JELAJAH LITERASI

Kartu Pos dari Surga

in Nukilan by

Cerpen Agus Noor

“Kartu Pos dari Surga” karya Agus Noor adalah satu dari 20 cerpen Indonesia terbaik pilihan juri Anugerah Sastra Pena Kencana 2009. Ia menyiratkan perpaduan alam fisik (kartu pos) dan metafisik (surga). Perpaduan yang menyatakan betapa berharganya kenangan dalam hidup manusia.

MOBIL jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya langsung meloncat menghambur. “Hati-hati!” teriak sopir.

Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti capung ia melintas halaman. Ia ingin segera membuka kotak pos itu. Pasti kartu pos dari Mama telah tiba. Di kelas, tadi, ia sudah sibuk membayang-bayangkan: bergambar apakah kartu pos Mama kali ini? Hingga Bu Guru menegurnya karena terus-terusan melamun.

Beningnya tertegun, mendapati kotak itu kosong. Ia melongok, barangkali kartu pos itu terselip di dalamnya. Tapi memang tak ada. Apa Mama begitu sibuk hingga lupa mengirim kartu pos? Mungkin Bi Sari sudah mengambilnya! Beningnya pun segera berlari berteriak, “Biiikkk…, Bibiiikkk….”

Ia nyaris kepleset dan menabrak pintu. Bik Sari yang sedang mengepel sampai kaget melihat Beningnya terengah-engah begitu.

“Ada apa, Non?”

“Kartu posnya udah diambil Bibik, ya?”

Tongkat pel yang dipegangnya nyaris terlepas, dan Bik Sari merasa mulutnya langsung kaku. Ia harus menjawab apa? Bik Sari bisa melihat mata kecil yang bening itu seketika meredup, seakan sudah menebak, karena ia terus diam saja. Sungguh, ia selalu tak tahan melihat mata yang kecewa itu.

***

MARWAN hanya diam ketika Bik Sari cerita kejadian siang tadi.

“Sekarang, setiap pulang, Beningnya selalu nanya kartu pos…,” suara pembantunya terdengar serba salah. “Saya ndak tahu mesti jawab apa…”

Memang, tak gampang menjelaskan semuanya pada anak itu. Ia masih belum genap enam tahun. Marwan sendiri selalu berusaha menghindari jawaban langsung bila anaknya bertanya, “Kok kartu pos Mama belum datang ya, Pa?”

“Mungkin Pak Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet ngater kemari…”

Lalu ia mengelus lembut anaknya. Ia tak menyangka, betapa soal kartu pos ini akan membuatnya mesti mengarang-ngarang jawaban.

Pekerjaan Ren membuatnya sering bepergian. Kadang bisa sebulan tak pulang. Dari kota-kota yang disinggahi, ia selalu mengirimkan kartu pos buat Beningnya. Marwan kadang meledek istrinya, “Hari gini masih pake kartu pos?” Karena Ren sebenarnya bisa telepon atau kirim SMS. Meski baru play group, Beningnya sudah pegang hape. Sekolahnya memang mengharuskan setiap murid punya hand phone agar bisa dicek sewaktu-waktu, terutama saat bubaran sekolah, untuk berjaga-jaga kalau ada penculikan.

“Kau memang tak pernah merasakan bagaimana bahagianya dapat kartu pos…”

Marwan tak lagi menggoda bila Ren sudah menjawab seperti itu. Sepanjang hidupnya, Marwan tak pernah menerima kartu pos. Bahkan, rasanya, ia pun jarang dapat surat pos yang membuatnya bahagia. Saat SMP, banyak temannya yang punya sahabat pena, yang dikenal lewat rubrik majalah. Mereka akan berteriak senang bila menerima surat balasan atau kartu pos, dan memamerkannya dengan membacanya keras-keras. Karena iri, Marwan pernah diam-diam menulis surat untuk dirinya sendiri, lantas mengeposkannya. Ia pun berusaha tampak gembira ketika surat yang dikirimkannya sendiri itu ia terima.

Ren sejak kanak sering menerima kiriman kartu pos dari ayahnya yang pelaut. “Setiap kali menerima kartu pos darinya, aku selalu merasa ayahku muncul dari negeri-negeri yang jauh. Negeri yang gambarnya ada dalam kartu pos itu…” ujar Ren.

Marwan ingat, bagaimana Ren bercerita, dengan suara penuh kenangan, “Aku selalu mengeluarkan semua kartu pos itu, setiap ayah pulang.” Ren kecil duduk di pangkuan, sementara ayahnya berkisah keindahan kota-kota pada kartu pos yang mereka pandangi. “Itulah saat-saat menyenangkan dan membanggakan punya Ayah pelaut.”

Ren merawat kartu pos itu seperti merawat kenangan. “Mungkin aku memang jadul. Aku hanya ingin Beningnya punya kebahagiaan yang aku rasakan…”

Tak ingin berbantahan, Marwan diam. Meski tetap saja ia merasa aneh, dan yang lucu: pernah suatu kali Ren sudah pulang, tetapi kartu pos yang dikirimkannya dari kota yang disinggahi baru sampai tiga hari kemudian!

Ketukan di pintu membuat Marwan bangkit dan ia mendapati Beningnya berdiri sayu menenteng kotak kayu. Itu kotak kayu pemberian Ren. Kotak kayu yang dulu juga dipakai Ren menyimpan kartu pos dari Ayahnya. Marwan melirik jam dinding kamarnya. Pukul 11.20.

Enggak bisa tidur, ya? Mo tidur di kamar Papa?”

Marwan menggandeng anaknya masuk.

“Besok Papa bisa anter Beningnya enggak?” tiba-tiba anaknya bertanya.

Nganter ke mana? Pizza Hut?”

Beningnya menggeleng.

“Ke mana?”

“Ke rumah Pak Pos…”

Marwan merasakan sesuatu mendesir di dadanya.

Kalu emang Pak Posnya sakit biar besok Beningnya aja yang ke rumahnya, ngambil kartu pos dari Mama.”

Marwan hanya diam, bahkan ketika anaknya mulai mengeluarkan setumpuk kartu pos dari kotak itu. Ia mencoba menarik perhatian Beningnya dengan memutar DVD Pokoyo, kartun kesukaannya. Tapi Beningnya terus sibuk memandangi gambar-gambar kartu pos itu. Sudut kota tua. Siluet menara dengan burung-burung melintas langit jernih. Sepeda yang berjajar di tepian kanal. Pagoda kuning keemasan. Deretan kafe payung warna sepia. Dermaga dengan deretan yacht tertambat. Air mancur dan patung bocah bersayap. Gambar pada dinding goa. Bukit karang yang menjulang. Semua itu menjadi tampak lebih indah dalam kartu pos. Rasanya, ia kini mulai dapat memahami, kenapa seorang pengarang bisa begitu terobsesi pada senja dan ingin memotongnya menjadi kartu pos buat pacarnya.

Andai ada Ren, pasti akan dikisahkannya gambar-gambar di kartu pos itu hingga Beningnya tertidur. Ah, bagaimanakah ia mesti menjelaskan semuanya pada bocah itu?

“Bilang saja Mamanya pergi…” kata Ita, teman sekantor, saat Marwan makan siang bersama. Marwan masih ngantuk karena baru tidur menjelang jam lima pagi, setelah Beningnya pulas.

“Bagaimana kalau ia malah terus bertanya, kapan pulangnya?”

“Ya sudah, kamu jelaskan saja pelan-pelan yang sebenarnya.”

Itulah. Ia selalu merasa bingung, dari mana mesti memulainya? Marwan menatap Ita, yang tampak memberi isyarat agar ia melihat ke sebelah. Beberapa rekan sekantornya terlihat tengah memandang mejanya dengan mata penuh gosip. Pasti mereka menduga ia dan Ita…

“Atau kamu bisa saja tulis kartu pos buat dia. Seolah-olah itu dari Ren…”

Marwan tersenyum. Merasa lucu karena ingat kisah masa lalunya.

Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat Beningnya meloncat turun. Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruh hati-hati, tetapi bocah itu telah melesat menuju kotak pos di pagar rumah. Marwan tersenyum. Ia sengaja tak masuk kantor untuk melihat Beningnya gembira ketika mendapati kartu pos itu. Kartu pos yang diam-diam ia kirim. Dari jendela ia bisa melihat anaknya memandangi kartu pos itu, seperti tercekat, kemudian berlarian tergesa masuk rumah.

Marwan menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu pos itu.

“Wah, udah datang ya kartu posnya?”

Marwan melihat mata Beningnya berkaca-kaca.

“Ini bukan kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk kartu pos itu. “Ini bukan tulisan Mama…”

Marwan tak berani menatap mata anaknya, ketika Beningnya terisak dan berlari ke kamarnya. Bahkan membohongi anaknya saja ia tak bisa! Barangkali memang harus berterus terang. Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak seusianya? Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah. Ia bisa membiarkan Beningnya melihat Mamanya terakhir kali. Membiarkannya ikut ke pemakaman. Mungkin ia akan terus-terusan menangis karena merasakan kehilangan. Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya dari tangisnya ketimbang harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan mayatnya tak pernah ditemukan.

Ketukan gugup di pintu membuat Marwan bergegas bangun. Dua belas lewat, sekilas ia melihat jam kamarnya.

“Ada apa?” Marwan mendapati Bik Sari yang pucat.

“Beningnya…”

Bergegas Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar anaknya. Ada cahaya terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang terang keperakan. Dan ia mendengar Beningnya yang cekikikan riang, seperti tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Hawa dingin bagai merembes dari dinding. Bau wangi yang ganjil mengambang. Dan cahaya itu makin menggenangi lantai. Rasanya ia hendak terserap amblas ke dalam kamar.

“Beningnya! Beningnya!” Marwan segera menggedor pintu kamar yang entah kenapa begitu sulit ia buka. Ia melihat ada asap lembut, serupa kabut, keluar dari lubang kunci. Bau sangit membuatnya tersedak. Lebih keras dari bau amoniak. Ia menduga terjadi kebakaran dan makin panik membayangkan api mulai melahap kasur.

“Beningnya! Beningnya!” Bik Sari ikut berteriak memanggil.

“Buka Beningnya! Cepat buka!”

Entahlah berapa lama ia menggedor, ketika akhirnya cahaya keperakan itu seketika lenyap dan pintu terbuka. Beningnya berdiri sambil memegangi selimut. Segera Marwan menyambar mendekapnya. Ia melongok ke dalam kamar, tak ada api, semua rapi. Hanya kartu pos-kartu pos yang berserakan.

“Tadi Mama datang,” pelan Beningnya bicara. “Kata Mama tukang posnya emang sakit, jadi Mama mesti nganter kartu posnya sendiri…”

Beningnya mengulurkan tangan. Marwan mendapati sepotong kain serupa kartu pos dipegangi anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu. Kain kafan yang tepiannya kecoklatan bagai bekas terbakar.[]

Singapura-Yogyakarta, 2008

[Dinukil dari: 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009, 2009, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hlm. 1-7]


Ulasan: Kenangan dan Kehilangan

“Kartu Pos dari Surga” karya Agus Noor adalah satu dari 20 cerpen Indonesia terbaik pilihan juri Anugerah Sastra Pena Kencana 2009. Para juri—antara lain Budi Darma, Joko Pinurbo, dan Putu Wijaya—memilih keduapuluh cerpen tersebut dari ratusan cerpen yang terbit di sejumlah koran selama periode 1 November 2007 hingga 31 Oktober 2018.

Judulnya menyiratkan perpaduan antara alam fisik (kartu pos) dan metafisik (surga). Tentu saja dalam logika empiris, tak ada kartu pos yang dikirim dari surga. Tapi, dalam logika intuitif-imajinatif, semua menjadi mungkin. Dan, sebuah karya kreatif, termasuk cerpen, akan menjelajahi semua realitas, termasuk realitas intuitif-imajinatif.

Kartu pos, dalam cerpen ini, mendapatkan porsi cukup banyak. Narator melukiskan keistimewaan kartu pos jika dibandingkan modus berkomunikasi atau berkirim pesan saat ini. Keistimewaan itu adalah sentuhan pribadi, yang tak pernah bisa kita rasakan dari SMS, Whatsapp, atau media sosial. Narator juga sempat merujuk kepada cerpen Seno Gumira Ajidarma, “Sepotong Senja untuk Pacarku”, untuk menunjukkan bertapa istimewanya sebuah kartu pos.

Kau memang tak pernah merasakan bagaimana bahagianya dapat kartu pos…” kata Ren kepada suaminya, Marwan. Ini menyiratkan sentuhan personal kartu pos dan cara berkirim pesan melalui pos lainnya, yang kini bagi banyak orang tak lagi relevan.

Kartu pos—yang dimulai di Jerman pada paruh kedua Abad ke-19—tak hanya menyampaikan informasi tapi menyimpan kenangan, dan itulah kebahagiaan bagi Ren dan banyak orang. Gambar-gambar pada kartu pos menampilkan lanskap, manusia, dan peristiwa pada masanya. Para sejarawan bahkan kini menjadikan kartu pos sebagai salah satu referensi penulisan sejarah.

Tak cuma itu, tulisan tangan si pengirim kartu pos menghadirkan kenangan amat personal, yang tak akan pernah tergantikan oleh bit-bit piksel huruf pesan elektronik, dan apalagi sekadar emoticon. Si pengirim kartu pos—entah itu ayah, ibu, kakek, nenek, atau sahabat—seolah hadir dalam tulisan tangan tersebut. Bahkan, setelah dimakan usia, tinta pada tulisan tangan yang berubah warna dan tekstur makin memperdalam kenangan karena menyiratkan perjalanan waktu. “Setiap kali menerima kartu pos darinya, aku selalu merasa ayahku muncul dari negeri-negeri yang jauh…” kata Ren.

Mengapa kenangan berbuah kebahagiaan? Sebab, tanpa kenangan, manusia tak akan pernah menemukan hubungannya dengan kehidupan ini. Tanpa kenangan, manusia tak tahu dari mana ia berasal dan akan ke mana ia menuju. Tanpa kenangan, ia seperti layang-layang putus, sendirian tanpa jejak dan tempat dalam realitas eksternal: keluarga, komunitas, bangsa, dan umat manusia.

Manusia adalah makhluk pemburu kenangan. Kita merawat artefak, mengenang orang, momen, dan tempat tertentu. Kita membuat batu nisan, membangun pekuburan, dan menziarahinya. Kita menulis (buku harian, surat, dan kartu pos) dan menyimpan semua itu untuk merawat kenangan. Semua itu membuat kita bahagia karena tak merasa kehilangan.

Dan begitulah Beningnya. Dia mencari-cari kartu pos, dan bukan Ren. Itu bukan berarti sosok fisik ibunya tak penting bagi Beningnya, tapi kartu pos yang selalu Ren kirimkan cukup baginya untuk merasakan kehadiran sang ibu.

Di sinilah problemnya. Ren bukan hanya tak mengirimkan kartu pos tapi bahkan sosok fisiknya pun tak lagi bisa hadir (pesawat yang ia tumpangi jatuh ke laut dan jasadnya tak pernah ditemukan). Marwan tak bisa menjelaskan semua itu kepada Beningnya, anaknya yang baru enam tahun. “Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak seusianya? Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah.”

Kematian sebuah kehilangan. Tapi mati tanpa jasad adalah kehilangan yang lebih besar karena tubuh, seperti juga kartu pos, menyimpan kenangan: bisa dikuburkan atau dikremasi dan abunya disimpan dalam guci khusus.

Marwan mencoba menulis dan mengirim kartu pos seolah-olah itu berasal dari Ren. Tapi, Beningnya tahu itu bukan tulisan tangan ibunya. Marwan tak menyadari nilai personal sebuah kartu pos. Saking personalnya, kartu pos nyaris tak bisa dipalsukan layaknya pesan elektronik pada SMS atau Whatsapp saat ini yang bahkan bisa diretas.

Bagaimana Agus Noor menyelesaikan problem itu? Terus terang bagian ini sedikit mengejutkan meskipun tersirat dari judul cerpen. Ia seakan berbelok patah dari penceritaan realis kepada surealis.

Namun, di situlah, Agus Noor justru kembali kepada pentingnya kenangan dalam hidup manusia. Kenangan, entah dari mana asalnya, akan membuat manusia tak pernah merasa kehilangan. “Lupakan saja dan move on,” kata-kata motivator yang seringkali kita dengar, justru tak menyelesaikan persoalan.

Lewat penceritaan surealis, Agus Noor tampaknya juga ingin menyiratkan hubungan manusia dengan fakultas intuisinya. Kenangan, bagaimanapun, bersifat intuitif-imajinatif. Justru realitas imajinatiflah, dan bukan sekadar realitas empiris, yang menghidupi kemanusiaan. Realitas seperti ini tak akan pernah tergantikan oleh memori komputasi seberapa pun hebatnya itu.

Kita bisa membaca ending cerpen ini sebagai imajinasi Beningnya dan Marwan akan kerinduan keduanya kepada Ren. Kerinduan kita pada orang-orang yang kita cintai tak jarang mendesak-desak dari alam-bawah-sadar ke alam kesadaran kita. Desakan itu bisa menajamkan pancaindra, sehingga terkadang kita melihat kilasan, mencium bau, mendengar suara, dan merasakan sentuhan mereka. Terkadang desakan kerinduan itu juga mewujud dalam mimpi.[]


Agus Noor

AGUS Noor (lahir di Tegal, Jawa Tengah, 26 Juni 1968) belajar teater di Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Meskipun tetap menulis dan menyutradarai lakon, Agus lebih dikenal orang sebagai pengarang.

Pada awalnya, dia menulis puisi. Namun, dia belakangan merasa tak menemukan kegembiraan dalam menulis puisi. “Di hadapan puisi yang tampak agung dan sakral di mata saya, saya seperti tidak mampu rileks,” katanya. Atas saran Linus Suryadi AG, Agus kemudian mencoba menulis prosa, baik itu cerpen, esai, maupun monolog.

Karya-karya prosalah yang ternyata melejitkan namanya. Monolognya Matinya Sang Kritikus—yang pernah dipentaskan Butet Kertaradjasa—diadaptasi menjadi program televisi “Sentilan Sentilun” di Metro TV. Cerpen-cerpennya kerap menuai penghargaan, beberapa kali masuk dalam daftar cerpen pilihan Kompas dan diganjar hadiah oleh Dewan Kesenian Jakarta. Buku-buku kumpulan cerpennya juga termasuk laris di pasaran, seperti Memorabilia (2000), Selingkuh Itu Indah (2001), Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (2007), Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan (2010), Cerita buat Para Kekasih (2014), Cinta Tak Pernah Sia-sia, dan Barista Tanpa Nama (2018).

Agus mengatakan tak ingin kreativitasnya dibatasi oleh deskripsi tertentu. Karenanya, dia menulis banyak tema, dari sosial-politik hingga percintaan. Dia juga menulis banyak ragam atau bentuk, dari realis ke surealis.

Agus termasuk pengarang yang cukup produktif. Dia bahkan mematok target: menulis empat cerpen setiap bulan. Tak jadi soal, apakah cerpen-cerpen itu akan diterbitkan koran, menjadi buku, atau tidak diterbitkan sama sekali.

“Saya menulis karena ingin membebaskan diri dari kegilaan. Saya butuh mengekspresikan diri. Kalau tidak, saya bisa sakit jiwa,” katanya seperti dikutip dari Indonesiakaya.com.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Nukilan

Ziarah Lebaran

Cerpen Umar Kayam “Ziarah Lebaran” merupakan salah satu dari 17 “Cerpen Pilihan

Terbang

Cerpen Ayu Utami Dengan berlatarkan kecemasan terkait keamanan transportasi udara, Ayu Utami

Pemintal Kegelapan

Cerpen Intan Paramaditha Dalam cerpen ini, Intan Paramaditha meramu horor dan misteri

Cinta Sejati

Cerpen Isaac Asimov Anda yang pernah mencoba aplikasi atau situs web kencan
Go to Top