“Robohnya Surau Kami”, cerpen A.A. Navis paling dikenal orang, ternyata pernah membuat pengarangnya dituduh komunis. Cerpen ini juga tampaknya menjadi fondasi gaya kepengarangan Navis, sehingga ia kemudian dijuluki “pencemooh nomor wahid”.
“Robohnya Surau Kami” merupakan cerita pendek karya Ali Akbar Navis yang paling dikenal dan dibicarakan orang. Cerpen ini pertama kali terbit dalam Kisah, majalah sastra yang diasuh Hans Bague Jassin, pada 1955. Satu tahun kemudian, Penerbit NV Nusantara di Bukittinggi, Sumatera Barat, menerbitkan kembali cerpen ini bersama tujuh cerpen lain karya AA Navis dalam kumpulan yang diberi judul Robohnya Surau Kami. Kumpulan cerpen ini bisa dibilang laris karena dicetak ulang sebelas kali hingga 1961 oleh penerbit yang sama. Pada 1986, Gramedia Pustaka Utama mengambil alih hak penerbitan kumpulan cerpen ini dan menerbitkannya ulang dengan tambahan dua cerpen.
“Robohnya Surau Kami” menuai pujian dari kritikus dan pembaca, terutama generasi muda. Menulis dalam majalah Gema Islam, Bahrum Rangkuti, pengarang dan kritikus asal Riau, menyatakan cerpen ini menghadirkan kesegaran pemikiran dalam ajaran Islam. Jika mengamini kesimpulan Bahrum, pencapaian Navis melalui cerpen ini tak bisa dipandang sebelah mata. Artinya, jauh sebelum pembaru muslim seperti Nurcholis Madjid atau Abdurrahman Wahid muncul pada era 1970-an, Navis telah menggugat kejumudan sikap keberagamaan umat Islam. Luar biasanya itu dilakukan Navis melalui sastra. Anak-anak muda juga dikabarkan mengadakan berbagai seminar membahas cerpen ini dan mementaskannya dalam bentuk monolog. Kritikus sastra asal Belanda, Andries Teeuw, memandang cerpen ini sebagai simbol memudarnya kesalehan tradisional atau kesalehan introver, yakni kesalehan yang mengabaikan kepentingan sosial.
Selain mendatangkan pujian bagi pengarangnya, cerpen ini menggondol penghargaan “Cerpen Terbaik Majalah Kisah 1955”. Cerpen ini kemudian diterjemahkan ke dalam empat bahasa, yakni Inggris, Jerman, Perancis, dan Jepang. Tidak berlebihan kiranya, dan tanpa mengecilkan arti karya lain Navis, jika dikatakan “Robohnya Surau Kami” telah mengantarkan Navis menjadi penerima hadiah sastra bergengsi SEA Write Award dari Kerajaan Thailand pada 1992.
Selain pujian dan penghargaan, cerpen ini memicu kontroversi. Isi cerpen ini (yang telah kami muat di situs ini pada rubrik “Nukilan”), menurut sejumlah kalangan, mencemooh Islam. Dalam autobiografinya, Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994), Navis menulis bahwa gara-gara cerpen ini, di Bukittinggi muncul tuduhan bahwa dia komunis atau kader Murba, partai kiri yang didirikan Tan Malaka. “Padahal sebenarnya, saya tak berpartai.”
Dalam autobiografi tersebut, Navis juga menceritakan bagaimana proses kelahiran cerpen ini. “Robohnya Surau Kami”, sebenarnya secara tak langsung merupakan buah dari konflik Navis dengan atasannya di kantor Jawatan Kebudayaan Sumatera Tengah di Bukittinggi (1955-1957). Sikap keras Navis kerap membuatnya berseteru dengan kepala jawatan. Akibatnya, Navis tak diberi pekerjaan, alias non-job. Di tengah kekosongan waktu itulah, Navis menumpahkan kreativitas dalam kepengarangan.
Pada suatu waktu, Navis berkisah, atasannya kedatangan Engku M Sjafei, yang tak lain guru Navis di Indonesisch Nederlansche School (INS) Kayu Tanam. Dia mencuri dengar percakapan kedua orang itu. Engku Sjafei rupanya menyampaikan lelucon menarik. Di akhirat kelak, semua orang dari Amerika Serikat, Inggris, Rusia, dan Belanda masuk surga. Hanya orang dari Indonesia yang justru dilemparkan ke neraka. Kenapa itu bisa terjadi? Menurut Sjafei, itu karena Tuhan menilai orang Indonesia tidak memanfaatkan kekayaan alam yang telah diberikan-Nya.
Lelucon itulah yang menjadi tema sentral cerpen ini. Navis kemudian memberinya kerangka cerita setelah melihat sebuah surau tua nyaris roboh di kampungnya, di Padang Panjang. Surau, tempat dia mengaji waktu kecil, itu ternyata tak terurus karena kakek penjaganya sudah meninggal.
Dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei III (1962), HB Jassin juga memuji cerpen ini sebagai karya sastra pertama yang membenturkan sikap keberagamaan dengan realitas sosial. Membandingkannya dengan novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka, Jassin mengatakan yang terakhir hanya menampilkan konflik antara cinta dengan aturan adat yang kaku. Sementara, cerpen Navis justru menampilkan pergolakan jiwa pemeluk agama dengan sikap keberagamaannya.
Namun demikian, Jassin juga mengkritik cerpen ini, terutama terkait keputusan bunuh diri kakek penjaga surau. Pertama, menurut Jassin, bunuh diri dilarang dalam ajaran agama sehingga tidak masuk akal tindakan itu yang diambil kakek yang alim itu. Kedua, si kakek sebenarnya tak perlu berputus asa karena tetap berguna bagi masyarakat sebagai penjaga surau dan pengasah pisau. Ketiga, tak semua orang punya kemampuan untuk melakukan perubahan dalam masyarakat, seperti yang digambarkan dalam bualan Ajo Sidi.
Navis sebenarnya secara tak langsung pernah menjawab kritik Jassin dalam suratnya kepada Jassin sendiri. Navis mengatakan bahwa tindakan bunuh diri itu adalah simbol untuk menggambarkan bahwa orang bisa mati kelaparan di negeri kaya seperti Indonesia. “Di negeri yang kaya ini kalau ada orang yang mati karena lapar menurut saya pada hakikatnya sama dengan bunuh diri,” tulis Navis. Dia juga mengatakan bahwa kisah kakek penjaga surau hanyalah pengantar kepada pokok ceritanya, yaitu Haji Saleh.
Meskipun bukan cerpen pertama yang Navis tulis, “Robohnya Surau Kami” tampaknya mengilhami gaya kepengarangan anggota DPRD Sumatera Barat 1971-1982 itu. Dalam karya-karya selanjutnya, Navis dikenal dengan ciri khas mengejek kemapanan, baik itu dalam sikap keberagamaan, gaya hidup, maupun pandangan sosial. Gaya inilah yang membuatnya mendapat julukan dari majalah Sastra edisi 3 Juli 2002 sebagai “pencemooh nomor wahid” dan “satiris ulung”.
Setelah “Robohnya Surau Kami”, misalnya, Navis masih belum kapok menyindir sikap keberagamaan umat Islam melalui “Man Rabbuka” (1957). Dalam cerpen ini, Navis menggambarkan bagaimana malaikat alam kubur berhasil disogok seorang pendosa bernama Jamain dengan tuak dan gambar porno. Alhasil, Jamain masuk surga sementara saudara kembarnya bernama Jamalin yang alim malah ditendang ke neraka. Lebih daripada “Robohnya Surau Kami”, “Man Rabbuka” malah dilarang oleh Majelis Ulama Indonesia, sehingga harian Nyata yang menerbitkan cerpen ini terpaksa mencabutnya dan meminta pembaca menganggap cerpen ini tak pernah ada. Dokumentasi cerpen ini pun sempat raib sebelum kemudian ditemukan Ismet Fanany, dosen bahasa Indonesia di Deakin University, Australia. Cerpen itu tersimpan dalam sebuah microfiche—lembaran film berukuran 10 x 15 sentimeter—di perpustakaan Monash University, Melbourne, Australia.
Dalam novel Kemarau (1967), misalnya, Navis juga menyindir tajam sikap manusia menghadapi cobaan Tuhan berupa kemarau panjang. Cerpennya yang lain, “Jodoh” (pemenang pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep 1975), mengejek tradisi, takhayul, rendahnya kedudukan perempuan dalam masyarakat, serta gaya hidup hedonis.
Dari penelusuran Ismet, Navis selama hidupnya (1924-2003) telah menulis 69 cerpen tapi hanya 68 cerpen yang berhasil ditemukan. Itu di luar novel, puisi, cerita anak-anak, esai, hingga penulisan autobiografi, dan biografi. Satu cerpen yang tercecer berjudul “Baju di Sandaran Kursi” yang pernah terbit di majalah Roman pada 1957. Kini ke-68 cerpen itu bisa kita nikmati dalam buku Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis yang diterbitkan Penerbit Kompas pada 2005.[]
Daftar Sumber Bacaan:
- A.A. Navis, Abrar Yusa. 1994. Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama).
- “Robohnya Surau Kami”. Ensiklopedia Sastra Indonesia. (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia).
- “A.A. Navis”. Ensiklopedia Sastra Indonesia. (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia).
- Andri El Faruqi. “Siapa Tuhanmu: A.A. Navis dan ‘Man Rabuka’. Majalah Tempo, Edisi 29 Agustus 2016.