JELAJAH LITERASI

“Nomadland”: Apa Makna “Rumah” bagi Manusia?

in Film by

Nomadland (2021) mempertanyakan kembali makna “rumah”. Apakah bangunan fisik yang kita tinggali adalah “rumah” sejati bagi kita?

Pabrik US Gypsum di Empire, salah satu kota kecil yang dilahirkan oleh industri di Nevada, tutup. Fern (Frances McDormand), seorang janda pekerja, harus kehilangan pekerjaan, rumah, dan sekaligus lingkungannya. Dia meninggalkan Empire. Kode pos kota itu bahkan akan dihapus dalam enam bulan.

Fern menjual apa yang bisa dijual dari barang-barangnya. Dia kemudian memilih tinggal sebagai nomad di dalam sebuah van. Dia tak membeli rumah di tempat lain atau setidaknya menumpang di rumah besar saudarinya.

Di usia 60-an tahun, Fern hidup nomaden di atas empat roda, menjelajahi kota-kota gurun dan padang rumput Amerika Serikat, bekerja serabutan di gudang Amazon, di Taman Nasional Badland, dan di restoran Wall Drug, South Dakota. Selama perjalanannya, dia bertemu dengan para nomad lain, terutama yang tergabung di Rubber Tramp Rendesvouz, Arizona, yang dikelola oleh Bob Wells.

Hidup sebagai nomad di atas van adalah kehidupan penuh ketidakstabilan dan risiko. Fern harus menghadapi suhu bertemperatur di bawah titik beku. Seringkali seseorang mengetuk pintu van dan menyuruh Fern pergi karena ia tak diperbolehkan parkir di sana. Suatu waktu van itu rusak dan Fern tak punya uang untuk memperbaiki “rumahnya” itu di bengkel.

Namun, yang terutama adalah stigma yang disematkan kepada kaum nomad modern. Ketika tak sengaja berpapasan dengan keluarga yang dia kenal, seorang anak keluarga itu bertanya, apakah Fern kini gelandangan (homeless). Fern menjawab, “I’m not homeless. I’m just… houseless. Not the same thing, right?” (Aku bukan gelandangan. Aku hanya tidak memiliki rumah. Bukan hal yang sama, kan?).

Fern adalah pusat pengisahan Nomadland (2021) karya Chloé Zhao, sutradara Amerika kelahiran China. Lanskap South Dakota dalam film ini bukan lingkungan asing bagi Zhao. Dua filmnya sebelum ini, Songs My Brothers Taught Me (2015) dan The Rider (2017) mengambil latar yang sama. Dua film pertamanya itu mengantarkan Zhao sebagai salah satu sutradara film independen yang layak diperhitungkan.

  • Judul Film: Nomadland
  • Sutradara: Chloé Zhao
  • Penulis: Chloé Zhao
  • Pemain: Frances McDormand, David Strathairn, Linda May, Swankie
  • Rilis: 19 Februari 2021
  • Durasi: 108 menit

Namun, Nomadland meroketkan nama Zhao ke semesta yang berbeda. Berkat film ini, Zhao meraup 34 nominasi untuk penyutradaraan, 13 untuk penulisan skenario, dan sembilan untuk penyuntingan. Sebagian besarnya dia menangkan, termasuk film terbaik dan sutradara terbaik dalam Academy Award, British Academy Film Award, dan Golden Globe Award. Dari seorang pembuat film independen, Zhao kini menjelma sutradara papan atas di Hollywood. Dia pun mendapatkan kontrak untuk menulis dan menyutradarai Eternals, yang merupakan bagian dari Marvel Cinematic Universe (MCU).

Kembali ke Nomadland. Film ini mengungkap tema dan menceritakan kisah seseorang yang biasanya tidak kita saksikan di layar lebar atau layar streaming. Nomadland mengajukan pertanyaan tentang apa makna “rumah” bagi manusia. Ia juga mendasarkan kisahnya pada refleksi Fern tentang bagaimana hal-hal berharga dalam hidupnya direnggut begitu saja dari dirinya saat krisis keuangan menghantam Amerika. Krisis itu tak hanya menutup tempat kerjanya tapi juga mengusirnya dari lingkungan tempat tinggalnya.

Nomadland digarap berdasarkan buku non-fiksi karya Jessica Bruder, Nomadland: Surviving America in the Twenty-First Century. Film ini menggambarkan secara lirih kehidupan pekerja kerah biru—sebagian besar berusia lanjut—di Amerika setelah krisis keuangan 2008-2009. Banyak warga Amerika pada saat itu kehilangan rumah karena utang KPR mereka membengkak sementara nilai jual rumah mereka menciut. Sebagian mereka memilih hidup sebagai nomad di atas van, RV, atau truk meskipun apa yang disebut vandwelling ini sudah lebih dulu menjadi pilihan gaya hidup sebagian orang.

Ada bagian dalam Nomadland di mana Zhao menyampaikan bagaimana perumahan yang sejatinya merupakan hak asasi warga negara justru menjadi permainan pemodal besar real estate. Pekerja kerah biru harus menghabiskan masa hidup dengan bekerja demi bisa memiliki rumah yang ironisnya kian tak terjangkau oleh kocek mereka.

Di Amerika, tercatat sekitar 500 ribu warga menggelandang atau sekitar 17 dari 10.000 orang. Jumlah ini belum menghitung sekitar 3 jutaan yang memilih hidup mengembara di jalanan dengan van, RV, atau truk (mungkin cara hidup ini tidak masuk definisi homeless di sana).

Sekadar perbandingan, di kota-kota besar di Indonesia diperkirakan ada lebih daripada 77 ribu gelandangan dan pengemis atau gepeng (estimasi Kementerian Sosial pada 2019). Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, hanya 40 persen warga Indonesia yang bisa membeli rumah. Kondisi ini bisa terjadi, menurut peneliti Komnas HAM Pihri Buhaerah, karena harga rumah dan tanah naik lebih daripada 20 persen per tahun sementara upah minimun hanya naik kurang daripada 10 persen per tahun.

Tingkat kemampuan pendapatan warga Indonesia di kota-kota (Surabaya, Bandung, dan Jakarta) untuk mencicil harga rumah (Affordability Index) juga kecil, rata-rata hanya 0,40 (Indeks 1,00 baru dianggap cukup untuk membeli rumah), jauh di bawah Thailand (0,80), Singapura (0,93), dan Malaysia (1,53).

Bob Wells, seorang penganjur hidup nomaden yang memerankan dirinya sendiri dalam film ini mengatakan dalam salah satu adegan: “Anehnya, kita tidak hanya menerima tirani dolar, tirani pasar, kita menjalaninya. Kita dengan senang hati memakai kuk tirani dolar dan hidup dengannya sepanjang hidup kita. Saya memikirkan analogi kuda pekerja. Kuda pekerja rela bekerja sampai mati, dan kemudian dibuang ke padang rumput. Dan itulah yang terjadi pada kebanyakan kita. Jika masyarakat membuang kita, dan mengirim kita, para kuda pekerja, ke padang rumput, kita harus berkumpul dan saling menjaga. Dan itu semua tentang ini.”

Dalam sebuah dialog antara Fern dengan kolega-kolega suami saudarinya, yang tampaknya merupakan agen real estate, Zhao meletakkan satu pernyataan sangat tajam pada mulut Fern. Katanya, “Aneh, Anda mendorong orang-orang untuk menginvestasikan seluruh tabungan hidup mereka, dan berutang, hanya untuk membeli rumah yang tidak mampu mereka beli.”

Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa isu perumahan, yang merupakan hak asasi manusia, tak bisa diserahkan begitu saja kepada pasar. Negara harus ikut turun tangan.

Seperti yang telah disampaikan, Nomadland juga mempertanyakan kembali makna “rumah” bagi manusia. Pernyataan Fern bahwa dia bukan homeless tapi houseless merupakan pilihan semantik yang menarik. Dalam bahasa Inggris, house lebih merujuk kepada bangunan fisik yang menjadi tempat tinggal, sedangkan home lebih bernuansa psikologis dan bahkan filosofis. Home merujuk kepada pandangan seseorang akan ruang di mana dia merasa “nyaman” di dalamnya. Ruang itu bisa jadi rumah atau lokasi lain. Dalam bahasa Indonesia, kita tidak menemukan perbedaan ini. Home dan house sama-sama diterjemahkan sebagai ‘rumah’ atau ‘tempat tinggal’. Tak ada kata dalam bahasa Indonesia yang secara tepat merepresentasikan perbedaan antara home dan house dalam bahasa Inggris.

Dalam pergaulan, kita sering bertanya, “Di mana kamu tinggal?” Atau, “Kamu berasal dari mana?” Kita tak pernah bertanya, “Di manakah kamu ‘merasa berada di rumah’?” Itu tentu saja karena kita menganggap tempat asal kita atau tempat tinggal kita adalah rumah kita. Tapi, kenyataannya tidak selalu berlaku seperti itu. Tidak selalu tempat yang kita tinggali membuat kita “merasa di rumah”.

Persepsi manusia tentang “rumah” mengalami evolusi dari zaman ke zaman. Pada masa prasejarah, manusia tinggal di gua-gua sekadar untuk mencari perlindungan dari keganasan alam atau binatang buas. Pada masa agraris, rumah meliputi lahan di mana kita bisa memproduksi apa yang menjadi kebutuhan kita.

Pada masa modern, persepsi tentang “rumah” makin kompleks. Rumah bisa dilihat dari sisi fungsi, misalnya mendekatkan kita ke tempat kerja. Rumah juga bisa dilihat dari sisi keamanan dan kenyamanan karena mungkin berada dalam klaster bersatpam, di kaki-kaki bukit nan asri, atau di tepi pantai nan indah. Rumah bahkan saat ini bisa dilihat sebagai penyumbang prestise ke dalam tabungan status sosial kita: apartemen mewah, kondominium elite, atau kota mandiri yang berisi segala fasilitas kenyamanan.

Kini persoalannya adalah bagaimana kita bisa memenuhi kebutuhan kita akan “rumah” sementara tak bisa memastikan apa makna kebutuhan itu bagi kita? Apa sebenarnya arti dari “merasa di rumah”?

Dalam Building, Dwelling, Thinking (1971), filsuf eksistensialis Martin Heidegger menulis, “To be a human means to be on the earth as a mortal. It means to dwell.” (menjadi manusia berarti berada di bumi sebagai makhluk fana. Itu berarti menghuni). Bagi Heidegger, manusia adalah penghuni (dweller), dan tindakan menghuni (dwelling) itu berhubungan dengan bagaimana kita berada di dunia (being in the world). Menjadi makhluk penghuni berarti juga melibatkan cara bagaimana kita berhubungan dengan hal-hal di sekitar kita.

Bagi Heidegger, menghuni (dwelling) adalah cara unik dari eksistensi manusia. Cara kita berada di dunia (being in the world) membuat kita bisa melihat sesuatu dan memahaminya secara berbeda dari being yang lain. Menurut Heidegger, being bagi hewan atau tumbuhan adalah hidup, sementara bagi manusia adalah menghuni, dan menghuni membuat kita bisa secara reflektif menyadari being yang lain sebagaimana juga being dari eksistensi kita sendiri.

Heidegger menjelaskan dua cara menghuni yang berbeda: secara autentik dan tidak autentik. Cara menghuni kita yang tidak autentik disebutnya “keharian rata-rata” (average everydayness). Ini adalah cara menghuni yang selalu melihat keberadaan kita melalui hubungan dengan yang lain. Kita terjerat dalam cara menghuni yang ditentukan oleh hal-hal lain, tenggelam dalam “keakraban”, “kenyamanan”, “keamanan”, dan “jaminan stabilitas” dari perspektif apa yang disebut Heidegger sebagai “publik”. Ketika berada di dalam gelembung “publik”, kita lupa akan potensi kita untuk menjadi diri-sendiri.

Meskipun menggambarkan cara menghuni di atas sebagai tidak autentik, Heidegger tidak secara eksplisit mengatakan itu buruk. Tampaknya, bagi Heidegger, menjadi tidak autentik bukanlah sesuatu yang tidak alamiah bagi manusia. Itu bagian dari sifat manusia.

Namun, dia juga tidak menganggap cara menghuni yang tidak autentik itu baik karena tentu membuat kita tidak menjadi diri-sendiri. Menghuni yang autentik, bagi Heidegger, berkaitan dengan keterbukaan kita terhadap segala potensi eksistensi kita di dunia atau keterbukaan kita terhadap semua kemungkinan bagaimana kita berada. Ketika kita berada dalam mode menghuni yang autentik, Heidegger mengatakan, kita diberi perspektif untuk melihat apa yang ada di luar kehidupan “publik”. Kita bergerak melampaui apa yang dipersepsi “publik” sebagai norma-norma sosial dunia. Ini tidak berarti bahwa kita harus menjadi anti-sosial dan kehilangan koneksi dengan orang lain.

Bagaimana seseorang bertransisi dari cara menghuni tidak autentik menjadi autentik? Heidegger mengatakan, transisi ini dimulai dengan kecemasan. Bagi Heidegger, kecemasan datang saat kita menyadari kenyataan bahwa kita adalah makhluk dengan banyak kemungkinan. Kecemasan membawa kita kembali dari ketenggelaman diri dalam “dunia publik”. Kecemasan berfungsi sebagai penghancur sekaligus pengungkap. Dia menghancurkan “keakraban” dan “stabilitas” dari “dunia publik” sekaligus mengungkap potensi kita sebagai makhluk reflektif dan pencari makna untuk memproyeksikan eksistensi kita pada banyak kemungkinan.

Ketika Fern menyatakan, dia bukan homeless tapi hanya houseless, tampak kegelisahan di wajahnya. Begitu pula saat dia berdialog dengan suami saudarinya dan kolega mereka. Kegelisahan itu muncul karena Fern menyadari dia sedang menghancurkan cangkang kenyamanan kapitalisme atau dalam kasus Amerika apa yang disebut “American dream”. Dalam “mimpi Amerika”, hidup di jalanan, di atas empat roda, bukanlah gambaran kesuksesan dan bahkan kehidupan itu sendiri. Anda akan dipandang orang gagal, seorang pecundang.

Pada saat yang sama, kegelisahan itu mengungkap banyak kemungkinan bagaimana Fern akan melanjutkan hidupnya. Dia memang masih mengenang mendiang suaminya, Bo, pekerjaannya di pabrik gipsum, dan tempat tinggalnya di Empire. Tapi, dia juga mulai menemukan “rumah” baru, bukan pada sebuah van, tapi pada vitalitas yang dia temui dan rasakan sepanjang petualangannya: melihat dunia berbeda, dekat dengan alam, dan menemui orang-orang baru dari beragam latar belakang.

Semua nomad yang Fern temui, seperti Linda May, Swankie, Merle, dan Dave (semua diperankan karakter asli kecuali Dave yang diperankan aktor kawakan David Strathairn) mengungkap hal yang sama: vitalitas. Ini mereka peroleh dari apa yang disebut oleh Heidegger sebagai “menghuni yang autentik”: membuka diri kepada perspektif di luar persepsi “publik”. Mereka tak mau menjadi “kuda pekerja” yang dikekang kuk tirani kapitalisme sepanjang hidup.

Pilihan itu tentu saja bukan tanpa risiko. Mereka menghadapi instabilitas, kejutan, ketidakamanan, ketidaknyamanan, ketidakpastian, dan bahkan drama bertahan hidup: cuaca beku, ban kempis, mesin kendaraan rusak, jalan berbahaya, dan lain sebagainya. Harga semua itu, bagi para nomad, mendatangkan hadiah berupa level kebahagian yang lebih tinggi.

Sebagai contoh, Nomadland menggambarkan bagaimana hidup berkelompok atau bersosial para nomad ini tidak luntur tapi meningkat. Padahal, jika dibandingkan hidup menetap, hidup nomaden seharusnya akan lebih menghasilkan kesendirian. Tapi, seperti ditunjukkan dalam film ini, kaum nomad ini memperoleh hubungan sosial yang jauh lebih berkualitas ketimbang mereka yang hidup menetap. Meskipun hanya bertemu sesekali di jalanan atau taman-taman parkir, mereka kerap berbagi pengalaman, pikiran, dan perasaan yang lebih intens daripada yang dilakukan para tetangga dalam lingkungan modern.

Satu lagi, ketika mencoba menengahi perdebatan Fern dengan suaminya, Dolly (saudari Fern yang diperankan sahabat McDormand, Melissa Smith) mengatakan apa yang dilakukan para nomad tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan para pelopor Amerika. “Fern adalah bagian dari tradisi Amerika,” kata Dolly. Pada kenyataannya, ini bukan sekadar tradisi Amerika tapi tradisi nenek moyang segala bangsa: menjelajahi negeri-negeri baru dan mengembara di keliaran alam. Tantangan, ketidakpastian, kejutan, dan drama bertahan hidup yang dihadapi hari demi hari oleh nenek moyang manusia itulah yang justru mengerek kemajuan peradaban manusia saat ini—tentu saja minus upaya kolonisasi sebab tak semua penjelajah memiliki tujuan politik kolonial.

Dunia modern kita saat ini telah menawarkan tingkat kepastian, keamanan, dan kenyamanan yang meniadakan kejutan dan drama hidup, seperti yang dihadapi nenek moyang kita, para penjelajah. Kita juga, entah mengapa, saat ini emoh dengan drama. “Drama, lu,” adalah nyinyiran yang sering kita dengar dari generasi milenial. Kita saat ini tak lagi menghuni dunia yang penuh kejutan dari waktu ke waktu dan membuatnya sangat nyaman, di mana semuanya bisa diprediksi.

Di satu sisi, kenyamanan, keamanan, dan stabilitas tidak selalu mengarah kepada hal negatif. Tapi, dalam dunia yang konstan, yang berhenti berubah, yang minim drama, manusia seringkali tak lagi bersyukur dan tak lagi berpikir untuk berubah. Kita terperangkap dalam kenyamanan yang menurut Heidegger tidak autentik karena diciptakan oleh persepsi “mereka” atau “publik”. Kita pada gilirannya membuang kesempatan untuk mengeksplorasi segala kemungkinan atas keberadaan kita di dunia ini.

Nomadland menyampaikan semua itu tanpa menggurui penontonnya. Film ini bahkan tidak menghakimi karakter-karakter di dalamnya. Tidak ada karakter baik atau jahat. Tak terlalu tampak pula masalah yang harus diselesaikan atau dikutuk habis-habisan oleh penonton usai menyaksikan film ini.

Nomadland bercerita apa adanya dan dengan lirih. Tak ada adegan marah-marah dengan tegangan tinggi urat syaraf atau bahkan adegan menangis tersedu-sedu. Emosi dalam film ini cukup disampaikan dengan mata berkaca-kaca, senyuman, pelukan, percakapan sehari-hari penuh makna, dan air muka karakternya.

Tentu saja semua itu tak bisa kita dapatkan jika aktor utamanya bukan McDormand. Inilah penampilan brilian kesekian kalinya dari aktris Amerika kelahiran 1957 itu. Belum cukup menyabet Oscars lewat Fargo (1997) dan Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2018), dia menggondol lagi penghargaan itu melalui Nomadland sebagai aktris terbaik.

Sinematografi film ini juga menyegarkan mata. Kita dimanjakan Zhao melalui long shot cakrawala lanskap South Dakota yang tampaknya diambil pada momen-momen yang tepat. Belum lagi alunan lirih musik gubahan komposer Italia Ludovico Einaudi membuat Nomadland makin puitis.

Pada akhirnya, home bagi Nomadland bukanlah ruang fisik. Ia pikiran dan perasaan kita. Home akan kita bawa ke mana pun kita pergi dan di mana pun kita berada, seperti lirik “Home is a Question Mark” gubahan penyanyi Inggris, Morrissey, yang ditunjukkan dalam bentuk tato oleh seorang nomad: Home, is it just a word? Or is it something you carry within you? (Rumah, apakah itu hanya sebuah kata? Atau apakah itu sesuatu yang Anda bawa dalam diri Anda?). Psikiatris Michael Lehofer menganggap homesickness (rindu akan rumah atau kampung halaman) justru terjadi pada mereka yang tak memiliki gagasan kuat tentang makna “rumah”.

Kita tak akan mengalami homesickness jika “rumah” selalu berada dalam hati dan pikiran kita. Kita karenanya bebas menjelajah. Sampai jumpa di jalanan![]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Film

Go to Top