Aum! menyajikan pendekatan sinematik menyegarkan. Sayang, kelokan plot di akhir terasa mengurangi kesegaran itu.
Di luar Indonesia, film tentang film, atau film tentang pembuatan film, bukan barang langka. Terakhir, kita menyaksikan Mank karya David Fincher tentang kisah pengembangan skenario Citizen Kane (1941), film legendaris yang hingga kini menjadi tontotan wajib bagi mereka yang tertarik mempelajari film.
Tapi di Indonesia, pendekatan sinematik dan model penceritaan seperti itu tidak banyak—untuk tidak mengatakan sama sekali tidak ada. Sutradara Bambang “Ipoenk” Kuntara Murti menampilkan pendekatan itu dalam debut film panjangnya Aum! yang bisa Anda saksikan di “Bioskop Online” mulai 30 September 2021. Bambang sebelumnya lebih dikenal sebagai penata artistik di sejumlah film, seperti Turis Romantis (2015) dan Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya (2012).
- Judul Film: Aum!
- Sutradara: Bambang “Ipoenk” Kuntara Murti
- Penulis: Bambang “Ipoenk” Kuntara Murti, Gin Teguh
- Pemain: Jefri Nichol, Chicco Jerikho, Aksara Dena, Agnes Natasya Tjie
- Rilis: 30 September 2021 (Bioskop Online)
- Durasi: 85 menit
Aum! mengisahkan pembuatan ‘film tentang perjuangan’ mahasiswa pada momen reformasi 1998. Di dalamnya, terjadi konflik artistik, dan bahkan konflik kepentingan, terutama antara sutradara Panca Kusuma Negara (Chicco Jerikho) dan produser Linda Salim (Agnes Natasya Tjie).
Dengan model pendekatan dan cara bertutur tersebut, Aum!, menurut saya, menyajikan tiga bagian kisah.
Bagian pertama menampilkan hasil jadi ‘film perjuangan’ mahasiswa itu. Di bagian ini, Bambang seakan ini menunjukkan cara bertutur klise film perjuangan: gambaran heroik serta kata-kata atau dialog berapi-api.
Di bagian kedua, Aum! bergaya dokumenter. Penonton seakan menyaksikan behind the scene ‘film perjuangan’ mahasiswa itu. Sudut kamera diambil dari orang ketiga, yang disebut wartawan Amerika bernama Paul Whiteberg (Mr Richard), sehingga kita bisa menyaksikan nyaris keseluruhan dinamika pembuatan ‘film itu. Terkadang sudut pandang ini mengizinkan karakter menelikung “dinding keempat” dengan berbicara kepada kamera.
Jika di bagian pertama, saya merasa bosan karena untuk kesekian kalinya akan menonton film perjuangan dengan gaya tutur klise, maka bagian kedua membuat saya tersenyum dan kadang terpingkal. Selain akting jenaka para kru film, terutama Anwar (Kukuh Riyadi) dan Sardi Hartanto alias si komandan tengkorak hitam Ardiman Wicaksono (Seteng Sadja), penampilan Chicco sebagai Panca, yang cenderung sinis kepada misi film itu dan kerap mengkritik akting Surya Jatitama (Jefri Nichol) sebagai Satriya, terasa menyegarkan. Kritik Panca terhadap akting Surya mewakili kegelisahan saya selama ini saat saya menyaksikan film-film Indonesia bertema perjuangan. Dalam satu adegan, Panca mengatakan bahwa Surya terlalu menjiwai karakter Satriya, sehingga terlalu berapi-api dan menghabiskan semua emosi. Degan begitu, kata Panca, tak tersisa emosi untuk dirasakan penonton.
“Optimis tapi flat (datar),” saran Panca kepada Surya.
Arahan Panca itu terlihat tak disukai Linda, sang produser. Ya, konflik utama dalam Aum! terjadi antara Linda dan Panca.
Linda mewakiliki karakter “idealis” yang melihat film semata alat propaganda misi politiknya (dalam konteks ini misi gerakan mahasiswa). Jadi, bagi Linda, film perjuangan itu harus secara literal dan juga bersemangat menyerukan reformasi, dan kalau perlu lengkap dengan yel-yel dan lagunya (sayangnya, lagu “Darah Juang” dalam Aum! tak sesuai aslinya jika memang lagu tenar masa reformasi itu yang dimaksud).
Sementara itu, Panca cenderung melihat film untuk film; seni untuk seni. Bagi Panca, sebagai seni, film hanya bisa menyampaikan pesannya kepada penonton jika diolah secara artistik, tidak vulgar, dan kadang dengan menggunakan simbol.
Ini sebenarnya perdebatan menarik, dan Bambang menyajikan itu lebih jelas dalam bagian ketiga. Bagian ketiga berupa wawancara kru ‘film ‘perjuangan itu yang disisipkan di antara bagian-bagian lain. Wawancara ini sebenarnya inisiatif Linda setelah Panca keluar dari proses produksi film ‘perjuangan’.
Saya cenderung bersepakat dengan pandangan Panca dalam Aum!. Tapi itu bukan berarti saya menganut “humanisme-universal” yang seringkali dilekatkan pada cara pandang “seni untuk seni”. Film atau karya seni yang terlalu vulgar mengungkap misi atau pesannya seringkali justru tidak mampu menggerakkan jiwa penonton atau penikmat untuk menjelajahi emosi mereka sendiri dan memahami pesan implisit yang dikandung sebuah karya seni.
Di sisi lain, karya seni propagandis kadang tidak mampu menangkap nuansa dalam sebuah momen peristiwa atau kehidupan manusia. Ia hanya memandang dari satu sudut pandang dan mengabaikan yang lain. Dalam konteks perjuangan mahasiswa pada 1998, misalnya, nuansa heroisme tak selalu ada di dalamnya. Bagaimanapun, aktivis mahasiswa itu manusia juga. Mereka merasakan takut, cemas, keinginan untuk menyerah, dan bahkan mungkin keraguan akan misi reformasi itu sendiri.
Sayangnya, Aum! seperti membunuh kesegaran yang dihadirkan perdebatan Panca-Linda dengan menghadirkan kelokan plot di akhir film. Aum! seakan ingin mengatakan bahwa pandangan Panca tidak berasal dari kesadaran artistiknya melainkan kepentingan politiknya.
Okelah, Bambang “Ipoenk” KM mungkin ingin menyampaikan pesan betapa pada masa itu kebebasan berekspresi dibungkam sedemikian rupa. Tapi, adegan terakhir Aum! terasa berlebihan dan mengurangi kesegaran yang saya rasakan sejak film ini memasuki bagian kedua.
Bagaimanapun, Aum! tetap layak ditonton. Keberanian Bambang memakai pendekatan dan cara tutur “film tentang film” layak mendapatkan dua jempol.[]