nursanti tentang perjuangan warga Lakardowo, Mojokerto, dalam melawan pencemaran lingkungan oleh sebuah korporasi.

Kembali ke Semesta. Lantas, apa yang menghubungkan ketujuh kisah dan tempat itu dengan perubahan iklim?

Salah satu perbedaan dokumenter dan fiksi adalah fakta. Cerita memang roh setiap sinema, baik itu dokumenter maupun fiksi. Tapi, sineas dokumenter punya tugas lain yang sama  pentingnya: bagaimana meramu cerita dengan fakta yang akurat — dan ini tak semudah kedengarannya.

Dalam hal ini, Semesta bisa dikatakan cukup berhasil. Penulis Cory Rogers mampu menyajikan konteks yang menghubungkan kisah kearifan lokal dengan problem global perubahan iklim. Ini juga berkat hasil riset Hertasning Ichlas, seorang jurnalis dan peneliti.

Setelah menyaksikan Semesta, kita bisa tahu bahwa perubahan iklim bukan cuma soal cuaca. Sebab dan akibatnya bisa berdampak ke mana-mana.

Ia bisa mengurangi secara signifikan jumlah ikan dan biota laut karena suhu air laut meningkat. Penebangan liar — yang mengurangi tutupan hutan sebagai penyimpan utama karbon — bisa membuat masyarakat adat kehilangan sumber kehidupan: air, makanan, dan obat-obatan. Luas hutan yang terus menciut juga merampas habitat hewan tertentu, seperti gajah Sumatera yang statusnya kini sudah sangat kritis.

Dengan cara masing-masing — dan ketika banyak orang masih doyan menyumbang emisi karbon — ketujuh komunitas itu justru berperan mengurangi emisi karbon. Tradisi ritual Nyepi yang dirawat Tjokorda — dan tentu saja warga Bali pada umumnya — bisa mengurangi sepertiga emisi harian. Tradisi Sasi (larangan menangkap apa pun di suatu daerah dan dalam periode tertentu) di Raja Ampat memberi kesempatan ekosistem laut beregenerasi. Aturan adat Dayak Iban di Sungai Utik yang membatasi penebangan pohon oleh satu keluarga mampu melestarikan hutan sebagai sumber kehidupan mereka (meskipun dikatakan pohon-pohon mereka kini malah dijarah pembalak liar). Kearifan Yusuf, seorang imam kampung di Pameu mampu mengubah cara pandang warga dalam berinteraksi dengan gajah. Lalu, inisiatif Romo Marcelus membangun pembangkit listrik mikrohidro mampu mengakhiri ketergantungan warga kepada genset solar yang mencemari udara.

Mereka semua melakukan itu tanpa harus terlebih dahulu memahami apa itu perubahan iklim; apa itu emisi karbon; apa itu efek gas rumah kaca — istilah-istilah teknis yang hanya dipahami segelintir saintis, birokrat, dan aktivis LSM. Kearifan lokallah — tradisi, adat, dan budaya — yang memotivasi mereka.

Sebagian mereka memang kemudian mendapatkan justifikasi dari pemahaman atas agama. Film ini juga coba menekankan faktor agama. Tapi, saya melihat agama hanya faktor penguat dari tradisi, adat, dan budaya yang sudah berurat akar. Dalam kasus tertentu, agama dan tradisi atau adat malah sulit dipisahkan satu sama lain.

Berbeda dengan tradisi yang berkembang di lima komunitas di atas, saya melihat Iskandar di Imogiri dan Soraya di Situ Gintung justru berangkat dari pilihan. Seperti dikisahkan dalam film, keduanya mengalami semacam pencerahan. Lalu, mereka memilih hidup dalam modus yang tak biasa jika dibandingkan dengan warga urban pada umumnya: Iskandar dengan konsep permakultur dan “thayyib”; dan Soraya dengan hutan kota.

Tujuh kisah dalam Semesta mampu menginspirasi penonton, bukan hanya dari kata-kata tapi juga dari aksi nyata para ‘bintangnya’. Inilah salah satu kelebihan Semesta: mampu mengikat emosi dan pikiran penonton hingga akhir film — setidaknya itu yang saya rasakan.

Tak hanya itu, live dan still shot film ini sangat memikat. Kita disuguhi tubuh pria-pria Dayak Iban yang penuh tato (saya sampai bertanya-tanya bagaimana cara mereka merajah). Atau wajah mama-mama Papua yang penuh semangat meski hasil tangkapan mereka tak sesuai harapan. Jika anda mulai jenuh dengan wajah dan tubuh yang itu-itu saja di bioskop, Semesta bisa menjadi alternatif visual yang menyegarkan.

Tapi, sayangnya — dan saya harus menyatakan ini — Semesta seakan menyembunyikan aktor lain yang punya peran signifikan dalam perubahan iklim: mereka yang punya kuasa dan fulus (kapital). Ia seolah ingin menghindari pengisahan konflik — sesuatu yang menjadi “daging” dalam banyak dokumenter. Semesta ingin menjadi “baik-baik saja”.

Bumi kita jelas berubah, dan sebagian besarnya menuju kehancuran. Deforestasi terjadi. Emisi tak berkurang. Tapi, semua itu tak terjadi dengan sendirinya. Ada aktor penyebab; pelaku. Ironisnya, aktor pelaku ini lebih lebih cepat, lebih ganas, dan berdampak lebih luas dalam mempercepat perubahan iklim daripada yang bisa dicegah atau diperlambat oleh kearifan lokal tujuh komunitas yang diceritakan dalam Semesta — atau banyak komunitas lainnya seperti mereka.

Semesta, misalnya, menjelaskan bahwa pembangkit listrik mikrohidro yang diinisiasi Romo Marcelus di Bea Muring bisa menjadi model sumber energi terbarukan bagi jutaan masyarakat Indonesia yang belum menikmati listrik. Tapi, film ini lupa menyebut bahwa lebih daripada separuh pembangkit di Indonesia digerakkan oleh batubara, bahan bakar fosil yang diperkirakan bakal menyumbang 45 persen emisi karbon pada 2030.

Bagaimana pemerintah bisa punya ambisi mengurangi emisi karbon hingga 29 persen pada 2030 tapi masih asyik — dan bahkan kian bernafsu — dengan batubara? Atau bagaimana pemerintah menghentikan laju deforestasi ketika luas perkebunan sawit dan pertambangan semakin bertambah meskipun Presiden Joko Widodo telah menetapkan kebijakan moratorium izin pelepasan kawasan hutan?

Mungkin harapan saya kepada film ini terlalu berlebihan. Meskipun disponsori oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Semesta toh bisa dibilang menampar pemerintah dengan cara halus. Tujuh komunitas yang diceritakan berinisiatif tanpa bantuan pemerintah. Dalam cara tertentu, mereka juga sebenarnya menunjukkan bahwa perubahan iklim tak mesti — dan menurut saya tak perlu — diatasi dengan cara-cara rumit, elitis, dan gagah semacam perdagangan karbon. Cara-cara kecil dan sederhana yang mereka lakukan bisa berdampak besar dan luas jika pemerintah lewat kebijakan publik bisa mereplikasinya di banyak tempat.

Maka, berhentilah mengemis investasi dalam skema perdagangan karbon. Dan mulailah memperbanyak solusi sederhana yang berbasis kearifan lokal.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Film

Go to Top