JELAJAH LITERASI

“Alasan Kita Rela Menderita”: Hidup Bukan untuk Berbahagia tapi Bermakna

in Wacana by

Apa yang membuat para relawan mau membantu banyak orang di tengah kondisi sulit dan menantang tanpa berharap imbalan? Dan Ariely, profesor psikologi, dalam buku ini mengajukan argumen yang menantang pandangan umum tentang motivasi.

Motivasi adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Kita seringkali perlu memberi alasan bagi diri kita sendiri atau orang lain untuk melakukan sesuatu. Biasanya secara sederhana kita akan mengatakan kepada diri sendiri atau orang lain, “Lakukanlah ini, maka kamu akan mendapatkan itu!”

Karena kebiasaan itu, motivasi dipandang secara simplistik. Motivasi kerap hanya dikaitkan dengan imbalan eksternal, terutama uang. Sudah umum bahwa banyak orang memandang kerja hanyalah proses menukar tenaga dengan upah. Uanglah yang mendorong kita untuk bangun di pagi hari dan bergelantungan di kereta api atau berdesak-desakan di dalam bus untuk sampai di tempat kerja. Uanglah yang bisa membuat kita bahagia karena dengannya obsesi materiel dan sosial kita bisa dipenuhi: rumah, mobil, benda-benda mewah, dan status sosial di tengah masyarakat.

Karena itu pula, sebagian kita kadang merasa heran ketika menemukan orang-orang yang bekerja dan berkarya tanpa berharap imbalan eksternal. Orang-orang ini seringkali bahkan menempatkan hidup mereka dalam kondisi menantang, menyulitkan, dan mengancam.

Dari jenis orang-orang terakhir inilah, Dan Ariely justru melihat motivasi dalam kehidupan manusia sebagai sesuatu yang lebih kompleks daripada yang kelihatannya. Dia mengibaratkan motivasi seperti belantara Amazon, dimana kita mungkin menemui hal-hal yang tidak kita sukai tapi sebenarnya sangat penting dan berarti atau hal-hal yang kita anggap penting, padahal bisa menghancurkan motivasi.

Ariely pun tertarik untuk mengulik motivasi lebih dalam. Bagaimana motivasi bekerja mendorong orang melakukan sesuatu yang bahkan menantang, menyulitkan, dan mengancam hidupnya? Dia melakukan sejumlah eksperimen perilaku yang hasilnya menunjukkan bahwa, bukan sekadar kompleks, motivasi dalam hidup manusia juga ternyata menakjubkan. Semua itu bisa kita baca dalam buku Ariely, Alasan Kita Rela Menderita: Logika Tersembunyi di Balik Motivasi Manusia.

  • Judul: Alasan Kita Rela Menderita: Logika Tersembunyi di Balik Motivasi Manusia
  • Penulis: Dan Ariely
  • Penerbit: PT Bentang Pustaka
  • Terbit: 2020
  • Tebal: 152 halaman

Dan Ariely adalah profesor psikologi dan perilaku ekonomi di Duke University, Amerika Serikat. Dia menulis beberapa buku yang menjadi best seller, di antaranya Predictably Irrational, The Upside of Irrationality, The Honest Truth About Dishonesty, dan Irrationally Yours. Ariely kemudian lebih dikenal sebagai salah satu pembicara populer di TED Talks, sebuah forum global yang menampilkan ceramah singkat sekaligus inspiratif orang-orang dari berbagai latar belakang dan disiplin ilmu.

Menurut Ariely, satu hal yang tidak masuk akal dalam motivasi adalah manusia terdorong untuk melakukan hal-hal yang justru menantang dan bahkan menyakitkan. Kita menyaksikan di berbagai belahan dunia relawan bekerja membantu banyak orang tanpa berharap imbalan. Mereka melakukan itu dalam keadaan dan situasi yang sulit, entah itu di wilayah yang dilanda bencana maupun peperangan. Kesulitan itu nyata tapi mereka toh tetap melakukannya.

Kemudian, tak sedikit orang yang terdorong berbuat bagi banyak orang berkat pengalaman hidup mereka yang menyakitkan dan membuat mereka tak berdaya. Mereka tak menyerah dan terdorong untuk menaklukkan rasa tak berdaya itu serta merengkuh kembali secuil kendali atas kehidupan mereka.

Apa yang menggerakkan mereka?

Ariely sendiri berkisah tentang kehidupan masa remajanya ketika ia mengalami sebuah tragedi. Sekitar 70 persen tubuhnya mengalami luka bakar karena suatu kecelakaan. Dia menghabiskan tiga tahun masa perawatan di rumah sakit. Selama itu, dia menjalani berbagai operasi dan terapi yang menyakitkan. Tak ada hari tanpa rasa sakit, katanya.

Namun, tragedi itulah yang justru membuatnya termotivasi untuk melakukan kebaikan bagi orang lain. Dia pernah menuliskan pesan-pesan bagi seorang remaja yang mengalami kecelakaan serupa. Berkat pesan-pesannya, remaja itu bersemangat untuk bertahan hidup dan pulih.

Di tengah rasa sakit yang dia derita, Ariely merasa memperoleh pemaknaan. Dia merasa pengalaman itu membuat hidupnya lebih berarti. Dia pun menyatakan bahwa kebermaknaan dalam hidup ini tak selalu berwujud kebahagiaan, dan bahkan seringkali penderitaan. Filsuf Jerman Friedrich Nietzsche mengatakan bahwa ganjaran terbesar kehidupan ini datang dari pengalaman buruk kita.

Ariely pun menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat peduli pada makna. Jika harus jatuh bangun demi menemukan makna, kita tetap akan melakukannya meskipun jalannya penuh duri dan batu. “Hidup tidak pernah dijadikan sangat sulit oleh keadaan melainkan karena kurangnya makna dan tujuan,” begitu kata filsuf Viktor Frankl yang menghabiskan dua tahun di dalam kamp konsentrasi rezim Nazi Jerman.

Manusia selalu mencari makna lebih daripada sekadar kebahagiaan. Orang-orang yang berupaya meraih makna di tengah kehidupan sulit dan menyakitkan justru seringkali terdorong untuk melakukan sesuatu bagi banyak orang. Sebaliknya, orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri hanya akan merasakan kebahagiaan sementara dan superfisial.

Saat menolong banyak orang yang membutuhkan, para relawan itu, menurut Ariely, sebenarnya termotivasi oleh perasaan bahwa hidup mereka memiliki nilai yang melebihi usia mereka. Ada tujuan hidup manusia yang melebihi rentang masa hidupnya, dan mereka merasa terikat dengan tujuan itu.

Efek dari perasaan kebermaknaan itulah yang melebihi eksistensi diri dan lingkungan sosialnya. Ia pulalah yang mendorong mereka bekerja ekstrakeras meskipun berada dalam situasi yang menyulitkan, menantang, dan mengancam hidup mereka. Semua itu dilakukan tiada lain demi merengkuh makna yang lebih dalam.

Dengan buku ini, Ariel menantang persepsi umum bahwa imbalan eksternal-finansial adalah salah satu motivator terhebat bagi manusia. Sebaliknya, dia justru menunjukkan uang terkadang malah bisa menghancurkan motivasi, terutama dalam hubungan antarmanusia.

Dia menguliti pandangan lazim itu hingga ke gagasan Adam Smith tentang kerja, yang disampaikan dalam The Wealth of Nation (1776). Pada intinya, Smith memandang bahwa kerja hanyalah proses menukar tenaga dengan upah. Tidak ada yang lain. Para pekerja tak akan peduli dengan hasil pekerjaan mereka selama mendapatkan upah layak.

Gagasan Smith itu luar biasanya masih dianggap lazim sampai sekarang meskipun, menurut Ariely, banyak eksperimen perilaku yang menunjukkan sebaliknya. Eksperimen-eksperimen itu menunjukkan bahwa sesuatu yang bermakna, bertujuan, dan bernilai jauh lebih penting bagi manusia daripada imbalan finansial.

Ariely pernah melakukan eksperimen perilaku bersama Emir Kamenica, profesor di University of Chicago dan Drazen Prelec, profesor di MIT. Eksperimen itu meminta subjek merangkai lego. Subjek akan diberi imbalan 2 dolar untuk setiap lego yang diselesaikannya. Jika satu lego telah selesai, subjek akan diminta mengerjakan lego lain dengan imbalan yang dikurangi 11 sen. Begitu seterusnya.

Eksperimen melakukan dua pendekatan terhadap subjek. Terhadap kelompok pertama, para peneliti akan meletakkan hasil rangkaian mereka untuk kemudian dibongkar nanti. Terhadap kelompok kedua, para peneliti membongkar rangkaian lego yang sudah rampung langsung di hadapan subjek.

Kelompok pertama bekerja di bawah kondisi yang disebut sebagai “bermakna”. Kelompok kedua bekerja di bawah kondisi yang disebut “Sisifus”. Kita tahu Sisifus adalah tokoh mitologi Yunani yang dikutuk oleh para dewa untuk mendorong sebongkah batu ke puncak bukit dan kemudian menggulirkannya kembali ke bawah. Kondisi “Sisifus” bisa dikatakan sebagai kondisi “kesiasiaan”.

Hasil dari eksperimen tersebut menunjukkan bahwa kelompok yang merakit lego dalam kondisi “bermakna” mampu menyelesaikan 11 lego. Sementara, kelompok yang bekerja di bawah kondisi “Sisifus” hanya mampu merampungkan 7 lego.

Eksperimen ini menunjukkan bahwa kebermaknaan berkaitan erat dengan produktivitas kerja. Orang yang menemukan makna dalam pekerjaannya akan menikmati prosesnya dan menyukai tugasnya.

Eksperimen itu juga menunjukkan bahwa ketika kerja dan jatidiri kita diakui dan dihargai, kita akan bersedia bekerja lebih keras walaupun mungkin imbalannya lebih kecil. Sebaliknya, ketika kinerja kita diremehkan dan bahkan dihancurkan, kita akan kehilangan sebagian besar motivasi walaupun mungkin imbalan yang kita peroleh lebih besar.

Oleh karena itu, jika ingin memotivasi seseorang, yang perlu kita lakukan adalah mengakui dia dan hasil kerjanya. Ariely bilang, “Pengakuan adalah semacam sihir manusia. Sebuah keterkaitan antarmanusia yang sederhana. Sebuah hadiah dari seseorang kepada yang lain dan menghasilkan sesuatu yang jauh lebih besar dan berarti.”

Ada satu eksperimen lagi yang dilakukan Ariely bersama Uri Gneezy, profesor di University of San Diego California, George Loewenstein, profesor di Carnegie Mellon University, dan Nina Mazar, profesor di University of Toronto. Eksperimen dilakukan terhadap pekerja di perusahaan Intel di Israel.

Temuan besar eksperimen ini adalah bahwa makin tinggi bonus, makin menurun kinerja. Bagaimana itu bisa terjadi?

Eksperimen itu membagi karyawan Intel menjadi empat kelompok berbeda. Pertama, karyawan yang menerima bonus uang. Kedua, karyawan yang menerima voucher pizza. Ketiga, karyawan yang menerima kata-kata pujian. Keempat, karyawan yang tidak mendapatkan apa pun atau yang disebut berada dalam “kondisi kontrol”.

Pada hari pertama, produktivitas kelompok voucher pizza meningkat sekitar 6,7 persen sementara kelompok penerima pujian 6,6 persen. Yang menarik, kelompok penerima bonus uang produktivitasnya hanya meningkat 4,9 persen.

Itu di hari pertama tapi di hari-hari berikutnya keadaan menjadi lebih menarik. Ternyata produktivitas kelompok-kelompok yang mendapatkan tiga bentuk insentif di atas mengalami penurunan mendekati produktivitas kelompok yang tidak mendapatkan apa pun atau berada dalam “kondisi kontrol”.

Eksperimen itu menunjukkan bahwa anggapan bonus uang akan memacu kinerja ternyata tidaklah terlalu tepat. Data menunjukkan kinerja ternyata merosot setelah pegawai menerima bonus uang.

Menjadikan uang sebagai insentif justru dapat menjadi bumerang, padahal kita sering berasumsi orang bekerja demi uang dan bahwa kompensasi uang tambahan akan membuahkan hasil lebih baik. Eksperimen itu justru menunjukkan bahwa bonus uang bisa berdampak pada kemerosotan produktivitas paling tajam. Sementara, insentif berupa pujian malah meningkatkan produktivitas kerja.

Bagi Ariely, hasil eksperimen itu menunjukkan bahwa bekerja bukan semata soal uang. Kita tidak berkerja dalam bentuk transaksi. Kita sebaliknya berpikir dan berperilaku dalam jangka yang lebih panjang, yakni mencari makna dan keterikatan.

Para bos, Ariely bilang, perlu memperhitungkan bukan hanya efek langsung insentif tetapi juga hasil yang tertunda. Ini menunjukkan bahwa semakin sebuah perusahaan mampu memberi pegawai kesempatan untuk meraih makna dan keterikatan, semakin para pegawai itu akan bekerja keras dan loyal.

Bonus uang, menurut Ariely, sebenarnya mencerminkan norma pasar bebas seperti pandangan Adam Smith. Yakni, pertukaran langsung antara tenaga dan upah. Dalam norma ini, hanya tersisa sedikit ruang bagi rasa percaya dan niat baik.

Sementara itu, pujian mengikuti norma sosial yang menyangkut pengakuan dan keterikatan jangka panjang antara pekerja dengan perusahaan. Dalam banyak hubungan sosial, begitu kita melibatkan uang sebagai suatu motivasi, maka hasilnya akan berakhir buruk.

Hal lain yang seringkali membunuh motivasi adalah memperlakukan banyak hal secara terukur. Misalnya, para atasan seringkali lebih menekankan pada pekerjaan yang terukur walaupun pekerjaan itu bahkan tidak mungkin diukur. Seorang pekerja hanya dinilai dari seberapa banyak laporan yang dibuat alih-alih kualitas laporan itu atau kualitas kerja yang disampaikan dalam laporan itu.

Cara semacam itu mengabaikan bahan baku paling penting dalam motivasi, yakni rasa percaya dan niat baik. Dalam kehidupan sehari-hari, kepercayaan berperan sangat penting karena tidak semua hal bisa diperkirakan secara terukur. Kita tidak mungkin tidak bisa percaya kepada orang-orang yang bekerja bersama kita. Kita tidak mungkin selalu mencurigai mereka akan mencuri barang-barang perusahaan. Kita juga tidak mungkin tidak percaya bahwa koki dan penyaji makanan di restoran tempat kita makan telah memastikan bahwa makanan bersih, aman, dan sehat.

Tanpa rasa percaya dan niat baik, hidup kita akan selalu gelisah. Tanpa rasa percaya dan niat baik, masyarakat bukanlah komunitas tapi segerombolan orang yang terus-menerus cemas terhadap satu sama lain.

Sebaliknya, rasa percaya dan niat baik seringkali mendorong kita untuk bekerja atau berkarya melampaui standar-standar yang dituntut. Berkat rasa percaya dan niat baik, kadang kita bisa bekerja hingga larut malam di kantor atau memikirkan ide dan merancang sebuah proyek pekerjaan saat liburan. Rasa percaya dan niat baik justru menjadikan kita kreatif, inovatif, dan unggul.

Dalam buku ini, secara tajam Ariely mengkritik para pengacara perusahaan. Para pengacara, dia bilang, bisa membunuh rasa percaya dan niat baik melalui kontrak-kontrak hukum yang mereka buat.

Dalam banyak kasus, kontrak-kontrak itu mungkin memang benar-benar dibutuhkan tapi cara kontrak itu dibuat dan bahasa serta istilah yang digunakan bisa dengan mudah menghancurkan rasa percaya dan niat baik. Dalam kontrak itu, para pengacara berusaha mencantumkan segala kemungkinan kecil yang mereka perkirakan akan terjadi. Misalnya, bagaimana jika para pemasok menyuplai sesuatu yang memicu penyakit, rusak, atau beracun. Semua itu dimasukkan secara detail ke dalam kontrak, sehingga tampak menjadi semacam tuduhan bagi para rekanan perusahaan.

Mungkin memang dibutuhkan kontrak-kontrak berisi antisipasi terhadap segala hal tersebut. Namun, pada saat yang sama, jika kita tidak memperhatikan prosesnya, kontrak-kontrak itu bisa menghancurkan rasa percaya dan niat baik. Rekanan perusahaan bisa memandang bahwa sesuatu yang berada di luar kontrak haruslah diperhitungkan dengan bayaran lebih. Di titik inilah, perusahaan telah kehilangan keuntungan karena niat baik telah dibunuh oleh kontrak hukum.

Demikian pula dalam hidup berkeluarga. Pasangan suami-istri tidak semata diikat oleh kontrak hukum tapi oleh sebuah komitmen jangka panjang. Dalam komitmen tersebut, ada pemahaman implisit yang mengikat mereka berdua kepada tujuan bersama. Mereka bersedia merelakan kehidupan atau keuntungan pribadi demi kepentingan dan keutuhan keluarga.

Mengapa rasa kebermaknaan sangat penting bagi manusia? Menurut Ariely, ini karena kita tidak bisa menerima bahwa apa yang telah kita lakukan sepanjang hidup akan dilupakan dan diabaikan begitu saja tanpa jejak. Pengetahuan bahwa kita akan dilupakan begitu saja mempengaruhi manusia. Sebab, jika kita menerima bahwa kita akan dilupakan, dan bahwa kenangan-kenangan kita tidak berarti, kita tidak akan mungkin termotivasi untuk bekerja dan berkarya.

Bukan hanya orang-orang yang percaya dengan kehidupan setelah kematian, bahkan orang yang tidak percaya sekalipun mempunyai harapan subtil bahwa hidup mereka akan terus berlanjut dan dikenang. DNA mereka akan diwarisi oleh anak-anak mereka dan jejak mereka tercatat dalam prestasi dan kerja mereka.

Inilah yang membuat motivasi, menurut Ariely, melebihi garis batas kehidupan ini. Tanpa ini, maka sebagian besar motivasi yang mendorong kita untuk tetap hidup dan berkarya akan hancur. Inilah salah satu motivasi terpenting yang membuat kita peduli kepada orang lain, berusaha menebus kesalahan, dan menemukan makna.

Alasan Kita Rela Menderita menarik untuk dibaca karena, bukan hanya menyajikan argumen yang menantang pandangan umum tentang motivasi, tapi juga menunjukkan argumennya melalui eksperimen-eksperimen empiris di kehidupan nyata. Lebih daripada itu, Ariely mampu menarik kesimpulan yang lebih bermakna dari eksperimen-eksperimen empiris itu.

Pada akhirnya, hal terpenting yang menjadi motivasi bagi manusia adalah kebermaknaan, baik dalam kehidupan secara keseluruhan maupun di tempat kerja. Kebermaknaan ini adalah motivasi yang melampaui masa hidup manusia dan karena itu membuat sebagian kita kadang melakukan sesuatu dalam kondisi yang sulit dan menantang.[]

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

*

Latest from Wacana

Go to Top