JELAJAH LITERASI

“The Queen’s Gambit”: Keindahan, Kecerdasan, dan Kegilaan Dunia 64 Petak

in Film by

Beth Harmon dalam The Queen’s Gambit menunjukkan perempuan pada dasarnya bisa bersolek sekaligus berotak. Beth juga seakan mempersonifikasi dua figur grandmaster di dunia nyata: Judit Polgar yang mendobrak dominasi pria dan Bobby Fischer yang menolak politisasi catur.

DI ANTARA hal-hal bagus dalam miniseri terbaru Netflix, The Queen’s Gambit, adegan pamungkasnya paling mengesankan. Elizabeth Harmon (Anya Taylor-Joy), yang baru saja memenangi megaduel dengan grandmaster Soviet sekaligus juara dunia catur, Vasily Borgov (Marcin Dorociński), tak memedulikan brief staf Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat soal seremoni penyambutan kemenangannya di Gedung Putih. Beth meminta mobil menepi, turun, lalu berjalan menuju sebuah taman, tempat orang-orang lanjut usia di Moscow memainkan catur di deretan meja dan bangku. Begitu mengenal wajah Beth, kakek-kakek Rusia itu berebutan menyalami sang penakluk juara dunia.

Mengapa adegan itu paling mengesankan, padahal tak sedikit kritikus, termasuk Mike Hale dari The New York Times, menilai ending itu tak memuaskan? Dengan adegan tersebut, The Queen’s Gambit tak terperosok ke dalam jurang klise film cerita olahraga ala Hollywood semacam Rocky.

  • Judul Film: The Queen’s Gambit (miniseri)
  • Kreator: Scott Frank dan Allan Scott
  • Sutradara: Scott Frank
  • Pemain: Anya Taylor-Joy, Marielle Heller, Harry Melling, Bill Camp, Moses Ingram
  • Rilis: 23 Oktober 2020 (Netflix)
  • Durasi: 46-67 menit (7 episode)

Ya, Beth memang pecatur Amerika yang menundukkan pecatur Soviet di negerinya sendiri. Tapi, Beth tak mewakili negara Amerika. Dia individu otonom. Dia pergi ke Moscow dengan uang pinjaman. Pemerintah Amerika bahkan tak mau membiayai keberangkatan Beth. Beth juga menolak menjadi pion propaganda sebuah yayasan Kristen yang ingin membiayai perjalanannya dengan syarat dia menyampaikan pernyataan pers melawan komunisme.

Di Moscow, Beth justru merasa seperti berada di kampung halaman: negeri para pecatur. Tak hanya orang-orang biasa yang memainkan olahraga selebral ini di taman dan pinggir jalan, kejuaraan dunia disaksikan berjuta pasang mata, sesuatu yang tak terjadi di Amerika. Warga Moscow pun tak peduli dengan asal-usul sang pecatur. Selama ia mampu mengakhiri laga dengan kemenangan, mereka memujanya, termasuk Beth yang justru menjadi primadona mereka. Para grandmaster Rusia yang dikalahkan Beth, termasuk Borgov, dengan elegan juga memuji permainan gadis jenius itu.

Sungguh ending film yang mengesankan. Kreator Scott Frank dan Allan Scott menunjukkan bahwa catur adalah permainan umat manusia. Persetan dengan agama, ideologi, gender, ras, dan negara. Ini mengingatkan kita kepada kisah nyata grandmaster Amerika, Bobby Fischer (sudah difilmkan dengan judul Pawn Sacrifice) yang mengalami persekusi politik gara-gara berani bertanding di Yugoslavia pada 1992, yang pada saat itu tengah diembargo Amerika.

Persoalan itu memang bukan premis utama miniseri tujuh episode yang tayang perdana pada 23 Oktober 2020 itu. Ia hanya salah satu bumbu yang ditabur apik oleh Frank dan Scott hingga membuat keseluruhan sajian film ini tak bisa dilupakan kelezatannya.

Film ini mengisahkan perjuangan Beth. Pada usia delapan tahun, gadis ini terdampar di panti asuhan setelah selamat dari kecelakan mobil yang membunuh ibu kandungnya (Chloe Pirrie). Berbakat dalam matematika, Beth terobsesi dengan catur setelah memelajari permainan ini dari penjaga gedung panti yang beraut wajah mengancam, Pak Shaibel (diperankan dengan apik dan natural oleh aktor watak kawakan Bill Camp).

Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Walter Tevis, The Queen’s Gambit adalah film coming-age berpaket lengkap: persoalan keluarga, obsesi, kecanduan alkohol dan obat-obatan, diskriminasi gender dan ras, urusan agama dan politik, dan tentu saja keindahan serta kompleksitas catur, lengkap dengan referensi akurat terkait strategi dan sejarahnya (eks juara dunia Gary Kasparov dan pelatih catur legendaris Bruce Pandolfini menjadi konsultan ahli miniseri ini). Film ini bisa membuat kita tertawa, sedih, dan bahkan mungkin menjadi penggemar catur.

Itu bukan omong kosong. Setidaknya di dunia maya, mulai terjadi demam catur. Seorang pecatur profesional, Atonio Radić, yang mengelola kanal analisis pertandingan catur di YouTube (agadmator’s Chess Channel), terkejut saat video penjelasannya tentang duel final Harmon versus Borgov mendapatkan lebih daripada satu juta view. Dia lebih terkejut saat memperhatikan statistik YouTube, yang menunjukkan penonton wanita mencapai lima persen, padahal biasanya tak sampai tiga persen.

Di dunia nyata, grandmaster Jennifer Shahade, sekaligus direktur program perempuan di federasi catur Amerika, juga terkejut ketika pendaftar kelas online tentang queen’s gambit—salah satu strategi pembukaan dalam permainan catur—satu pekan setelah miniseri dirilis mencapai 100 orang, padahal biasanya hanya puluhan.

The Queen’s Gambit sejak tayang perdana memang langsung melejit menjadi film paling banyak ditonton di Netflix (sayang, layanan streaming ini tidak merilis angkanya). Hingga 23 hari setelahnya, The Queen’s Gambit masih nyaman nangkring di puncak meskipun sesaat sempat disalip Holidate.

Selain skenario dan sinematografinya yang dirajut menjadi tenunan indah, Anya Taylor-Joy tak bisa dipungkiri memanglah magnet film ini. Bintang The Witch (2015) dan Emma (2020) itu mampu menghidupkan karakter Beth Harmon yang berkembang dari gadis malang, pemurung, kikuk, tapi cerdas menjadi pecatur profesional yang percaya diri, berciri khas permainan agresif, dan bergaya anggun serta modis. Kecantikan sekaligus kecerdasan pada diri Beth berhasil dijiwai Anya. Tatapan matanya yang tajam (ada yang menyebut Anya memang telah memiliki tatapan mirip karakter anime) kadang berputar-putar sementara wajahnya tetap menghadap lurus ke depan.

Karakter Beth menunjukkan bahwa perempuan pada dasarnya bisa bersolek sekaligus berotak. Dia menaklukkan satu demi satu pemain catur pria. Orang-orang pun terperangah. Ternyata ada perempuan yang mampu berpikir kompleks di hadapan papan 64 petak. Sayangnya, media memuji Beth lebih karena keperempuanannya, dan bukan karena permainan jeniusnya.

Secara internal, Beth menemukan suaka dari segala kemalangan hidup pada papan 64 petak itu. Permainan berusia 14 abad itu adalah satu-satunya yang masuk akal dalam hidupnya ketika semua hal lain terjadi tanpa penjelasan: ibu kandung yang bermasalah secara emosi; ayah kandung yang tak jelas juntrungannya; ayah angkat yang kabur dari rumah; serta sejumlah laki-laki dalam hidupnya yang tak bisa memahaminya.

Ia (catur) sebuah dunia yang hanya terdiri dari 64 petak. Aku merasa aman di dalamnya. Aku bisa mengendalikan dan mendominasinya. Ia juga mudah ditebak. Jadi jika terluka, aku hanya menyalahkan diriku,” kata Beth yang dikisahkan tengah diwawancarai reporter majalah LIFE tentang alasan dia menyukai catur—sesuatu yang ganjil bagi seorang perempuan pada dekade 1960-an (dan bahkan mungkin hingga kini).

Kecintaan Beth pada dunia 64 petak tak berlangsung mulus. Itu melibatkan obsesi yang berpadu dengan kecanduan kepada alkohol dan pil penenang. Kemampuan Beth membayangkan pergerakan buah-buah catur di dalam kepalanya (tergambar sebagai papan catur pada langit-langit) adalah keistimewaan yang kadang dimiliki seorang grandmaster top. Magnus Carlsen, juara dunia saat ini asal Nowergia, kabarnya mampu memprediksi dan mengantisipasi 15-20 langkah di depan, terutama ketika pertarungan memasuki middlegame dan endgame. Paul Morphy, legenda catur Amerika (bermain pada paruh kedua Abad ke-19), misalnya, juga punya kemampuan menggerakkan buah caturnya tanpa melihat papan seperti Beth dalam film ini. Beth awalnya mengira kemampuan itu muncul karena dia mengonsumsi pil penenang yang pernah rutin diberikan di panti asuhan. Tapi, dia belakangan menyadari dia tak mesti bergantung kepada pil-pil itu untuk mengaktifkan kemampuan tersebut.

Beth berjuang menjadi yang terbaik dalam permainan ini sementara pada saat yang sama berjibaku mengatasi kecanduannya itu. Perjuangannya ini digambarkan dalam adegan-adegan memikat, terutama duel-duel catur di sepanjang episode dari Kentucky, Cincinnati, Las Vegas, Paris, hingga Moscow. Beth akhirnya mampu mendobrak dominasi pria dalam dunia percaturan.

Itu mengingat kita kepada satu nama di dunia nyata: Judit Polgar. Grandmaster asal Hungaria ini adalah perempuan pertama (bahkan mungkin satu-satunya hingga kini) yang berhasil lolos kualifikasi turnamen terbuka kejuaraan dunia. Dia juga perempuan satu-satunya yang mampu mengalahkan juara-juara dunia—yang semuanya laki-laki—seperti Anatoly Karpov, Gary Kasparov, dan bahkan Carlsen. Dia menembus daftar 10 pemain catur terhebat sejagat di posisi ke-8 dengan Elo rating 2735 (pecatur terbaik perempuan saat ini, Hou Yifan asal China, memiliki Elo rating 2658).

Beth dalam The Queen’s Gambit seakan mempersonifikasi dua figur di dunia nyata: Polgar dan Fischer. Ia mendobrak dominasi pria sekaligus menolak menjadi pion politik. Seperti Fischer—dan juga Morphy—Beth sempat mengalami obsesi dan delusi. Melalui karakter Beth, The Queen’s Gambit menyampaikan pesan itu tanpa harus berbicara ndakik-ndakik tentang kesetaraan gender atau otonomi individu. Beth cukup menunjukkan itu dengan kemandirian, kebebasan, dan kecerdasannya menggerakkan buah-buah catur di papan 64 petak.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Film

Go to Top