Black Mirror ingin menjawab pertanyaan dasar ini: akankah manusia mampu mengendalikan teknologi yang dia pakai untuk mengejar obsesinya ataukah justru sebaliknya teknologi itu yang akan memerosokkannya ke dalam labirin abadi yang mengerikan?
ANTOLOGI serial Black Mirror adalah sebuah upaya menarasikan hubungan manusia modern (baca: posmodern) dengan tekonologi. Serial ini berpijak pada asumsi bahwa hubungan manusia dengan teknologi kerap mengalami ketegangan dan kebingungan. Pemanfaatan teknologi untuk suatu kepentingan, umpamanya teknologi informasi, tidak jarang melahirkan ekses yang berkebalikan. Alih-alih membantu dan menolong individu maupun masyarakat, dalam praktiknya teknologi sering berujung memperbudak dan memenjaranya.
Ide dasar serial ini bertumpu pada problem filosofis manusia dengan dirinya. Tiap kali manusia mengejar obsesinya dengan sarana tertentu maka dia akan menemukan bahwa sarana itu tak lama kemudian berubah jadi makhluk yang menguasainya. Manusia akan kebingungan membedakan mana kepentingan dan kebutuhan dirinya dan mana keinginannya yang tidak mungkin dia raih dengan alat tersebut. Problem filosofis ini sudah sering dikemukakan oleh para pemikir sejak ribuan tahun silam tapi ia seperti kembali menguat di era revolusi digital. Yakni era ketika privasi luruh dan runtuh oleh invasi teknologi informasi ke semua ruang kehidupan manusia.
Serial Black Mirror ingin menjawab pertanyaan dasar ini: akankah manusia mampu mengendalikan teknologi yang dia pakai untuk mengejar obsesinya ataukah justru sebaliknya teknologi itu yang akan memerosokkannya ke dalam labirin abadi yang mengerikan? Charlie Brooker dan Annabel Jones, kedua kreator serial distopian ini, pada akhirnya tidak menjawab pertanyaan itu, apalagi memberi solusi atas problem eksistensial yang mendasar tersebut. Tapi melalui serial ini mereka telah mengeksplorasi wilayah gelap hubungan manusia dengan teknologi itu sekaligus memberi peringatan akan berbagai bahaya yang dapat terjadi di masa depan.
- Judul Film: Black Mirror (antologi serial)
- Kreator: Charlie Brooker, Annabel Jones
- Rilis: 2011-2014 (Channel 4), 2016-2020 (Netflix)
- Durasi 41-89 menit (5 Season, 22 Episode)
Sejak episode pertama, Anda akan disuguhi serangkaian ide gila dan absurd terkait manusia dan mainan-mainannya. Bagi mereka yang tidak akrab dengan media sosial, kegilaan itu boleh jadi masih nun jauh di sana. Atau mungkin semuanya masih terkesan fantasi liar para pengarang cerita. Tapi bagi mereka yang bergelut dengan media sosial, kegilaan itu bukan saja realistis tapi sudah seperti barang normal dan standar.
Episode pertama serial ini bercerita tentang seorang seniman gila yang ingin mementaskan “karya seni” pemuncak sebelum mengakhiri hidupnya. Mula-mula dia menyandera seorang putri Inggris di sebuah lokasi yang tidak dapat dideteksi. Di hadapan berjuta-juta penonton, dia meminta tebusan dari Perdana Menteri Inggris. Alih-alih meminta uang seperti umumnya pelaku kejahatan biasa, sang seniman meminta PM Inggris melakukan hubungan seksual dengan babi dalam siaran langsung YouTube. PM itu awalnya menolak mentah-mentah. Tapi desakan publik dan peringkat popularitasnya yang terus merosot memaksanya melakukan adegan menjijikkan itu. Setelah sang putri dibebaskan, seniman itu langsung melakukan bunuh diri. Penyelidikan kemudian mengungkap bahwa motif sang seniman melakukan semua ini tak lain untuk menunjukkan invasi media sosial terhadap privasi warga.
Episode ketiga berkisah tentang bagaimana teknologi penyimpan memori orang justru dapat menyebabkan ketegangan dan kekikukan yang luarbiasa dalam hubungan sepasang suami istri. Teknologi yang semula diproyeksikan untuk menjadi pengingat dan barangkali dapat merangsang nostalgia pada akhirnya justru menjadi perusak yang mengerikan.Sebab, lupa dan melupakan itu tidak selamanya buruk. Tidak jarang lupa itu obat paling mujarab bagi hubungan antarmanusia. Nah ketika tidak ada lagi yang bisa dilupakan dan semuanya tersimpan secara digital maka tentu kehidupan menjadi tidak wajar, penuh konflik dan kecurigaan. Tiap orang akan dengan mudah melacak keburukan masa lalu yang lain hingga timbul kekacauan hubungan interpersonal dan sosial yang penuh racun.
Alhasil, teknologi dalam Black Mirror dikemukakan sebagai jin dalam botol Aladin. Ia bisa mewujudkan obsesi kita tapi pada saat yang sama ketika obsesi itu terwujud, keadaan kita justru semakin terpuruk dan terjatuh. Begitu suatu obsesi, seperti penyimpan memori, ekspos non-stop atas kekasih, pangawasan terus-menerus atas anak, engagement konstan dan sebagainya, terwujud, maka kita otomatis terperangkap dalam situasi yang menakutkan. Kita kehilangan kewajaran dan tidak dapat menerima keadaan secara apa adanya karena teknologi memaksa kita bersikap dan berbuat tidak manusiawi.
Dalam season 3 episode 1 yang berjudul Nosedive, Brooker dan Jones menuturkan tentang sosok bernama Lacie yang secara konstan dihadapkan pada kebutuhan untuk meraih rating tertinggi. Sebagai bagian dari masyarakat yang segalanya ditentukan oleh semacam rating online, Lacie harus terus aktif memberi rating terbaik bagi kawan-kawan dan siapa saja yang berinteraksi dengannya, dengan harapan dia juga mendapat rating yang sama baiknya. Jika rating kita berada di posisi bintang 5, maka keadaan sosioekonomi kita akan terjamin. Sebaliknya pun demikian.
Situasi itu menjadikan tiap orang, termasuk Lacie, hidup dalam ketidakjujuran, kemunafikan, dan basa-basi yang konstan dan tidak pernah bisa mengekspresikan perasaan secara alami.
Setelah mengalami serangkaian kecelakaan yang tidak disengaja, Lacie yang secara serius mengejar rating tertinggi pun akhirnya merosot ke posisi di bawah 2 sehingga dijauhi dan ditakuti oleh banyak orang. Hidupnya menjadi makin kacau ketika sahabat dekat yang dia kagumi menolak kehadirannya di pernikahannya. Padahal, semula Lacie telah diundang untuk mendampingi sahabat karibnya tersebut.
Kisah Lacie di atas sejatinya jamak dialami orang di era media sosial ini. Hidup semu kian terasa semu. Di era ini orang seperti tak mampu membedakan mana yang riil dan yang mana virtual. Kita dipaksa menjaga penampilan lahiriah meski batin kita sama sekali tidak sejalan dengan yang lahiriah itu. Paksaan ini akibatnya merontokkan kepekaan, empati, perasaan, dan bahkan pengalaman batin seseorang.
Media sosial telah memaksa banyak orang tidak menjadi diri sendiri, karena kepentingan penampilan. Motivasi tampil lebih baik di hadapan yang lain acapkali menjadikan orang tidak menyadari apa yang ada dalam dirinya. Dimensi batin akhirnya tenggelam dan tidak dapat dirasakan subjek. Puncaknya orang hidup tanpa pengalaman, serba materialistik, formalistik, tidak autentik dan terasing dari dirinya sendiri. Dia kehilangan eksistensi dirinya demi menjaga citra diri yang hanya ada dalam persepsinya sendiri.
Serial Black Mirror termasuk satu dari sekian antologi distopian Netflix yang mengangkat tema ini. Netflix juga punya sejumlah dokumenter yang menyoroti topik serupa. Di antara yang mendapat sambutan luas ialah The Social Dilemma.
Dokudrama tersebut melukiskan eksploitasi media sosial terhadap emosi dan konflik antarmanusia untuk meningkatkan efek ketagihan pengguna media sosial. Dengan menggunakan serangkaian algoritma tertentu, media sosial telah mengeksploitasi hal-hal sensitif, agama, hoaks, kebencian, insting kebinatangan dan sebagainya dalam rangka memaksa pengguna terus menerus terpaku di depan gawainya.
Dengan cara itu, sejumlah korporasi raksasa di balik media sosial berhasil memaksimalkan penambangan data (data mining) dan akhirnya pengendalian kebutuhan dan keinginan pengguna. Semua itu dilakukan tanpa sedikit pun peduli dengan efek-efek psikologis berbahaya bagi pengguna pada umumnya, bahkan—seperti yang terungkap dalam dokudrama itu—kehadiran media sosial telah menambah tingkat bunuh diri di kalangan remaja di sejumlah negara.[]