Oleh H.B. Jassin
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya terlaris Hamka sejak diterbitkan pada 1938. Tapi pada 1960-an, roman ini dituduh plagiat. Berikut ini nukilan artikel H.B. Jassin yang mengulas polemik sastra tersebut.
MENJELANG akhir tahun 1962 dihebohkan orang bahwa karangan Hamka Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah jiplakan1 dari karangan Alphonse Karr2 Sous les Tilleuls3, yang disadur atau diterjemahkan oleh Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi4 ke bahasa Arab dengan judul Madjdulin (Magdalena). Konon Hamka menjiplak dari terjamahan bahasa Arabnya. Surat kabar dan majalah ramai membicarakan, disamping juga menuduh plagiat tak kurang pula orang yang mempertahankan adanya penciptaan sendiri.
Dengan singkat dan populer dapatlah saya jelaskan pendapat saya mengenai pengertian plagiat dalam arti jiplak, demikian.
Seorang anak melihat gambar rumah. Timbul keinginannya hendak menggambar rumah juga. Diambilnya kertas minyak atau kertas tipis, ditaruhnya di atas gambar tadi dan dengan pensil diikutinya bayangan gambar rumah itu, dipindahkannya ke atas kertas tipis. Hasilnya? Di situ rumah, di sini rumah. Tapi dalam pekerjaan ini si anak tidak menggunakan pikirannya secara kreatif. Pekerjaannya otomatis.
Pada suatu hari saya lihat anak saya menggambar singa, sedang di depannya terletak sebuah buku yang bergambar singa pula. Saya perhatikan singa anak saya. Mukanya seram, kejam, mau menerkam. Saya perhatikan pula singa dalam buku: singa itu sedang tidur dengan amannya. Saya perhatikan seterusnya. Singa anak saya berdiri di depan gua yang menganga, singa di dalam buku sedang tidur dalam kurungan. Saya girang. Di sini ada kegiatan pemikiran, ada imajinasi, ada kreasi, dia membayangkan bagaimana rupa singa sedang marah dan itulah yang digambarkannya menurut imajinasinya.
Dibawakan kepada karang-mengarang: terjemahan kata demi kata dari bahasa asing tanpa menyatakan sumber pengambilan, bahkan dengan menyebutkan nama sendiri sebagai pencipta, adalah pekerjaan menjiplak. Tapi, kalau hanya ada persamaan ide, sedangkan pengungkapan berlainan, apalagi dengan banyak penambahan ide-ide yang lain, serta pengungkapan yang jauh berlainan pula, sukarlah kita akan bicara tentang penjiplakan. Dan di sinilah tapal batas timbulnya perbedaan dua pihak yang diametral berlawanan.
Yaitu di mana satu pihak menyatakan: ide sama, jadi ada penjiplakan, meskipun ada perbedaan dalam pengungkapan dan pihak lain membantah: ide sama tidak berarti bahwa ada penjiplakan kalau ada perbedaan dalam pengungkapan, apalagi kalau ada perbedaan dalam hal-hal yang lain lagi.
Kedua pihak tidak mungkin bertemu, meskipun masing-masing mengemukakan bukti-bukti yang bisa diterima dari sudut masing-masing.
Sengaja tidak saya gunakan istilah plagiat dalam uraian di atas, yang isinya lebih luas dari jiplakan. Lebih luas tapi karena itu lebih kabur, karena yang dianggap plagiat ialah: “pengambilan—secara harfiah ataupun disamarkan—dari bagian-bagian karya orang lain tanpa menyebut sumbernya, dengan maksud mengumumkannya atas nama sendiri”. Dalam keumumannya batasan itu menimbulkan beberapa pertanyaan yang perlu jawaban. Apakah yang disebut pengambilan itu tidak mungkin persamaan yang kebetulan seperti banyak terjadi? Apakah pengaruh yang tidak disadari dalam hal ini juga dimasukkan dalam pengambilan dengan arti pencurian? Bagaimanakah halnya dengan hak milik umum, seperti bahasa, cerita-cerita dongeng dan sebagainya? Tentu yang dimaksud dengan batasan di atas pencurian yang dilakukan oleh pencuri yang ulung dan pekerjaannya tidak lain dari mencuri. Barulah akan jelas artinya.
Menurut pendapat saya tidaklah tiap karya yang dianggap plagiat dapat serta-merta diukur dengan batasan di atas, tapi harus dikupas diselidiki tersendiri, supaya tidak terjadi aniaya terhadap pengarang bersangkutan yang dituduh.
Satu istilah lain ialah saduran. Apakah saduran? Saduran ialah cerita yang mengambil cerita lain sebagai contoh dengan tidak mengadakan perubahan dalam plot cerita dan permasalahan. Yang lain hanyalah lingkungan tempat dan manusianya, yaitu diubah sesuai dengan tempat dan manusia di lingkungan penyadur. Saduran yang jauh menyimpang dari aslinya, dalam plot, dalam permasalahan, dalam gagasan-gagasan yang dikemukakan, akan sukar disebut demikian, apalagi kalau dalamnya dimasukkan pengalaman dan tanggapan dunia si penyadur sendiri, yang dalam hal ini tidak lagi menyadur tapi mengarang cerita sendiri. Maka tidaklah tepat menyebut karya pengarang itu saduran begitu saja, tapi ciptaan sendiri. Apalagi kalau dalam proses penciptaan tidak ada maksud untuk menyadur, maka persamaan yang mungkin nampak dapat dikembalikan pada pengaruh belaka.
Dengan rumusan-rumusan yang diberikan di atas pastilah Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukan jiplakan, karena bukan terjemahan harfiah ataupun bebas dari karangan Manfaluthi atau Karr. Hamka bukanlah penjiplak yang tidak mempergunakan daya fantasinya, penjiplak yang hanya sekadar mengalih bahasa, menyuguhkan terjemahannya sebagai ciptaan sendiri.
Akan dikatakan bahwa saduran pun bukan, karena terlalu banyak perlainan peristiwa yang bersumber pada pengalaman dan pengetahuan pengarang sendiri. Memang ada kemiripan plot, ada pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan yang mengingatkan pada Magdalena, tapi ada pengungkapan sendiri, pengalaman sendiri, permasalahan sendiri. Sekiranya pun ada niat pada Hamka untuk menyadur Magdalena Manfaluthi, kepandaiannya melukiskan lingkungan masyarakat dan menggambarkan alam serta manusianya, kemahirannya melukiskan seluk beluk adat istiadat, serta keahliannya membentangkan latar belakang sejarah dan masyarakat Islam di Minangkabau, mengangkat cerita itu jadi ciptaan Hamka sendiri, di mana Manfaluthi hanya bertugas sebagai katalisator bagi daya imajinasi yang memang kaya dengan ilmu dan pengalaman. Nampak jelas isi pengalaman dan tanggapan dunia pribadi pengarang serta pengungkapan yang khas Hamka sendiri, hingga tidaklah dapat ia disebut telah mengambil karangan Manfaluthi bulat-bulat dan kemudian sekadar mengkamuflir wajah cerita seperti pencuri sepeda mengganti-ganti onderdil barang curiannya supaya tidak dikenal orang. Terang bahwa Hamka mempunyai masalahnya sendiri, menggali dan menimba dari pengalaman dan pengetahuannya sendiri.
Peristiwa, pengertian, dan gagasan, tidak bisa keluar dari apa yang dialami manusia dalam hayatnya, tapi tiap seniman mengungkapkannya menurut caranya sendiri yang memberi cap kemampuannya sebagai seniman, baik ia seniman pelukis maupun ia seniman sastra. Manusia dilahirkan, tumbuh besar, ketemu pacar, kawin, mendapat anak, menjadi tua, akhirnya meninggal, apakah peristiwa lain yang mungkin terjadi dalam hidup manusia?
Pengalaman manusia semuanya sama. Dia bertemu pacarnya mungkin saja di tengah sawah atau alam yang indah permai, atau di dalam kebun pohon anggur, orang mati bisa saja di kasur tempat tidur yang empuk, mungkin juga di jalan aspal yang keras, tapi soalnya bagaimana pengarang mengungkapkan, menceritakan pengalamannya dan pengalaman orang lain secara khas dia? Di situlah letak kemampuan seorang pengarang. Satu model, seribu pelukis, tiap pelukis akan mempunyai keistimewaannya sendiri, apakah penting bahwa mereka hanya mencontoh satu bentuk model yang sudah ada? Di sini tidak ada soal jiplakan, karena hasilnya adalah kenyataan artistik yang telah diolah oleh imajinasi, tidak sekadar kenyataan objektif seperti pantulan kembali bayangan dalam cermin kaca.
Apakah sebabnya maka Faust-nya Goethe menjadi begitu terkenal sebagai karya yang bermutu dan abadi? Padahal cerita itu telah dikenal dulu sebagai dongeng di kalangan rakyat? Karena Goethe telah mengangkatnya dengan daya imajinasinya di atas tingkat artistik yang mempunyai nilainya sendiri, nilai yang khas punya Goethe.
Barangsiapa yang mengenal riwayat hidup Hamka atau pernah membaca otobiografinya Kenangan-kenangan Hidup akan mengetahui bahwa banyak anasir biografis dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan lain-lain karangannya. Itulah sebabnya maka ia demikian hidup bisa menceritakan. Nada minor yang terdengar dalam seluruh karangannya adalah disebabkan karena pengalamannya yang sedih-sedih dan pahit-pahit di masa kecil hingga dewasanya. Sejak dari Di bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck sampai-sampai kepada Dijemput Mamaknya dan Menunggu Beduk Berbunyi, adalah hasil pengalaman dan penderitaan, pemikiran dan perenungan belaka. Ia pernah mengalami jadi anak nakal yang kemudian hidup terlunta-lunta oleh pertikaian keluarga yang ditimbulkan oleh adat istiadat, ia pernah membuang diri merantau ke Jawa dan kemudian ke Mekah dengan hanya hidup dari belas kasihan orang. Merantau ke Deli dan Dijemput Mamaknya adalah hasil observasi dan penghayatan dari dekat tatkala ia beberapa waktu tinggal di negeri dolar sebagai guru agama di kebun.
Pengalaman romantik tidaklah pula kurangnya ditemuinya dalam hidup, karena ia seorang pengagum keindahan. Maka tidaklah ajaib bahwa ia mempunyai beberapa kekasih yang dipujanya diam-diam di kampung, kemudian dalam perjalanan ke Mekah, bahkan di tanah suci pun juga. Dipujanya diam-diam, karena lainlah romantiknya dengan romantik Chairil Anwar. Rasa terhina yang dialami oleh Zainuddin dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah pengalamannya juga tatkala mukanya cacat oleh penyakit cacar dan ia diterima dingin oleh pujaannya di kampung.
Sebagai orang yang terpengaruh modernisme Islam dan penganut pikiran yang dipelopori Muhammad Abduh di Mesir pada masanya, Hamka memandang alam adat daerahnya dengan kritis dan melihat banyak kepincangan dalam pelaksanaan agama Islam. Banyaklah kritiknya terhadap kepincangan-kepincangan itu yang kita lihat dikemukakannya dalam sekian banyak cerita dan tulisannya mengenai keagamaan. Pun dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck kita lihat kritikannya terhadap alam adat Minangkabau yang sebagiannya tidak cocok dengan ajaran agama dan logika pikiran yang sehat dan wajar. Sebagai demikian buku itu adalah satu pernyataan sikap, satu ekspresi jiwa pengarang mengenai masyarakat, dalam hal ini masyarakat Minangkabau, dan bukan masyarakat Mesir ataupun masyarakat Eropa. Dan justru inilah yang membikin Tenggelamnya Kapal Van der Wijck jadi begitu digemari oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat kita merasakan permasalahan yang dikemukakan dalamnya adalah masalahnya sendiri dan bukan masalah orang lain. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck oleh karena itu mempunyai wataknya sendiri, yaitu watak Indonesia. Masalah adat dalam buku ini adalah masalah pokok, bukan sekadar latar belakang yang diadakan untuk menciptakan warna setempat.
Kritik Hamka atas adat dan masyarakat Minangkabau kita dengar antara lain dalam keluhannya ini:
“Seorang anak muda, yang berkenalan dengan seorang anak perempuan dengan maksud baik, maksud hendak kawin, dibusukkan, dipandang hina. Tetapi seorang yang dengan gelar bangsawannya, dengan titel datuk dan penghulunya mengawini gadis orang berapa dia suka, kawin di sana, cerai di sini, tinggalkan anak di kampung anu dan cicirkan di kampung ini, tidak bercela, tidak dihinakan.
Seorang anak muda yang datang ke kampung, yang lahir dari pada perkawinan sah, dan ibunya bukan pula keturunan sembarang orang, malah Melayu pilihan dari Bugis, dipandang orang lain. Tetapi harta seorang ayah, yang sedianya akan turun kepada anaknya, dirampas, dibagi dengan nama adat kepada kemenakannya. Kadang-kadang pula pemberian ayah kepada anaknya semasa hidup, diperkarakan dan didakwa ke muka Landraad oleh pihak kemenakan, tidak tercela, terpandang baik.”
Salah satu adat Minang yang ditentang oleh Hamka karena berlawanan dengan agama yang universal ialah adanya larangan atau keengganan menerima suku lain dari Minangkabau dalam perkawinan. Dalam roman sosialnya Merantau ke Deli—pada hemat saya roman Hamka yang psikologis lebih dewasa dari Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck—Hamka menceritakan tentang perkawinan seorang laki-laki Minang yang tinggal di Deli dengan seorang perempuan Jawa. Perkawinan mereka bahagia, tapi serenta mereka pulang berkunjung ke kampung si laki, timbullah kesukaran. Si perempuan Poniem tidak ada tempatnya menurut adat, dia adalah orang asing. Si laki tetaplah si Leman yang tidak berhak memakai gelar selama ia belum kawin dengan perempuan sukunya sendiri. Orang luar, biarpun berayah Minang, di negerinya sendiri dipandang orang asing, karena di Minang bangsa diambil dari pada ibu. Karena itu seorang Minang meskipun kawin di luar daerah dengan suku lain, apabila kembali di negerinya, pasti dapat tawaran, desakan atau paksaan kawin dengan perempuan Minang oleh keluarganya. Orang Minang sukar dan tidak pernah direlakan oleh keluarganya kawin di luar sukunya. Soal-soal inilah yang dikupas mudaratnya oleh Hamka dalam Merantau ke Deli dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Dijemput Mamaknya melancarkan kritikan terhadap hidup berkeluarga cara Minangkabau, hidup berkeluarga yang tidak ditentukan oleh suami istri, tapi ikut dicampuri oleh mertua, ninik mamak dan saudara-saudara. Seorang istri dengan anaknya dijemput kembali oleh mamaknya karena dianggap suaminya tidak mampu menghidupinya di rantau. Dan hancurlah kehidupan rukun rumah tangga. Berkata Hamka melalui istri si Musa:
“Rantau menurut adat, pulang sekali setahun, adalah kulitnya yang bagus, isinya amat busuk. Walaupun bukan orang melarat seperti kami ini, walaupun orang yang bertoko besar, inilah yang menjadi pangkal kemelaratan. Karena hendak memperlihatkan kemegahan dan kekayaan kepada orang kampung, musnahlah uang beratus-ratus, padahal mencarinya bukanlah mudah. Sudah kulihat sendiri dengan mata kepalaku, bagaimana sukarnya mengumpulkan uang dari satu sen kepada satu sen. Habis dimusnahkan untuk kemegahan di kampung dan congkak kepada famili. Kesudahannya tidak ada seorang yang bisa naik, melainkan patah di tengah.”
Hamka tidak hanya kritis terhadap adat, tapi dia pun mempunyai kritikan pula terhadap kaum muda, cara mereka berpakaian dan cara mereka bergaul.
Kemuliaan hati dan ketinggian budi, itulah hendaknya yang menjadi ukuran dalam pergaulan manusia, demikian kesimpulan kita berkenalan dengan tokoh-tokoh Hamka yang baik: Zainuddin dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, perempuan Poniem dalam Merantau ke Deli, si Hamid dalam Di Bawah Lindungan Ka’bah, si Musa dalam Dijemput Mamaknya, pengarang “aku” dalam Menunggu Beduk Berbunyi.
Apakah persamaan-persamaan yang dikemukakan orang untuk melancarkan tuduhan plagiat mengenai Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dalam hubungan dengan karya Al-Manfaluthi Magdalena?
Ditunjukkan adanya beberapa baris atau fragmen yang menurut isi dan idenya ada persamaan. Dalam hal ini dapat dikemukakan pertanyaan: apakah isi pikiran dan ide manusia yang tidak pernah dipikirkan? Soalnya ialah: bagaimana pengarang membentukkannya, menuangkannya dalam kata-kata? Selama pengungkapannya berbeda dan menunjukkan kekhasan si pengarang, maka aslilah pengucapannya. Lagipula berapa persen dari ide dan isi pikiran yang sama dalam karangan asli dan karangan yang dianggap jiplakan? Seratus persen, 50 persen, satu persen? Kalau hanya satu persen atau katakanlah sepuluh persen bolehlah dikatakan bahwa pengarang kena pengaruh, sedikit atau banyak. Dan pengaruh ini tak dapat ditiadakan. Seluruh pendidikan adalah soal menurunkan pengaruh dari satu generasi kepada generasi lain.
Begitupun juga mengenai persamaan kejadian dan peristiwa selama ada pengungkapan sendiri, tidaklah harus dikatakan bahwa ada pengambilan. Kejadian apakah dalam kehidupan manusia yang tidak juga dialami oleh manusia lain? Semua manusia lahir dan mati, dan alam hidupnya mungkin mengalami ketemu pacar, kawin, dapat anak, dan selanjutnya. Semua isi pengalaman manusia sama, cuma soalnya: bagaimana pengungkapannya oleh seorang pengarang dan oleh pengarang lain? Tentu saja seorang pengarang tidak selalu akan menceritakan peristiwa-peristiwa hidupnya dalam urutan yang sama dengan pengarang lain dan di sinilah akan letak keasliannya. Jikalau dia menceritakan peristiwa demi peristiwa dalam urutan yang persis sama dengan pengarang lain, tentulah orang beralasan menyebutnya seekor monyet yang pandai meniru. Tapi dalam hal Tenggelamnya Kapal Van der Wijck plot cerita mempunyai urutannya sendiri yang tidak persis sama dengan urutan plot cerita Magdalena.
Apa yang disebut idea-strip5, yaitu cara mengemukakan persamaan dengan jalan menggambarkan dengan lukisan peristiwa-peristiwa yang sama, adalah cara yang terlalu simplistis, karena tidak memberikan tempat bagi penilaian imajinasi pengarang dalam mengungkapkan ciptaannya. Lagipula berapa banyak yang tidak digambarkan, adegan-adegan lain di antara adegan demi adegan yang digambarkan?
Akhirnya dikemukakan pula persamaan adanya surat menyurat dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Magdalena6. Mengenai surat-menyurat dalam cerita hal ini adalah soal teknik dan komposisi yang terlalu umum dalam kesusastraan—pun sudah agak kuno—untuk dapat dijadikan bukti penjiplakan. Salah satu buku yang diterjemahkan Hamka, Margaretta Gauthier karangan Alexandre Dumas Jr, juga banyak memuat surat-surat dan dalam karangan-karangan angkatan 20-an hal yang demikian tidak asing. Hampir tiap buku angkatan 20-an mengandung surat-menyurat yang kadang-kadang dimuat in extenso.
Sebaliknya rasanya bukanlah tidak adil untuk menanyakan: apa yang tidak ada dalam Magdalena?
Persoalan adat Minangkabau pastilah tidak kita temukan dalam Magdalena, karena adat Minang tidak ada, baik di Prancis maupun di lembah Sungai Nil.
Sebagai karangan seorang Prancis yang beragama Kristen sudah terang dalam Magdalena tidak ada corak Islam sebagai agama, sedangkan dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck nampak jelas tendensi keislaman, misalnya dalam nasihat-nasihat si Parewa Muluk yang diberikannya kepada Zainuddin dalam keadaan berputus asa di Lembah Anai.
Sebagai seorang mubalig Hamka mempunyai pengetahuan yang luas dan dalam mengenai sejarah dan masyarakat Islam di Indonesia dan hal ini dijalinkannya dalam romannya dengan meyakinkan. Suatu hal yang sudah tentu tidak terdapat pula dalam Magdalena.
Begitupun dalam Magdalena tidak ada soal pendukunan seperti dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck di mana Hamka menyebut-nyebut segala macam penyakit dan obat obat serta penangkalnya. Pengetahuan Hamka tentang seluk beluk adat Minangkabau sampai-sampai pada yang sekecil-kecilnya membuat lukisan-lukisan Hamka meyakinkan sebagai hasil penimbaan dari lingkungan daerah sendiri.
Tokoh-tokoh Tenggelamnya Kapal Van der Wijck tidak sekadar orang-orang yang hidup dan bernapas secara kebetulan. Tokoh Zainuddin seperti juga almarhum ayahnya Pandekar Sutan, adalah orang Minang yang terlibat mati hidupnya dalam ikatan dan permasalahan adat. Sutan mengamuk dan dibuang karena soal adat yang timpang, Zainuddin tersisih dan menderita karena soal adat pula. Demikian pun juga Hayati menebus kesalahan adat dengan nyawanya.
Persamaan sifat-sifat tokoh Stevan dan Zainuddin tidak harus berarti bahwa Hamka mengambil Stevan sebagai contoh, sebab sifat manusia di mana-mana mungkin sama. Tokoh Zainuddin mungkin penjelmaan jiwa Hamka sendiri atau orang yang pernah dikenalnya. Zainuddin dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang pemenung, penjegan, pengiba hati, mengingatkan Hamid dalam Di Bawah Lindungan Ka’bah. Jiwa yang beriba-iba dan sejalan dengan itu gaya yang merawankan hati adalah gejala romantik yang terlalu umum bagi darah yang masih muda, seperti halnya Hamka tatkala menuliskan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Apakah Dt… sama dengan Muller? Tidak seujung rambut pun saya teringat pada Muller tatkala diperkenalkan dengan Dt… Dt adalah seorang petani di tengah alam Indonesia, sementara Muller seorang sarjana Eropa yang bicara dengan istilah-istilah ilmiah mengenai tumbuh-tumbuhan.
Siapakah pula ekuivalen si Parewa dalam Magdalena? Fritz? Alangkah dangkalnya si nelayan Fritz dibandingkan dengan Parewa Muluk.
Tokoh-tokoh dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah orang-orang Indonesia tulen dalam darah dan dagingnya, mempunyai tanggapan dunia dan permasalahannya sendiri. Mereka bukanlah Stevan, Magdalena, dan Susana yang sekadar baju-bajunya Indonesia tapi jiwanya jiwa Eropa ataupun Mesir. Mereka berpakaian cara Indonesia, berbicara Bahasa Indonesia atau Nusantara, berpikir cara Indonesia, di lingkungan alam dan masyarakat Indonesia.
Hayati dengan gerak-gerik dan tingkah lakunya, dengan tutur bahasa dan sopan santunnya, adalah seorang putri Indonesia, sekali-kali bukan Magdalena dari Germania.
Tidak ada seorang guru musik Hommel dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck ataupun seorang ekuivalennya. Zainuddin adalah seorang pengarang yang tidak belajar pada siapa-siapa kecuali pada kehidupan dan dengan bakatnya.
Pun tidak ada seorang Eugen—dalam Magdalena adiknya Stevan. Zainuddin tidak mempunyai adik yang masuk tentara dan mati dalam dalam pengabdian untuk negara dan bangsa.
Maka kesimpulan saya:
Pada Hamka ada pengaruh Al-Manfaluthi. Ada garis-garis persamaan tema, plot, dan buah pikiran, tapi jelas bahwa Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri. Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapan sendiri demikian kuat, hingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali kalau tiap hasil pengaruh mau dianggap jiplakan. Maka adalah terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.
Saya yakin Tenggelamnya Kapal Van der Wijck akan terus hidup mengalami ulangan cetak dalam sejarah kesusastraan Indonesia sebagai hasil karya yang mempunyai kepribadiannya sendiri.[]
[Dinukil dari: Jassin, H.B. 1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I. Jakarta: Gunung Agung. Hlm. 64- 71.]
1Tuduhan dilancarkan oleh Abdullah Said Patmadji di dalam sejumlah artikelnya di lembar Lentera harian Bintang Timur yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer. Berturut-turut Abdullah SP menulis artikel yang menyudutkan Hamka dan novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, terutama dalam artikel “Aku Mendakwa Hamka Plagiat!” Hamka sendiri tak pernah membalas argumen Abdullah SP. Karena situasi pada dekade 1960-an sarat dengan pertarungan kelompok pengarang “humanisme universal” dan “realisme sosialis, tuduhan plagiat terhadap Hamka kerap disebut lebih daripada sekadar kritik teks atau sastra.
2Jean-Baptiste Alphonse Karr adalah pengarang, jurnalis, dan kritikus asal Prancis. Cerpennya Les Willis menjadi inspirasi bagi pertunjukkan opera mestro Italia Giacomo Puccini “Le Villi” pada 1884.
3Sous les Tilleuls (Di Bawah Naungan Pohon Tilia) terbit pada 1832.
4Muthafa Luthfi Al-Manfaluthi adalah pengarang dan penyair asal Mesir.
5Metode yang digunakan Abdullah SP untuk menilai Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah plagiat dari karya Alphonse Karr atau Al-Manfaluthi.
6Dalam Magdalena, ada kisah surat-menyurat antara Magdalena dan Susana sedangkan dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, terjadi hubungan surat-menyurat antara Hayati dan Chadijah.
Hans Bague Jassin (1917-2000)
Hans Bague Jassin, lebih dikenal dengan H.B. Jassin, lahir di Gorontalo dari keluarga kelas menengah. Ayahnya seorang pegawai Bataafse Petroleum Maatschappij (BPM), perusahaan minyak Belanda yang kemudian menjadi Royal Dutch Shell Indonesia.
Jassin keranjingan membaca buku sejak di sekolah dasar dengan memanfaatkan perpustakaan sang ayah. Kegemaran membaca ini memotivasinya menjadi kritikus dan dokumentarian sastra. Dia bahkan telah menerbitkan ulasannya saat masih di sekolah menengah.
Sempat bekerja di kantor Asisten Residen Gorontalo, Jasin kemudian memilih pindah ke Jakarta untuk bekerja di Balai Pustaka atas rekomendasi Sutan Takdir Alisjahbana. Di Jakarta, Jasin melanjutkan studi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pada 1958, dia mendapatkan beasiswa untuk mengambil kuliah singkat tentang kritik dan perbandingan sastra di Universitas Yale, Amerika Serikat.
Sepulangnya dari Amerika, Jasin menjadi redaktur di sejumlah terbitan sastra, di antaranya adalah majalah Sastra. Di majalah ini, Yasin sempat harus berurusan dengan hukum ketika memuat cerpen “Langit Makin Mendung” pada Agustus 1968. Cerpen ini dianggap menghina agama Islam. Akhirnya, dia divonis hukuman bersyarat satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun karena menolak membeberkan siapa sebenarnya di balik nama pena Ki Pandji Kusmin, si pengarang cerpen tersebut.
Pada dekade 1960-an, Jassin terlibat dalam pusaran prahara politik yang merambah dunia kesusastraan. Dia ikut menandatangani Manifes Kebudayaan yang dianggap mengusung ideologi sastra humanisme universal. Manifes dipandang menantang kelompok pengarang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berideologi realisme sosialis. Karena keterlibatan dalam Manifes, Jassin dipecat dari posisinya sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Luasnya bacaan dan keuletan Jassin mengoleksi dokumen-dokumen sastra membawanya ke posisi terhormat di kalangan sastrawan. Ada adagium sejak 1970-an yang mengatakan bahwa seorang pengarang belum bisa disebut sastrawan jika karyanya belum diulas oleh H.B. Jassin. Dia pun dijuluki “Paus Sastra Indonesia”.
Karya kritik dan esai Jassin sangat banyak. Tapi, legasi terpentingnya adalah koleksi dokumen kesusastraannya yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Dokumentasi-dokumentasi tersebut menjadi salah satu khazanah utama kesusastraan Indonesia.[]