JELAJAH LITERASI

Anak Revolusi

in Nukilan by

Cerpen M Balfas

M Balfas (1922-1975) adalah pengarang kelahiran Krukut, Jakarta. A Teeuw menggolongkan dia ke dalam generasi pengarang Angkatan 45. Cerpen “Anak Revolusi” dinilai sebagai salah satu karya terbaiknya, dan telah diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa asing.

IBUNYA sudah lama jadi janda. Ini tidak pernah dirasakannya sebagai gangguan. Dia tahu ibunya masih cantik, masih banyak orang yang mau merasakan kenikmatan dengan ibunya. Sudah sering dia mendapat persenan baik uang maupun pakaian dari laki-laki yang ingin merasakan manisnya ibunya. Segala persenan itu diterimanya sebagai tipuan belaka. Adiknya saja yang belum mengerti, masih senang ditipu orang. Ibunya buat dia dan adiknya saja. Orang luar tidak boleh mengganggu kenikmatan mereka. Putusan itu sudah lama diambilnya, kalau dulu masih lemah maka sekarang sudah membesi dalam hatinya. Malah pamannya yang pernah menjadi tempat ia bersombong kepada kawan-kawannya, sekarang sudah tidak berharga lagi baginya. Dia mau menjadi seorang bapak buat adiknya dan seorang pahlawan bagi rumah tangga ibunya.

Pagi-pagi Ama sudah keluar berdagang dengan serdadu-serdadu India atau Inggeris dan kalau hari sudah malam baru dia pulang. Tiap-tiap hari mesti ada untung yang masuk, kadang-kadang besar kadang-kadang juga kecil, tetapi selalu lebih besar dari kawan-kawannya yang sebaya dengan dia. Marah ibunya tidak dipedulikannya, karena dia tahu bahwa untung dagangnya sangat dibutuhkan oleh ibunya dan dia dipandang sebagai anak yang luar biasa. Ini memberikan kepuasan padanya. Perasaannya dirinya sudah besar, walau umurnya baru empat belas tahun.

Pagi-pagi membeli barang, tengah hari menjual dan pada petangnya jual dan kadang-kadang jual-beli suka serentak. Kalau hari sudah gelap, di jalan dia sendiri saja yang masih ketinggalan, barulah kakinya mau diajak melangkah pulang. Pulpen, arloji, alat potret ditukarnya dengan bahan pakaian atau barang kalengan dan suka juga kalau tak ada barang penukar dibelinya dengan uang Nica. Inilah pekerjaannya tiap-tiap hari. Sebentar di kota kadang-kadang di Tanah-lapang Singa, tidak jarang ia sehari-harian ada di Tanjung Priok. Di mana saja ada tangsi serdadu di situ ada rejeki buat dia.

Malam sudah pukul 10. Ia baru pulang. Adiknya sudah tidur, hanya ibunya yang masih cemas menanti. Di kota Jakarta belum ada keamanan, sekali-sekali suara tembakan masih terdengar. Malam ini ia membuat suatu rahasia yang berat menekan pada jiwanya. Rahasia yang tidak boleh diketahui oleh ibunya.

Seorang serdadu tidak mau menjual kain putih kepadanya melainkan ia harus mencarikan lebih dulu seorang “bibi” (lacur). Berat dirasakan menolak permintaan serdadu itu, karena besar juga taruhannya. Arloji seharga 500 rupiah (uang Jepang) mau ditukarkan dengan seblok kain putih seharga 2.500. Hatinya sangsi, karena dia tahu ibunya tidak akan menyukai perbuatan serupa ini. Hari sudah senja padahal untung yang masuk belum seberapa. Akhirnya keluar juga kata “Oke”, diayun oleh napas yang berat. Disuruhnya serdadu itu menunggu di bawah pohon yang rindang di belakang tangsi dan dia mencari barang simpanan.

Ia tidak usah mencari-cari. Tempatnya sudah diketahuinya, yaitu di sepanjang rel kereta-api di Gambir, di pinggir jalanan di bawah naungan pohon yang berderet-deret. Waktu ia sampai di tempat ini dan bertemu dengen jembel yang bersolek, tiba-tiba lidahnya kaku. Bukan tidak biasa ia berbicara dengan jembel. Memang senang dia memperolok-olok jembel, malah sering juga dimaki-makinya. Tetapi sekarang jembel harus menolong dia untuk suatu maksud yang tidak baik diterima oleh hatinya.

Ama masih diam juga. Takutkah dia? Banyak pekerjaan yang lebih berbahaya sanggup ia mengerjakannya. Dulu, pernah ia dikejar oleh seorang serdadu Sikh yang ditipunya dengan arloji bambak. Ia lari sekuat-kuatnya dengan menggondol uang seribu lima ratus rupiah. Hampir-hampir saja ia menyerah, karena takut ditembak. Tapi akhirnya menang juga. Dia insaf bahwa pada detik-detik yang akhirlah terletak kemenangan.

“Mpok mau duit? Ada serdadu.” Akalnya hilang sekejap. Dia harus berpikir dulu untuk meneruskan kalimat itu. Sukur dia beroleh jawab:

“Apa? Lu mau kasih gua duit?”

Tiba-tiba Ama jadi pintar, menjadi biasa:

“Ya, ikut gua, ada serdadu kaya. Pukulan deh.”

“Jauh apa enggak?”

Sampai di sini saja pekerjaan yang sulit itu. Tapi sekarang ada lain hal yang lebih meminta perhatiannya. Ama harus jaga jangan sampai kena tipu serdadu. Keputusan lekas diambilnya:

“Gua jalan duluan, lu ikut ye?”

“Gi deh, nanti gua susul.”

Tinah yang tiga tahun yang lalu masih perawan desa yang mau mengadu untung di kota, sekarang mengatur siasat hidupnya dengan menghias diri di pinggir jalan. Jambul yang dibuatnya dengan susah payah baru selesai, tinggal memakai bedak saja lagi. Dikeluarkannya sebungkus kertas dari balik batu semen yang menjadi meja hiasnya, dibukanya, lalu dipetalkan tangan pada bedak yang sudah tinggal sedikit itu. Dengan tergesa-gesa diusapkan pada pipinya. Tapi baru saja dia hendak mengejar Ama yang sudah jalan lebih dahulu itu, tiba-tiba ada suara memanggil.

Saijah, kawan senasibnya, keluar dari remang malam. Lebih manis ia sekali ini daripada Tinah. Bunga merah tersunting pada rambutnya. Walau tidak terang bagi mata, tetapi cukup tajam baunya, buat hidung.

Tinah menyambar tangan kawannya dan menariknya supaya ikut bersama dia.

“Enggak, ah. Gua tungguin si Keling di sini aja. Kalau di sarangnya dia tidak suka bayar,” jawab Saijah dengan senang hati. Tanpa mengindahkan jawab temannya, Tinah menarik terus tangan Saijah Sambil berlari mengejar Ama yang hampir tidak terlihat itu. Dua rok putih yang tinggi terlihat bergerak-gerak ditarik remang malam.

Jalan sunyi. Sekali-kali ada jeep lari gila. Makin cepat rok-rok putih itu bergerak makin cepat Ama melangkahkan kakinya. Dia harus lebih dulu sampai untuk menyelesaikan perdagangannya. Sedikit terlambat bisa rugi dua ribu rupiah.

“Yes… yes… okee… okee,” teriak Ama sambil menghampiri serdadu yang berjongkok di bawah pohon sambil mengisap rokok.

“Oke?” sambut serdadu itu dengan gembira.

“Yes…” Ama menegaskan sekali lagi sambil menunjuk ke belakang.

Kapra1 . . . where? I, here watch you give me kapra.”

Serdadu itu mengambil arloji yang disurungkan oleh Ama dan memeriksanya sekali lagi baik-baik dengan sorot batrenya, takut arloji itu bukan yang tadi sudah dilihatnya.

“Oke…,” keluar jawaban bersama asap rokok dari barisan gigi yang putih nasi.

Diambilnya bungkusan yang tebal dari belakang pohon lambat-lambat. Berdebar-debar jantung Ama melihat bungkusan yang besar itu. Payah disembunyikannya kegelisahannya.

“Oo, lu tinggal gua,” marah Tinah dengan tertawa sambil menepuk bahu Ama. Dengan cepat Ama mengambil bungkusan dari tangan serdadu dan sebentar saja dia sudah hilang dalam gelap.

“Ama… Ama…,” serdadu itu memanggil.

Ama lari terus, tanpa menoleh-noleh. Jantungnya berdebar-debar terus. Suara memanggil makin keras, dia terus saja lari…

Tinah kalah berhadapan dengan Saijah. Pilihan serdadu jatuh pada kawannya, rupanya karena bunga merah itulah. Dia tahu tidak akan dapat uang, karena itu dikejarnya Ama. Dugaannya barang itu berharga dan dapat direbutnya dari bocah itu.

Tinah gemuk, larinya tidak secepat Ama. “Amaa… Amaaa,” teriaknya menirukan serdadu.

Nyaring bunyi itu, lain dari suara yang tadi mengaung. Ama menoleh, tapi malang batu menghentikan larinya. Dia jatuh tersungkur. Lekas-lekas ia bangun kembali. Sakit dirasakan pada kakinya. Diusap-usapnya tempat yang sakit; eh… ada barang cair.

“Darah!” terbit dalam otaknya.

Hampir saja jatuh air matanya, kalau tidak Tinah merebut bungkusan dari tangannya. Berbareng dengan jatuh tangan Tinah pada barang yang digenggamnya, jatuh pula gigi Ama pada tangan perampok perempuan itu. Karena gigitan yang sungguh-sungguh itu Tinah menarik kembali tangannya dan ini memberikan kesempatan untuk Ama melanjutkan larinya. Sia-sia tangan Tinah yang menyambar baju Ama.

“Babi,” keluh Tinah sambil memeriksa tempat yang digigit itu. Dalam juga gigi masuk ke dalam dagingnya. Sambil menggerutu dia balik ke tempat kawannya Saijah yang sedang lecak dalam pelukan, serupa permainan kertas dalam tangan anak yang nakal.

Peristiwa ini membekas benar dalam jiwa. Semalam-malaman ia merasa masih ada di bawah pohon yang rindang. Seakan dilihatnya kejadian yang gaib itu. Ada sesuatu yang menarik dia pada peristiwa yang remang-remang. Akhirnya berasa seakan dikejar. Lari… kemudian jatuh.

Hari sudah pagi. Tidak segera ia bangun. Badannya lesu. Kala tangan ibunya yang dingin terletak pada dahinya barulah ia sadar akan dirinya.

“Sakit, kamu, Ma?” tanya ibunya. Ibunya merasa sudah bahwa kesehatan anaknya agak terganggu. Semalam banyak dia mengigau, badannya pun panas.

“Tidak, bu,” jawab Ama dan lantas bangun dari rosbang2. Sebenarnya dia lebih senang tinggal diam saja mengelai-ngelai untuk mendengarkan suara hati yang banyak katanya, tentang kejadian semalam. Tetapi takut kalau-kalau ibunya dapat tahu rahasia hatinya ia pun berbuat seakan tidak ada apa-apa. Kalau diketahui rahasianya oleh ibunya tentulah dia takkan boleh berdagang lagi. Dan tentu dia akan bercerai dari dunianya, yang dikasihinya itu. Ketika ia berjalan keluar ke kamar mandi melintas-lintas dalam otaknya: Badan yang hitam setengah telanjang serdadu India di celah putih keju badan Inggeris bergerak-gerak di sepanjang jalan raya—langit terang bertusukan tiang-tiang kapal—mata maling di antara semak-semak waktu menyembunyikan barang curian—blek-blekan biskuit havermout yang nikmat dimakan bersama segelas es sirop di tepi laut yang terik—semuanya ini hidup dalam jiwanya.

Seakan-akan tidak sanggup dia bercerai dari segalanya ini. Inilah dunia yang dikenalnya. Inilah abadi yang diketahui dan disadarinya.

Tetapi selain dari itu ada lain lagi yang memberinya kepuasan. Kesadaran bahwa dialah yang memikul rumah tangga ibunya—dialah yang membelanjai ibu dan adiknya pada waktu. Ibunya tidak berdaya lagi mencari nafkah, karena pergantian zaman sangat kerasnya berlangsung. Dialah sumber tempat keluar tenaga dan ketangkasan hidup. Dia merasa puas hidup semacam ini, kendati badannya makin lama makin kurus juga.

Hanya… sinar mendung mata ibunya, suara parau perempuan yang dikasihinya itu, tak dapat dia mengertinya. Barangkali sedih ibunya itu disebabkan karena anaknya bekerja terlalu keras untuk dia. Mengapa mesti sedih, kalau ada kenikmatan…?

Lonceng yang di beranda muka yang tertutup oleh kaca-kaca jendela berbunyi enam kali. Ama sudah lebih dahulu sadar dari tidurnya. Dari rosbang tempat ia tidur diikutinya detikan lonceng. Ada persamaan dengan jantungnya. Kalau begitu ia juga adalah sebuah jam. Kalau lonceng berhenti berdetik bisa dibetulkan, kalau jantungnya tidak berdenyut lagi dia mati, kata orang. Aneh.. dan juga lucu.

“Abdulgaffar!” menyambar di otaknya yang lagi melamun itu. Ama bangkit, buru-buru membuka tutup kotak yang terletak di atas meja di sebelahnya. Dikeluarkannya tiga buah arloji dan sebuah pulpen, dibalutnya baik-baik dengan selembar saputangan yang sudah dekil, lalu dimasukkan ke dalam saku celana pendeknya. Dari kantong belakang dicabutnya beberapa helai uang kertas yang kemudian disisipkan di bawah bantal di atas rosbang.

“Buat belanja hari ini,” katanya dalam hati.

Ibunya belum selesai sembahyang. Suara ngaji masih terdengar dari dalam. Adiknya belum bangun, karena itu masih sunyi saja.

Dengan berhati-hati supaya jangan terdengar oleh ibunya, diputarnya kunci pintu kaca. Tiba-tiba suara di dalam berhenti mengaji. Ia menjenguk ke dalam. Sunyi saja. Tapi baru saja daun pintu itu ditariknya, terdengar ibunya memanggil: “Ama.. kemari dulu.” Kesal hatinya, ibunya tahu dia mau keluar. Tentu ada lagi nasehatnya yang sudah tidak pada tempatnya lagi. Masakan orang sebesar dia masih dikasih nasehat?

Dia hampiri ibunya yang masih di atas tikar sembahyang. Ama berdiri dengan sedih di hadapan ibunya.

“Mandi, makan, dan barulah boleh jalan,” lambat suara ibunya. Manis muka ibunya dilingkari mukenah putih bersih. Makin nyata raut daun sirih.

“Terlalu lama, bu. Si Abdulgaffar tidak bisa menunggu.”

“Kalau dia sudah liwat, masih ada kereta ke Priok.” Ibunya tetap tunduk saja.

“Dengan kereta-api tidak dapat masuk ke pelabuhan. Sama truck Abdulgaffar enak saja. Umum tidak boleh sampai ke pelabuhan.”

Ibu itu mengangkat mukanya. Kesedihan anaknya membuat dia berhenti mencegah.

“Ama jalan ya, bu…?”

Tidak ada jawab dan sejurus kemudian ibunya mengangguk. Pukul enam lewat lima menit. Di pintu kamar tidur sebelah ibunya sembahyang dilihat adiknya menyandar menggosok-gosok matanya. Ama mau lalu saja tapi ujung celananya ditarik. “Mau apa?” tanyanya.

“Duit. Buat jajan. Seperak saja. Ibu masam saja, tidak seperti biasa.”

Ama menarik lagi uang dari kantong belakang dan memberikan setengah rupiah kepada adiknya.

“Setengah lagi…!” adiknya merengek. Tidak diacuhkannya dan dia lari ke luar.

Setibanya di Molenvliet Timur tempat ia menantikan truck Abdulgaffar lalu bersama kawanannya, diketahuinya bahwa ia masih punya banyak waktu. “Masih seperempat jam lagi,” ujarnya sendiri. Tanpa berpikir panjang baju dan celananya sudah dibukanya dan dengan sekejap saja ia sudah melompat ke dalam sungai Ciliwung. Dingin air, nyaman dirasanya. Ia berniat dua kali akan menyeberangi sungai itu, kemudian dia akan naik. Biskuit dan Player3 Abdulgaffar akan lebih enak lagi rasanya, kalau dia sudah mandi. Waktu dia sampai di seberang sungai Molenvliet Barat ia melihat si Dullah berjalan semacam orang pergi ke sekolah. Baju dan celananya baru dan membawa tas sekolah pula.

“Apa? Sekolah? Sudah dimulai lagi?” hatinya menyentak.

“Dul .. . Dullah!” teriaknya. Dullah mencari-cari suara. Ama berenang ke tengah dan melambai-lambaikan tangan. Di pinggir ia disembunyikan oleh tembok yang tinggi. Dullah dapat melihatnya, sekarang, lalu ia menaik ke jembatan yang melengkung di selebar sungai.

“Mau ke mana?” disambut oleh Ama, ketika Dullah yang baru berumur 9 tahun itu menjenguk ke bawah dengan memegang pada kayu jembatan.

“Ke mana lagi? Tentu saja sekolah. Sekolah sudah dibuka lagi mulai hari ini. Mana Saleh? Apa dia tidak masuk lagi?”

Dullah, kawan sekelas adiknya, kelihatan sangat gembira sekali. Nyata terlihat kesombongan pada anak itu. Bapaknya kaya, sekarang, karena bertemu dengan sepnya dulu. Kabarnya bapaknya mendapat uang persekot besar sekali dan mendapat karcis kuning. Bapak Dullah sudah jadi Nica. Semua diingatnya oleh Ama dan bencinya pun lantas timbul. “Disangkanya aku tentu tidak mampu menyekolahkan adikku. Dasar anjing Nica,” katanya dalam hati.

Ama berhenti mandi. Ketika ia sedang mengenakan baju, Dullah sudah sampai kepadanya. “Belum puas rasanya dia bersombong-sombong dari jauh,” hatinya menghasut-hasut.

“Kabarnya sekarang pembayaran sekolah dengan uang Nica. Kalau benar begitu, katanya ayah mau menolong kamu.”

“Apa?” sentak Ama. Tinjunya hampir saja terlepas. “Siapa itu, kamu?”

“Maksudku bukan kamu, Ma. Tapi siapa saja yang tak mampu.”

“Katakan pada bapakmu. Bahwa kepalanya masih bisa kubeli.” Dan dikeluarkannya uangnya yang banyak dari saku belakang. “Ini, dua ratus rupiah merah dan dua ribu uang Jepang. Bapakmu hanya dapat belas kasihannya Belanda saja…”

Dullah yang sudah merasa bukan tandingan Ama berkelahi itu berbalik belakang dan dengan tegap melanjutkan jalannya.

Suara truck yang berderet-deret sudah terdengar. Mengkal hatinya dengan cepat hilang, waktu melihat bahwa yang sedang mendatangi itu adalah arakan Abdulgaffar. Buru-buru ia rnenyeberang supaya lebih dekat. Yang kesatu lewat, kedua, ketiga, dan Abdulgaffar tidak juga kelihatan. Hatinya cemas. Ketujuh, kedelapan, kesembilan, belum juga. Pusing kepalanya mengikuti truck-truck itu lewat di hadapan matanya. Dan… habis. Semua sudah lewat. Hanya jauh sendiri ada satu lagi yang berjalan lambat. Mungkinkah dia?

Matanya terpaku pada ban yang berputar perlahan-lahan. Tiba-tiba didengarnya suara ketawa Abdulgaffar yang sudah tidak asing lagi. “Bangsat, dia goda aku!” Ama memaki perlahan. Secepat bajing dia naik ke dalam truck, tanpa mengindahkan teguran kawannya, “Haca haca.” Sekarang truck itu berjalan dengan cepat menyusul kawan-kawannya yang sudah jauh di muka. Ama masih sempat menoleh, ada suara berteriak-teriak, “Awas kamu… saya bilang sama bapak.” Dullah melepaskan amarahnya dengan mengacung-acungkan tinjunya. Ama tersenyum pahit.

Kalau truck Abdulgaffar sudah kurang cepat jalannya karena sudah menghubungkan diri pada rombongannya, terlihatlah Ama duduk di atas peti menghadap ke jalan raya yang sudah dilewati. Di tangan kiri ada biskuit havermout, di tangan kanannya rokok Player yang sedap baunya. Segala kekesalannya, semua pikiran susah, dari sedikit ke sedikit ditinggalkannya di jalan bersama asap rokoknya.

Hari ini Ama pulang siang. Pukul sebelas pagi dia sudah kelihatan di jalan menuju ke rumah. Lesu tampaknya, jalannya tidak tetap. Mukanya ada sedihnya juga. Ada apakah?

Hari ini adalah hari…

Tentara India dan Inggeris yang penghabisan meninggalkan Indonesia, dan Abdulgaffar harus berpisah dari kawannya. Ama ditinggalkan oleh seorang yang telah banyak jasanya kepadanya. Perpisahan sedih tadi, di bawah pohon di muka Subarea di Gambir. Ama lupa akan pangkatnya, dia menjadi anak kecil kembali dan rela dia dipeluk oleh Abdulgaffar yang sangat terharu juga. Beberapa titik air mata ada juga jatuh. Sesudah itu keadaan jadi sepi kembali. Arak-arakan truck berangkat menuju Priok dan Ama sekali ini tidak boleh ikut. Truck jalan dan dia pun melangkahlah pulang.

Waktu ia sampai di Harmoni, baru diketahuinya bahwa ada barang di kantongnya. Kaget dan sedih yang membendung menggoda anak itu, ketika dilihatnya bahwa barang yang di kantongnya tidak lain dari arloji Abdulgaffar yang dibelinya setengah tahun yang lalu dari dia. Abdulgaffar memang sudah lama tidak punya apa-apa lagi. Barang kalengan sudah susah didapat, jangankan barang blok-blokan. Tapi Ama yang memberi padanya kantong sutera putih bersulamkan nama Allah dalam huruf Arab yang berwarna merah dan disebelahnya tertulis juga nama-nama Abdulgaffar dan Muhamad (Ama) sebagai tanda peringatan, harus dibalas. Karena Abdulgaffar tidak punya apa-apa selain arloji yang dipakainya, maka dimasukkannya arloji itu dengan diam-diam ketika Ama dipeluknya.

Kantong sutera itu dibuat dan disulam oleh ibu Ama dan dimaksud sebagai penyimpan kitab suci Al-Qur’an. Tiap-tiap kali Abdulgaffar membaca kitab suci akan teringatlah dia akan budak di Indonesia, yang juga selalu ingat akan kebaikannya. Pada kantong sutera itulah bertemu kedua ingatan.

Kota Jakarta tidak lagi kota setahun yang lalu, waktu serdadu-serdadu India masih ada. Keadaan sudah mendekati normal. Orang sudah sibuk membicarakan soal-soal kehidupan di kota. Orang-orang dipaksa tunduk di bawah aturan. Hidup liar dari sedikit ke sedikit terdesak ke rimba. Dan Ama, anak yang hidup dalam revolusi, merasai pukulan organisasi yang ganas itu. Tidak habis-habisnya dia mengutuki tata tertib. Dia tahu kelemahannya, sekarang, dan hampir-hampir tidak berani dia mengatakan lagi: Aku adalah seorang bapa buat adikku dan pahlawan bagi rumah tangga ibuku. Ibunya sudah lama juga, mencari nafkah. Kalau dahulu hanya dia saja yang pagi-pagi ke luar rumah, sekarang dia dengan ibunya. Malah pendapatan ibunya melebihi pendapatannya.

Pamannya sudah sering datang ke rumah dan berjam-jam dia berbicara dengan ibunya. Ama tidak boleh tahu, apa yang dibicarakannya itu. Dia sudah kembali jadi anak-kecil.

Suatu hari dia dipanggil oleh ibunya. Pamannya yang duduk berhadap-hadapan dengan ibunya juga melambai-lambaikan tangan kepadanya.

“Ama, engkau tidak boleh tinggal begini terus. Engkau masih kecil, belum masanya sebenarnya, engkau mencari nafkah. Kalau dahulu kubiarkan, itu karena terpaksa. Lagi pula sekolah-sekolah belum dibuka. Tetapi sekarang keadaan sudah berubah. Anak-anak sebaya dengan kamu, sekarang menuntut pelajaran supaya menjadi orang terpelajar, kelak. Bukankah kamu juga ingin menjadi orang yang terhormat, Ma?”

“Betul kata ibumu itu. Engkau mesti sekolah. Jangan banyak membuang waktu,” terdengar pamannya menyela.

Ama tidak dapat mendengarkan lama-lama kata-kata yang menusuk perasaannya itu. Dia merasa dihina dengan sehebat-hebatnya. Lebih-lebih kepada pamannya, dia marah.

“Jangan membuang-buang waktu,” diulang-ulangnya kalimat pamannya itu, dalam hati. Dia berbalik dan berjalan keluar dengan tidak mengindahkan kata-kata pamannya yang memanggil dirinya.

“Sekarang engkau banyak tingkah. Dahulu engkau tinggalkan kami, dan siapakah itu, yang menolong rumah tangga ibuku? Siapakah yang membelikan pakaian baru buat Saleh untuk sekolah? Siapa pula, yang membelanjai dia?” Air matanya tidak tertahan lagi, mau keluar.

Dengan takut-takut Saleh, adiknya, mendekati Ama dan berbisik: “Ma, tahukah kau, mengapa ibu berubah terhadapmu? Dia sudah dibujuk oleh paman supaya kawin.”

Tambah gelap pemandangan Ama, ketika mendengar kalimat adiknya itu. Dia pergi ke jalan dan duduk di atas batu menghadap ke jalan. Matanya menengadah, melihat langit yang terang. Langit menyala—tiang-tiang kapal di sana-sini—asap melambai, halus… Bau keringat baju serdadu—mata maling—kaleng kiju… Ditarik gas, truck melepas debu—es sirop dan biskuit havermout dan di tangan seblok kain belacu… Esok mulai lagi. Langit menyala—tiang-tiang kapal di sana-sini…[]

Gema Suasana No. 5, Th. I, Mei 1948

[Dinukil dari: Satyagraha Hoerip (editor), Cerita Pendek Indonesia 1, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), 1979, hlm. 114-125]

Ulasan Singkat

“ANAK Revolusi”—diterbitkan pertama kali oleh majalah Gema Suasana pada 1948—menyajikan kisah unik dari episode tak menentu dalam sejarah awal Indonesia. Kedatangan pasukan NICA (bertugas mengambil alih Indonesia setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dan mengembalikan ketertiban sipil) dihadapi perlawanan pasukan Republik yang baru saja berdiri.

Balfas tidak menceritakan episode itu dalam narasi besar: NICA versus tentara Republik. Dia memilih bercerita melalui kacamata seorang anak berusia 14 tahun, yang sudah dewasa sebelum waktunya. Masa-masa tak menentu (buku sejarah menyebutnya masa revolusi fisik) itu menjadikan Ama, nama anak itu, berkeliaran di jalan-jalan Jakarta untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Dia menukar barang-barang, seperti pulpen atau arloji, dengan pakaian atau makanan kaleng. Jika tak bisa menukar, Ama menerima uang, bisa uang Nica atau uang Jepang, meskipun Pemerintah Republik telah mengumumkan penerbitan Oeang Republik Indonesia (ORI) pada akhir 1945.

Balfas yang juga seorang jurnalis melukiskan cukup detail suasana dan kehidupan pada masa itu. Kita bisa membaca nama-nama lama sejumlah wilayah di Jakarta. Sekilas kehidupan pekerja seks pada masa itu—yang di antaranya menjadi langganan serdadu NICA—digambarkannya dengan sedikit humor.

Yang paling menarik adalah penggambaran persahabatan seorang serdadu NICA asal India, Abdulgaffar, dengan Ama. Kisah seperti ini tak akan pernah kita baca dalam buku-buku sejarah. Mosaik sejarah seringkali menghadirkan kisah persahabatan ganjil. Ama, anak dari sebuah negara baru merdeka, merasakan manfaat kehadiran seorang serdadu dari pasukan yang bisa dibilang ingin mengembalikan penjajahan atas negeri itu.

Ama adalah anak revolusi, dibesarkan oleh masa tak menentu. Dia menikmati masa itu sebagai sebuah kebahagiaan tersendiri. Dia bisa membiayai hidup ibu dan adiknya. Dia menikmati perdagangan yang dilakukannya serta biskuit havermout dan rokok Player yang dia dapatkan dari tentara NICA.

Saat masa itu kemudian berakhir dengan kepulangan serdadu NICA, Ama merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya. Hidup kemudian berubah 180 derajat. Kenormalan baru dimulai. Dia harus kembali ke bangku sekolah. Ibunya juga bakal kawin lagi. Ama yang sudah merasa dewasa tiba-tiba kembali menjadi anak kecil di tengah kehidupan orang dewasa yang, baginya, membosankan.[]

1Kapra adalah wilayah di Hyderabad, India. Daerah ini dikenal sebagai pusat produksi kain berkualitas baik. “Kapra” dalam cerpen ini tampaknya merujuk kepada kain.

2Bangku panjang tempat berbaring melepaskan lelah.

3Player’s adalah merek rokok produksi John Player & Sons, korporasi asal Inggris (kini di bawah Imperial Brands). Rokok ini menguasai pasar di Asia Selatan.


Profil Pengarang

MUHAMMAD Salim Balfas, atau yang biasanya cukup ditulis M Balfas, adalah pengarang kelahiran Kampung Krukut, Jakarta Barat. Dia pertama kali menulis cerpen pada 1940-an, yang diterbitkan oleh Asia Raja, koran milik pemerintah pendudukan Jepang. Kemudian cerpen, puisi, dan esainya dimuat di majalah Pembaroean. Pada masa revolusi fisik, ia menjadi reporter dan memimpin redaksi majalah Masyarakat.

Pada 1953, bersama Sudjati SA, dia menerbitkan Kisah, majalah khusus cerpen. Dia mengelola majalah ini bersama HB Jassin dan Idrus sampai majalah itu berhenti terbit pada 1956. Pada 1961, bersama sahabatnya HB Jassin, Balfas mendirikan majalah Sastra sebelum kemudian bekerja di Voice of Malaysia (kini RTM) pada 1962 hingga 1967.

Di Malaysia, Balfas tidak puas dengan kehidupannya. “Aku sudah muak di sini karena harus merendahkan diri saja” (surat pribadinya kepada Jassin dari Kuala Lumpur pada 19 September 1966). Dia kemudian menerima pekerjaan sebagai pengajar di University of Sidney, Australia.

Pada 1975, dia mengambil cuti dan pulang ke Indonesia untuk menyelesaikan penelitian tentang sejarah sastra Indonesia. Tapi, belum sempat itu dituntaskannya, asma mengakhiri hidupnya pada 5 Juni 1975. Balfas dimakamkan di Karet Bivak, Tanah Abang.

Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A Teeuw, menggolongkan Balfas ke dalam generasi Angkatan 45. Dia menulis beragam bentuk karangan meskipun sebagian besar cerpen. Yang terkenal adalah kumpulan cerpen Lingkaran-Lingkaran Retak (1952), yang di dalamnya juga memuat “Anak Revolusi”. Selain cerpen, dia menulis cerita anak, seperti Suling Emas (1952) dan Anak-Anak Kampung Djambu (1960), drama radio Tamu Malam (1957), novel Retak (1964), dan biografi Dr. Tjipto Mangunkusumo, Demokrat Sejati (1952).

Uniknya, A Teeuw menilai karya paling menarik Balfas adalah Si Gomar, novel yang tak pernah dia selesaikan. Si Gomar bercerita tentang seorang anak betawi dan keluarganya.

Ciri khas kepengarangan Balfas bisa dilihat dari latar penceritaannya yang seringkali menampilkan kehidupan kampung di Jakarta, interaksi antarmanusia di dalamnya, dan dialog yang menggunakan dialek Betawi. Karyanya juga mendedah tema tentang kehidupan yang sarat dengan hal tak terduga, dimana hidup tokohnya ditentukan momen-momen yang tak terencanakan.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Nukilan

Ziarah Lebaran

Cerpen Umar Kayam “Ziarah Lebaran” merupakan salah satu dari 17 “Cerpen Pilihan

Terbang

Cerpen Ayu Utami Dengan berlatarkan kecemasan terkait keamanan transportasi udara, Ayu Utami

Pemintal Kegelapan

Cerpen Intan Paramaditha Dalam cerpen ini, Intan Paramaditha meramu horor dan misteri

Cinta Sejati

Cerpen Isaac Asimov Anda yang pernah mencoba aplikasi atau situs web kencan
Go to Top