JELAJAH LITERASI

Biadab

in Nukilan by

Cerpen Kamila Shamsie

Berikut ini adalah cerpen oleh Kamila Shamsie1. Dinukil dari Resist: Stories of Uprising2, cerpen ini berlatar peristiwa yang disebut Konspirasi Cato Street pada 1820 di Inggris, dan gerakan penghapusan perbudakan.

KECUALI kamu tahu apa yang kamu cari, kamu tak akan pernah menemukan sesuatu dalam dirinya. Bahkan aku, yang sudah mengetahui fakta-fakta, harus mengamatinya lekat-lekat pada malam itu, Hari Tahun Baru 1820, ketika ia tiba di Upper Seymour Street sebelum kuperhatikan sesuatu pada rambut dan bibir serta sedikit noda pada kulitnya. Bagaimanapun, dia tetap putra saudaraku—versi Robert yang sedikit lebih muda, lebih tinggi, ketika dia datang untuk menemuiku di dermaga saat salah satu kapal akan berlayar dan berkata ingin magang kepada dokter kapal, dan siap segera pergi. Itulah terakhir kali aku melihatnya—lebih daripada dua puluh tahun lalu.

Jelaslah sudah Inggris tak menyenangkan baginya, bagi anak lelaki itu, keponakanku, Charles. Tapi Inggris memang tidak menyenangkan bagi siapa pun di musim dingin itu, semuanya membeku, salju, dan muram. Kujelaskan padanya pada malam pertama syarat-syarat tinggal bersamaku: dia pewarisku, tetapi bukan putraku. Aku tak pernah memiliki keluarga sendiri, dan meskipun aku menyadari tanggung jawabku pada anak satu-satunya mendiang saudaraku, kuingin menjalani hidup dengan gangguan sesedikit mungkin. Dia boleh ke perpustakaanku, dan makan malam bersamaku, tapi selebihnya dia harus menemukan cara untuk menyibukkan diri selama beberapa bulan sampai berusia enam belas tahun, ketika akan kubeli penugasan militer untuknya3. Dia langsung setuju, mengucapkan terima kasih dengan sopan, dan bertanya apakah dia bisa menggeser kursi lebih dekat ke perapian. Musim dingin tak pernah seperti ini di Jamaika, katanya, dan kukatakan kepadanya musim dingin juga tak pernah seperti ini di Inggris.

“Bagaimana itu bisa terjadi, Sir?” Katanya, dan kuperhatikan dia tampaknya mengerti bahwa yang kumaksud bukan hanya cuaca.

Saat itu aku bisa saja menjelaskan kepadanya suasana aneh yang mencengkeram negeri ini, karena penjelasan terbaik yang kudengar, raja gila yang sakit di Windsor telah menginfeksi seluruh negeri. Tak akan terlalu lama, jika cerita-cerita itu bisa dipercaya, dan mungkin kemudian suasana gelisah ini, sesuatu yang mendekati revolusi—meskipun bukan itu, tolong Tuhan, jangan itu—akan berlalu. Tapi malam kian larut, dan api semakin redup, jadi kukatakan tidak pernah sedingin ini sebelumnya, dan kuantarkan dia ke kamarnya.

Antologi Cerpen Resist: Stories of Uprising (Comma Press, 2019)

Pekan demi pekan berlalu. Kehadirannya kian menyenangkan. Di pagi hari kami duduk bersama di dekat api, sambil perlahan-lahan membuka halaman-halaman The Times dan The Morning Chronicles, dan ia membaca pandangan Tory dan Whig4 tentang berbagai peristiwa di Inggris, dan menyimak komentar pamannya tentang kedua pandangan itu. Akan ada waktu membaca di perpustakaan setelah itu—dia memiliki selera khusus pada buku-buku sejarahku—dan kadangkala, sebelum atau sesudahnya, dia akan membungkus dirinya ke dalam lapis demi lapis pakaian—dia tampak benar-benar terkejut ketika aku mendatangkan penjahit sehingga aku bertanya-tanya apakah dia menyangka aku akan membiarkannya melewati musim dingin di Inggris hanya dengan mantel tua milik ayahnya—lalu menghilang sampai waktu makan malam. Aku tak pernah bertanya ke mana dia pergi. Aku tak suka dia tahu betapa aku mulai bertanya-tanya tentangnya dan peduli akan kehidupannya.

Yang sangat ingin kuketahui adalah apakah dia tahu siapa—atau apa—dia sebenarnya. Saudaraku pernah memberitahuku melalui sebuah surat yang pilu lalu segera diikuti oleh surat lain, yang memohon kepadaku untuk tidak pernah mengungkapkannya, bahkan tidak pernah mengingatnya jika mungkin melupakan hal seperti itu. “Masalahnya selesai. Dia akan dibesarkan sebagai anak Charlotte dan aku. Kami akan pergi dari sini ke tempat di mana tak ada seorang pun yang tahu bahwa ada hal lain dalam kisah ini. Charlotte mengatakan, sudah kehendak Tuhan bagi anak lelaki itu bahwa dia sepenuhnya terlihat seperti anakku, dan bukan anak orang lain.”

Aku menyarankan kami pergi bersama ke teater untuk menyaksikan Tuan Kean dalam Othello meskipun cuaca sangat dingin. Keingintahuanku bertanya-tanya apakah tanggapannya mungkin mengungkap sesuatu. Dia begitu saja setuju, dan duduk di sampingku sepanjang pementasan. Dia tampak menikmatinya dan bertepuk tangan layaknya seorang Inggris. Tapi saat kami meninggalkan teater, dia berkata, “Othello tak seperti yang kubayangkan ketika aku membaca drama itu.”

“Apa maksudmu?” Aku menduga dia akan mengatakan bahwa Tuan Kean berperan sebagai Othello yang berkulit lebih terang daripada yang pernah dimainkan sebelumnya.

“Kurang cerdas. Baginya, tidak ada yang lain selain gairah, dan kebiadaban.”

Kutahu kemudian bahwa dia sudah tahu siapa dia, dan aku merasa malu atas apa yang telah kulakukan. “Sebagai pria Inggris, dia nyaris tak bisa memerankannya.” Kusentuh bahunya ketika kata-kata itu meluncur, untuk memberi tahu dia bahwa aku menganggapnya sebagai pria Inggris. Dia tersenyum setuju, dan aku terkejut betapa leganya aku saat itu.

Minggu-minggu berlalu. Temperatur naik di atas titik beku. Raja gila itu mati. Kunantikan dunia memperbaiki dirinya sendiri. Tapi yang terjadi sebaliknya. Sekelompok orang radikal, termasuk William Davidson—seorang pria kulit hitam dari Jamaika—ditangkap di Cato Street karena keterlibatan mereka dalam konspirasi konyol dan aneh untuk memenggal kepala anggota kabinet5. Di saat ini, aku begitu terbiasa melihat Charles sebagai anak Robert sehingga aku tak pernah berpikir dia bakal punya perhatian khusus kepada si Davidson ini, seorang lelaki yang tak diragukan lagi kehitaman kulitnya, dan yang tak menunjukkan tanda-tanda pada raut wajahnya bahwa dia berayahkan seorang Inggris. Charles tentu tidak menyebutnya terutama ketika kami membaca tentang peristiwa-peristiwa ini dan aku mengungkapkan rasa senang bahwa pemimpin kelompok itu, Thistlewood, telah ditangkap setelah sebelumnya sempat melarikan diri.

Dia memang bertanya, mengapa orang-orang itu ingin melakukan sesuatu yang sangat kejam dan ekstrem seperti memenggal semua anggota kabinet. Kukatakan bahwa selalu ada orang yang siap untuk melakukan kekerasan terhadap para penguasa, dan kita harus berterima kasih kepada mereka yang tetap waspada terhadap para radikal ini dan menyelamatkan kita dari mereka. Dia tampak puas dengan jawaban ini pada saat itu, tapi kemudian, saat makan malam, dia berkata, “Apakah Peterloo dan Six Acts6 berhubungan dengan ini?”

Aku tahu sekarang bahwa pengembaraan ternyata membawanya ke kedai-kedai kopi tempat dia menemukan perbincangan-perbincangan dan koran-koran yang tak ada di Upper Seymour Street. Tak mengherankan di tempat-tempat tersebut pandangan seperti itu diajukan, dan aku senang dia pulang ke rumah untuk meluruskan pikirannya.

Kukatakan, aku tak pernah membenarkan apa yang terjadi di Peterloo. Tak diragukan lagi bahwa para pembicara di acara publik itu bertujuan memicu kekacauan tapi, meskipun demikian, Kavaleri seharusnya tak menanggapi itu secara berlebihan, dan tanpa teguran. Kematian para pria dan wanita Inggris itu seharusnya tak dibiarkan tanpa hukuman. Tapi perlu dipahami betapa berbahayanya situasi saat ini. Kaum radikal—seperti Thistlewood—ada di mana-mana, berupaya mengeksploitasi kemalangan orang miskin, dan mereka bisa saja menggunakan Peterloo untuk menyalakan api jika pemerintah tak segera merespons dengan Six Acts, untuk membatasi kekuatan radikal dalam menyelenggarakan rapat-rapat dan menerbitkan pamflet-pamflet yang membakar. “Stabilitaslah yang penting, Charles, apa kau mengerti?”

Dia mengangguk sangat serius. “Saya paham, Paman,” katanya bersemangat.

Waktu semakin berlalu. Musim semi datang dan ketika hari-hari mencair dan menjadi lebih panjang, anakku lebih banyak dan lebih lama berada di luar rumah daripada sebelumnya, seringkali pulang dengan bau tempat-tempat umum melekat padanya. Tapi kami selalu makan malam bersama, dan dia selalu sopan dan manis. Aku mulai berharap tak pernah menawarkan untuk membelikannya penugasan militer itu—bertahun-tahun yang lalu, kupikir aku membantu ayahnya saat mendorong dia bepergian, tapi ternyata aku justru mendorong Robert untuk menjauh dariku. Dia menjalani hidup seorang dokter, tapi bukan dokter di laut, dan ketika kapalku berlabuh di Jamaika dia memilih tinggal di sana, jauh dari pengaruh apa pun yang bisa kubawa untuk bertahan dalam hidup ini. Mungkin, kukatakan kepada Charles pada suatu malam, walaupun ini masalah kecil, karena dia suka membaca, dia lebih baik masuk universitas daripada militer. Menjadi akademisi, mengapa tidak?

Dia tersenyum sopan dan sempurna, mengucapkan terima kasih atas tawaran itu, dan mengatakan dia akan mempertimbangkannya.

Ini, jika aku tak salah ingat, terjadi hanya beberapa hari sebelum para konspirator Cato Street dihukum gantung, diseret, dan dipenggal. Kami membaca berita itu pada suatu pagi di bulan April, bersama burung-burung yang bernyanyi di pepohonan luar rumah.

“Tentu saja mereka harus mati,” kataku. “Tapi sepertinya tidak perlu mengembalikan cara Abad Pertengahan seperti itu. Kapak bisa melakukan pekerjaan itu dengan baik, dan dengan sedikit kebiadaban.”

“Karena orang Inggris tidak biadab.” Dia mengatakan itu dengan sangat lembut, sehingga aku bahkan tak menengadah, dan hanya membuat suara setuju. Aku nyaris tak menyadari dia meninggalkan ruangan, atau suara langkah kakinya menaiki tangga dan kemudian melangkah melintasi kamarnya yang tepat berada di atas tempat aku duduk. Ketika kembali, dia duduk lagi, dan mencondongkan tubuh, kedua sikunya pada lutut, dan menungguku untuk menatapnya sebelum dia mulai berbicara.

“Ketika Kavaleri membantai orang-orang Inggris yang berkumpul dengan damai di lapangan untuk mendengarkan sebuah orasi, itu bukan kebiadaban. Ketika pemerintah mengatakan mereka tidak melakukan kesalahan, meskipun tidak mempertimbangkan Riot Act terlebih dahulu, itu bukan kebiadaban. Ketika orang kaya tinggal di istana-istana emas dan orang miskin mati kelaparan, itu bukan kebiadaban. Ketika Parlemen korup dan menolak reformasi, itu bukan kebiadaban. Ketika undang-undang disahkan untuk melarang orang Inggris berkumpul mengungkapkan apa yang mereka rasakan, atau untuk mempublikasikan pikiran mereka, itu bukan kebiadaban. Tetapi ketika semua penindasan dan ketidakadilan itu membuat manusia tak memiliki jalan lain kecuali tindakan drastis untuk melepaskan rantai yang membelenggu kita—lalu, Paman, bagaimana? Apakah itu kebiadaban?”

Semua itu disampaikan dalam nada yang tenang, tanpa emosi, dan pertanyaan terakhir diajukan dengan nada yang terdengar akrab di setiap pagi ketika kami membaca koran bersama—nada seseorang yang ingin belajar dari pamannya. Baru sekarang aku melihat ejekan di dalamnya. “Itu kebiadaban. Dan membela tindakan semacam itu juga kebiadaban. Aku tidak tahu pergaulan macam apa yang kau dapatkan, Nak, tapi aku harus memintamu untuk berhenti.”

“Apakah menurutmu, Davidson, pria kulit berwarna, lebih biadab daripada yang lain?”

“Aku tak pernah mengatakan itu.”

“Ada begitu banyak yang tidak kau katakan, Paman. Begitu banyak yang tidak kautanyakan.”

“Kamu masih anak-anak. Apa yang harus aku tanyakan kepada seorang anak?”

“Tanyakan syarat apa yang disetujui istri ayahku untuk membesarkanku sebagai anaknya.”

Dia berdiri dan berjalan menuju jendela, membukanya meski pagi itu dingin. “Bahkan mereka yang bersimpati, yang berpikir bahwa konspirator Cato Street memiliki tujuan, tak pernah berhenti berpikir bahwa Davidson mungkin punya lebih banyak tujuan daripada yang lain. Mungkin dia lebih tahu siapa kalian daripada kalian sendiri.”

“Tutup jendelanya, dan hentikan omong kosong ini!”

Dia berbalik, menghadapiku, dan bayangan pepohonan menutupi wajahnya, membuatnya gelap. Dia mengulurkan tangan, dan aku melihat selembar kertas di dalamnya.

Dia ragu-ragu. Dia tampak menduga aku akan bangkit dari kursi dan berjalan menghampirinya. Kemudian, dalam beberapa langkah, dia sudah ada di sampingku, menekan potongan koran ke tanganku. Aku membacanya.

PEMBERITAHUAN. Bahwa pada hari Senin tanggal 16 Juli, aku akan melakukan Pelelangan Umum, di City-Tavern, di Kingston, antara pukul 10 dan 12 di siang hari, seorang Budak Perempuan Negro, bernama SARAH , seorang Pelayan Rumah.

“Ayahku menyimpan ini,” katanya, masih dengan nada tanpa emosi. “Aku menemukannya ketika dia meninggal. Itu syarat istrinya untuk membesarkanku. Malam setelah pemakaman wanita yang kupanggil “ibu”, ayah berbicara kepadaku tentang hal lain—tentang Sarah. Dia bukan tak ada perasaan untuknya, sepertinya. Tapi seperti yang pernah Anda katakan, stabilitaslah yang penting. Semua pria Inggris, dan mereka yang bercita-cita menjadi pria Inggris, tahu itu. Lihatlah tanggalnya.” Dia mengetukkan jari kurusnya yang runcing—bukan jari Robert—ke atas kertas di tanganku. “Aku lahir pada 12 Juli. Aku punya banyak pertanyaan tentang empat hari sebelum ayah menjual ibuku. Apakah Anda pikir mereka mengizinkannya menghabiskan sebagian hari-hari itu bersamaku?”

Aku menundukkan kepala. Tak sanggup menatapnya. Dia kembali ke kursinya dan mengambil koran yang sebelumnya dia abaikan. “Menurutmu apa yang akan terjadi dengan urusan perceraian raja?” Katanya, ramah.

“Kamu ada di rumahku, Tuan!” Kataku. “Aku memberimu makan, pakaian, dan telah kutawarkan masa depan apa pun yang kauinginkan. Kuberikan semua kasih sayang. Mengapa kau perlakukan aku dengan sangat buruk? Aku tak ambil bagian dalam keputusan yang dibuat oleh ayahmu. Aku tak pernah mengetahuinya sampai sekarang.”

“Apakah Anda pikir ayahku akan mengakui semua ini kepadaku, dan tidak mengakui sumber kekayaan saudaranya?”

Hampir melegakan untuk meluruskan semuanya di antara kami. Kuulurkan tangan kepadanya. “Aku mendukung para Abolisionis. Aku menjual kapalku7 hampir lima belas tahun lalu… ” Segera setelah aku mendapat kabar tentang kelahiranmu, hampir saja aku berkata demikian, sebelum kuhentikan diriku sendiri. Dia tahu usianya sendiri.

“Ketika Anda memiliki kekayaan yang cukup untuk seumur hidup, dan penghapusan perdagangan budak tak terhindarkan lagi.”

“Ketika aku melihat kejahatan praktik itu. Ketika aku diyakinkan oleh mereka yang menginginkan reformasi—dan yang menggunakan kata-kata moralitas, kesalehan, dan pencerahan untuk meyakinkan orang. Begitulah reformasi seharusnya terjadi. Bukan dengan membantai anggota Kabinet dan menempatkan kepala mereka di atas tombak lalu memamerkannya di jalanan seperti yang direncanakan oleh orang-orang jahat di Cato Street.”

“Orang-orang yang juga dibantai dan ditampilkan di depan umum atas perintah pemerintah. Dan sementara itu, perbudakan berlanjut di koloni-koloni, dan Inggris mendapatkan untung dari itu.”

“Itu juga akan berakhir. Kaum Abolisionis tak kenal lelah. Aku mendukung perjuangan mereka. Secara finansial, kamu mengerti. Aku bukannya tak menyadari… tanggung jawabku.”

“Sedikit konspirasi untuk memenggal kepala para pemilik budak mungkin lebih efektif mempercepat reformasi daripada upaya tak kenal lelah para Abolisionis, atau upaya Anda untuk membeli jalan ke surga dengan kekayaan yang Anda tambang di neraka.”

Aku tak bisa membaca ekspresinya. Aku tak mengetahui apa pun tentang karakternya, atau tentang apa yang mungkin bisa dia lakukan. Aku berharap dia akan menjadi penebusanku, tetapi kemudian kusadari, bahwa jika kekayaanku berasal dari tambang neraka, demikian pula kekayaannya. Dan seperti Prospero di akhir The Tempest, tak ada yang bisa kulakukan untuk Caliban, hanya bisa berkata, “Kegelapan ini kuakui memang milikku.”

Aku bangkit dari kursi. “Cukup bicaranya. Pak Milton menungguku di perpustakaan. Dan siapa yang menunggumu? Tuan Gibbon?”

“Aku sudah selesai dengannya,” katanya, berdiri. “Hari ini akan menjadi sesuatu yang baru.”

Dia mengikutiku ke perpustakaan, langkahnya lembut, nyaris tanpa suara.[]


1Kamila Shamsie adalah pengarang Inggris kelahiran Pakistan. Dia telah menulis tujuh novel, yang sudah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa. Tiga novelnya, Home Fire, Burnt Shadows, dan A God in Every Stone, masuk dalam daftar nominasi sejumlah penghargaan fiksi internasional.

2Resist: Stories of Uprising adalah antologi cerpen dan esai tentang sejarah perlawanan—baik yang gagal maupun berhasil—rakyat Inggris terhadap kekuasaan selama dua milenia. Diterbitkan Comma Press pada 2019, antologi ini menampilkan cerpen para sastrawan dan analisis para sejarawan.

3Di kemiliteran Inggris, ada praktik menyerahkan sejumlah uang untuk membeli pangkat tertentu. Praktik ini bermula pada 1683 di masa kekuasaan Raja Charles II dan dihapuskan pada 1871.

4Tory dan Whig adalah dua partai politik yang bersaing kuat di Inggris Raya antara Abad ke-17 dan Abad ke-19. Tory menjadi cikal bakal bagi Partai Konservatif saat ini sementara Whig bagi Partai Demokrat Liberal.

5Konspirasi Cato Street adalah rencana pembunuhan atas anggota kabinet dan perdana menteri Inggris pada 1820. Tokoh utamanya adalah Arthur Thistlewood dan William Davidson. Polisi berhasil menggagalkan rencana ini, dan menangkap 13 konspiratornya. Lima di antaranya dihukum gantung di hadapan publik, dan kepala mereka dipenggal. “Cato Street” diambil dari nama jalan di London, tempat rapat para konspirator.

6Pembantaian Peterloo terjadi di Manchester pada 1819, saat Kavaleri menyerbut sekitar 40 ribu demonstran yang menuntut reformasi parlemen. Setidaknya 18 orang tercatat meninggal dan 700 lainnya luka-luka. Menyusul peristiwa ini, pemerintah Inggris menerbitkan undang-undang yang disebut Six Acts, yang melarang rapat-rapat kaum radikal.

7Pada 1807, kelompok Abolisionis di Inggris melancarkan boikot terhadap kapal-kapal yang membawa budak, sebelum pada 1833 Inggris menghapus sepenuhnya praktik perbudakan.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Nukilan

Ziarah Lebaran

Cerpen Umar Kayam “Ziarah Lebaran” merupakan salah satu dari 17 “Cerpen Pilihan

Terbang

Cerpen Ayu Utami Dengan berlatarkan kecemasan terkait keamanan transportasi udara, Ayu Utami

Pemintal Kegelapan

Cerpen Intan Paramaditha Dalam cerpen ini, Intan Paramaditha meramu horor dan misteri

Cinta Sejati

Cerpen Isaac Asimov Anda yang pernah mencoba aplikasi atau situs web kencan
Go to Top